Beberapa Kendala Praktis Dialog Antar-agama

Kompas, Sabtu, 5 Agustus 2000

Oleh Ulil Abshar-Abdalla

SUDAH saatnya, sejumlah ganjalan di lapangan yang menghalangi dialog antaragama diangkat secara eksplisit ke permukaan, karena tekanan selama ini lebih diberikan pada unsur-unsur dalam masing-masing agama yang mendorong ke arah dialog, dan kurang diberikan juga pada unsur-unsur yang menimbulkan pertengkaran. Tekanan yang berat sebelah pada segi pertemuan ini jelas ada manfaatnya, tetapi setelah perkembangan waktu, saya mulai melihat bahwa kendala-kendala dialog kerapkali diabaikan.
Jika kita membaca tulisan para ahli yang mengangkat segi-segi pertemuan antaragama, maka tampak sekali bahwa seolah-olah memang akan dengan mudah suatu dialog itu dicapai. Akan tetapi, setelah mengalami sekian masalah yang pahit dalam kehidupan sehari-hari berkenaan dengan masalah dialog ini, kita layak mempertimbangkan sejumlah hal di lapangan yang tidak bisa begitu saja diabaikan. Kendala sudah saatnya harus dihadapi dengan sungguh-sungguh, dan tidak boleh kita terjebak dalam semacam "delusi" bahwa semua agama sebetulnya menginginkan hal yang sama: perdamaian, keadilan, persaudaraan, persamaan derajat, pemuliaan martabat manusia, kemerdekaan, dan sebagainya. 

Saya punya kesan yang makin kuat sekarang ini, bahwa setiap kali melihat pertengkaran terjadi antarumat beragama, tokoh-tokoh agama selalu terjebak dalam repetisi yang menjemukan, dengan menekankan terus-menerus bahwa semua agama tidak menghendaki pertengkaran, tetapi perdamaian. Kadang-kadang kenyataan pahit di lapangan dicoba untuk diatasi dengan cara menampilkan suatu "seremoni" yang menampilkan sejumlah pertunjukan di atas pentas, di mana dikesankan bahwa seolah-olah semua agama bisa diperdamaikan. Akan tetapi, perdamaian itu hanya berlangsung secara "seremonial". Saya ingin menyebut ini sebagai staged encounter, pertemuan antaragama yang direkayasa di pentas, tetapi tidak menjangkau hingga ke kesadaran individual yang paling dalam. 

Berikut ini adalah sejumlah kendala praktis di lapangan yang menghalangi pertemuan antaragama. Tentu kendala-kendala yang disebut di sini hanyalah relevan dalam konteks Indonesia. 

Elitis
Kendala pertama adalah bahwa wacana mengenai dialog hampir secara merata berlangsung di tingkat elite terpelajar, sehingga lapisan awam yang lebih besar jumlahnya tidak mendapatkan akses yang cukup kepada wacana itu. Ini terjadi, karena dialog lebih dipraktikkan secara "diskursif" ketimbang secara praktis. Saya kira, jika kita lama terkungkung dalam kesalahan ini, maka akibat-akibatnya bisa fatal. Sementara pada tingkat elite yang seringkali menggauli wacana itu terjadi pertemuan yang seolah-olah akan mempengaruhi tindakan kaum awam yang menjadi pengikut elite tersebut, masyarakat di tingkat akar rumput menghadapi sejumlah masalah konkret yang jarang direfleksikan secara "diskursif" dan partisipatif (maksudnya: melibatkan mereka secara langsung dalam refleksi itu), sehingga mereka mudah terjebak dalam tindakan kekerasan. Saya tentu tidak ingin mengatakan bahwa dialog yang dipraktikkan secara diskursif itu tidak ada gunanya dan tidak menyumbangkan apa-apa terhadap upaya membangun jembatan pertemuan antaragama. Tetapi masalah dialog makin nyata berada pada level akar rumput, sehingga perhatian harus mulai diarahkan ke sana. Dialog sudah selayaknya mulai menyertakan kaum awam, dan tidak melulu menjadi "kemewahan" bagi elite agama yang terpelajar. 

Tak militan
Kendala kedua adalah bahwa sebagian besar aktivis yang terlibat dalam kegiatan dialog antaragama kurang begitu "agresif" memperjuangkan isu ini. Dibanding dengan sejumlah aktivis lain yang berjuang untuk isu HAM, lingkungan, perempuan, pendidikan sipil (civil education), dan lain-lain, para aktivis dialog antaragama kurang agresif dalam mengampanyekan isu tersebut. Saya juga melihat kurang adanya "militansi" yang memadai pada mereka untuk menyebarkan isu ini di kalangan masyarakat luas. Ada beberapa sebab yang mungkin menimbulkan hal ini. Pertama, mungkin tidak tersedia cukup funding agency yang membiayai kegiatan-kegiatan dialog antaragama ini di Indonesia. Pihak funding agency mungkin melihat isu-isu lain ketimbang isu dialog antaragama. 

