Dalam
perjalanannya, problem yang dihadapi oleh manusia makin kompleks, sehingga
membutuhkan jawaban yang kompleks pula. Jawaban yang diberikan terhadap suatu
problem tidak selalu dapat tuntas, bahkan kadang-kadang hanya sebagian kecil darinya
yang terjawab dengan baik. Karena latar belakang yang berbeda-beda, baik
dilihat dari manusianya maupun tantangan atau problemnya, maka berakibat juga
pada beragamnya bagaimana suatu jawaban diberikan.
Oleh karena itu, suatu problem yang sama, karena dilihat dari berbagai sudut dan arah, menimbulkan jawaban yang berbeda. Timbullah bermacam-macam aliran dalam filsafat.
Oleh karena itu, suatu problem yang sama, karena dilihat dari berbagai sudut dan arah, menimbulkan jawaban yang berbeda. Timbullah bermacam-macam aliran dalam filsafat.
Manusia memegang peranan yang penting dalam munculnya aliran-aliran dalam filsafat. Pada hakikatnya, karena ia mempunyai unsur kejiwaan, yaitu cipta, rasa dan karsa, maka setiap orang dapat menghasilkan filsafatnya sendiri. Namun pada sisi yang lain, kenyataan menunjukkan bahwa hanya orang-orang tertentu yang dapat mengemukakan pendapat serta ajaran yang bernilai filsafati. Hambatan-hambatan yang ditimbulkan oleh kata dan susunan kalimat dalam suatu bahasa seringkali memaksa seorang filsuf untuk menyusun kalimat atau rangkaian kata baru semata-mata untuk bisa membuat representasi yang mendekati apa yang terkandung dalam pikirannya. Oleh karena filsafat merupakan hasil permenungan jiwa manusia yang terdalam, maka corak (sifat, khas) dalam tiap-tiap aliran tidak terlepas dari unsur-unsur yang menyusun manusia itu sendiri.
- Corak
yang sesuai dengan unsur jiwa dan raga:
Manusia terdiri atas jiwa dan raga, karenanya filsafat ada yang menintikberatkan atau mengagungkan jiwa atau memberi tempat yang tinggi kepada jiwa atau unsur-unsur dalam. Aliran yang termasuk jenis ini antara lain adalah:
- Idealisme, yang memberi tempat tertinggi pada idea.
- Spiritualisme, yang memberi tempat tertinggi pada jiwa.
- Rasionalisme, yang memberi tempat tertinggi pada akal.
Sebaliknya, ada yang menempatkan unsur-unsur ragawi, unsur-unsur luar, sebagai yang tertinggi. TerSmasuk dalam aliran ini antara lain adalah:
- Materialisme, yang memberi tempat tertinggi pada materi.
- Empirisme, yang memberi tempat tertinggi pada pengalaman.
- Sensisme, yang memberi tempat tertinggi pada panca indera.
- Corak
yang sesuai dengan sifat individu dan sosial:
Manusia memiliki sifat individu dan sosial, karena itu pengejawantahan dari sifat ini terlihat pula dalam corak aliran filsafat. Ada yang mengagungkan sifat individunya. Aliran yang termausk jenis ini antara lain adalah:
- Individualisme, yang memberi tempat tertinggi pada individu.
- Liberalisme, yang mengagungkan hak mutlak setiap individu.
Sebaliknya, ada yang mengagungkan sifat sosialnya. Termasuk dalam aliran ini
adalah:
- Altruisme, yang mengutamakan kepentingan orang lain semata-mata.
- Sosialisme, yang mengutamakan kepentigan sosial lebih dari kepentingan individu.
- Corak yang menyangkut
hubungan manusia dengan "Yang Mahakuasa":
Dalam hal ini, aliran di dalam filsafat ada yang bercorak teistik, ada pula yang ateistik. Misalnya, Tomisme memberi tempat yang tinggi kepada Tuhan, sedangkan Positivisme menolak teologi. - Corak
perpaduan:
Karena ada aliran kefilsafatan yang menekankan atau mengagungkan salah satu unsur, maka terjadi jurang pemisah antara keduanya. Karena ada jurang pemisah itu, timbullah usaha untuk menghubungkan kedua sisinya yaitu dengan membuat jembatan. Beberapa contoh di antaranya adalah: - Immanuel Kant (lahir 1724 di Koningsbergen) berusaha menjembatani antara Rasionalisme dan Empirisme.
