*M Kholid Syeirazi
Kenapa UAS diundang Jama’ah Salahuddin UGM, ditolak rektorat, dan diberi karpet merah UII? Jawabannya adalah kromosom. Struktur sel yang menampung DNA masing-masing entitas. DNA Jama’ah Salahuddin adalah gelombang revitalisasi Islam tahun 70an yang menjelma dalam Lembaga Dakwah Kampus (LDK) di sejumlah perguruan tinggi ternama. Di UGM memusat di Jamaah Salahuddin (JS), di UI di Masjid Arif Rahman Hakim (ARH), di ITB di Masjid Salman, di IPB di Masjid Al-Ghiffari. Siapa penggerak-penggeraknya? Eks Masyumi, keturunan, dan kader-kadernya.
Harus jujur diakui, eks-Masyumi (sebagian besar) sampai sekarang tidak ikhlas kehilangan tujuh kata dalam Piagam Jakarta. Masyumi tidak setuju khilafah Islam, tetapi mendukung formalisasi syariat Islam di Indonesia. Bahasa gampangnya: negara Islam dalam wadah nation-state yang bernama NKRI. Jadi agendanya tidak sama dengan Hizbut Tahrir yang bertujuan merobohkan sekat nation-state dan mendirikan imperium Islam transnasional.
Masyumi dibubarkan Soekarno pada 1960 karena terlibat pemberontakan PRRI. Pada awalnya mendukung Soeharto dan Orde Baru, Masyumi kecewa karena Soeharto ternyata menolak memulihkan status Masyumi dan melarang tokoh-tokoh pentingnya memimpin partai politik Islam eks-Masyumi. M. Natsir, figur sentral Masyumi, kemudian mendirikan DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) pada 1967. Kantornya ‘jejeran’ (selisih beberapa gedung) dengan kantor GP Ansor. Kiprahnya di bidang dakwah dan pendidikan. Bekerja sama dengan Liga Dunia Islam dan IIFSO (International Islamic Federation of Student Organizations), DDII menerbitkan terjemahan buku-buku para ulama IM (Mesir) dan Jama’ati Islam (Pakistan).
Atas lobi Natsir, Aras Saudi setuju mendirikan LPBA, yang kelak menjadi LIPIA di Jakarta. Tujuan Natsir adalah membendung pengaruh Syiah dalam gelombang kebangkitan Islam pasca suksesnya Revolusi Islam Iran pada 1979. Melalui LIPIA, doktrin Sunni Wahabi disebarkan secara intens ke Indonesia. Pengikut Wahabi, antara lain, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, pimpinan DDII Cabang Solo. Natsir juga berhasil menggalang dana beasiswa dari Timur Tengah. Jebolannya banyak jadi pemuka gerakan tarbiyah. Di dalam negeri, DDII menginisiasi pendirian sejumlah perguruan tinggi Islam, antara lain Yarsi (Jakarta), Unisba (Bandung), Unissula (Semarang), UISU (Medan), UIR (Riau), dan UMI (Makassar). DDII juga terlibat dalam aksi sosial melalui underbouw-nya yaitu KISDI dan Kompak. HMI pecah jadi dua. HMI MPO lebih dekat ke Natsir dan DDII, dengan tokohnya Abdullah Hehamahua dan Eggi Sudjana.
Seluruh agenda DDII adalah kelanjutan dari misi politik Masyumi yang terpotong, yaitu formalisasi syariat Islam. Masyumi, sekali lagi, belum ikhlas kehilangan tujuh kata Piagam Jakarta. Silakan baca buku Endang Saifuddin Anshari (ESA), Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sejarah Konsensus Nasional antara Nasionalis Islami dan Nasionalis ‘Sekular’ tentang Dasar Negara Republik Indonesia 1945-1949. Buku ini diangkat dari tesisnya di McGill University, Kanada. Siapa ESA? Dia adalah putra Muhammad Isa Anshari, Ketua Partai Masyumi di Parlemen. ESA meyakini tujuh kata Piagam Jakarta harusnya balik lagi. Apa alasannya? Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959! Di situ ada kalimat berbunyi: “Kami berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.” Dekrit adalah tanda Indonesia kembali ke UUD 1945. Jadi, kalau Piagam Jakarta beserta tujuh katanya tidak balik ke UUD 1945, artinya terjadi ghosob terhadap umat Islam. Buku ESA dipuji-puji oleh tokoh Masyumi dan dijadikan referensi oleh anak cucu dan kader-kadernya.
Kembali ke JS. Bersama kolega-koleganya di PTN lain, JS adalah manifestasi kebangkitan Islam di kalangan mahasiswa pada tahun 70an. Di JS UGM, maskotnya adalah Amien Rais dan Sahirul Alim. Di Salman ITB, tokohnya adalah Imaduddin Abdurrahim, Ahmad Sadali, dan AM Luthfi. Di ARH UI, penggeraknya adalah Daud Ali, Djurnalis Ali, dan Achtianto. Di Al-Ghiffari IPB, tokohnya adalah AM Saefuddin dan Saleh Widodo; di UNPAD Endang Saifuddin Anshari, di Unair Fuad Amsyari. Mereka kelak menjadi tokoh dan pegiat-pegiat Islam ternama.
