Dr.
Moeslim Abdurrahman:
11/08/2003
Orientasi
keberagamaan normatif berbeda secara diametris dengan orientasi keberagamaan
empiris. Ekspresi religiusitas yang normatif seringkali melupakan fakta sosial
yang tidak monolitik, bahkan tidak seideal lukisan dalam kanvas teologis
seperti yang tertera dalam kitab suci. Dalam konteks inilah, diperlukan
kearifan dan ke-tawadlu-an untuk tidak menghakimi pihak-pihak yang berbeda
dengan atas nama keyakinan dan persepsi yang kita anut.
Orientasi
keberagamaan normatif berbeda secara diametris dengan orientasi keberagamaan
empiris. Ekspresi religiusitas yang normatif seringkali melupakan fakta sosial
yang tidak monolitik, bahkan tidak seideal lukisan dalam kanvas teologis seperti
yang tertera dalam kitab suci. Dalam konteks inilah, diperlukan kearifan dan
ke-tawadlu-an untuk tidak menghakimi pihak-pihak yang berbeda dengan atas nama
keyakinan dan persepsi yang kita anut. Berikut petikan wawancara Ulil
Abshar-Abdalla dengan Dr. Moeslim Abdurrahman, anggota PP Muhamadiyah dan
Direktur Ma’arif Institute for Culture and Humanity, pada Kamis 7 Agustus 2003:
ULIL
ABSHAR-ABDALLA: Mas Moeslim, Anda pernah menulis buku berjudul Kang Towil yang
bercerita tentang perantauan santri ke kota, lalu berubah menjadi seorang
santri modern. Bagaimana agama dikenalkan pada Anda semasa kecil?
MOESLIM
ABDURRAHMAN: Saya lahir dari keluarga Muhamadiyah yang hidup sebagai petani di
desa, tepatnya di Lamongan. Seperti keluarga lainnya, obsesi keluarga saya
adalah agar anaknya mondok di pesantren, lalu pulang paling tidak menjadi kiai
kecil di pedesaan. Oleh karena itu, waktu selesai Sekolah Rakyat (SR), saya
dikirim orangtua saya ke Pesantren Raudlatul Ilmiyah di Kertosono. Pesantren
itu dikenal sebagai pesantren “keras” karena bercorak Wahabi.
Waktu itu terdapat
beberapa pesantren —selain pesantren NU di Lasem, Tebuireng dan lain-lain— yang
cukup dikenal masyarakat Lamongan. Di kalangan Muhamadiyah, waktu itu yang
dikenal adalah pesantren Persis di Bangil, juga Pondok Modern Gontor (sekalipun
bukan pesantren NU atau Muhamadiyah, Red), dan pesantren Kiai Salim Akhyar.
Yang disebutkan terakhir ini sangat keras dalam hal-hal yang disebut bid’ah,
khurafat, tahayul dan lain-lain.
ULIL: Bagaimana
dinamika NU dan Muhamadiyah saat itu?
MOESLIM: Semasa
saya kecil, pertentangan antara Muhamadiyah dan NU sangat real dirasakan.
Artinya, mereka mempertentangkan hal-hal kecil dan sepele hingga menjadi besar.
Ketika di
pesantren, saya tekun mengaji kitab untuk menyiapkan diri menjadi kiai di desa
bila sudah pulang nanti. Keluarga saya selalu menitip membeli kitab-kitab agama
pada mereka yang naik haji. Pada waktu itu, membeli kitab sangat susah. Ketika
saya masih nyantri, di rumah sudah dibikinkan madrasah untuk saya kelola
nantinya. Harapan orangtua saya, ketika saya pulang, saya mesti mengurus
madrasah, dijodohkan dengan seorang gadis, lalu menjadi kiai kecil.
Ada kisah menarik
ketika itu. Madrasah saya dibuat dari bahan-bahan yang diambil dari pohon
kelapa. Ketika angin kencang bertiup, madrasah itu ambruk. Betapa sedih hati
bapak saya yang merupakan tokoh Muhamadiyah di sana. Sementara itu, orang-orang
NU yang menjadi musuh Muhamadiyah saat itu, senang bukan main. Mereka
menafsirkan itu sebagai pertanda bahwa madrasah yang didirikan oleh kelompok
Islam sesat, tidak akan diridlai Allah. Sementara, bapak saya mesti berkampanye
untuk meyakinkan bahwa kejadian itu justru harus dibaca lain. Yaitu: kita
sedang dicoba Allah, apakah bisa bertahan di jalan yang benar.
