AGAMA SEBAGAI IDIOLOGI (Melacak Akar Fikiran Pergerakan Ali Syari’ati)


Pendahuluan

Mungkin sudah banyak pemikir dan pelopor perubahan di dunia yang sering didiskusikan. Namun keberadan sosok Shari’ati sangat penting untuk lebih jauh dikenal. Memahami sosok Syari’ati secara proposional tidak bisa dipahami dari sudut filsafat pergerakan dan aktivitas politiknya saja, tetapi juga harus dilihat dari sisi intelektualnya, karena keduanya mustahil dipisahkan.

Karena sekalipun pemikiran Syari’ati multi dimensi (multi-facetted) dan kerenanya multi interpretable, ada semacam pandangan dunia (weltanschoung) yang cukup konsisten dalam tulisan-tulisannya. Pandangan dunia Syari’ati yang paling menonjol adalah menyangkut hubungan antara agama dan politik yang dapat dikatakan menjadi dasar idiologi pergerakannya. Dalam konteks ini Shari’ati dapat dikatakan sebagai pemikir politik keagamaan (politico-religio-thinker).[1]

Salah satu tema sentral dalam idiologi politik-keagamaan Ali Shari’ati adalah agama (baca; Islam) harus dapat difungsionalisasikan sebagai kekuatan revolusioner untuk membebaskan rakyat yang tertindas, baik secara kultural maupun politik. Para Nabi menurutnya, adalah orang-orang yang lahir ditengah-tengah masa kemanusiaan lalu memperoleh tingkat kesadaran (hikmah) yang sanggup mengubah suatu masyarakat yang korup dan beku menjadi kekuatan yang bergejolak dan kreatif, yang pada gilirannya melahirkan peradaban, kebudayaan dan perlawanan. Para Nabi datang dan bukan sekedar mengajarkan dzikir dan do’a, melainkan mereka datang dengan suatu idiologi pembebasan.[2]

Itulah sosok Shariati yang kental dengan ideologi keagamaannya, yaitu Islam. Pengembaraan intelektual yang dilakukan sejak kecil telah membentuknya menjadi sosok yang semakin matang dengan ideologi keislamannya, walaupun harus berhadapan dengan berbagai duri yang tidak saja datang dari kelompok barat, tetapi juga dari umat Islam itu sendiri.

Namun demikian, ia tidak mengeksklusifkan pemikirannya sebaik yang terbaik dalam aras pemikiran Islam. Maka, walaupun ia telah ikut – baik secara langsung maupun tidak – memberikan inspirasi terhadap pergolakan pemikiran dan aksi penentangan pada penguasa tiran waktu itu, ia sering diposisikan sebagai sosok yang berpikiran kiri yang bertentangan dengan maenstream pemikiran yang berkembang pada masanya, khususnya pasca revolusi. Itulah sebabnya meskipun sosoknya telah mati, tapi wacana pemikirannya terus mengalir dan dibiarkan terus berdialog dengan perkembangan pemikiran yang berkembang di dunia Islam. Oleh karena itu pula membuat pemikirannya tetap bertahan dan layak didiskusikan.


Biografi Intelektual Syari'ati

Shari’ati dilahirkan pada tahun 1993 di Mazinah, sebuah desa dekat mashad di timur laut Khurasan, dalam keluarga yang kental dan taat tradisi keagamaannya. Shari’ati menyelesaikan pendidikan dasar dan sekolah guru agama di Mashad.[3] Ketika masih studi diperguruan tinggi ia sudah memberikan kuliah kepada para mahasiswa dan intelektual di Pusat pengembangan Dakwah Islam. Ia kemudian mengajar disekolah dasar selama empat tahun. Selama periode ini ia mampu menerjemahkan Surat Kashf al-Ghita untuk Gerald Ivan Hopkins, wakil Presiden Paguyupan Amerika di timur tengan, yang berisi tentang keluhan dan protes dunia Islam terhadap Barat.[4]

Ia juga menterjemahkan sebuah biografi Arab tentang Abu Dzar karya Abu Hamid Jawadat as-Sakhar, seorang sosialis radikal Mesir kedalam bahasa Persia. Pada waktu yang sama, ia terlibat urusan politik ia menggabungkan diri dalam kelompok oposisi pro Moseddeq. Ketika berumur 23 tahun, ia masuk Fakultas Sastra Universitas Mashhad. Hampir bersamaan dengan itu untuk pertama kali Shari’ati masuk penjara selama 8 bulan sebagai akibat oposisinya melawan rezim, dibawah pimpinan Gerakan Perlawanan Nasional (NRM) cabang Mashhad.

