Filsafat Ekonomi Aristoteles : Integrasi Urusan Ekonomi dan Etika

Filsafat Ekonomi Aristoteles : Integrasi Urusan Ekonomi dan Etika 
Oleh: Mh. Nurul Huda

Masalah ekonomi hadir seiring dengan keberadaan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Kebutuhan akan makanan dan minuman, berpakaian, bertempat tinggal dan hidup dengan layak mendorong manusia melakukan tindakan ekonomi. Bercocok tanam, bertani, berburu, menebang pohon, kerajinan tangan, berdagang, dan seterusnya. Dengan kegiatan ekonomi juga manusia sebenarnya mengekspresikan sosialitasnya; dan melalui tindakan ekonomi, melalui pertukaran kata Aristoteles dalam Nechomacean Ethics, manusia berinteraksi dan membentuk suatu komunitas.
Seiring dengan perkembangan peradaban, kebutuhan manusia semakin meningkat demikian juga cara dan sarana pemenuhan kebutuhan itu makin beragam. Industrialisasi, perdagangan antar negara, dan kegiatan bisnis lainnya kini semakin merebak dan bahkan mengancam keberadaan komunitas. Tindakan ekonomi tidak lagi menunjukkan karakter sosialitas manusia dan tanggung jawabnya terhadap “yang sosial” itu, tapi malahan sebaliknya mengancam, melemahkan dan menghancurkannya. Inilah keprihatinan utama kehidupan ekonomi sekarang ini.
Tapi jangan lupa 2500 tahun yang lalu seorang filsuf Yunani telah merefleksikan masalah ekonomi semacam itu. Aristoteles mengecam sistem dan tindakan ekonomi yang tidak wajar, tidak adil dan tidak sah, karena merugikan dan merusak kehidupan bersama masyarakat negara kota (polis). Dalam pandangan Aristoteles, kegiatan perekonomian terikat dengan sebuah etika, yakni “etika polis”.
Dalam refleksi ini, penulis akan membahas pemikiran ekonomi sang filsuf Yunani ini. Pertama-tama akan dipaparkan terlebih dulu hakikat negara sebagai komunitas etis dalam pandangan Aristoteles (1). Kemudian akan dibahas bagaimana aktifitas ekonomi sebagai bagian dari kegiatan dalam negara polis (2), serta pandangan dan teori-teori ekonomi menurut Aristoteles (3). Dan di akhir tulisan ini, penulis akan mengemukakan sejumlah penilaian kritis.

1. Negara dan Etika Politik
Dalam pemikiran politiknya, Aristoteles menempatkan “polis” atau negara kota sebagai institusi sosial yang sangat sentral. “Polis” adalah komunitas etis yang ditata dan diorganisasikan secara politis dengan sejumlah regulasi dan perundang-undangan yang diperuntukkan untuk suatu tujuan kehidupan bersama yang baik, Summum bonum, dan berkeadilan. Dalam komunitas inilah manusia bisa merealisasikan hidupnya sebagai makhluk yang hidup berkelompok, bios politicos, sekaligus juga agar bisa mewujudkan kehidupan yang baik. Memang ada bentuk komunitas yang lain, seperti rumah tangga dan asosiasi desa, namun demikian hanya dalam negaralah sebagai komunitas final dan tertinggi, menurut Aristoteles, bisa dicapai kehidupan yang paling baik itu. Aristoteles menulis, “every state is community of some kind… the state or political community, which is the highest of all, and which embrace all the rest, aims at good in a greater degree than any other, and at the highest good”. (setiap negara adalah komunitas dari beberapa kelompok… negara atau komunitas politik yang merupakan bentuk komunitas tertinggi dan mencakup seluruh komunitas lainnnya, bertujuan untuk mencapai kebaikan yang paling puncak dan tertinggi).
Dengan demikian terbentuknya negara bukan hanya untuk menjamin keamanan warga atau membuat perjanjian komersial, melainkan mengatur kehidupan publik agar bisa berpartisipasi mewujudkan kebaikan bersama. Negara ada bukan untuk tujuan pada dirinya sendiri atau untuk sebagian orang atau kelompok dinasti tertentu, melainkan untuk semua warganegara agar menjalani kehidupan dalam kebajikan dan mutu yang paling baik. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan warganegara pun harus tunduk dan diarahkan semata-mata untuk kebaikan semua, yakni kebaikan “polis”. Aristoteles menegaskan, “The state is by nature clearly prior to the family and to the individual, since the whole is of necessity prior to the part” (Pada dasarnya negara secara alamiah lebih utama daripada keluarga dan individu, karena yang keseluruhan itu juga lebih utama dari bagian-bagiannya).