Begitulah nuansa
konflik antara NU dan Muhamadiyah. Padahal, kalau dicermati lebih lanjut, itu
hanya persoalan tukang dan bahan bangunan yang tidak ada hubungan sama sekali
dengan takdir Tuhan.
ULIL: Setelah masuk
pesantren Kertosono, Anda melanjutkan pendidikan di mana?
MOESLIM: Bagi orang
pesantren seperti saya, menjadi mahasiswa merupakan sesuatu yang belum
terpikirkan. Pasca-G 30-SKI, organisasi ekstrakurikuler juga menarik. Kita
waktu itu melihat anak UII Yogyakarta memakai jaket UII, anggota HMI memakai
jaket HMI. Simbol-simbol seperti itu merupakan kebanggaan tersendiri, sebab
mereka dulunya adalah musuh-musuh PKI.
Obsesi saya saat
itu adalah bagaimana caranya menjadi mahasiswa. Teman-teman saya bisa mendaftar
di universitas, karena mereka punya ijazah. Mungkin dulunya mereka pernah
sekolah PGA (Pendidikan Guru Agama) atau SGA (Sekolah Guru Agama). Memang ada
UII dan universitas yang berada di kabupaten, seperti Universitas Tri Bakti di
Kediri.
Akhirnya, saya
masuk Fakultas Ilmu Agama, Jurusan Tarbiyah yang didirikan Muhammadiyah di
Kediri. Hampir dua tahun saya menjadi mahasiswa mustami’ (pendengar, Red),
belum mahasiswa aktif, karena saya tidak punya ijazah setingkat SLTA. Tapi
kalau ada ujian, saya mesti ikut.
Ketika ujian
sarjana muda, saya diwajibkan menyetor ijazah SLTA. Lantas saya ikut ujian
persamaan Aliyah agar bisa ikut ujian BA (sarjana muda). Setelah ujian BA, saya
merasa berbeda dengan teman-teman dari pesantren, karena saya sudah punya gelar
akademik. Pada waktu itu, gelar akademik masih sangat langka dan menjadi status
sosial tersendiri yang bukan main gengsinya.
ULIL: Apakah ada
perbedaan signifikan antara perspektif keagamaan Anda saat masih di pesantren
dengan perguruan tinggi?
MOESLIM: Oh, sangat
signifikan. Waktu di pesantren, saya masih merasa sebagai subkultur masyarakat
pedesaan yang agraris. Intinya, saat itu saya mencari agama yang lebih
menguatkan iman dan spiritualitas saya dan sangat sedikit bersentuhan dengan
akal pikiran. Tak ada pemikiran Islam. Yang ada olah rohani, olah iman atau
mencari iman yang lebih otentik dalam pengertian seperti itu.
Ketika mahasiswa,
saya menemukan pengalaman Islam yang lain; agak akademik. Itu mencerminkan
sebuah pengalaman Islam kota yang sudah memakai jaket dan aksesori lainnya.
Waktu pulang kampung, saya disuruh khutbah Idul Fitri. Saya banyak sekali
membuat kutipan, bukan saja dari kitab Bukhari dan Muslim, tapi juga
istilah-istilah yang agak baru. Misalnya, istilah “ukhuwah islamiyah” saya
ganti dengan istilah “integrasi umat”, supaya kelihatan lebih moderen.
Saya yakin, para
keluarga dan pendengar terkagum-kagum, meski mereka tidak terlalu paham dengan
apa yang saya khutbahkan. Tapi mereka bangga dan heran: “kok ada orang ndeso
yang ngomong begini?” Jadi pengalaman ini menjadi “barang” dari kota yang baru
dan modern. Kalau diperbandingkan mungkin mirip orang yang minum Coca Cola atau
Teh Botol di sebuah pelosok. Jadi, secara prinsipil, perspektif yang berbeda
ada pada alam pikiran yang berbeda dari “alam kitab” yang lebih banyak menghapal
dan sedikit berbau kealim-aliman.
ULIL: Apakah saat
itu Anda mengritik perspektif Islam masa lampau yang menekankan keyakinan
semata?
