Masa Depan Syariah: Sekularisme dalam Perspektif Islam 2 | Abdullahi Ahmed An-Na’im

2. Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif Historis 
 
Tujuan utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme yang didefinisikan sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan tetap menjaga keterkaitannya dengan politik lebih konsisten dengan sejarah masyarakat Islam daripada dengan ide post-kolonial mengenai Negara Islam yang bisa menerapkan syariah melalui kekuasaan Negara yang memaksa. Pemisahan antara otoritas keagamaan dengan otoritas Negara merupakan perisai pengaman yang penting bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam. Dengan membuktikan bahwa sekularisme semacam ini merupakan hal yang islami, saya berharap bisa membantu menghilangkan anggapan ummat Islam bahwa konsep ini merupakan pemaksaan ala Barat yang akan menyisihkan agama ke ruang privat.  Sebagaimana akan saya jelaskan dalam bab 4, sebetulnya tidak ada satu model sekularisme Barat yang tunggal, karena setiap masyarakat Barat menegosiasikan hubungan antara agama dan Negara dan antara agama dan politik sesuai dengan konteks sejarah mereka. Keliru juga memahami bahwa di Negara Eropa dan Amerika Utara yang dianggap sekuler, agama telah dipinggirkan ke ruang privat. Dengan memahai bab 2 dan 4, jelaslah bahwa hubungan antara Negara dan agama dalam masyarakat Islam tidak jauh berbeda dengan masyarakat Barat. Mengutip Ira Lapidus,

“ada pembedaan yang jelas antara institusi Negara dan agama dalam masyarakat Islam. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan Negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi dan hubungan antara institusi-institusi tersebut.[1]
Penekanan saya terhadap perbedaan institusi agama dan Negara dalam sejarah masyarakat Islam bukan berarti bahwa pengalaman masa lalu masyarakat Islam tersebut harus menjadi model bagi masyarakat Islam saat ini dan di masa depan. Ide seperti ini tidak mungkin dilaksanakan dan juga tidak diinginkan karena masyarakat muslim saat ini memiliki konteks yang berbeda dengan masyarakat muslim sebelumnya. Usaha untuk menerapkan pengalaman historis tersebut akan menjadi tidak konsisten dengan asumsi mengenai pentingnya menegosisasikan secara kontekstual hubungan agama dan negara serta hubungan agama dan politik. Tinjauan historis dan  analisis terhadap hubungan antara Islam, negara dan politik dalam bagian ini hanya ditujukan untuk memperlihatkan bahwa pendekatan yang saya ajukan bisa didukung oleh analisis historis. Saya tidak bermaksud mengklaim bahwa salah satu masyarakat tersebut telah hidup dalam negara sekuler yang modern. Namun, tinjauan historis ini tetap akan menjadi signifikan bagi diskusi kita untuk memperlihatkan bahwa pemahaman terhadap sekularisme yang saya ajukan di sini, bukanlah ide yang asing dalam sejarah masyarakat Islam.

Untuk memenuhi tujuan tersebut, saya akan memulai dengan menjelaskan cara saya membaca dan menginterpretasikan sejarah Islam. Setelah itu, pada bagian dua bab ini, saya akan mengungkapkan visi ideal dan realitas pragmatis sejarah Islam tersebut. Dalam bagian tiga, saya akan memperlihatkan bagaimana visi ideal dan realitas pragmatis tersebut dalam sejarah Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir. Dalam bagian tiga tersebut, saya juga akan membahas status ahl-al-dhimma (ahl al-kitab) di beberapa negara bagian di Mesir untuk memperlihatkan implikasi pengalaman sejarah masa lalu tersebut terhadap masa depan penerapan prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak asasi manusia dalam masyarakat Islam saat ini.

Satu hal yang harus saya klarifikasi dari penjelasan ini adalah bahwa sejarah yang saya kemukakan di sini adalah sejarah ummat Islam yang menjadi mayoritas di sebuah daerah. Namun bukan berarti status mayoritas ini membuat mereka dianggap Islami atau ideal menurut sumber-sumber dasar Islam. Ummat Islam dulu maupun sekarang biasa berpendapat bahwa kegagalan ummat Islam saat ini bukanlah karena Islam itu sendiri, melainkan karena mereka tidak bisa menjalankan islam yang ideal. Saya tidak menganggap argumen ini relevan dengan apa yang akan saya ungkapkan di sini, karena saya lebih tertarik dengan Islam yang dipraktikkan dan dipahami oleh ummatnya; bukan Islam yang ada dalam tataran ideal dan berbentuk abstrak. Memang selalu ada dimensi Islam yang ada di luar pemahaman dan pengalaman manusia. Dimensi ini biasanya ada, paling  tidak, dalam ingatan kolektif yang relevan dengan organisasi politik dan sosial masyarakat. Contohnya seperti yang tersurat dalam Qs. 43: 3 dan 4, “kami telah menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab kepadamu agar kamu memahaminya,…….”. Ketika mengutip ayat-ayat tersebut atau ayat al-Qur’an lainnya di sini, berarti kita sedang berusaha untuk menurunkan maknanya dalam bahasa Inggris karena al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan begitu saja. Demikian juga ketika seseorang mengutip al-Qur’an dalam versi Arabnya, proses penurunan makna itu akan tetap terjadi karena tidaklah mungkin seseorang merujuk pada al-Qur’an kecuali jika ia memahaminya.