Setelah lulus dari dari Universitas Mashhad, ia melanjutkan pendidikan tingginya ke Universitas Sorbonne, Prancis, atas beasiswa pemerintah Iran. Ketika di Sorbonne, ia menjalin hubungan pribadi dengan para pemikir terkemuka seperti Louis Massignon, Jean Paul Sartre, Che Guivera, dan Giap. Pada saat yang sama, ia berpartisipasi aktif dalam gerakan nasional anti-Shah di Eropa. Yakni gerakan pembebasan Iran (The Movement of Iran Leberation).

Setelah memperolah gelar doktor pada tahun 1964, ia kembali ke Iran, kemudian di Bazarqan, sebuah perbatasan Iran dan Turki, ia ditahan selama enam bulan atas tuduhan oposisi politisnya selama di Eropa. Begitu dibebaskan dan ditolak untuk mengajar di Universitas Teheran, Shari’ati kembali ke Khurasan dan mengajar di Universitas Mashhad. Tidak lama kemudian ia dipecat karena beberapa alasan politik.[5]

Pemecatan Shari’ati dari Universitas Mashhad tidak menghentikan kegiatan-kegiatannya. Bahkan kejadian ini memberi kesempatan untuk memasuki panggung baru sebagai pemikir dan aktivis revolusioner. Ia kemudian pindah ke Teheran dan menjadi anggota dewan pengurus Husayniyah Irsyad. Dengan menjadikan Husayniyah Irsyad sebagi lembaga pengetahuan, penelitian dan dakwah Islam yang besar, Shari’ati berusaha mempersiapkan generasi muda Iran untuk pergolakan revolusioner.[6]


Mencari Makna Ideologi

Dengan meminjam ungkapan penulis Perancis, ideologi menurut Shari’ati sangat erat kaitannya dengan cendekiawan atau intelektual dalam masyarakat (Raunshanfikr).[7] Karena itulah seorang cendekiawan dituntut untuk memiliki pengertian yang jelas mengenai ideologi yang dapat membantunya mengembangkan suatu pola pemikiran yang jelas.

Inilah ideologi yang terdiri dari kata “ideo” yang berarti pemikiran, gagasan, konsep, keyakinan dan lain-lalin, dan kata “logi” yang berarti logika, ilmu atau pengetahuan, dapat didefinisikan sebagai ilmu tentang keyakinan dan cita-cita. Menurut pengertian ini seorang ideolog adalah seorang pembela suatu ideologi atau keyakinan tertentu. Dalam kaitan ini, ideologi terdiri dari berbagai keyakinan dan cita-cita yang dipeluk oleh suatu kelompok tertentu, suatu kelas sosial atau suatu bangsa[8].

Berawal dari pengertian ini, Shari’ati berusaha untuk membedakan antara ideologi dan ilmu serta filsafat. Ilmu menurutnya merupakan pengetahuan manusia tentang alam yang kongkrit. Ia merupakan penemuan manusia tentang beberapa hubungan, suatu prinsip, kualitas dan karakteristik di dalam kehidupan manusia, alam dan benda-benda lainnya. Demikian halnya dengan ilmu, filsafat dapat di definisikan sebagai pencarian kearah pemahaman sesuatu yang bersifat umum dan belum diketahui dan tidak terjangkau ilmu. Ia mempersoalkan kemungkinan-kemungkinan ideal, kebenaran dan substansi, fenomena dan konsep-konsep yang ada dalam alam fikiran manusia[9].