MOESLIM: Ya, ketika
saya mengaji di pesantren, paling-paling hanya bisa mengatakan bahwa kullu
bid‘atin dlalâlah, setiap bid’ah yang tidak berdasar pada Alquran dan hadis
adalah sesat. Tapi ketika saya mulai di HMI, di lingkungan perguruan tinggi,
meski masih mengutip jargon innal hayât ‘aqîdatun wajihâdun (hidup adalah
keyakinan dan jihad, Red), sudah mulai mempertanyakan konsep jihad. Memang,
kutipan di atas bernuansa politik. Intinya, dalam pemahaman Islam ini, sudah
ada aspek penalaran dan
konfrontasi demi
membaca realitas. Yang dimaksud realitas yang dominan saat itu adalah persoalan
politik.
ULIL: Lantas, bagaimana
kelanjutan dari pergulatan keimanan Anda?
MOESLIM: Proses
yang berikutnya, adalah ketika saya mengikuti Pusat Pelatihan dan Penelitian
Ilmu Sosial yang betul-betul mengubah cara hidup dan keberagamaan saya.
Pengalaman itu terjadi pada tahun 1975 dan mengubah orientasi keberagamaan saya
dari normatif ke arah empiris. Perbedaannya, keberagamaan empiris tak hanya
melihat konstruksi pemikiran dan pengalaman keagamaan sekadar hal yang
normatif. Paradigma ini sudah bisa melihat paradoks dalam proses keberagamaan
dalam masyarakat; bahwa ada masyarakat yang bisa mengikuti doktrin agama dengan
tingkat kesalehan yang memadai, tapi ada juga yang karena status sosial
tertentu tidak bisa.
Nah, analisis
sosialnya sudah muncul dalam paradigma yang kedua ini. Dulu saya berpikir
simpel saja: “Yang tidak saleh pasti melawan Allah.” Baru kemudian saya tahu,
ada rintangan sosial atau budaya, yang membuat seseorang menjadi tidak saleh.
Tapi dalam masyarakat, kita menemukan orang yang tetap berislam, meski ia tak
berada pada standar normatif tertentu. Jadi ada saja orang-orang yang
mendefinisikan dirinya dekat dengan Allah, meski menurut standar normatif yang
pernah saya pakai, tentu amat jauh dari kesan itu.
ULIL: Apa akibat
yang paling Anda rasakan ketika mengetahui agama secara empiris?
MOESLIM: Sangat
berpengaruh. Saya lebih tawâdlu‘ (rendah hati, Red) ketika melihat orang yang
dulu saya hakimi sebagai durhaka pada Allah. Dulu selalu saja ada kebingungan:
“Mengapa seseorang tidak terbuka hatinya pada Allah?” Anda tentu tahu bagaimana
sikap seseorang yang baru keluar dari pesantren dan hidup dalam subkultur yang
amat idealistik berdasarkan kitab kuning dalam menyikapi fakta sosial. Orang
yang berwudu, kalau tidak persis ganjil bilangannya, akan dianggap sangat berdosa.
Jadi ketika pemahaman saya mulai berkembang dari mempelajari Bukhari dan Muslim
ke Weber dan Durkheim, tentu akan luar biasa hasilnya, meski saya memulai dari
nol.
ULIL: Ketika
keberagamaan sudah dipahami sebagai sesuatu yang empiris, lantas di mana letak
makna beragama itu sendiri?
MOESLIM: Makna
beragama menjadi tidak monolitik. Artinya, kita harus bisa melihat kenyataan
yang obyektif; bahwa pengalaman dan penghayatan orang mengenai agama sangat
beragam.
ULIL: Bagaimana
dalam hal menafsirkan kembali makna bid’ah yang dulu pernah Anda akrabi?
MOESLIM: Saya tak
lagi menganggap menjadi sangat berbeda secara prinsipil antara orang salat
pakai lafal ushallî atau tidak, lepas dari kenyataan bahwa saya tetap canggung
bila menjadi makmum dalam salat Subuh yang memakai qunut. Memang masih terasa
belum pas, lebih karena persoalan habit saja. Walau pikiran saya sudah
mengembara kemana-mana, tapi kebiasaan yang dialami dalam subkultur tertentu
masih saja membekas.