Menurut Aristoteles, kebaikan bersama dapat dicapai dalam sebuah negara bila dipimpin oleh seorang negarawan yang bebas dan memiliki waktu luang untuk mengurus negara. Seorang negarawan bukanlah orang yang disibukkan dengan aktifitas kerja rumah tangga, seperti bekerja, berdagang, bercocok tanam atau berbisnis lain, karena aktifitas-aktifitas semacam itu pasti mengganggu urusan-urusan kenegaraan. Bukan hanya itu, menurut Aristoteles, pekerjaan kasar semacam itu tidak akan memungkinkan seseorang menjadi negarawan yang baik. Agar sang pemimpin bisa berkonsentrasi penuh mengatur kehidupan negara, maka sebaiknya urusan perekonomian tersebut diserahkan kepada para pembantu dan budak saja.
2. Aktifitas Ekonomi sebagai Masalah Etika
Dalam karya-karyanya, sebenarnya Aristoteles tidak membahas persoalan-persoalan ekonomi secara luas dan mendetail. Pemikiran ekonomi Aristoteles ini paling-paling hanya bisa ditemukan dalam Politics terutama pada buku 1, dan pada buku 5 dari karyanya yang berjudul Nicomachean Ethics. Lagi pula gagasan-gagasan ekonominya lebih merupakan bagian dari pembahasan komprehensifnya mengenai teori politik (negara), ketimbang sebagai pemikiran filosofis yang mandiri atau bidang refleksi yang tersendiri. Tegasnya, ia lebih pantas disebut sebagai uraian mengenai pemikiran sosiologi politik daripada pembahasan panjang mengenai sosiologi ekonomi atau ilmu ekonomi yang bersifat teknis Sebagai bagian dari filsafat kenegaraan, masalah-masalah ekonomi terkait dengan kehidupan warga dalam masyarakat polis, yakni bagaimana mewujudkan kehidupan yang baik dan bermutu.
Bagi Aristiteles, negara ideal itu bisa dicapai, jika negara polis memiliki sarana, syarat-syarat, aturan atau konstitusi yang memungkinkan suatu “polis” dapat dikelola secara baik dan mendatangkan kebahagiaan bagi semua anggotanya. Syarat penting bagi eksistensi negara kota tersebut adalah tersedianya harta benda untuk memenuhi semua kebutuhan hidup warga. Namun demikian, bukan berarti pemenuhan kebutuhan ekonomi warga ini ditangani langsung oleh negara atau aparatur negara, tidak juga oleh warganegara yang bebas. Sebaliknya, urusan ekonomi ini ditangani dalam lingkup tanggung jawab rumah tangga, sedangkan pengelolaannya diserahkan kepada para pembantu dan budak. Aristoteles menulis: “Property is a part of the household, and the art of acquiring property is a part of the art of managing the household; for no man can live well, or indeed live at all, unless he be provided with necessary”. (Harta benda adalah bagian dari rumah tangga, dan cara memperolehnya juga adalah bagian dari cara mengelola rumah tangga; karena orang tidak bisa hidup dengan baik, bahkan orang tidak bisa sekadar hidup saja, kecuali ada harta benda).
Aristoteles mencermati dengan jelas bahwa rumah tangga memenuhi kebutuhan hidupnya melalui pertanian, berburu, memancing dan membuat kerajinan seperti menenun dan memintal. Rumah tangga juga harus menghasilkan surplus yang cukup untuk memperoleh kebutuhan sehari-hari mereka. Tapi menurut Aristoteles tidak mungkin warganegara yang bebas melakukan pekerjaan-pekerjaan itu karena niscaya mereka tidak akan memiliki waktu luang untuk mengelola polis dan memikirkan kebaikan semua warga kota. Oleh karena itu, Aristoteles mengusulkan agar warganegara harus memiliki instrumen untuk mengelola rumah tangganya. Ada dua instrumen yang disebut Aristoteles.
Pertama, instrumen produktif, yakni mekanisme untuk memproduksi hasil atau tujuan-tujuan di luar pekerjaan (saya kira ini terkait dengan seni pemerolehan kekayaan); dan kedua, instrumen tindakan yakni pelayan dan budak yang keberadaan memungkinkan hidup yang baik dengan melayani tuannya. Keduanya dibutuhkan dalam pengelolaan rumah tangga.