- G.W.F. Hegel (lahir 1770 di Stuttgart) membuat jembatan antara pendapat Fichte dengan pendapat Friedrich
Yoseph Schelling.
Sistem fichte adalah idealisme subjektif, sedang Schelling adalah idealisme objektif. Jembatan yang dibuat oleh Hegel adalah idealisme absolut. Inilah bentuk metode dialektik Hegel yaitu Tesis-Antitesis-Sintesis. Karena Sintesis pada hakikatnya adalah suatu Tesis Baru, maka dari padanya akan timbul Antitesis baru, demikian pula akan timbul Sintesis Baru, dan seterusnya.
Pada bagian kali ini, kami akan mengangkat
satu aliran filsafat yang sangat berpengaruh di Barat pada abad kedua puluh,
terutama setelah selesainya Perang Dunia Kedua. Ialah
"Eksistensialisme". Pembahasan berikut ini akan menjadi model
pembahasan bagi aliran-aliran filsafat lainnya; di mana kami secara rutin akan
menambahkan materi-materi baru dalam bagian ini, sehingga, mudah-mudahan,
seluruh aliran filsafat, utamanya aliran-aliran yang besar, mendapat kesempatan
untuk disajikan ke hadapan pembaca.
Eksistensialisme
Dalam filsafat dibedakan antara esensia dan eksistensia. Esensia membuat
benda, tumbuhan, binatang dan manusia. Oleh esensia, sosok dari segala yang ada
mendapatkan bentuknya. Oleh esensia, kursi menjadi kursi. Pohon mangga menjadi
pohon mangga. Harimau menjadi harimau. Manusia menjadi manusia. Namun, dengan
esensia saja, segala yang ada belum tentu berada. Kita dapat membayangkan
kursi, pohon mangga, harimau, atau manusia. Namun, belum pasti apakah semua itu
sungguh ada, sungguh tampil, sungguh hadir. Di sinilah peran eksistensia.
Eksistensia membuat yang ada dan bersosok jelas
bentuknya, mampu berada, eksis. Oleh eksistensia kursi dapat berada di tempat.
Pohon mangga dapat tertanam, tumbuh, berkembang. Harimau dapat hidup dan
merajai hutan. Manusia dapat hidup, bekerja, berbakti, dan membentuk kelompok
bersama manusia lain. Selama masih bereksistensia, segala yang ada dapat ada,
hidup, tampil, hadir. Namun, ketika eksistensia meninggalkannya, segala yang
ada menjadi tidak ada, tidak hidup, tidak tampil, tidak hadir. Kursi lenyap.
Pohon mangga menjadi kayu mangga. Harimau menjadi bangkai. Manusia mati.
Demikianlah penting peranan eksistensia. Olehnya, segalanya dapat nyata ada,
hidup, tampil, dan berperan. Adapun tanpa eksistensia, segala sesuatu tidak
nyata ada, apalagi hidup dan berperan.
Eksistensialisme
adalah aliran filsafat yang menekankan eksistensia. Para pengamat
eksistensialisme tidak mempersoalkan esensia dari segala yang ada. Karena
memang sudah ada dan tak ada persoalan. Kursi adalah kursi. Pohon mangga adalah
pohon mangga. Harimau adalah harimau. Manusia adalah manusia. Namun, mereka
mempersoalkan bagaimana segala yang ada berada dan untuk apa berada. Oleh
karena itu, mereka menyibukkan diri dengan pemikiran tentang eksistensia.
