Hamemayu Hayuningrat



Hari ini, Minggu, 29 Maret 2020, bandara Yogyakarta International Airport (YIH) resmi dioperasikan secara penuh, menggantikan bandara lama, Adisucipto. Bandara Adisucipto yang telah dibuka sejak 1940, dan mulai difungsikan untuk bandara sipil dan militer sejak tahun 1964, kini akan dimanfaatkan sebagai bandara militer. Sebagian pesawat komersial masih akan dioperasikan di Adisucipto, yakni khusus pesawat baling-baling.

YIA yang terletak sekitar 41,9 km dari Titik Nol Kilometer Yogyakarta (ujung selatan Malioboro) dirancang untuk memenuhi kebutuhan perlintasan manusia lewat udara yang sudah tak mungkin lagi diakomodasi dengan ideal oleh Adisucipto. Bandara lama di pinggir timur kota Yogyakarta itu sudah terlalu mungil untuk menyangga nama sebagai 'international airport'. Kapasitas Adisucipto pertahun hanya bisa menampung masuk dan keluar penumpang sebanyak 1,8 juta. Namun kini sudah tak layak. Tahun 2019 jumlah penumpang (masuk dan keluar) sudah sekitar 8 juta jiwa. Sangat padat. Terlalu crowded.

Sementara YIA dikonsep dan dioperasionalkan akan mampu menampung perlintasan penumpang hingga 20 juta jiwa tiap tahun. Bahkan ada sumber lain yang menyebut YIA mampu mengakomodasi hingga 27 juta manusia pertahun. Landas pacu (runaway) di YIA pun sudah sangat memadai untuk mendarat (landing) dan lepas landas (take off) bagi pesawat terbang paling besar yang diproduksi di dunia. Di sana tergelar landas pacu sepanjang 3,25 km. Sementara di Adisucipto hanya 2,2 km dan tidak mungkin lagi bisa diperpanjang karena berimpitan dengan sungai (di barat) dan jalan (di sebelah timur).

Lalu, adakah sesuatu yang khas di bandara YIA? Ya, sentuhan beberapa karya seni rupa menjadi bagian di dalam bandara. Karya-karya para perupa Yogyakarta (beberapa reputasinya sudah mendunia) ada di areal bandara, seperti karya Entang Wiharso, Eko Nugroho, Wedhar Riyadi, Wilman Syahnur, Bonaventura Gunawan, dan masih banyak lagi.

Satu karya yang diandaikan menjadi ikon utama bandara YIA adalah patung bertajuk "Hamemayu Hayuningrat" yang kira-kira bermakna sebagai "Ibu Bumi Bapak Angkasa". Letaknya ada di halaman depan, diapit oleh jalur jalan masuk dan keluar bandara.

Tubuh patung itu setinggi 9 meter. Terbuat dari perunggu (persisnya "perunggu Jawa" karena komposisi bahannya beda dengan perunggu yang digunakan oleh para pematung di Eropa, misalnya). Disangga oleh sebuah pedestal dari beton setinggi 4 meter. Jadi, patung itu menjulang setinggi 13 meter. Cukup tinggi tapi sebetulnya masih jauh dari ideal soal ketinggiannya ini karena keberadaan patung tersebut terpacak pada sebuah areal yang luas dan "kosong", sehingga 13 meter terasa masih mungil. Patung itu mungkin terasa pas ketinggiannya bila diletakkan, misalnya, di plaza Titik Nol Kilometer Yogyakarta yang agak terbuka tapi dipagari oleh gedung-gedung yang tinggi (gedung Kantor Pos Besar, Bank Indonesia, dan BNI 46).

Patung "Hamemayu Hayuningrat" kiranya mendekati ideal bila memiliki ketinggian 20-25 meter (belum termasuk pedestal). Tinggi besar menjulang di tengah areal kosong dan terbuka. Untuk konteks Indonesia, coba bandingkan dengan patung Soekarno-Hatta yang berada sebelum masuk bandara Soetta (Soekarno-Hatta, Banten), atau patung Hasanuddin di depan bandara Hasanuddin, Makassar. Dua patung itu terlihat gagah, setidaknya dari aspek gigantiknya ukuran.

Lalu, kenapa sosok patung "Hamemayu Hayuningrat" secara visual adalah sosok perempuan? Wahyu Santoso, seniman patung yang mengkreasi patung 9 meter tersebut bercerita cukup banyak pada penulis. Menurutnya, untuk mewujudkan karya patung tersebut membutuhkan waktu, energi serta kesabaran yang panjang dan luar biasa.