Dengan kata lain, usaha apapun untuk mengidentifikasi atau mendeskripsikan islam yang ideal kepada orang lain selalu terhambat oleh keterbatasan-keterbatasan dan kemungkinan manusia untuk berbuat salah. Memang tingkat pemahaman dan pengalaman seseorang terhadap makna al-Qur’an itu berbeda-beda, tapi tidak ada seorang manusia pun yang bisa sepenuhnya mentransendensikan kemanusiaannya, terutama kepada manusia lain. Jika kemampuan manusia yang terbatas untuk memahami dan mengkomunikasikan sesuatu itu selalu menjadi dasar bagi usaha untuk mengembangkan hubungan sosial dan politik sesuai dengan ajaran Islam, saya jadi mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islami dalam konteks ini? saya tidak bermaksud menolak adanya keragaman individual dalam memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam, namun pemahaman dan pengamalan ini tidak bisa dijadikan dasar organisasi sosial dan politik masyarakat, kecuali jika ada pemahaman yang sama dan bisa dipatuhi oleh semua pihak. Dengan kata lain, makna kolektif dan praktis istilah “Islami” itulah yang harus terus dianalisis dan direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman ummat Islam dulu, kini dan nanti.

Dalam bingkai perspektif inilah saya menjadikan bab ini sebagai sebuah usaha untuk menunjukkan kontradiksi yang terdapat dalam gagasan penyatuan otoritas politik dan agama. Saya juga ingin menunjukkan bahaya yang tak terhindarkan jika mengimplementasikan gagasan tersebut. Saya katakan dengan jujur bahwa bahaya itu akan tetap ada, baik jika gagasan tersebut diklaim secara eksplisit ataupun implisit, atau bahkan jika ia hanya sebuah usaha yang dilakukan secara selektif tanpa klaim terbuka. Tujuan ini saya ungkapkan di sini dalam konteks pengalaman sejarah masyarakat muslim dimana kualitas Islami dipahami dengan cara sebagaimana yang sudah saya ungkapkan tadi. Saya menyadari bahwa saya tidak mungkin mempresentasikan pembahasan sejarah yang komperehensif atau mendiskusikan aspek atau peristiwa tertentu yang disebutkan dalam bab ini secara lengkap. Bahkan jikapun hal ini bisa dilakukan, saya akan sulit mengklarifikasi hal penting yang ingin saya bahas dalam bab ini. Karena itulah, saya hanya akan menyoroti beberapa peristiwa dan tema yang cukup familiar dalam sejarah Islam untuk memperjelas isu yang saya bicarakan di sini. Saya juga akan mengutip beberapa sumber yang memberikan informasi dan elaborasi lebih lanjut.

I.     Kerangka untuk Membaca Sejarah Islam
Sejarah sebuah masyarakat berisi berbagai jenis peristiwa dan dimensi hubungan manusia. Persepsi yang berbeda mengenai sejarah pasti cenderung menekankan satu atau beberapa elemen, dan ini dilakukan untuk mendukung institusi sosial, relasi ekonomi atau organisasi politik tertentu. Sebagai contoh, persepsi yang berbeda tentang sejarah bisa saja menekankan tradisi toleran atau, malah, sebaliknya terhadap perbedaan agama, praktik dan pendapat politik dalam masyarakat. Karena perbedaan persepsi itu dikutip untuk mempengaruhi pandangan dan perilaku ummat Islam saat ini, pembuat kebijakan dan pihak yang terlibat dalam debat publik cenderung untuk menekankan persepsi-persepsi yang cocok dengan posisi mereka. Pihak-pihak yang terlibat dalam debat pasti menekankan visi mereka tentang sejarah secara meyakinkan. Namun sayangnya, visi itu tidak serta merta menjadi benar atau sah. Jelas bahwa kerangka dan interpretasi terhadap sejarah Islam yang akan saya kemukakan berikut ini pun merupakan salah satu persepsi-persepsi yang saling bersaing dan memiliki sisi kemanusiaannya. Karena itu, kerangka ini bukan merupakan satu-satunya pandangan yang sah. Namun, memang begitulah pendekatan sejarah; tidak ada seorang pun yang bisa bersikap netral atau objektif terhadap sejarah Islam dan sejarah lainnya.