Dengan mencari cara berada dan eksis yang sesuai, esensia pun akan ikut
terpengaruhi. Dengan pengolahan eksistensia secara tepat, segala yang ada bukan
hanya berada, tetapi berada dalam keadaan optima. Untuk manusia, ini berarti
bahwa dia tidak sekadar berada dan eksis, tetapi berada dan eksis dalam kondisi
ideal sesuai dengan kemungkinaan yang dapat dicapai. Dalam kerangka pemikiran
itu, menurut kaum eksistensialis, hidup ini terbuka. Nilai hidup yang paling
tinggi adalah kemerdekaan. Dengan kemerdekaan itu, keterbukaan hidup dapat
ditanggapi secara baik. Segala sesuatu yang menghambat, mengurangi, atau
meniadakan kemerdekaan harus dilawan. Tata tertib, peraturan, hukum harus
disesuaikan atau, bila perlu, dihapus dan ditiadakan. Karena adanya tata
tertib, peraturan, hukum dengan sendirinya sudah tak sesuai dengan hidup yang
terbuka dan hakikat kemerdekaan. Semua itu membuat orang terlalu melihat ke
belakang dan mengaburkan masa depan, sekaligus membuat praktik kemerdekaan
menjadi tidak leluasa lagi.
Dalam
hal etika, karena hidup ini terbuka, kaum eksistensialis memegang kemerdekaan
sebagai norma. Bagi mereka, manusia mampu menjadi seoptima mungkin. Untuk
menyelesaikan proyek hidup itu, kemerdekaan mutlak diperlukan. Berdasarkan dan
atas norma kemerdekaan, mereka berbuat apa saja yang dianggap mendukung
penyelesaian proyek hidup. Sementara itu, segala tata tertib, peraturan, hukum
tidak menjadi bahan pertimbangan. Karena adanya saja sudah mengurangi
kemerdekaan dan isinya menghalangi pencapaian cita-cita proyek hidup. Sebagai
ganti tata-tertib, peraturan, dan hukum, mereka berpegang pada tanggung jawab
pribadi. Mereka tak mempedulikan segala peraturan dan hukum, dan tidak
mengambil pusing akan sanksi-sanksinya. Yang mereka pegang adalah tanggung
jawab pribadi dan siap menanggung segala konsekuensi yang datang dari
masyarakat, negara, atau lembaga agama. Satu-satunya hal yang diperhatikan
adalah situasi. Dalam menghadapi perkara untuk menyelesaikan proyek hidup dalam
situasi tertentu, pertanyaan pokok mereka adalah apa yang paling baik yang
menurut pertimbangan dan tanggung jawab pribadi seharusnya dilakukan dalam
situasi itu. Yang baik adalah yang baik menurut pertimbangan norma mereka,
bukan berdasarkan perkaranya dan norma masyarakat, negara, atau agama.
Segi
positif yang sekaligus merupakan kekuatan dan daya tarik etika eksistensialis
adalah pandangan tentang hidup, sikap dalam hidup, penghargaan atas peran
situasi, penglihatannya tentang masa depan. Berbeda dengan orang lain yang
berpikiran bahwa hidup ini sudah selesai, yang harus diterima seperti adanya,
dan tak perlu diubah, etika eksistensialis berpendapat bahwa hidup ini belum
selesai, tidak harus diterima sebagai adanya, dan dapat diubah, bahkan harus
diubah. Ini berlaku untuk hidup manusia sebagai pribadi, masyarakat, bangsa,
dan dunia seanteronya. Dalam arti itulah hidup dimengerti sebagai proyek. Orang
yang memandang hidup sebagai sudah selesai, mempunyai sikap pasrah dan
"menerima", sementara kaum eksistensialis yang memahami hidup sebagai
belum selesai mempunyai sikap berusaha dan berjuang. Hidup ini perlu dan harus
diperbaiki. Faktor penting untuk perbaikan hidup itu adalah tanggung jawab.
Setiap orang harus bertanggungjawab atas hidupnya dan dengan sungguh-sungguh
berupaya untuk mengembangkannya. Bagi orang yang merasa hidup sudah jadi,
situasi hidup menjadi sama saja. Tidak ada situasi penting, mendesak, atau
genting. Karena hidup selalu berjalan normal. Namun, bagi kaum eksistensialis
yang memahami hidup belum selesai, setiap situasi membawa akibat untuk kemajuan
kehidupan. Oleh karena itu, setiap situasi perlu dikendalikan, dimanfaatkan,
diarahkan sehingga menjadi keuntungan bagi kemajuan hidup. Akhirnya, bagi orang
yang menerima hidup sudah sampai titik dan puncak kesempurnaannya, masa depan
tidak amat berperan karena masa depan pun keadaannya akan sama saja dengan masa
yang ada sekarang. Namun, bagi kaum eksistensialis yang belum puas dengan hidup
yang ada dan yang merasa perlu untuk mengubahnya, masa depan merupakan faktor
yang penting. Karena hanya dengan adanya masa depan itu, perbaikan hidup
dimungkinkan dan pada masa depan pula hidup baik itu terwujud. Dengan demikian,
gaya hidup kaum eksistensialis menjadi serius, dinamis, penuh usaha, dan
optimis menuju ke masa depan.