Pematung lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini telah dihubungi oleh pihak kurator (Bambang "Toko" Wicaksono) dan PT Angkasa Pura sejak kurang lebih 2 tahun lalu atau akhir tahun 2017. Waktu itu dia diminta untuk membuat karya patung realis yang menggambarkan sosok atau tokoh yang ikonik dan representatif untuk menggambarkan kawasan bernama Daerah Istimewa Yogyakarta. Secara umum, konsep karya-karya seni yang berada di kawasan bandara YIA diharapkan related atau nyambung dengan konsep "Renaisans Jogja". (Tentang Renaisan Jogja ini, silakan cek situs Dinas Kebudayaan D.I. Yogyakarta).

Setelah melalui rapat awal, akhirnya Wahyu diminta untuk membuat model sosok Dwi Tunggal Yogyakarta, yakni figur Sri Sultan Hamengkubuwono IX dan Sri Paduka Pakualam VIII. Wahyu membuat model atau maket pasangan itu setinggi 65 cm. Pihak Angkasa Pura setuju. Maka tinggal meminta kesepakatan dan persetujuan pemilik otoritas wilayah Yogyakarta, yakni Sultan Hamengkubuwono X.

Ternyata Ngarsa Dalem atau Sultan Hamengkubuwono X tidak berkenan. Maka semua rencana tentang karya itu harus dikonsep ulang dari awal. Wahyu sendiri agak "kendor" untuk sementara dengan tidak memikirkan karya di bandara YIA. Kebetulan dia juga diminta untuk menggarap karya patung untuk bandara Ahmad Yani, Semarang. Maka untuk sementara dia fokus menuntaskan karya patung Jenderal Ahmad Yani yang sama, setinggi 9 meter dengan pedestal atau penyangga 5 meter.

Pertengahan 2019 Wahyu kembali dihubungi oleh pihak Angkasa Pura untuk menyeriusi lagi rancangan patung yang akan ditempatkan di YIA. Kontak-kontak sebelum itu tentu ada, namun belum banyak kesepakatan yang berarti.

Ide-ide kembali bertebaran. Salah satu yang menguat adalah mengangkat sosok pahlawan perempuan lokal Kulon Progo kabupaten tempat YIA berada. Sosok pahlawan itu adalah Nyi Ageng Serang. Pilihan itu ada argumentasinya, yakni tentang peran perempuan dalam kontribusinya pada perjuangan bangsa. Di samping itu juga ada dalih yang cukup "othak-athik gathuk" karena kemungkinan nama bandaranya adalah New Yogyakarta International Airport dan disingkat NYIA. Maka kalau di depan bandara NYIA ada patung sosok Nyi Ageng Serang, cukup masuk akal. Minimal logika pengucapan kata-kata Nyi Ageng dan akronim NYIA akan "nyambung".

Seiring jalannya waktu dan dinamika pewacanaan tentang bandara baru di Yogyakarta, akhirnya nama yang disepakati adalah YIA, Yogyakarta International Airport. Di sisi lain, pemunculan sosok Nyi Ageng Serang dianggap terlalu menyempitkan persoalan keberadaan bandara. Meski berada di kabupaten Kulon Progo, namun aspek ke-Yogyakarta-annya diminta untuk lebih diangkat dan ditonjolkan. Tidak terlalu Kulon Progo-sentris.

Pada titik inilah Wahyu Santoso, seniman asal Ngawi, Jawa Timur kelahiran 18 September 1972, mencoba mereka-reka imajinasinya tentang sosok yang akan dipatungkan. Di siai lain, dia ingin mengambil jalan tengah yang bisa diakomodasi oleh lebih banyak pihak.

Imajinasi tentang sosok Nyi Ageng Serang dijadikannya sebagai titik pijak awal untuk menggagas persoalan perihal aspek kebangsaan, perihal keIndonesiaan. Sosok perempuan yang awalnya merupakan figur Nyi Ageng Serang diubah total. Imajinasinya adalak sosok ibu pertiwi.

Ya, imajinasi tentang ibu pertiwi adalah gambaran tentang sosok yang menjadi perawat, pelindung, penjaga, pemelihara dan pemersatu bangsa. Figur perempuan dianggapnya sangat representatif untuk membayangkan gagasan tersebut.