Sedangkan ideologi menuntut seorang cendekiawan haruslah memihak. Bagi seorang ideologi, idiologinya adalah suatu kepentingan yang mutlak. Setiap ideologi mulai dengan tahap kritis, kritis terhadap status quo, masyarakat dengan berbagai aspek kultural, ekonomis, politik dan moral yang cenderung melawan perubahan-perubahan yang diinginkan. Baik filsafat maupun ilmu tidak mempunyai komitmen semacam itu, ia hanya menggambarkan realitas seperti apa adanya dengan tidak membedakan apakah ia menolak atau menerima realitas tersebut.[10]

Lebih lanjut Shari’ati mengatakan, bahwa baik ilmu maupun filsafat tidak pernah dapat melahirkan revolusi dalam sejarah, walaupun keduanya selalu menunjukkan perbedaan-perbedaan dalam perjalanan waktu. Adalah ideologi-ideologi yang senantiasa memberikan aspirasi, mengarahkan dan mengorganisir pemberontakan-pemberontakan yang menakjubkan yang membutuhkan pengorbanan-pengorbanan dalam sejarah manusia. Hal ini karena ideologi pada hakekatnya mencakup keyakinan, tanggung jawab, keterlibatan dan komitmen.[11]



Islam Sebagai Ideologi

Shari’ati melihat ada problem besar menyangkut masa depan Iran, yaitu kolonialisme dan neo-kolonialisme[12], dengan belbagai konsekwensinya telah menganalisa masyarakat Iran dari kebudayaan asli. Dan itu tentu saja memiliki dampak yang negatif terhadap perkembangan politik dan ekonomi Iran.

Untuk membebaskan masa dari krisis yang membawa mereka mencapai Iran yang merdeka dan berkeadilan sosial – ekonomi, shariati yakin bukan liberlisme, kapitalisme ataupun sosialisme yang bisa mengobati penyakit ini, melainkan Islam. [13] Baginya Islam merupakan satu-satunya ideologi yang akan menyelamatkan Iran dari segala bentuk tekanan dan penindasan.

Islam dalam konteks ini tentu saja berbeda dengan Islam yang dipahami secara umum ketika itu. Islam menurut Shari’ati bukanlah agama yang hanya memperhatikan aspek spiritual dan moral atau hubungan individual dengan penciptanya, tetapi lebih merupakan suatu ideologi emansipasi dan pembebasan[14].

Shari’ati melihat adanya dua macam Islam, yaitu Islam sebagai Ideologi dan Islam sebagai budaya. Islam sebagai Ideologi dibentuk oleh Abu Dzar, [15] dan Islam sebagai budaya dibentuk oleh Ibnu Sina (filsuf Islam abad 11). Islam sebagai ideologi melahirkan mujahid (pejuang dalam menegakkan agama Allah), sedangkan Islam sebagai budaya melahirkan Mujtahid (ulama). Raushanfikr membentuk Islam sebagai Ideologi, para ulama membentuk Islam sebagai budaya.

Lebih lanjut Ali Shari’ati mengatakan : “saya melihat Islam, bukan Islam sebagi kebudayaan yang melahirkan mujtahid dan ulama, bukan pula Islam dalam tradisi umum, melainkan Islam dalam kerangka Abu Dzar[16].” Islam lahir secara progresif dalam upaya meresponi problem-problem masyarakat untuk mencapai tujuan dan cita-cita yang berharga. Dalam konteks ini Islam lebih dipahami sebagai sebuah pandangan dunia komprehensif sebuah rencana untuk merealisasikan potensi manusia sepenuhnya, baik secara perseorangan maupun kolektif, dan untuk tujuan mahluk manusia secara keseluruhan[17]. Disinilah letaknya bahwa Islam sebagai ideologi pembebasan.

Untuk menjadikan Islam sebagai ideologi pembebasan yang dapat dipraktekan, Shari’ati menyajikan tahapan-tahapan ideologi secara detail, berkenaan dengan cara memahami Tuhan, mengevaluasi segala sesuatu ; ide-ide yang membentuk lingkungan sosial dan mental kognitif masyarakat ; serta metode atau usulan-usulan praktis untuk mengubah status quo yang tidak memuaskan.[18]

Pada tahapan pertama Shari’ati meletakkan pandangan dunia tauhid sebagai pandangan dasar. Pandangan ini menyatakan secara langsung bahwa kehidupan merupakan bentuk tunggal, organisme yang hidup dan sadar, memilki kehendak, intelejen, perasaan dan tujuan. Hal demikian berbeda dengan pandangan dunia yang membagi kehidupan dalam katagori yang berpasangan : dunia dan alam kekal; fisik dan ghaib; substansi dan arti; rohani dan jasmani.[19] Karena itu diskriminasi manusia atas dasar ras, kelas, darah, kekayakan, kekuatan dan lainnya tidak bisa dibiarkan, karena ia berlawanan dengan nilai-nilai ketuhanan.

