Teologi Pluralisme Religius; Apologia Pro Libro Suo buat Mansyur Semma


Dalam Tribun (10/10), Mansyur Semma menulis, pluralisme merupakan virus demokrasi. Ini berarti pluralisme adalah sesuatu yang berbahaya dan muncul dari proses demokratisasi yang sedang berlangsung. 

Proses demokratisasilah yang menebarkan virus pluralisme yang berbahaya bagi kehidupan umat beragama karena tidak memiliki konsep yang jelas tentang Tuhan dan cara peribadatan. Berbeda dengan konsep agama, terutama Islam, yang menganut ajaran Tauhid, Allah ditempatkan di atas segala sesuatu.




Saya merasa perlu menanggapi tulisan tersebut bahwa sesungguhnya pluralisme bukan sesuatu yang asing dari agama, terutama Islam. Justru dari Islam bisa ditemukan pijakan kuat bagi bangunan pluralisme. Eksplanasi ini dibutuhkan untuk menjawab tantangan proses demokratisasi yang sedang berlangsung. 

Kita tidak selayaknya antipati menghadapi proses demokratisasi, tetapi berusaha memikirkan kembali (re-thinking) Islam agar bisa menjawab tantangan zaman. Dalam konteks inilah dibutuhkan kehadiran pemahaman pluralisme yang tidak kehilangan fondasi normatifitasnya agar tidak terjebak arus sekularisme. 

Dibutuhkan konsep teologi pluralisme religius yang berfungsi, meminjam bahasa Mustaffa Kamil Ayub: 2004, "Merangkumi persoalan demokrasi, hak asasi manusia, persoalan nilai, serta kemanusiaan sejagat tanpa tercabut dari akar agama dan nilainya." Ini diharapkan mampu mengatasi problem dasar realitas keberagamaan. 

Ada sebuah realitas keberagamaan yang tidak bisa diingkari oleh umat beragama, agama apapun dia, yaitu wajah paradoks dari sebuah agama. Setiap agama di muka bumi pasti mengalami penyakit internal ini. 

Di satu sisi, iman yang merupakan inti sebuah agama berhasil memberi makna bagi kehidupan umat manusia, namun di sisi lain agama juga menjadi alasan mendasar lahirnya tindakan kekerasan antarumat manusia. 

Memang, secara apologetis seorang penganut agama tertentu bisa saja berargumen bahwa kekerasan yang menyandarkan dirinya pada doktrin agama sebagai alasan utamanya hanyalah sebuah realitas semu karena persoalan sosial utama kita adalah ketidakadilan, kemiskinan, dan keterbelakangan. 

Namun penganut agama tidak boleh menutup mata untuk melihat bahwa jargon-jargon keagamaan telah bermetamorfosis dan beralih fungsi menjadi alasan pembenar bagi sebuah tindak kekerasan. 

Kalaupun kita mengatakan bahwa realitas tersebut adalah penyelewengan terhadap doktrin agama maka penyelewengan itu justru dengan gamblang mengatakan, agama yang berkembang di tengah-tengah kita telah mandul untuk memberi kedamaian pada kemanusiaan, tidak berhasil memberi keselamatan, dan gagal melahirkan cinta dalam kehidupan pemeluknya. 

Pertanyaan tentang eksistensi agama sebagai pembimbing kehidupan manusia untuk menjadi lebih baik mengusik kesadaran kita sebagai umat yang mengaku beragama.
Untuk menjawab pertanyaan besar itu dibutuhkan upaya untuk melakukan otentifikasi keagamaan untuk menemukan kembali fitrah agama yang otentik yang selama ini tertutupi beragam penafsiran yang justru mereduksi nilai agama itu sendiri. 

Agama otentik hadir memberi kedamaian pada kemanusiaan serta melahirkan cinta dan keselamatan dalam kehidupan. Tapi untuk menemukan bangunan agama yang otentik tersebut perlu dilihat secara mendasar penyakit yang telah menyelewengkan makna agama.

Dilanda Narsisme 
 
Wajah suram agama, terutama Islam, menurut Hasan Hanafi: 1992, diakibatkan oleh bentuk keberagamaan berciri 'tradisionalisme' yang telah menggiring agama kembali pada tradisi awal Islam. 

Sebuah wajah keberagamaan yang memiliki ciri-ciri: pertama, membentuk pemikiran eksklusif yang hanya dimiliki segelintir orang untuk memapankan posisi tertentu atau mendorong eksklusivisme, ketidakadilan, dan sikap antipluralitas. Ciri ini lahir karena cara berfikir keagamaan yang otoritatif yang rujukan pengetahuan atau kemampuan yang dimiliki individu atau kelompok atas yang lain atau sebuah kapasitas untuk mengeluarkan perintah mengikat. 

Kekuasaan otoritatif ini melahirkan legitimasi dan dominasi pada seseorang yang memiliki otoritas menentukan kebenaran dan keselamatan di bawah panji-panji agama dan keyakinan tertentu dan orang lain hanya wajib menerima tafsir keagamaan darinya.
Ini mengakibatkan mengentalnya pemahaman keagamaan yang dikenal dengan ekstremisme, fundamentalisme, revivalisme, atau tradisionalisme. 