Studi kasus mengenai dinasti Fatimiyah dan Mamluk Mesir yang saya paparkan di sini bukanlah wakil dari seluruh masyarakat Islam masa lalu, bahkan bagi masyarakat yang ada di negeri tersebut dan hidup pada saat itu, apalagi dari masyarakat Asia Tengah atau masyarakat Afrika. Tetapi, fokus studi kasus ini sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya bias mengenai posisi Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai pusat Islam. Dominannya fakta sejarah itu membuat Islam hanya dipahami sebagai pengalaman sosial dan budaya masyarakat Islam di daerah tersebut, terutama pada masa 4 atau 5 tahun pertama Islam. Akibatnya, penguasa-penguasa Muslim di daerah lainnya hampir menganggap pengalaman masyarakat Islam Timur Tengah sebagai kerangka wacana keislaman yang sah dan otoritatif.  Bahkan masyarakat muslim yang tinggal di daerah lain pun menganggap bahwa pengalaman keagamaan dan sosial mereka lebih rendah dibandingkan dengan pengalaman masyarakat Timur Tengah jika digunakan sebagai argumen keagamaan. Ini bisa dipahami karena teks al-Qur’an dan sunnah berbahasa Arab dan dipahami dalam konteks pengalaman masyarakat Arab saat itu. Namun ketika kekuatan untuk menentukan diri sendiri (self-determination) semakin menguat, pengakuan yang sama nampaknya harus diberikan kepada semua pengalaman masyarakat Islam, dimanapun mereka berada.

Bias yang tadi saya sebutkan nampaknya sudah sangat tertanam dalam sumber dan sejarah intelektual masyarakat Islam sehingga tidak mungkin dihilangkan dalam waktu singkat. Namun, upaya tersebut tidak mungkin dimulai jika kita tidak mengenalinya saat ini. Meskipun mengidentifikasi bias semacam itu bukan kompetensi saya, namun saya berharap ide saya mengenai pembacaan alternatif terhadap sejarah masyarakat Islam dapat memunculkan debat mengenai isu tersebut, terlepas dari pengalaman sejarah yang digunakan untuk melakukan hal itu. Menurut saya, mengambil pelajaran dari pengalaman satu masyarakat Islam pra-modern dengan menggunakan sebanyak-banyaknya sumber lebih baik daripada kita menyesali kurangnya perhatian terhadap pengalaman beberapa masyarakat. Melalui perspektif inilah, saya akan berusaha untuk mengklarifikasi tema utama bab ini yaitu memahami pengalaman hubungan Islam dengan negara dan politik dalam sejarah pengalaman masyarakat Islam.
Hubungan antara Islam, negara dan politik sepanjang sejarah masyarakat Islam  jelas  merefleksikan ketegangan permanen antara visi ideal penyatuan Islam dan negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk melanggengkan otonominya dari institusi negara. Pemimpin agama membutuhkan otonomi dari negara untuk mempertahankan otoritas moralnya pada negara dan masyarakat secara keseluruhan. Kerangka dasar yang digunakan untuk memediasi ketegangan itu adalah adanya harapan ummat Islam kepada negara untuk memegang teguh prinsip-prinsip Islam dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga wataknya yang sekular dan politis. Harapan yang pertama berdasarkan pada keyakinan ummat Islam bahwa Islam menyediakan model yang komprehensif untuk kehidupan individu dan publik dalam ruang publik maupun ruang privat. Namun, negara pada dasarnya memang merupakan institusi yang sekular dan politis karena kekuasaan dan institusinya menuntut bentuk dan tingkat kontinuitas dan prediktabilitas yang tidak bisa disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang pemimpin agama bisa dan memang harus menekankan cita keadilan dan kesetiaan terhadap syariah dalam teori. Tapi, mereka tidak mempunyai kekuasaan maupun kewajiban untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan praktis seperti bagaimana mempertahankan perdamaian antar komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi dan sosial atau mempertahankan negara dari ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yang menuntut negara untuk memiliki kontrol yang efektif terhadap wilayah dan penduduknya, serta memiliki kemampuan untuk menggunakan kekuataan pemaksa agar penduduknya tunduk dan patuh pada kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya lebih mungkin dipenuhi oleh pemimpin politik daripada pemimpin agama.