Karena pengelolan rumah tangga menjadi bagian dari upaya menciptakan kebaikan publik, maka Aristoteles lalu mencoba membuat pemilahan mengenai praktek-praktek ekonomi macam apa yang mendukung bagi kebaikan negara kota (polis) sehingga dipandang sebagai kegiatan yang absah dan natural, dan mana yang tidak mendukung kebaikan.
Jenis kegiatan ekonomi yang absah adalah usaha-usaha yang dilakukan untuk sekadar memenuhi nafkah hidup sehari-hari dengan syarat kecukupan alamiah, yakni dalam rangka menjamin adanya persediaan barang-barang yang dapat disimpan dan yang diperlukan untuk kehidupan dan bermanfaat bagi polis atau rumah tangga. Bertani, berburu, memancing, menenun, memintal, dan sebagainya adalah cara pemerolehan yang sah karena harta benda atau kekayaan yang dihasilkan dari pekerjaan itu diperoleh secara alamiah, disediakan alam untuk kebutuhan sehari-hari manusia. Ia tetap absah, menurut Aristoteles, sepanjang dilakukan tidak untuk mengejar keuntungan semata-mata atau untuk mengejar harta secara tak terbatas.
Hal ini juga berlaku dalam mekanisme pertukaran yang dilakukan antar asosiasi (rumah tangga). Dalam pertukaran (disini Aristoteles telah membuat distingsi penting tentang nilai guna dan nilai tukar barang), orang-orang yang memiliki sejumlah barang yang berbeda-beda saling melakukan pertukaran untuk memenuhi kebutuhan yang muncul melalui barter. Misalnya gandum ditukar dengan sepatu, sejumlah polpen ditukar dengan buku, bangunan rumah ditukar dengan sebidang tanah, dan seterusnya. Pertukaran semacam ini perbolehkan karena memenuhi syarat-syarat kecukupan alamiah itu dan “not contrary to nature”.
Dalam kaitan ini pula, Aristoteles dalam Nicomachean Ethics menekankan suatu pertukaran yang seimbang dan adil. Yakni pertukaran yang proporsional antar barang-barang dimana ia dapat diperbandingkan antar satu sama lain. Ada ekuivalesi antara apa yang diterima dan yang diberikan. Untuk kebutuhan pertukaran inilah Aristoteles memperkenalkan munculnya “mata uang” yang secara natural dipakai sebagai perbandingan. “Money, then acting as a measure”, tulis Aristoteles. Yakni untuk mengukur keseimbangan maupun kekurangan dan kelebihannya satu sama lain, dan sekaligus juga menyeimbangkan antar barang-barang itu.
Pada tahap ini, Aristoteles tidak mempersoalkan mata uang sebagai alat pertukaran yang bersifat alamiah. Namun samar-samar ia mulai khawatir juga ketika uang sudah mulai dilembagakan. Dalam sistem pertukaran tersebut ada tendensi yang berkembang yang menurut Aristoteles menjadi tidak alamiah lagi. Yakni kecenderungan transaksi yang semata-mata untuk mengejar uang belaka. Tendensi ini terus berkembang sehingga pertukaran dan perdagangan menjadi bisnis yang ditujukan untuk mengakumulasi uang. Uang ditukarkan dengan barang-barang, lalu barang-barang ini ditukar lagi untuk memperoleh uang yang lebih banyak. “Seolah-olah uang adalah tujuan orang dan segala yang lain harus mendukung tujuan itu”.
Kecenderungan itulah yang mendorong Aristoteles mengecam cara-cara “riba” (usury) sebagai cara pemerolehan penghasilan yang tidak adil. Yakni sebuah transaksi pertukaran yang dimaksudkan untuk memperbesar modal/uang malalui sistem bunga. Demikian juga menopoli perdagangan yang dilakukan untuk meraih keuntungan pribadi sebesar-sebesarnya.
Riba dan monopoli adalah cara pemerolehan yang tidak sah dan tidak alamiah (unnatural), karena ditujukan untuk suatu jumlah kekayaan yang tidak terbatas dan diperoleh dengan cara mengorbankan orang lain. Padahal, bagi Aristoteles, ada batas-batas kepemilikan harta benda yang diperlukan bagi rumah tangga masyarakat kota agar bisa mencapai “happiness”, “good life” dan kesejahteraan bersama.