Pada tahap kedua adalah berkenaan dengan bagaimana memahami dan mengevaluasi pemikiran dan segala sesuatu yang membentuk lingkungan sosial dan mental. Bagi Shari’ati Islam adalah pandangan dunia yang bisa dipahami dengan mempelajari al-Qur’an sebagai kumpulan ide-ide dan mempelajari sejarah Islam ; sebagai ringkasan kemajuan yang pernah dialami dari permulaan misi Nabi sampai sekarang.[20]

Dengan berpijak pada al-Qur’an, Shari’ati melihat keseluruhan sejarah sebagai sebuah konflik kekuatan-kekuatan, dan manusia itu sendiri menjadi medan perang antara asal jasmaninya yang rendah dan semangat ketuhanannya. Dialektika sejarah ini nampaknya meminjam konsep dialektika sejarah marxis.[21] Hanya saja, ia menggunakannya secara selektif. Analisanya mengenai Qabil dan Habil sebagai sebuah simbol pertentangan yang terus menerus adalah pemikiran orisinil dalam konteks pemahaman Islam.

Sedangkan pada tahapan ketiga adalah bagaimana mencari dan menerapkan jalan yang praktis untuk menumbangkan status quo yang merugikan. Caranya melengkapi pendukungnya dengan tujuan dan cita-cita yang diinginkan, dan cara-cara yang praktis berdasarkan kondisi masyarakat, menciptakan perubahan dan kemajuan. Karena ideologi itu mengejawantahkan sebagai suatu amanat atau sebagai suatu gerakan dari amanat lama yang sedang dihidupkan kembali untuk membangkitkan yang menderita, bodoh dan lamban, agar bangun dan menegaskan hak-hak serta identitasnya.

Ilustrasi dan Reaksitas Konsep Gerakan

Melihat pada pokok pikiran yang diajukan oleh Shari’ati, baik yang berkenaan dengan makna ideologi, Islam sebagai ideologi, maupun dialektika sejarahnya, adalah masih perlu dipertanyakan akan orisinitas pemikirannya. Pertama, makna ideologi yang ia coba pisahkan dan bedakan dengan ilmu dan filsafat. Merujuk pada apa yang digambarkan oleh Marx bahwa antara ilmu pengetahuan dan ideologi tidak mudah dipilah dan dibedakan, karena hal ini melibatkan berbagai arti yang dapat diterima oleh masing-masing konsep dan berbagai macam pengarang dan aliran pemikiran. Oleh sebab itu perlu mengambil sudut pandang ideologi dan pengertiannya. Pertama, ideologi dalam arti positif berkenaan dengan sistem pendapat, nilai dan pengetahuan yang berhubungan dengan kepentingan golongan tertentu dengan nilai kognitif yang bervariasi. Dengan begitu mungkin ada ideologi yang didasarkan pada dugaan pra-ilmiah atau non ilmiah. Misalnya, dalam tradisi ortodox marxis oleh Lenin digambarkan bahwa sifat ideologi yang ilmiah atau yang non ilmiah ditentukan oleh kekhasan golongan yang menentukan pengetahuan. Jadi disini ideologi dengan sendirinya bukan konsep yang debedakan dari ilmu pengetahuan. Ideologi bukan merupakan anti-tesis dari ilmu pengetahuan.[22]

Kedua, konsep ideologi diambil dari pengertian negatif, maka perbedaan dengan ilmu pengetahuan dan ideologi tampil kemuka. Ideologi adalah pengetahuan yang dipeutar balik, sedangkan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang benar.[23]