Namun demikian, bukan berarti pemimpin agama tidak bisa memiliki otoritas politis atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan untuk membedakan kedua jenis otoritas ini, bahkan jikapun keduanya dimiliki oleh satu orang. Sebagai contoh: otoritas keagamaan lebih berdasarkan pada penilaian dan kepercayaan personal terhadap tingkat kesalehan seorang ulama. Penilaian subjektif seperti ini hanya mungkin dilakukan melalui interaksi yang rutin dan bersifat lokal. Namun perlu juga diingat bahwa model interaksi yang seperti ini nampaknya tidak bisa dimiliki oleh semua orang, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan atau di daerah yang sangat jauh. Sebaliknya, otoritas politik cenderung berdasarkan kualitas yang bisa dinilai secara lebih “objektif”. Kualitas tersebut menyangkut kemampuan untuk menjalankan kekuasaaan kursif dan administrasi yang efektif bagi kemaslahatan komunitas. Saya harap pembedaan ini bisa menjadi lebih jelas pada bagian-bagian selanjutnya.

Setiap masyarakat membutuhkan negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi penting seperti mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamanan publik dalam wilayahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga serta menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk kebaikan mereka. Agar negara bisa menjalankan fungs-fungsi tersebut, ia harus memilih salah satu dari sejumlah kebijakan yang saling bertentangan dan mempunyai monopoli yang efektif untuk menggunakan kekuatannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut. Saya harus tekankan di sini bahwa kita sedang berbicara tentang kebijakan publik dalam skala yang luas; bukan kepercayaan personal seseorang terhadap pemimpin agamanya dengan mematuhi saran-saran yang mereka berikan dalam persoalan-persoalan rutin maupun spiritual. Kebutuhan untuk melaksanakan kebijakan publik yang umum, seperti dibedakan dari kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut adanya pemimpin yang ditentukan (baik melalui ditunjuk, dipilih atau dengan cara apapun)  karena mereka diharapkan bisa melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Pemimpin-pemimpin itu diharapkan pula memiliki kecakapan politik dan kemampun untuk menggunakan kekuasaaan kursif.  Kualitas pemimpin politik yang efektif, dengan demikian, harus ditentukan oleh publik dalam skala yang luas, dengan cara yang jelas dan teratur, agar bentrokan sipil atau konflik bernuansa kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik dan otoritas mereka menimbulkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau, paling tidak, kebuntuan dan kebingungan dalam pemerintahan.

Sebaliknya, pemimpin agama mendapatkan pengakuan dari ummat karena kesalehan dan pengetahuan mereka. Pengakuan ini bisa ditentukan oleh penilaian personal seseorang yang butuh untuk tahu potensi pemimpin agamanya melalui interaksi sehari-hari. Identitas dan otoritas pemimpin agama hanya bisa dicapai secara gradual dan tentatif melalui relasi interpersonal dengan pengikutnya. Dalam pandangan saya, hal ini tidak saja terjadi dalam komunitas sunni, namun juga dalam komunitas syi’ah yang memiliki hirarki struktural yang sudah mapan. Dalam komunitas Syi'ah, interaksi harian di level lokal ini diperkuat dengan otentisitas rantai riwayat yang sampai pada Imam atau Syeikh. Perbedaan antara otoritas politik dan keagamaan yang saya tekankan di sini, bisa juga diungkapkan untuk membedakan antara kekuasaan kursif dan kekuasaan eksklusif yang dimiliki oleh pemimpin politik atas wilayah dan penduduk tertentu, dengan otoritas moral yang dimiliki oleh pemimpin agama yang bisa juga berlaku luas dan bagi banyak orang.

Dengan demikian, ada perbedaan fundamental antara kualitas pemimpin politik dan pemimpin agama dalam cara penunjukkan atau pemilihan mereka dan bentuk serta jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa pemimpin politik juga memiliki kesalehan dalam beragama dan pengetahuan. Begitupun pemimpin agama, mereka bisa memiliki keterampilan berpolitik dan kemampuan untuk menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya umat Islam mengharapkan masing-masing pemimpin memiliki kualitas yang lain. Seorang pemimpin politik misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan pengetahuan tertentu, sementara pemimpin agama juga diharuskan memiliki keterampilan berpolitik untuk bisa memenuhi peran mereka dalam masyarakat. Namun, penguasa manapun tidak akan mengijinkan adanya penilaian independen terhadap tingkat kesalehan dan pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan dengan klaim legitimasi mereka atas kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik pemimpin agama bisa dinilai melalui interaksi inter-personal yang damai dan tanpa kekerasan. Suatu hal yang tidak realistis untuk mengharapkan penguasa melepaskan kekuasaan kursifnya karena masyarakat menilai tingkat kesalehan dan pengetahuan mereka tidak cukup. Sama tidak realistisnya mengharapkan pemimpin agama melepaskan otoritas mereka hanya karena kualitas dan keterampilan politiknya tidak memuaskan. Namun, membiarkan orang yang sama untuk memiliki kedua otoritas ini pun merupakan hal yang berbahaya dan kontra produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko terjadinya kekacauan sipil dan kekerasan.

