Dimensi Ontologis Ekonomis

Dimensi Ontologis

Jika kembali melihat kejayaan Islam masa silam, cukup banyak bukti bahwa para pemikir Muslim merupakan peletak dasar dan pengembang banyak ilmu. Nama-nama pemikir Muslim bertebaran menghiasi area ilmu pengetahuan, termasuk juga ilmu ekonomi.

Dalam sejarah, Ibnu Khaldun lah yang pertama kali menuliskan teori mengenai pembagian kerja (division of labour). Hal itu termuat dalam bukunya yang berjudul Mukadimah. Dalam Mukadimah pula Khaldun memperkenalkan inti ilmu ekonomi dasar, seperti produksi-konsumsi, penawaran-permintaan, biaya dan kemanfaatan (utility), uang dan harga, perdagangan internasional, formasi dan pertumbuhan modal, siklus perdagangan, pengeluaran publik, kependudukan, pertanian, industri dan perdagangan, makro ekonomi dan pajak serta kekayaan dan kemakmuran (property and prosperity), yang kemudian beberapa pemikiran tersebut menjadi catatan kaki Adam Smith (bapak ilmu ekonomi konvensional) dalam buku-nya yang monumental An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of Nations.
 
 Dengan mempergunakan pendekatan historis dan ideologis, pada dimensi ontologis terlihat bahwa tidak ada alasan untuk menolak eksistensi ilmu ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu.

Dimensi Epistemologis

Ada tiga mazhab pemikiran ekonomi Islam dewasa ini; yaitu mazhab Baqir Sadr (Iqtishaduna), mazhab Mainstream, dan mazhab Alternatif-Kritis. Mazhab Baqir Sadr berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi dan Islam tetap Islam. Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan, karena berasal dari filosofi yang kontradiktif. Yang satu anti-Islam, yang lainnya Islam. Menurut mereka, perbedaan filosofi ini berdampak pada perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat ekonomi.

Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena menurut mereka, Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al-Quran 54 : 49. Pendapat bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas juga ditolak. Mazhab ini berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak terbatas itu tidak benar, sebab pada kenyataannya keinginan manusia itu terbatas.

Mazhab Baqir juga berpendapat bahwa masalah ekonomi yang muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan tidak adil sebagai akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat miskin. Karena itu masalah ekonomi bukan karena sumber daya yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak terbatas. Karenanya menurut mereka, istilah “ekonomi Islam” adalah istilah yang bukan hanya tidak sesuai dan salah, tetapi juga menyesatkan dan kontradiktif.

Karena itu penggunaan istilah “ekonomi Islam” harus dihentikan. Sebagai gantinya, ditawarkan istilah baru yang berasal dari filosofi Islam, yakni IQTISHAD. Menurut mereka, iqtishad bukan sekedar terjemahan dari ekonomi. Iqtishad berasal dari bahasa Arab qasd yang secara harfiah berarti “equilibrium” atau “keadaan sama, seimbang, atau pertengahan”. Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dikembangkan oleh ilmu ekonomi konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya, mazhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang berlangsung, digali, dan dideduksi dari Al-Quran dan Assunah.

Sementara itu, mazhab Mainstream (mazhab kedua) berbeda pendapat dengan mazhab Baqir. Mazhab ini justru setuju bahwa masalah ekonomi terjadi karena sumber daya yang terbatas yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas. Memang benar misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran suatu barang di seluruh dunia berada pada titik equilibrium. Namun jika berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat mungkin terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang seringkali terjadi. Dalil yang dipakai adalah Al-Quran 2 : 155 dan 102 : 1-5. Dengan demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional. Kelangkaan sumber daya-lah yang menjadi munculnya masalah ekonomi. Bila demikian, di manakah letak perbedaan mazhab Mainstream ini dengan ekonomi konvensional?

Perbedaannya terletak dalam cara menyelesaikan masalah tersebut. Dilema sumber daya yang terbatas versus keinginan yang tak terbatas memaksa manusia melakukan pilihan-pilihan atas keinginanya. Kemudian manusia membuat skala prioritas pemenuhan keinginan, dari yang paling penting sampai yang paling tidak penting. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing. Manusia boleh mempertimbangkan tuntunan agama, boleh mengabaikannya. Hal demikian dalam bahasa Al-Quran disebut “pilihan dilakukan dengan mempertaruhkan hawa nafsunya”.

Tetapi dalam ekonomi Islam, keputusan pilihan ini tidak dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia dalam setiap aspek kehidupannya termasuk ekonomi selalu dipandu oleh Allah lewat Al-Quran dan Sunnah. Tokoh-tokoh mazhab ini di antaranya M. Umer Chapra, M.A., Mannan M. Nejatullah Siddiqi dan lain-lain

Mazhab ketiga adalah mazhab Alternatif-Kritis. Mazhab yang di antara pelopornya adalah Timur Kuran dan Jemo ini mengkritik dua mazhab sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah ditemukan oleh orang lain. Sementara mazhab Mainstream dikritik sebagai jiplakan dari ekonomi neo-klasik dengan menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta niat.

Mazhab ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga kepada ekonomi Islam itu sendiri. Mereka yakin Islam pasti benar, tetapi ekonomi Islam belum tentu benar karena ekonomi Islam adalah hasil penafsiran orang Islam atas Al-Quran dan Assunah, sehingga nilai kebenarannya tidak mutlak. Proporsi dari teori yang diajukan oleh ekonomi Islam harus diuji kebenarannya sebagaimana yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional.

Dimensi Aksiologis


Persoalan yang mendasar dari kemunculan dan berkembang pesatnya sejumlah lembaga ekonomi Islam di seluruh dunia termasuk di Indonesia adalah terletak pada masih lemahnya sumber daya manusia yang dimiliki oleh dunia Islam.

Sebagus apapun sistem ekonomi Islam itu dibangun, tetap tidak akan berarti apa-apa apabila tidak didukung oleh tersedianya sumber daya manusia yang terampil dan handal (profesional).
© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design