3. Beberapa Teori Ekonomi Aristoteles
Sebagaimana disinggung dalam bagian 2 di atas, sesungguhnya perhatian utama Aristoteles tercurah pada pembahasan tentang ekonomi “natural” dan “berkeadilan” yang menjadi kegiatan ideal kehidupan yang baik dan berkeutamaan dari warganegara. Oleh karena itu analisis ekonominya lebih memusatkan diri pada kecenderungan-kecenderungan subyektif sang pelaku ekonomi sendiri, yakni kebutuhan dan pemuasan atas kebutuhan itu.
Menurut Aristoteles, kebutuhan manusia (man’s need) tidak terlalu banyak, tetapi keinginannya (man’s desire) yang relatif tak terbatas. Kegiatan produksi yang semata-mata untuk memenuhi hasrat manusia yang tanpa batas dikecamnya sebagai tidak adil (unnatural).oeconomia dan chrematistike. Yang pertama adalah kegiatan mencukupi kebutuhan sehari-hari rumah tangga, dan yang kedua adalah usaha untuk memperoleh keuntungan sifatnya, misalnya perdagangan yang didorong oleh morif keuntungan sebesar-besanya. Aristoteles mencela yang kedua dan memuji yang pertama. Demikian juga ia membedakan antara “use” (kegunaan) dan “gain” (keuntungan) serta antara
Dari analisis ekonomi ini setidaknya ada beberapa gagasan utama Aristoteles yang pada dasarnya menjadi semacam embrio dari pemikiran ekonomi dewasa ini. Adam Smith, misalnya, mengambil banyak insight dari pemikiran-pemikiran ini.
Pertama, teori tentang nilai. Aristoteles telah membuat pembedaan antara nilai guna dan nilai tukar barang. Bahwa nilai tukar barang dihasilkan dari nilai gunanya. Sayangnya, Aristoteles tidak sampai membuat perumusan mengenai “nilai harga” yang baru dikembangkan oleh pengikutnya kemudian, karena ia dihadapkan oleh problem keadilan dalam penetapan harga itu, yakni keadilan komutatifnya. Dalam hal ini Aristoteles mengecam monopoli pasar oleh satu orang karena merupakan cara bertransaksi yang tidak adil. Namun demikian secara bersamaan sesungguhnya Aristoteles telah berusaha mencari hukum keadilan dalam penetapan harga.
Keadilan itu terletak pada tercapainya prinsip “keseimbangan” (equivalence) antara apa yang diberikan dan apa yang diterima. Dan dengan adanya uang sebagai medium pertukaran, keseimbangan dalam penetapan harga maupun dalam pertukatan sesungguhnya bisa menjadi ukuran bagi hukum keadilan.
Secara logis bila praktek monopoli yang dalam definisi Aristoteles sebagai dominasi penjual/pembeli tunggal (a single seller) dalam pasar dianggap tercela dan tidak adil, maka sebaliknya Aristoteles akan bisa menerima praktek transaksi pertukaran yang dilakukan dalam pasar kompetitif, di mana individu-individu bisa terlibat dalam mekanisme tersebut, tanpa ada seorangpun yang bisa dengan semaunya merubah harga.
Kedua, teori tentang uang. Bagi Aristoteles, uang adalah medium pertukaran (a medium of exchange) sekaligus juga bisa dipakai untuk mengukur nilai barang (a measure of value). Keberadaan uang sebenarnya digunakan untuk menggantikan sistem barter (pertukaran barang dengan barang), bila barter tidak dimungkinkan karena barang yang kita harapkan tidak ada dan karenanya kita memerlukan barang lain untuk kita pertukarkan dalam proses barter selanjutnya (indirect barter). Dan biasanya “uang” yang dijadikan alat pertukaran memiliki nilai yang relatif stabil dan mudah dibawa.
Ketiga, tentang bunga. Aristoteles mengutuk “bunga” yang ada dalam sistem riba. Ia menolak sistem riba atau transaksi pertukaran yang bermaksud semata-mata memperanakpinakkan uang untuk memperbesar modal/uang.