Karena legitimasi keagamaan merupakan hal yang penting bagi penguasa untuk mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tak heran jika mereka selalu cenderung mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan. Namun, klaim seperti itu tidak serta merta menjadikannya muslim yang hebat atau menjadikan negara yang dipimpinnya islami. Malah, penguasa biasanya sangat menginginkan legitimasi keagamaan ketika klaim mereka tidak lagi dianggap sah. Padahal, kerendahan hati yang merupakan simbol kesalehan, menuntut seseorang untuk tidak mengklaim dirinya sebagai orang soleh atau paling tidak, tidak secara aktif mengakui kualitas tersebut. Namun bila cara ini ditempuh, penguasa harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin agama dengan membiarkan mereka tetap mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi inilah yang justru menjadi sumber kekuatan untuk memberikan legitimasi bagi otoritas penguasa. Tapi, penguasa juga tidak bisa memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemimpin agama, karena mereka mungkin menggunakan kebebasan itu untuk melemahkan otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, harus bersikap kritis kepada negara karena dengan cara demikian, mereka bisa mempertahankan otoritas keagamaan mereka di tengah-tengah komunitas dan juga mendorong negara untuk mengontrol mereka. Dengan demikian, semakin besar otonomi pemimpin agama, semakin besar pulalah tantangan mereka bagi otoritas politik negara. Tetapi, jika mereka dianggap dikontrol oleh negara, semakin kecil pulalah kemungkinan masyarakat menerima penilaian mereka bahwa negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah memperlihatkan bahwa institusi agama dan negara memang harus dipisahkan, namun dalam praktiknya keadaan ini sulit untuk dipertahankan.

Paradoks yang dalam dan kompleks ini, yang juga merupakan pengalaman komunitas agama lain dan bukan hanya ummat Islam, mengantarkan kita pada bagian berikutnya. Otoritas keagamaan harus dipisahkan dari kekuasaan politik agar pemimpin agama bisa menjaga penguasa untuk tetap akuntabel pada  prinsip-prinsip Islam. Karena akuntabilitas murni tidak mungkin bergantung pada kerjasama sukarela penguasa yang pasti merasa terbebani dengan itu, maka persoalannya adalah bagaimana membuat penguasa tetap akuntabel tanpa harus menghadapi ancaman pemberontakan. Jika otoritas keagamaan mengancam atau cenderung memberontak, seperti yang terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan berusaha menekan mereka dengan kekerasan yang akhirnya mengarah pada perang sipil atau kekacauan sipil. Inilah dilema yang dihadapi pemimpin agama seperti al-Ghazali untuk mentoleransi penguasa yang opresif atau tidak sah dan menyebutnya sebagai The Lesser of Two Evils (iblis kerdil).

Dari perspektif ini, sejarah Islam bisa dibaca sesuai dengan jarak antara institusi agama dan negara yang dialami atau dibangun oleh rezim yang berbeda. Model pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh institusi agama dan negara berdasarkan prototipe masyarakat yang dibangun Nabi di Madinah yang mengasumsikan keharusan penyatuan kepemimpinan militer dan politik dengan kepemimpinan agama. Dalam model seperti itu berarti tidak ada pemisahan antara institusi agama dan politik; masyarakat diorientasikan pada satu figur, dan nampaknya ada hirarki dan sentralisasi yang kuat. Model yang lain adalah pemisahan utuh antara otoritas agama dan politik yang nampaknya menjadi pilihan yang dominan dipraktikkan, meskipun tidak penah diakui secara terbuka oleh rezim yang bersangkutan karena mereka masih menganggap pentingnya mendapatkan legitimasi keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan rezim  politik di negara-negara Islam ada diantara dua model ini. Mereka tidak pernah mencapai penyatuan secara utuh seperti model ideal yang dicontohkan Nabi, meskipun mereka selalu mengklaim lebih dekat pada model ini daripada ke model pemisahan utuh antara otoritas politik dan agama. Hal yang ingin saya tekankan dalam bab ini adalah ummat Islam lebih baik mengenali ketidakmungkinannya mencapai model penyatuan utuh agar mereka lebih mudah untuk mengelola dan mengatur model pemisahan yang lebih pragmatis. Saya akan jelaskan hal ini lebih lanjut pada bagian lain dalam bab ini.

