Oleh Masdar F. Mas'udi
Ketua PBNU dan Direktur Perhimpunan Pengembangan
Pesantren dan Masayarakat (P3M) Jakarta.
Dewasa ini orang mulai menandai munculnya kembali geliat kebangkitan agama-agama. Yang dimaksud di sini tidak hanya Islam, juga yang lainnya. Di Barat, di Amerika, tercatat menguatnya neo-fundamentalisme Kristen. Juga di lingkungan Katolik.
Jemaat keagamaan terbesar di dunia ini, telah menobatkan
sebagai pemimpin tertingginya Paus Bennedictus XVI dari German yang juga sangat
kritis terhadap desakan sekularisme. Beliau adalah tokoh yang tegas-tegas
menolak tuntutan kaum liberal antara lain perihal peluang imam perempuan,
pengakuan atas perkawinan sejenis, penghapusan tradisi salibat (membujang), dan
legalisasi aborsi.
Tentu saja ini perkembangan yang menarik di abad 21
setelah lebih dua abad terakhir kita semua melewati masa-masa yang sangat
kritis bagi agama. Sekularisme yang tiba-tiba menjadi keyakinan global telah
menyangkal kuat makna agama dalam kehidupan, minimal memenjarakannya dalam
ranah kehidupan yang sunyi-sepi, kehidupan pribadi dengan yuridiksi sebatas
kelahiran, perkawinan dan kematian. Kehidupan sosial dan politik yang hingar
bingar di ruang publik harus disterilkan dari campur tangan agama. Alasannya
cukup masuk akal, bahwa telah terbukti dalam sejarah, selama sentimen keagamaan
dibiarkan memegang kendali kekuasaan politik, selama itu pula konflik dan
kekerasan yang berdarah-darah terus menghantui rakyatnya, atau tetangganya,
hanya karena tidak seiman dengan elit politik yang berkuasa.
Namun demikian, kita juga menyaksikan bahwa kekuasaan
ateis anti agama seperti Nazisme dan Komunisme ternyata tidak kalah kejam
dibanding kekuasaan agama-agama. Juga kekuasaan sekular yang hanya memakzulkan
agama dari wilayah publik, sekali pun tidak membenci dan memeranginya seperti
ateis, ternyata bukan pula kekuasaan yang bebas dari konflik dan kekerasan yang
picik. Perang untuk ekspansi modal ternyata tidak kalah kejamnya. Bahkan ada
dimensi kekerasan yang tidak kalah ganas, yakni kekerasan struktural dalam
wujud ketimpangan dan ketidak-adilan sosial antara yang lemah dan yang kuat,
antara yang kaya dan yang miskin-papa. Kekerasan jenis terakhir ini bahkan
belum pernah terjadi sepanjang sejarah umat manusia setajam yang terjadi dan
dilakukan oleh rejim kekuasaan sekular dewasa ini.
Maka, orang pun mulai berfikir, bahwa kekuasan agama
memang buruk, akan tetapi kekuasaan anti agama atau non-agama (sekular)
ternyata tidak kalah buruk. Yang lebih menarik lagi, bahwa dibanding dengan
ajaran filsafat dan ideologi apa pun, agama merupakan sistem ajaran yang paling
tahan lama. Sejalan dengan itu, kita menyaksikan bahwa tidak ada peradaban yang
bertahan dalam hitungan abad kecuali yang dibangun di atas sistem keyakinan
atau pandangan hidup agama. Tengoklah peradaban-peradaban besar dunia yang
telah berusia ribuan tahun; Peradaban Cina dengan Konfusionisme dan
Konghucunya; Peradaban India dengan Hinduisme; Peradaban Jepang dengan
Buddhisme, Toisme dan Sintoisme; Peradaban Islam dengan asumsi ajaran Islamnya,
dan peradaban Barat yang dengan basis keagamaan Judeo-Kristianisme. Sebaliknya,
peradaban yang anti agama atau bahkan memerangi agama ternyata tidak bertahan
bahkan hanya seratus tahun saja. Seperti peradaban Komunisme; meski dibentengi
dengan ilmu pengetahuan yang canggih, militerisme yang kokoh dan disiplin
organisasi yang luar biasa ketat, ternyata hanya bertahan sekitar 60 tahun
saja. Juga Nazisme, yang dikenal sangat membenci agama dan memeranginya,
ternyata usianya jauh lebih pendek. Fakta ini menjadi saksi bahwa peradaban
manusia tidak bisa bertahan lama kecuali bertumpu pada prinsip-prisip
transendental-keagamaan.