Apa yang dilakukan oleh Shari’ati tentang pemisahan antara ideologi dengan ilmu dan filsafat tidak lain adalah mengadopsi apa yang pernah dilakukan oleh Durkheim. Durkheim mendefinisikan ideologi bertentangan dengan ilmu pengetahuan. Mengikuti tradisi Bacon dia menggantikan ideologi sebagai anggapan atau berhala yang menghalangi pengertian ilmiah tentang realita. Ide adalah “ilusi-ilusi” yan gmemutar balik aspek benda yang sebenarnya “dan menghasilkan dunia imajiner”.[24] Ahli ilmu pengetahuan harus membebaskan diri dari ide-ide yang tidak benar yang mendominasi pikiran awam.[25]

Ketiga, adalah agama sebagai ideologi. Apa yang dikemukakan oleh Shari’ati dengan agama sebagai ideologi adalah merupakan oppenent terhadap statemen Marx yang mengatakan agama sebagai candu masyarakat. Candu itu memberikan ganjaran di akhirat bagi orang yang dengan tabah menerima “nasib” atau “salibnya”.[26]

Pendekatan dan analisa yang digunakan oleh Shari’ati dan Marx ini berbeda. Shari’ati melihat agama sebagaimana seharusnya, sedangkan Marx melihat fenomena agama sebagai realitas empiris apa adanya. Kedua pendekatan analisa ini tidak akan ketemu. Oleh karena itu agama harus dilihat dari konteks sosiologis dan juga filosofis. Agama dapat menjadi candu atau menjadi kekuatan revolusioner tergantung pada, pertama, kondisi sosio politik yang nyata, dan kedua, tergantung pada siapa yang akan bersekutu dengan agama apakah kaum revolusioner atau status quo. Agama dalam pengertian filosofis merupakan sebuah konsep yang sama sekali berbeda. Pertanyaan-pertanyaan filosofis awal berkisar pada hubungan antara manusia dengan alam semesta, dan bagaimana melalui hubungan tersebut manusia dapat memberi makna bagi hidupnya. Teisme dan ateisme akhirnya terletak pada wilayah filsafat. Manusia memilih salah satunya berdasarkan kecenderungan filsafat atau kemampuan intelektual yang dimilikinya. Teisme tidak selalu berarti penolakan terhadap objektivitas material dan pendekatan ilmiah dalam melakukan eksplorasi empiris, demikian juga ateisme tidak mesti berarti menyingkirkan aspek-aspek spiritual dalam kehidupan penganutnya.

Dan Keempat adalah dialektika historis. Sebagaimana diutarakan dimuka, sebenarnya dialektika historis yang ditawarkan oleh Shari’ati adalah meminjam dengan ketat konsep dialektika sejarah Marxis, yang melihat pertentangan kelas –dalam hal ini Qabil dan Habil sebagai simbol dari representasi al-Qur’an – sebagai motor penggerak perubahan dan perkembangan Masyarakat.

Oleh karena itu, dalam kaitannya dengan Islam, kiranya tidak berlebihan untuk mengetakan bahwa Shari’ati mengadopsi beberapa prinsip ilmu pengetahuan sosial modern dalam upaya memperkuat wacana ideologi revolusinya.