Penyatuan ideal tidak mungkin dicapai setelah Nabi meninggal karena tidak ada seorang manusiapun pada saat ini yang memiliki otoritas politik dan keagamaan yang sama sepertinya. Sebagai perwujudan utama model ini, ummat Islam menerima Nabi sebagai satu-satunya pembuat undang-undang, hakim dan pemberi perintah. Pengalaman seperti itu unik dan tidak bisa direplikasi, karena ummat Islam percaya bahwa tidak ada Nabi setelah Nabi Muhammad. Semua penguasa sejak Abu Bakar, Khalifah pertama, harus menegosiasikan atau memediasi ketegangan permanen antara otoritas politik dan agama, karena tidak satupun dari mereka yang dianggap mampu oleh semua ummat Islam untuk menggantikan posisi Nabi yang telah mendefinisikan Islam dan yang menentukan bagaimana ia harus diimplementasikan oleh ummatnya.

Semua pemimpin, memang, pasti menghadapi oposisi yang bisa jadi sangat kuat bahkan, kadang-kadang, penuh kekerasan. Namun perbedaan yang signifikan antara dua model otoritas ini adalah bahwa klaim oposisi terhadap otoritas politik hanya bisa berdasar pada penilaian manusia yang bisa dinilai oleh manusia lain. sedangkan oposisi terhadap kepemimpinan agama memerlukan adanya otoritas ketuhanan yang tentu saja mampu mengatasi tantangan manusia. Karena dasar otoritas politik, seberapapun despotik dan otoriternya, adalah representasi pandangan dan kepentingan warga, maka ia bisa ditantang dengan menggunakan alasan-alasan yang sama. Sebaliknya, karena dasar kepemimpinan agama adalah klaim otoritas moral, maka ia tidak bisa tunduk pada penilaian manusia. Meskipun ada kebebasan untuk menerima atau menolak pesan-pesan Islam, namun tidak ada masalah oposisi politik yang ditujukan kepada Muhammad di kalangan Ummat Islam yang mengakuinya sebagai nabi terakhir. Sebaliknya, ketika Abu Bakar menggunakan otoritasnya untuk memerangi suku-suku Arab yang menolak untuk membayar zakat kepada negara, banyak sahabat Nabi yang terkemuka, termasuk Umar yang menggantikannya sebagai khalifah kedua, menentang kebijakan ini.

Contoh yang saya kemukakan barusan masih menjadi bahan kontroversi di kalangan sarjana Islam, seperti yang dijelaskan dalam bagian berikutnya, karena Abu Bakar menggunakan alasan keagamaan untuk menumpas pemberontakan. Saya sendiri berpendapat bahwa Abu Bakar membuat keputusan yang benar. Namun saya juga melihat bahwa pada sahabat menerima pendapat Abu Bakar karena ia adalah pemimpin politik komunitas muslim saat itu, dan bukan karena persoalan otoritas keagamaan. Tentu saja benar bahwa, bagi para sahabat Nabi saat itu, seperti bagi ummat Islam generasi berikutnya, ketaatan kepada penguasa yang sah merupakan kewajiban agama seperti yang tersurat dalam Qs. 4:59. Namun, kewajiban ini juga nampaknya berlaku meskipun seseorang tidak setuju dengan kebijakan penguasa  dengan alasan keagamaan demi mempertahankan stabilitas dan keamanan masyarakat. Jika saja Umar yang menjadi khalifah pada saat itu, mungkin pandangannya yang tidak sesuai dengan Abu Bakarlah yang akan berlaku. Dari perspektif inilah, situasi yang melatari peristiwa-peristiwa itu jelas-jelas politik dan bukan agama, walaupun kampanye untuk memerangi suku Arab yang murtad itu memiliki alasan-alasan religius sekaligus politik.