Kedua, bangunan keagamaan yang bersifat tradisionalisme, menciptakan sikap pasrah terhadap kondisi carut-marut, keterpurukan, dan ketertindasan. Ketidakmampuan menerima realitas mengakibatkan mereka mengalami goncangan sehingga seringkali merespon perubahan dengan tindakan yang kadang tidak bisa diterima akal sehat.
Dari kondisi inilah lahir kekerasan dengan mengedepankan simbol-simbol keagamaan. Ketidakmampuan menerima perbedaan, baik dalam bentuk pluralitas keyakinan, keragaman ikutan ideologi, dan kebhinnekaan praktek kebudayaan, telah mengental dalam sikap yang cenderung emosional. 

Rasa pasrah dan kalah sering membuat kalap dan berimplikasi pada perlakuan terhadap pihak lain yang dianggap berbeda.
Ketiga, membentuk subyektivitas, selalu merasa paling benar. Penyakit dari tradisionalisme keagamaan secara psikologis adalah narsisme (cinta diri berlebih) yang mengklaim kebenaran dan keselamatan hanya ada pada jalan yang ditempuh atau agama yang dianutnya. 

Tidak ada kebenaran dan keselamatan pada jalan atau agama lain. Inilah yang sering membuat tidak peduli dengan yang lain.

Autentisitas Agama 
 
Proses re-thinking agama untuk menyelamatkannya dari narsisme akut yang diakibatkan oleh pemikiran keagamaan yang berciri tradisionalisme akan mengarahkan pada wajah autentik agama yang pluralis. 

Agama autentik, sebagaimana dibahasakan Charles Kimball: 2003, adalah agama yang tidak sekadar bersetia dengan doktrin skriptural yang statis, tetapi pada sebuah iman yang hidup dan menghidupi kemanusiaan universal. Jadi alat ukur autentisitas sebuah agama adalah keberpihakannya pada kemanusiaan. 

Ada beberapa ciri spesifik yang menjadi wajah autentik Islam sebagai teologi pluralisme religius. Pertama, karena Islam memahami bahwa perbedaan dan kemajemukan adalah hukum Tuhan (sunnatullah) yang tidak bisa diganggu-gugat, maka Islam menolak generalisasi. 

Allah swt mempertegasnya dalam Al Quran, "Untuk setiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Kalau Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap karunia yang telah diberikan-Nya kepadamu (QS 5:48)."
Ayat tersebut menjamin setiap umat, kelompok, kaum, dan istilah apapun kita namai sebuah komunitas masyarakat, Allah telah menurunkan bagi mereka aturan dan jalan terang sehingga jaminan kebenaran dan keselamatan tidak berhak diklaim oleh kelompok atau umat tertentu saja. 

Bahkan Allah sengaja membiarkan umat ini plural sebagai ujian, apakah kita bisa hidup berdampingan penuh kedamaian di tengah pluralitas keyakinan, keragaman ikutan ideologi, dan kebhinnekaan praktek kebudayaan karena Al Quran sendiri meragukan kemampuan manusia tersebut, "... tetapi mereka senantiasa berselisih (pendapat) (QS 11:118)." 

Kedua, teologi pluralisme religius sangat menolak ekstremisme. Dalam menyikapi pluralitas keyakinan, keragaman ikutan ideologi, dan kebhinnekaan praktek kebudayaan, sepatutnya seseorang tidak bersifat ekstrem untuk menghindari lahirnya praktek kekerasan berlabel agama, keyakinan, atau ideologi tertentu. 

Allah swt berfirman, "Katakanlah (Muhammad), 'Wahai Ahli Kitab! Janganlah kamu berlebih-lebihan dengan cara yang tidak benar dalam agamamu (QS 5:77)." Firman Allah ini secara tegas menolak segala bentuk ekstremisme dalam beragama.
Ketiga, sebuah agama yang autentik dan berwujud dalam teologi pluralisme religius adalah ruang aktualisasi bagi manusia untuk berlomba dalam hal-hal yang positif bagi kemanusiaan. 

Al Qur'an mengatakan, "... maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan (QS 5:48)". Ini adalah perintah Allah, setiap manusia, siapapun dia, seperti apapun keyakinannya, bagaimanapun ikutan ideologinya atau praktek kebudayaannya, satu hal yang paling ditekankan, berpacu memproduksi hal-hal yang baik.
Penjelasan ini tidak berpretensi membantah argumen Mansyur bahwa pluralisme adalah virus demokrasi, melainkan hanya berkepentingan untuk menyampaikan bahwa pluralisme dalam beragama adalah sesuatu yang sangat penting dan mendasar, bahkan menjadi standar autentisitas sebuah b
angunan keyakinan. Wallahu a'lam Bish Shawab.

Muhammad Kasman
Wakil Sekjen PB HMI MPO 2005-2007, fasilitator pada Networking for Education and Transformation (NET) Institute



© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design