Memang sejarah kekuasaan agama tidak selamanya putih.
Banyak tragedi kemanusiaan yang diinsinuasi atau dihasud oleh persentuhannya
dengan agama. Kita mengenal perang agama, pertumpahan darah yang kejam, yang
berkelindan dengan semangat keagamaan. Misalnya perang Salib yang melelahkan
karena berlangsung dalam 200 tahun. Namun demikian, jika dibandingkan dengan
kekuasaan lain yang ateistik atau bahkan sekadar sekularistik, maka kekuasaan
keagamaan tidak selalu lebih buruk.
Jangan dikira bahwa ideologi yang semakin anti agama akan
semakin manusiawi. Menurut ahli sejarah, tidak ada tragedi kemanusiaan yang
lebih kejam dengan skala yang luar biasa massif seperti yang dijalankan oleh
rezim Komunisme dan Nazisme, juga sekularisme modern yang telah mengobarkan
kekejaman militer dan ketimpangan ekonomi global yang sangat tajam.
Kini jelas bagi kita, bahwa pilihan kita bukanlah “negara
agama” atau “negara sekular atau anti agama”? Negara agama dalam arti negara
yang dipimpin oleh pejabat-pejabat agama, selain karena mengidap penyakit
bawaan seperti terbukti dalam sejarah lama, jelas tidak zamannya. Negara dan
agama adalah dua hal yang, meski pun tidak harus berlawanan, jelas berbeda.
Tidak bisa secara otomatis pemimpin agama layak menjadi pemimpin negara. Juga
tidak “negara agama” dalam pengertian bahwa negara harus tunduk pada
ketentuan-ketentuan legal-formal suatu agama. Karena sebagian dari hukum agama
hanya bisa bermakna jika dijalankan dengan kesukarelaan hati, sementara
pendekatan negara selalu mengandaikan sanksi yang memaksa. Atau karena hukum
agama tertentu tidak bisa begitu saja diterapkan sebagai hukum positif, tanpa persetuan
lebih dahulu dari lembaga publik (parlemen) , yang tidak otomatis atas dasar
nalar agama.
Negara sekular yang menolak agama atau bahkan yang
memerangi agama juga tidak lagi bisa dipertahankan, karena cacat bawaan
(inherent) serius seperti telah dibuktikan dalam sejarah sampai hari ini.
Ketimpangan sosial yang dibawa lahir oleh negara sekular modern bahkan jauh
lebih tajam dibanding yang diakibatkan oleh negara komunis anti-agama; Jika
ketimpangan sosial itu tidak terjadi di dalam negeri diantara rakyat mereka
sendiri, pastilah terjadi di negara-negara lain sebagai penyangganya. Karena
reason (nalar) sebagai pengganti agama yang menjadi acuan dan penunjuk
jalannya, pada hakikatnya adalah nalar kepentingan dari kelompok kuat yang
berkuasa, bukan nalar rakyat kebanyakan, apalagi yang lemah dan tidak berdaya.
Perlu opsi lain, di mana negara dan agama tidak lagi
dipandang sebagai dua lembaga kekuasaan yang perlu duduk bersama untuk
menyepakati paket pembagian kekuasaan di antara mereka. Opsi itu pertama-tama
justru harus bertolak dari prinsip bahwa negaralah satu-satunya lembaga
kekuasaan; sementara agama tidak lebih dan tidak kurang sebagai sumber
nilai-nilai kesalihan transendental yang ada, bukan di balik jubah para
pemimpinnya, melainkan justru dalam penghayatan nurani paling dalam dari
segenap umat dan sekaligus warga negara yang meyakininya. Dari nilai-nilai
kesalihan dalam nurani segenap umat warga negara itulah segala sistem hukum dan
aturan main hidup kenegaraan dibangun dan dikontrol secara demokratis. Apakah
pilihan ini mustahil?*