Jelas bahwa para penguasa muslim terus berusaha mengamankan kontrol mereka atas negara dengan menarik atau memaksa otoritas keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya. Namun, di sisi lain, otoritas keagamaan juga berusaha untuk mempertahankan tingkat otonomi dan kemerdekaan mereka dari aparat negara agar mereka bisa menantang atau bahkan memperbaiki penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh aparat negara. Seperti yang sudah saya catat sebelumnya, negara harus menyelesaikan paradoks pemberian otonomi yang cukup bagi otoritas keagamaan agar mereka bisa mendapatkan legitimasi dari kelompok ini untuk kekuasaannya. Tapi, penguasa juga tidak bisa membiarkan mereka terus independen, hingga mereka bisa menantang otoritas negara. Secara historis, model yang telah ternegosiasikan, telah diperlihatkan melalui sistem patronase dan pemberian sponsor oleh pihak yang berkuasa kepada institusi-institusi keagamaan. Beberapa bentuk negosiasi telah kita saksikan sebelumnya, namun bentuk yang paling jelas bisa ditelusuri ke pertengahan abad ke-10 ketika Dinasti Buwaihhi menaklukkan Baghdad dan harus menghadapi minoritas syi'ah serta sunni yang menolak kehendak politiknya. Setelahnya, dinasti Saljuk, Zangid, Ayyub, dan Mamluk meniru model ini dengan berbagai penyesuaian.

Ini tidak berarti bahwa otoritas keagamaan selalu mengakomodasi atau dikooptasi dan dipaksa oleh  penguasa. Para ulama dan pemimpin sufi, misalnya, memilih untuk menghindari negara dan aparatusnya. Meskipun kebanyakan pemimpin agama yang beroposisi kepada pemerintah melakukannya dengan cara damai, tak sedikit di antara mereka yang terpaksa mengunakan pemberontakan. Mungkin kasus-kasus oposisi politik para pemimpin agama tidak memperlihatkan model terpisah, seperti yang terlihat pada respon sejumlah pemimpin agama terhadap penguasa yang berusaha mendapatkan legitimasi bagi negara yang dipimpinnya.  Namun keberadaan respon-respon tersebut tetap menunjukkan adanya pembedaan antara otoritas agama dan negara, seperti yang sudah diungkapkan oleh Lapidus di muka. Sekarang saya akan mencoba untuk mengklarifikasi dan mendukung perspektif tentang sejarah masyakat Islam ini dengan menyoroti pola hubungan Islam, negara dan politik dan tidak sekedar menarasikan peristiwa dan sosok.

Sekedar menyimpulkan, pembacaan atau cara pandang terhadap sejarah masyarakat Islam yang saya ajukan adalah bahwa ada pemisahan yang jelas antara otoritas agama dan politik yang bisa ditelusuri sejak masa Abu Bakar menjadi khalifah pertama negara Madinah. Fakta bahwa pandangan ini tidak berlaku di kalangan ummat Islam tidak berarti bahwa pandangan ini dengan sendirinya keliru. Malah, krisis hubungan antara Islam dengan negara dan politik yang sedang dialami oleh ummat Islam saat ini di manapun mereka berada, mengindikasikan pentingnya cara baru dalam membaca sejarah. Cara ini diharapkan berguna sebagai pedoman pelaksanaan syariah dalam masyarakat muslim di masa yang akan datang karena cara pandang lama yang sudah familiar nampaknya mulai tidak berlaku. Tentu saja, ini tidak berarti bahwa pandangan yang saya ajukan di sini seluruhnya benar, hanya saja ajuan ini perlu dipertimbangkan secara serius sebagai alternatif bagi pandangan umum yang berlaku saat ini, daripada sekedar dianggap keliru karena sifatnya yang tidak familiar.

II.               Permulaan Mediasi antara Visi Ideal dan Realitas Pragmatis

Seperti yang sudah saya ungkapkan, karena model Nabi di Madinah terlalu unik untuk direplikasi, saya akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali) pada tahun 632-661, dan periode Umayah (661-750).[2] Saya akan mempertimbangkan sejarah masa awal ini dalam hubungannya dengan dua model penyatuan dan negosiasi hubungan antara Islam dan negara maupun antara Islam dan politik. Dalam bagian kedua saya akan menguji secara singkat beberapa peristiwa dan konsekuensi yang ditimbulkan oleh peristiwa mihnah yang dimulai pada masa Khalifah al-Ma'mun di tahun 833 dan dilanjutkan oleh penguasa setelahnya dalam hubungannya dengan pertanyaan yang kita bahas dalam bab ini. Karena peristiwa-peristiwa itu menekankan pentingnya membedakan Islam dan negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf sebagai kekuataan kelembagaan dan keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama dalam menegosiasikan hubungan Islam dengan negara dan politik.