Dikebutlah ide tersebut. Apalagi setelah model atau maket yang ditawarkan disetujui oleh semua pihak yang memegang otoritas atas proyek patung ini. Pihak PT Angkasa Pura okey, pihak Sultan Hamengkubuwono X pun oke. Maka proses eksekusi dalam bentuk patung gigantik setinggi 9 meter dikerjakan. Sepulang Wahyu Santoso naik haji, sekitar Agustus 2019, pengerjaan proyek patung "Hamemayu Hayuningrat" dikerjakan hingga selesai pada bulan Desember 2019. Ya, sekitar 4,5 bulan. Wahyu menyatakan bahwa pengerjaan karya ini termasuk ngebut, bahkan mungkin sedikit buru-buru karena dikejar deadline agar bisa tuntas sebelum akhir tahun. Ya, mungkin urusannya dengan pelaporan penganggaran di ujung tutup tahun.

Idealnya, karya tersebut bisa jauh lebih mendekati sempurna bila diberi tenggang waktu sekitar 6 bulan. Tapi dia tetap menjamin bahwa karya ini dikreasi oleh dia dan timnya dengan keseriusan. Wahyu masih membayangkan bila karya tersebut dibuat hingga setinggi 20 atau 25 meter, pasti akan lebih bagus dan monumental bagi YIA. Sayang memang keinginan itu tak bisa terpenuhi karena anggaran pemerintah yang terbatas.

Sekarang publik akan bisa menyaksikan patung "Hamemayu Hayuningrat" karya Wahyu Santoso di areal jalan masuk atau keluar bandara YIA. Patung itu menggambarkan sosok perempuan yang--kalau dilihat dengan cermat wajahnya--kisaran usianya antara 25-30 tahun. Itu merepresentasikan tentang wajah ibu pertiwi yang tengah masuk dalam usia produktif atau "golden age" yang sanggup melakukan banyak aktivitas fisik dan kemampuan bernalar.

Posisi tangan kanannya tampak menyangga sebuah bokor (wadah) emas di depan perut kirinya. Warna bokor memang beda (keemasan) dibanding warna keseluruhan patung. Ini menyimbolkan tentang imajinasi ihwal kemakmuran yang ingin berada dalam genggaman diri Sang Ibu Pertiwi. Simbol tentang kemakmuran atau keinginan atas pencapaian sosial ekonomi itu ditambah dengan visualisasi seuntai padi yang berada di belakang kepalanya. Untaian padi itu tampak ditusukkan di kepala bagian belakang dan menjuntai di atas sanggul kecil. Ya, sanggul kecil yang membuat dia bisa bergerak dinamis. Bukan sanggul besar yang akan mengganggu gerak dinamis dan produktifnya.

Posisi tangan kiri seperti mengacung ke atas. Acungan tersebut seolah seperti gerak tangan untuk melepaskan seekor burung. Gerak ini tepat untuk dilihat dari depan karena seperti menyambut orang yang datang masuk ke bandara dan pergi meninggalkan Yogyakarta. Patung itu seperti melepas, memberi kebebasan para "pejalan/travellers" yang akan pergi. Namun bila dilihat dari belakang atau dari arah bandara, sekilas seperti lambaian selamat datang bagi orang baru datang/turun di Bumi Yogyakarta.

Wahyu Santoso berproses cukup lama untuk mendapatkan pose figur perempuan seperti itu. Dia banyak berkonsultasi dengan pihak Kraton Ngayogyakarta tentang kostum perempuan yang dikenakannya. Kostum itu luwes atau fleksibel dikenakan oleh perempuan. Bukan mengisyaratkan kostum untuk perang (atau melakukan praktek kekerasan), bukan pula kostum yang cukup sensual (dengan bagian leher dan sebagian dada atas terbuka). Bukan. Oleh karenanya Wahyu dan tim melakukan simulasi dengan mencari model perempuan yang dipotret puluhan kali dengan berbagai angle, posisi dan memakai bermacam kostum.

Simbol visual yang ditampilkan dan diimajinasikan oleh Wahyu ini tentu saja masih sangat mungkin bisa ditafsirkan oleh siapapun. Karya itu masih menjadi teks terbuka yang bisa dimaknai dengan beragam kemungkinan. Termasuk Anda.

Selamat untuk Wahyu Santoso atas karya kreasi patung "Hamemayu Hayuningrat" ini yang tidak mudah prosesnya. Selamat untuk publik Yogyakarta yang telah dihadiahi kembali sebuah karya seni di ruang publik dengan ukuran besar (meski belum seideal yang dihasratkan). Selamat juga atas dibukanya YIA dengan segala kelebihan dan kekurangannya! ***

Kuss Indarto

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design