Thoriqul Haq*  
[1] Azyumardi Azra, “Akar idiologi Revolusi Iran : “Filsafat Pergerakan Ali Shari’ati” dalam M. Dede Ridwan (ed) Melawan Hegemoni Barat, Jakarta, 1999. Hal, 51
[2] Jalaluddin Rahmat, Ali Shari’ati ; Panggilan Untuk Ulil Albab” Pengantar dalam Ali Shari’ati. Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam (ter) Syafiq Basri dan Haidar Baqir (Bnadung, Mizan, 1994, hal 13
[3] John L. Esposito (ed), The Oxford Encyclopedia of Islam Modern Islamic World, vol 4. New York, Oxford University Press, 1995, hal 46.
[4] Ibid.
[5] Lihat Abdul Aziz Abdul Husein Sachedina, “Ali Shari’ati : Ideologue of Iranian Revolution”, dalam John L. Esposito (ed), Voices Of Ressurgent Islam (New York, Oxford : Oxford University Press, 1983, hal.195.
[6] Yan Richard, “Contemporary shi’I Thought.” Dalam Nikki. R. Keddie, Roots Revolution an Interpretative
[7] Raushanfikr adalah bahasa Persia yang artinya “Pemikir yang teserahkan.” Dalam terjemahan Inggris terkadang disebut intelektual atau free thinkers. Raushanfikr berbeda berbeda dengan ilmuwan. Seorang ilmuwan menemukan kenyataan, seorang raushanfikr menemukan kebenaran. Ilmuwan hanya menampilkan faktasebagaiman adanya, Raushanfikr memberikan penilaian seharusnya. Ilmuwan berbicara dengan bahasa universal, Rausahnfikr seperti para Nabi – berbicara dengan bahasa kaumnya. Ilmuwan bersikap netral dalam menjalankan pekerjaannya, Raushanfikr harus melibatkan diri pada ideologi Jalaluddin Rahmat, “Ali Syaria’ti ; panggilan untuk Ulil Albab” Pengantar dalam Ali Shari’ati. Ideologi Kaum Intelektual Suatu Wawasan Islam, (ter) Syafiq Bashri dan Haidar Baqir (Bandung : Mizan, 1994, hal 14 – 15
[8] Ali Shari’ati, Tugas Cendekiawan Muslim. (ter) M. Amin Rais, (Jakarta; Lentera, 1996) 156 – 157
[9] Ibid 158
[10] Ibid 161
[11] Ibid 163
[12] Ali Shari’ati What Is to be done. The EnlightenedThinkers and an Islamic Renaisance. Dalam John L. Esposito. Houston, Texas, The Institut for researc and Islamic Studies, 1986, 2 – 3 dan 29 – 31
[13] Yan richard, Contemporery shi’l thuogh’t dalam nikki R. Keddie, Roots of Revolution… 21
[14] Ali Shariati, “Intizar, The Religion of Protest” dalam John J. ppiweb@time.net.my Donohue dan John L. Espoio (ed) Islam in Transition, Muslim Prespective (New York, Oxford University Press, 1983, 297.
[15] Abu Dzar adalah salah seorang dari tiga sahabat Ali, telah memilih jalan berperang untuk memperjuangkan Ali sebagai “Amirul Mukminin” dan satu-satunya pengganti Nabi yang sah.
[16] Shari’ati . “Return to the self” dalam John J. Donohue dan Jhon L. Esposito, Islam … 305
[17] Ashgar Ali Engineer, Islam dan Teologi Pembebasan, (ter) Agung Prihantono, Yogyakarta, Pistaka Pelajar, 1999, hal 33
[18] Shari’ari, Tugas Cendekiawan ….. 160
[19] Muhammad Wahyuni Nafis, “dari Cengkraman Penjara Ego Memburu Revolusi : Memahami “Kemelut” tokoh pemberontak, dalam Ridawan (ed) melawan Hegemoni …. 85, dikutip dari Ali Shari’ati , on Sosiology of Islam trans. Hamid Algar, (Berkeley, Mizan Press, 1979, hal 82
[20] Ibid 94.
[21] Menurut Karl Marx, motor perubahan dan perkembangan masyarakat adalah pertentangan antara kelas-kelas sosial, dan kelas-kelas sosial merupakan aktor sejarah yang sebenarnya, jadi yang menentukan jalannya sejarah bukan individu-individu tertentu, melainkan kelas-kelas sosial yang masing-masing meperjuangkan kepentingannya. Lihat Franz Magnis Suseno, Pemikiran Karl Marx dari Sosialisme Utopis ke perselisihan Revisionisme, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 2000, hal.125
[22] Jorge Larrain, Konsep Ideologi, (ter) Ryadi Gunawan, Yogyakarta, LKPS,1996, hal 199-200.
[23] Ibid. 200
[24] E. Durkheim, The Rules of Sociological, S.A. Solovay and J.H.Mueller (ter), New York ; Free Press, 1964, hal. 17
[25] Ibid, 23
[26] Magnis Suseni, Pemikiran Karl Marx ……………...123


* Penulis adalah Mahasiswa S2 Universiti Malaya
© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design