JS UGM didukung banyak tokoh eks Masyumi. Amien Rais, sepulang dari Amerika, menjadi figur kunci pembinaan JS. JS juga didukung oleh R Baswedan. Beliau adalah putra AR Baswedan, pendiri Partai Arab Indonesia yang bergabung ke Masyumi pada 1950an dan setelah itu membantu Natsir jadi Ketua DDII DIY. Cucu AR Baswedan adalah Gubernur DKI sekarang. Jadi, kalau Amien Rais mendukung Anies Baswedan di Pilkada DKI, itu ada sanadnya. Sanadnya, antara lain, JS. JS didukung oleh tokoh penting, tetapi namanya tenggelam. Banyak orang tidak tahu nama Ir. RHA. Syahrul Alim, M.Sc (SA), dosen MIPA UGM, pendakwah terkenal di DIY sekitar tahun 80an. Mantan Ketua KAHMI DIY, dosen tetap FT Kimia UII, pernah jadi PR II (1973-1981) dan PR IV UII (1982-1989). Yang paling keren, yang jarang orang tahu, SA pernah dibaiat sebagai Imam NII oleh Abdullah Sungkar pada 1983. Namanya tenggelam setelah kasus Asas Tunggal Pancasila dan peledakan Borobudur. Namanya muncul kembali dalam Kongres MMI di Gedung Mandala Bakti Wanitatama, Yogyakarta, pada Agustus 2000. Dipimpin Abu Bakar Ba’asyir sebagai Amir, dia jadi anggota Ahlul Halli wal Aqdi bersama Deliar Noer, Abdurrahman Basalamah, dan Fuad Amsyari.
Bagaimana dengan UII? DNA-nya tidak bisa lepas dari Masyumi. Meskipun ‘perawakannya’ sekarang kayak kampus ‘sekuler,’ dia lahir dari hasil Sidang Umum Masyumi tahun 1945. Semulanya namanya adalah STI (Sekolah Tinggi Islam). NU, melalui KH Abdul Wahid Hasyim, terlibat dalam pendiriannya. Setelah NU keluar dari Masyumi pada 1952, UII dikelola secara profesional, tanpa jejak NU, tetapi lekat dengan afiliasi Masyumi. HMI, yang terafiliasi dengan Masyumi, diprakarsai di kampus ini oleh Lafran Pane. HMI bisa dianggap sebagai organisasi ekstra kampus yang di-endorse di kampus ini. Organisasi lain kesulitan berkembang. Waktu saya jadi Ketua Komisariat PMII UGM, organisasi yang terafiliasi dengan NU ini tidak bisa berdiri, sebelum-sebelumnya, sesudah-sudahnya, sampai sekarang. Mahasiswa UII, yang mau ikut PMII, bergabung ke Komisariat UGM.
Bagaimana dengan Rektorat UGM? Jejaknya cukup panjang dikuasai kelompok nasionalis. Setahu saya (CMIIW), yang warna Islam (modernis)-nya agak kental hanya Ichlasul Amal (1998-2002) dan Sofian Effendi (2002-2007). Prof Amal adalah rektor UGM waktu saya kuliah. Waktu beliau jadi Rektor, UGM pernah menolak kehadiran Presiden Gus Dur di kampus Bulak Sumur. Jejak rektorat UGM lebih banyak dikuasai kelompok nasionalis. Dalam kontestasi rektorat, kelompok ‘semu-semu abang’ ini lebih sering menang. Bagaimana dengan Prof. Pratikno, yang sekarang jadi Mensesneg? Beliau contoh ‘ijo semu abang.’ Tapi JS berutang kepada Rektor UGM yang nasionalis, demokratis, dan konon paling dekat dengan mahasiswa. Namanya Prof. Koesnadi Hardjasoemantri. Waktu jadi Rektor, beliau mengesahkan JS sebagai Unit Kerohanian Islam di bawah PR III pada 1987. Beliau juga memberikan sepetak tempat sebagai pusat kegiatan JS di Gelanggang Mahasiswa. Baru pada 1999, JS pindah pusat ke Masjid UGM yang lebih megah.
Al-hasil, kalau UAS diundang JS, itu ada sanadnya. Kalau ditolak rektorat, itu juga ada jalarannya. Kalau kemudian disediakan karpet merah oleh UII, itu juga ada hubungannya. UAS ini penganut Islam tradisional, Islam bermadzhab, madzhab-nya Syafi’i, tetapi fikrah siyasah-nya punya benang merah dengan pengusung formalisasi syariat Islam. UAS ketemu dengan Islam tradisional pada level amaliah dan fikrah diniyah. Tetapi, begitu masuk fikrah siyasah, dia lebih dekat dengan jaringan pendukung formalisasi syariat Islam dan pengasong Khilafah Islamiyah.
*Sekretaris Umum PP ISNU