Kedua, faktor agama acapkali dipahami sebagai "faktor yang semu" belaka dalam setiap konflik sosial yang pecah melalui simbol agama. Agama dianggap sebagai "bumbu penambah" saja dalam pertengkaran itu, sementara "bumbu utama"nya adalah faktor-faktor ekonomi-politik. Sekiranya soal-soal ekonomi politik itu bisa diselesaikan, begitu diandaikan, maka secara otomatis konflik itu akan selesai, dan faktor agama akan hilang dengan sendirinya. Ketiga, tampaknya ada semacam keengganan untuk memasuki wilayah dialog antaragama, karena sifatnya yang sensitif. 

Jalur eceran
Kendala ketiga adalah kenyataan bahwa sosialisasi ajaran agama di tingkat akar rumput lebih banyak dikuasai oleh para juru dakwah yang kurang paham atau menyadari pentingnya isu dialog antaragama. Jalur distribusi ajaran agama di tingkat "eceran" lebih banyak dikuasai oleh jaringan dakwah dan misi yang mempunyai pandangan agama yang konservatif. Sementara kaum terdidik yang seringkali terlibat dalam wacana dialog antaragama tidak mempunyai basis sosial yang cukup untuk membangun semacam jaringan distribusi ajaran agama alternatif yang menandingi jalur "eceran" yang sudah begitu mengakar itu. 

Lihatlah misalnya, forum khotbah Jumat, pengajian di surau, majelis taklim, dan sebagainya. Forum-forum sosialisasi agama yang lebih menyentuh masyarakat kecil ini tidak pernah dipikirkan oleh para aktivis dialog antaragama sebagai "titik lemah" dalam membangun dan mengembangkan wacana dialog antaragama. Pertemuan antarelite agama di tingkat atas yang mengesankan adanya kerukunan antaragama seringkali dibatalkan oleh juru dakwah di tingkat bawah yang kurang menyadari pentingnya agenda dialog. Lusinan diskusi, lokakarya dan seremoni yang diadakan untuk membangun dialog seringkali kalah efektif dengan pengajian yang setiap hari diadakan di majelis taklim. Agenda dialog ke depan adalah bagaimana menguasai jalur "eceran" distribusi agama ini sehingga tidak sepenuhnya diisi oleh kaum konservatif yang tidak menyukai dialog. 

Infrastruktur
Kendala keempat adalah kurangnya sarana-sarana kelembagaan yang menunjang dialog. Ini adalah kelemahan serius yang saya kira tidak bisa dibiarkan terus berlanjut. Karena dialog lebih banyak dibangun melalui seremoni dan tindakan-tindakan intelektual yang bersifat diskursif, maka dialog itu sulit menjangkau ke masyarakat bawah. Saya kira sulit suatu dialog menjadi wacana yang menjangkau masyarakat luas jika "infrastruktur dialog" tidak tersedia. Infrastruktur pokok yang harus tersedia adalah yang berkenaan dengan penyelesaian suatu konflik. 

Setelah selama sekian tahun, hubungan-hubungan dalam masyarakat mengalami birokratisasi yang menyeragamkan, sejumlah institusi sosial yang dahulu bermanfaat untuk meredam sejumlah konflik yang timbul dalam masyarakat mengalami kerusakan yang cukup serius. Institusi Pela di Maluku, misalnya, sudah tidak lagi mampu menyelesaikan pertikaian mutakhir, karena telah kehilangan daya ikatnya terhadap anggota masyrakat yang dahulu mempercayainya. Akibatnya masyarakat tidak mempunyai sarana yang bersifat kelembagaan untuk menyelesaikan suatu konflik sosial (termasuk konflik agama) secara damai. Saya kira, infrastruktur ini harus segera dibangun untuk mencegah suatu konflik yang muncul di masa-masa mendatang meledak menjadi konflik yang luas dan merusak seluruh tatanan sosial yang ada. Selama infrastruktur semacam ini tak tersedia, maka masyarakat akan dengan mudah menggunakan kekerasan untuk menyelesaikannya.