Keempat, Aristoteles membuat pembedaan tiga jenis keadilan: keadilan distributive, keadilan korektif dan keadilan komutatif. Keadilan distributife menyangkut distribusi barang, termasuk kekuasaan politik dan hak milik diantara anggota masyarakat sesuai dengan prinsip sumbangan atau jasa setiap orang. Keadilan korektif adalah bentuk keadilan yang berfungsi untuk melindungi individu dari kemungkian kerugian yang tidak semestinya baik dalam transaksi yang dikehendaki maupun yang tidak dikehendaki. Keadilan jenis ini biasanya terwujud dalam undang-undang yang memberi kompensasi atau ganti rugi bagi pihak yang dirugikan dalam transaksi dan hukuman bagi yang merugikan. Prinsip yang mau ditegakkan adalah kesamaan kedudukan setiap orang dan masing-masing orang tidak boleh merugikan yang lain. Sementara keadilan komutatif adalah keadilan bagi masing-masing pihak untuk menerima sesuatu yang baik dan menguntungkan secara timbal balik.
Dalam karyanya Nicomachean Ethics, Aristoteles memandang keadilan sebagai keutamaan. Kehidupan yang baik akan tercapai bila prinsip-prinsip keadilan dilaksanakan. Namun demikian, keadilan bagi Aristoteles tidak selalu merupakan kesamaan, karena ada juga ketidaksamaan yang justeru mencerminkan rasa keadilan.<!--[if !supportFootnotes]-->[18]<!--[endif]-->
4. Penilaian Kritis
Setelah diuraikan panjang lebar mengenai aspek-aspek pemikiran ekonomi Aristoteles di atas, penulis ingin memberikan sejumlah penilaian kritis terhadap gagasan Aristoteles. Ada kelebihan dan kekurangan dalam gagasan Aristoteles ini yang akan segera diuraikan.
Pertama, tampak sekali bahwa Aristoteles sesungguhnya meletakkan persoalan ekonomi sebagai bagian dari refleksinya terhadap persoalan-persoalan kenegaraan. Negara polis yang dibayangkan Aristoteles adalah komunitas etis yang keberadaannya semata-mata untuk merealisasikan kebaikan bersama. Dan dengan demikian pula pengelolaan ekonomi (sebagai bagian dari persoalan kenegaraan) juga harus tunduk pada tujuan-tujuan masyarakat dalam negara kota yakni untuk mewujudkan kebaikan bersama itu. Kebaikan bersama atau “happiness” ini dalam permikiran ekonomi Aristoteles dicapai bila tiap orang memenuhi kebutuhan dasar hidup secukupnya dan melakukan transaksi ekonomi secara wajar dan adil. Artinya secara moral kegiatan ekonomi ini tidak boleh menyebabkan penderitaan dan kerugian bagi orang lain. Kita juga harus memperlakukan orang lain secara fair dan menghargai hak-haknya, juga menghormati hokum negara sebagai institusi yang menjamin kebaikan bersama bagi seluruh masyarakat.
Gagasan besar inilah yang kini sangat relevan dengan pemikiran baru dewasa ini, sebagaimana yang diserukan Leon Walras, mengenai perlunya sistem ekonomi sosial menggantikan sistem liberalisme pasar yang telah mengingkari tanggung jawab individu terhadap keutamaan kebaikan bersama
Kedua, pandangan antropologis Aristoteles yang menekankan karakter sosialitas manusia pada dasarnya ikut memberikan pertimbangan mengenai “social dimension” dalam pemikiran dan analisis ekonomi. Konsekuensi dari keyakinan ini adalah keutamaan keseluruhan atau komunitas berada di atas keutamaan individu. Individu bermakna sejauh sejauh mendukung kepentingan komunitas. Analisis ekonomi yang memperhatikan aspek sosialitas manusia dan relasi harmoni dalam kehidupan bersama menjadi aspek penting dari sistem ekonomi sosial di atas.
Ketiga, penulis melihat ada kecenderungan Aristoteles untuk tidak menganggap serius dan penting persoalan ekonomi karena ternyata menejemen pengelolaannya harus diserahkan kepada pelayan dan para budak. Mungkin niat Aristoteles baik yakni agar para penguasa dan warganegara tidak begitu disibukkan oleh urusan teknis menejemen sehingga bisa berkonsentrasi penuh mewujudkan kebaikan negara. Tetapi samar-samar bisa dicurigai bahwa sebenarnya Aristoteles menganggap pekerjaan kasar dan kerajinan yang merupakan urusan menejemen rumah tangga itu adalah sesuatu yang hina, tidak berkualitas, dan tidak bermartabat bila dibandingkan dengan aktifitas dalam polis.