Sekarang kondisinya
tentu sudah berbeda. Dulu saya jebolan pesantren yang sangat keras, lalu masuk
HMI yang militan dan menjadi da’i HMI karena aktivitas saya di Lembaga Dakwah
Mahasiswa Islam (LDMI) yang menyerang sana-sini. Waktu itu orang-orang suka
pada pidato saya yang kelihatannya konsisten menyerang sana-sini dan tak bisa
toleran dengan orang lain.
ULIL: Lantas,
bagaimana Anda merumuskan diri Anda sekarng ini?
MOESLIM: Saya
menemukan keislamanan sekarang menurut pengalaman religius saya sendiri. Kalau
saya mengikrarkan Islam rahmatan lil ‘âlamîn, saya mesti merasakannya dalam
pergaulan yang lebih majemuk. Misalnya, sekarang ada orang-orang yang sudah
seperti saudara dekat saya, tapi saya lupa agamanya apa. Ada perasaan
kemanusiaan yang lebih humanis sifatnya, yang merupakan bagian dari artikulasi
keberagamaan saya.
Perbedaan agama
saya anggap sebagai sejarah saja, dan kita hidup dalam alam sejarah itu. Saya
memang tidak hidup di alam agnostik. Saya orang beriman, dan keberimanan itu
menuntut saya menegaskan bahwa semua adalah hamba Allah. Dengan demikian, saya
lebih tawâdlu‘ dan berpikir seribu kali untuk menghakimi orang lain.
ULIL: Menurut Anda,
faktor apa yang menyebabkan orang yang suka menghakimi orang lain yang berbeda
agama?
MOESLIM: Ada dua
faktor. Pertama sumber-sumber keimanan yang sangat monolitik yang berasal dari
satu sumber interpretasi. Kedua, secara sosiologis, dia sedang membutuhkan
pegangan kokoh, karena kebingungan dalam melihat kenyataan.
Anak-anak muda yang
tertarik dengan model pemahaman keagamaan yang suka menghakimi orang ini karena
hanya tahu interpretasi Islam dari satu sumber saja. Faktor tutor, misalnya,
yang dianggap paling benar dalam menafsirkan Islam. Yang lain salah, dinafikan,
bahkan ditolak mentah-mentah. Persoalan lain, mungkin proses perubahan sosial
yang sedemikian cepat, sehingga muncul perasaan teralienasi karena identitas
agamanya menjadi kabur.
ULIL: Ada
perdebatan mutakhir seputar substansi keadilan dengan formalisasi syariat
Islam. Komentar Anda?
MOESLIM: Menurut
saya, substansi Islam itu tersimpul dalam firman Allah: i’dilû huwa aqrab
littaqwâ! (berlaku adillah, karena itu lebih dekat pada ketakwaan, Red).
Ber-taqarrub agar sampai pada derajat takwa, mesti berbuat adil dulu. Hidup
berislam pada hakikatnya adalah usaha untuk ber-taqarrub pada Allah dan
cita-cita-Nya. Cita-cita Allah itu, menurut saya, pangkalnya ada pada keadilan.
Sering kita
dengungkan di radio ini: kalau kita menerapkan syariat tanpa berlandaskan
keadilan, itu akan keliru. Karena kenyataannya sering begini: “Orang yang
mencuri ayam karena lapar atau miskin, nanti mesti dipotong tangannya, tapi
yang bermilyar-milyar justru tak tersentuh hukum.” Atau, kita sering menghakimi
pelacur jalanan yang sedang mencari makan —betul-betul mencari makan, karena
mereka tersingkir secara ekonomi. Pelacur seperti itu merupakan dosa sosial
kita. Maka, penerapan syariat yang formalistik itu, takkan memecahkan masalah
keadilan yang lebih luas cakupannya.
ULIL: Lantas,
apakah negara perlu ikut campur untuk memaksakan syariat?
MOESLIM: Jelas,
jangan lah! Nggak usahlah ada ambisi negara membuat peraturan untuk beribadah
dan ber-taqarrub pada Allah! Fungsi negara seyogyanya hanya mengatur hak-hak
warganegara. Soal keyakinan tergantung mereka ber-taqarrub pada Allah.
Masing-masing orang punya kesulitan dan tahapan-tahapan yang berbeda dalam hal
yang sangat pribadi ini