Prasangka 
Kendala kelima adanya sejumlah prasangka tertentu yang berkembang di antara sejumlah aktivis yang selama ini bekerja untuk dialog antaragama. Maksud saya adalah, bahwa orang-orang yang mengaku "pluralis" (yakni orang yang setuju dengan adanya dialog antaragama) kadang-kadang juga mempunyai prasangka buruk mengenai kelompok-kelompok konservatif, sehingga dialog antara mereka sulit berlangsung. Hal yang sebaliknya juga terjadi. Masing-masing kelompok menganggap bahwa kelompok lain menganut suatu pemahaman agama yang "sesat" dan "tidak tepat", sehingga tidak layak untuk diajak berbicara. 

Akibatnya adalah bahwa wacana dialog hanya berlangsung di antara orang-orang yang memang sudah dari awal percaya akan manfaat dialog, tetapi tidak pernah terjadi antarkelompok "pluralis" dengan kelompok "konservatif". Sebetulnya, penggunaan dua istilah ini juga kurang bermanfaat dari segi pengembangan dialog, karena mengandung prasangka penilaian tertentu. Saya kira sudah saatnya dialog justru diadakan antara dua kelompok ini, sehingga sejumlah masalah yang menjadi bahan perbedaan dan mengganjal bisa diatasi dengan terbuka. 

Ketidakadilan
Kendala keenam adalah soal kesenjangan sosial dan ketidakadilan. Akhirnya memang soal ketidakadilan dalam masyarakat harus menjadi "keprihatinan" semua kelompok. Dialog tidak bisa berlangsung dengan sungguh-sungguh jika soal ini tidak diselesaikan secara praktis, sehingga masing-masing kelompok tidak curiga bahwa suatu dialog tidak hanya menjadi "alat politik" untuk menutupi suatu ketidakadilan. Oleh karena itu, suatu dialog memang mensyaratkan sensitivitas yang tinggi terhadap setiap unsur ketidakadilan yang berkembang dalam masyarakat bersangkutan. Dengan kata lain, suatu dialog memang mensyaratkan "basis materiil" yang memadai, di mana kelompok-kelompok yang selama in mengalami deprivasi ekonomi mendapatkan haknya secara proporsional sebelum pada akhirnya bisa menerima suatu dialog antaragama sebagai opsi yang sungguh-sungguh bisa menyelesaikan masalah. Masalah ini menjadi penting untuk diangkat dalam konteks masyarakat Indonesia di mana masalah dalam hubungan-hubungan antaragama acapkali dipahami sebagai sisi lain dari ketimpangan sosial dalam masyarakat. Kelompok-kelompk "konservatif" yang selama ini menunjukkan sikap yang keras terhadap kelompok lain juga seringkali menggunakan bahasa ketidakadilan ini sebagai alat untuk mengartikulasikan masalah. Bahasa "ketidakadilan" acapkali kita dengar sebagai sarana artikulasi, sehingga kita dapat mengatakan bahwa kemarahan kelompok agama tertentu terhadap kelompok lain tidak boleh dikatakan sebagai penolakan atas ide pluralitas, tetapi sebagai "protes" atas kesenjangan antarkelompok. 

Dialog internal
Kendala ketujuh dan terakhir yang ingin saya sebut adalah bahwa seringkali pertikaian antaragama tidaklah suatu pertikaian yang melibatkan seluruh umat dari agama A dengan umat dari agama B. Secara sosiologis, umat beragama tidaklah monolit, tetapi beragam dan mengalami fragmentasi internal yang cukup tajam. Artinya, pluralisme tidak saja terjadi dalam konteks antaragama, tetapi juga dalam agama yang sama juga terjadi perbedaan-perbedaan yang tajam. Seringkali, pertikaian dalam agama yang sama ini menjadi kendala dalam membangun dialog antaragama. Oleh karena itu, dialog antargolongan dalam agama yang sama tak kalau pentingnya dengan dialog antaragama. Dengan kata lain, dialog internal akan menjadi sarana yang memudahkan dialog eksternal, dan bukan sebaliknya. Kadang-kadang dialog antara golongan dalam agama yang sama jauh lebih sulit dan menyakitkan ketimbang dialog dengan kelompok di luar agama sendiri. 

Tentu kendala-kendala lain masih banyak lagi, tetapi belajar dari pengalaman konkret di lapangan, saya menemukan bahwa kendala-kendala tersebut sangatlah menonjol, tetapi kurang mendapatkan perhatian yang cukup dari aktivis dialog selama ini. Saya kira, perhatian yang selama ini diberikan pada aspek-aspek yang mempertemukan semua agama (misalnya, seperti gagasan Fritjhof Schuon tentang transcendental unity) harus juga diimbangi dengan perhatian terhadap sejumlah hal yang menghalangi tercapainya pertemuan (encounter) itu. 

(* Ulil Abshar-Abdalla, Ketua Lakpesdam-NU, Jakarta, dan anggota Masyarakat Dialog Antar Agama (MADIA).)
© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design