Namun,
oleh pandangan-pandangan yang terkandung di dalam dirinya, segi-segi positif
etika eksistensialis itu menjadi berkurang positifnya. Kelemaham-kelemahan
etika eksistensialis dapat disebut beberapa. Pertama, etika eksistensialis
terperosok ke dalam pendirian yang individualistis. Dengan pendirian itu, di
bawah nama melaksanakan proyek hidup, bisa-bisa para pengikut aliran
eksistensialis hanya mencari dan mengejar kepentingan diri. Karena yang baik
ditentukan sendiri, bukan berdasarkan norma, maka yang dianggap baik bukanlah
kebaikan sejati, melainkan baik menurut dan bagi diri mereka sendiri. Cara memandang
kebaikan yang individualistis itu dapat merugikan sesama, masyarakat dan dunia.
Kedua,
dengan mengabaikan tata tertib, peraturan, hukum, kaum eksistensialis menjadi
manusia yang anti-sosial. Tidak dapat disangkal bahwa ada norma masyarakat yang
sudah usang. Namun, menyatakan segala norma tak berlaku sungguh melawan akal
sehat. Karena norma masyarakat merupakan hasil perjalanan pencarian yang tidak
begitu saja mudah ditiadakan. Jika tidak dapat dipergunakan sepenuhnya, paling
sedikit masih dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dan titik tolak
pencarian nilai hidup lebih lanjut. Kecuali itu, sikap para penganut aliran
eksistensialis yang asosial merugikan usaha perbaikan hidup dan dunia. Karena
usaha itu merupakan usaha raksasa sehingga tidak dapat diselesaikan secara
perorangan, melainkan harus digarap bersama seluruh masyarakat.
Ketiga,
dengan mengambil sikap bebas merdeka, kaum eksistensialis memandang kemerdekaan
sebagai tidak terbatas. Padahal, dalam hidup ini tidak ada kemerdekaan yang
tanpa batas. Karena dalam perwujudannya selalu akan dibatasi. Pembatasan itu
berasal dari si pelaksana sendiri dan masyarakat. Seberapa
"hebat"-nya manusia, tidak mungkinlah dia mampu mewujudkan
kemerdekaannya secara penuh. Pembatasan juga datang dari masyarakat. Selama
orang hidup dakam masyarakat, pelaksanaan kemerdekaan akan selalu dibatasi oleh
pelaksanaan kebebasan orang lain. Mau tidak mau, dalam hidup masyarakat orang
harus mau "memberi" dan "menerima", alias berkompromi.
Keempat,
kaum eksistensialis amat memperhitungkan situasi. Namun, situasi itu mudah
goyah. Kelemahan ini masih diperkuat oleh sikap individualistis yang dipegang
kaum eksistensialis. Bila orang bersandar pada situasi dan diri sendiri saja,
pandangannya menjadi terbatas, lingkup perbuatannya dipersempit, dan
pendiriannya rapuh. Begitulah, etika eksistensialis memiliki unsur-unsur
kebaikan yang positif. Namun, bila tak mengurangi dan melepaskan
kelemahan-kelemahannya, eksistensialisme akan melemahkan arti dan
sumbangan-sumbangannya yang memang berharga.
Nama
"eksistensialisme" memang hanya disenangi oleh Jean-Paul Sartre. Filsuf-filsuf lain dari aliran ini lebih senang disebut
"filsuf-eksistensi". Di antara mereka adalah S. Aabye Kierkegaard (1813-1855), Friedrich Nietzsche (1844-1900), Karl Jaspers (1883-1969), Martin Heidegger (1889-1976), Gabriel Marcel (1889-1973) dan M. Merleau-Ponty (1908-1961).
Beberapa dari mereka nanti akan dibahas secara khusus di bagian Filsuf, Hidup dan Karyanya
situs ini.
(sumber: http://www.filsafatkita.f2g.net)