Dengan gradasi antara keutamaan politik dan keutamaan ekonomi, dimana masalah ekonomi adalah subordinatif terhadap masalah politik, meski tampak sekali seruan Aristoteles bahwa persoalan ekonomi mesti tunduk pada keutamaan politik, Aristoteles tidak melihat bahaya ketika ekonomi justeru lepas dari tanggung jawab politik dan tirani ekonomi justeru lebih mematikan daripada tirani politik. []
DAFTAR KEPUSTAKAAN:
Aristoteles, Nicomachean Ethics, (terjemahan versi Inggris oleh H. Rackham, MA), London: William Heinemann LTD, 1968
Aristoteles, Politics, (terjemahan versi Inggris oleh Benjamin Jowett), New York: The Modern Library, 1943.
Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta: Rajawali Press.
Keraf, A. Sonny, “Ketidaksamaan yang Adil, Etika Politik Aristoteles” dalam majalah Atma nan Jaya, edisi April, 1993.
Schumpeter, Joseph, A History of Economic Analysis, Oxford: University Press, 1954
Lutz, Mark A, Economics for the Common Good. Two Centuries of Social Economic Thought in the Humanistic Tradition, London & New York: Routledge, 1999

<!--[endif]-->
Lihat, Politics, Buku I bagian 1 (terjemahan versi Inggris oleh Benjamin Jowett), New York: The Modern Library, 1943..
Lihat, Politics, buku I bagian 1. Lihat juga, Nicomachean Ethics, buku I bagian 1 dan 2, (terjemahan versi Inggris oleh H. Rackham, MA), London: William Heinemann LTD, 1968. Aristoteles menegaskan bahwa tujuan segala sesuatu adalah kebaikan. Dan tujuan dalam politik adalah demi kebaikan manusia (Good of man). Good is the same for the individual and for the state, nevertheless the good of the state is manifestly a greater dan more perfect good, both to attain and to preserve. (bagian 2).
Lihat komentar Joseph Schumpeter, A History of Economic Analysis, Oxford: University Press, 1954, hal. 58.
Lihat, Politics, Buku I bagian 4.
Di sinilah saya kira salah satu alasan mengapa Aristoteles mendukung kepemilikan pribadi, yakni untuk memenuhi keperluan nafkah hidup sehari-hari agar bisa menjalankan tugasnya mengatur polis dan juga warganegara dapat bertindak demi kebaikan kota. Dalam Buku II bagian 5, Aristoteles setidaknya membedakan tiga cara yang mungkin untuk mengatur pemilikan pertanian dan penggunaan hasilnya. Pertama, tanah dimiliki secara terpisah tapi penggunaan produksinya untuk konsumsi bersama. Kedua, tanah dimiliki dan pengolahanya dilakukan secara bersama tapi produksinya dibagikan kepada individu-individu secara probadi, dan ketiga, tanah dan penggunaanya dipakai secara bersama-sama. Namun pada akhirnya ia menegaskan: “It is clearly better that property should be private, but the use of it common, and the special business of the legislator is to create in men this benevolent disposition”.
Lihat, Politics, Buku I Bagian 4.
 “Of the art of acquisition then there is one kind which by nature is part of the management of house hold, in so far as the art of household management must either find ready to hand, or it self provide, such things necessary to life, and useful for the community of the family or state, as can be stored.”. Lihat, Politics, buku I bagian 8.
Lihat, Nicomachean Ethics, buku I bagian V, (terjemahan versi Inggris oleh H. Rackham, MA), London: William Heinemann LTD, 1968.
Lihat, Politics, buku I bagian 9.
Lihat, Politics, buku I bagian 10.
Lihat, Politics, buku I bagian 11.
Lihat, Josep Schumpeter, Op.cit,, 60.
Lihat, Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Jakarta: Rajawali Press, 2003, hal. 15.
Lihat, Joseph Schumpeter, Op.cit. hal. 60-65
Lihat, Politics, buku I bagian 11.
Lihat Politics, Buku I bagian 10.
Lihat Nicomachean Ethics, buku V bagian 1-4.
Penjelasan sangat ekstensif mengenai ketidaksamaan yang adil menurut Aristoteles ini, Lihat, A. Sonny Keraf, “Ketidaksamaan yang Adil, Etika Politik Aristoteles” dalam majalah Atma nan Jaya, edisi April, 1993. hal. 31-49.
Lihat, Mark A Lutz, Economics for the Common Good. Two Centuries of Social Economic Thought in the Humanistic Tradition, London & New York: Routledge, 1999. .(Sumber :http://www.blogger.com) 


Sunday, May 15, 2005



Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design