Sebagaimana muslim yang lain, sulit bagi saya untuk menawarkan refleksi analitis terhadap fase awal sejarah Islam tersebut karena tingginya penghormatan yang diberikan kepada para sahabat yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada masa itu. Bagaimana saya bisa melakukan penilaian salah atau benar kepada Abu Bakar, seorang sahabat Nabi yang paling dihormati di kalangan muslim sunni, ketika ia memutuskan untuk mengobarkan perang terhadap orang murtad atau yang lebih dikenal sebagai hurub al-rida, atau menilai bagaimana ia mengatasi persoalan Khalid bin al-Walid karena perilakunya selama masa penaklukan? Bagaimana saya bisa mengkritik Muawiyah, seorang sahabat lain yang mendirikan dinasti Umayyah? Namun, sebagai seorang muslim saya juga harus merefleksikan sosok-sosok tersebut dan perilaku mereka karena saya percaya pentingnya menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam kini dan nanti. Karena sebagai Muslim saya tidak mau menghindar dari tanggung jawab dengan hanya menjauhi isu semacam ini. Saya malah merasa terhormat untuk mengungkapkan pandangan seperti itu dan karena saya melakukannya untuk kemasalahatann bersama bukan demi keuntungan pribadi.

Lagipula, keterlibatan saya dalam melakukan refleksi kritis terhadap aksi politik sosok-sosok religius itu merupakan bagian dari alasan saya untuk tetap menekankan pentingnya netralitas negara terhadap agama, seperti yang berkali-kali saya ajukan dalam buku ini. Pemisahan antara agama dan negara diperlukan agar ummat Islam bisa memegang teguh kepercayaan agamanya dan hidup sesuai dengan kepercayaan itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka untuk berpartisipasi dalam urusan-urusan publik masyarakatnya. Sejarah menunjukkan bahwa pemuka agama rentan terhadap rayuan dan paksaan untuk mendukung agenda politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi yang berat seperti yang terlihat dalam kasus mihnah berikut ini. Untuk menghindari dilema ini, beberapa pemimpin agama cenderung menghindari keterlibatan serius dalam urusan publik. Daripada menghadapi kesulitan yang sama, saya menyarankan agar ummat Islam saat ini sebaiknya menempuh upaya pemisahan antara Islam dengan negara, yang berarti bahwa mereka yang mengontrol negara tidak bisa menggunakan kekuasaan kursifnya memaksakan atau menerapkan kepercayaannya. Tujuan saya merefleksikan relevansi dan signifikansi peristiwa-peristiwa sejarah fase awal dan sangat diperdebatkan ini adalah untuk melihat apa yang mereka perlihatkan kepada kita tentang Islam dan negara, tanpa menilai apa yang benar dan yang salah, siapa yang baik dan siapa yang jahat.

Perang terhadap Orang-Orang Murtad dan Watak Negara

Suksesi Nabi merupakan topik yang tetap hangat diperdebatkan sepanjang sejarah masyarakat Islam karena implikasinya yang besar terhadap watak negara dan hubungannya dengan Islam. Urutan peristiwa yang umum diterima adalah bahwa klaim kelompok Muhajirun lebih kuat daripada klaim kelompok anshar. Riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa kelompok anshar menuntut adanya pemimpin (amir) dari dua kelompok yang berbeda ini, menunjukkan bahwa mereka khawatir mengenai resiko adanya pemerintahan yang terkonsolidasikan, daripada sekedar reaksi penolakan terhadap Abu Bakar atau semacamnya. Fakta ini akan relevan untuk memahami alasan pemberontakan suku-suku Arab lain yang ditumpas melalui perang riddah yang akan kita diskusikan berikut ini. Ketika isu pertama ini terselesaikan, Abu bakar memiliki pengaruh yang lebih kuat di kalangan muslim Mekah saat itu daripada calon lainnya, hingga Umar menyebutnya "kebetulan yang tak terrencanakan" (falta). Hal penting yang selalu menjadi kontroversi dalam proses ini adalah sebagian ummat Islam saat itu, yang kemudian dikenal sebagai kelompok pendukung Ali (shi'at) terus menentang validitas kemenangan Abu Bakar atas Ali. Hal yang lebih signifikan kita bahas dalam perbicangan kita saat ini adalah bahwa perbedaan alasan pemilihan pengganti Nabi dan kriteria pemilihan memiliki konsekuensi yang luar biasa terhadap watak negara sebagai institusi politik. Masalah yang berkaitan dengan posisi khalifah dan hubungannya dengan masa Nabi terus memiliki konsekuensi yang besar bagi watak negara itu sendiri. Sekarang saya akan membahas permasalahan ini melalui analisis terhadap perang orang-orang murtad dan pentingnya peran peristiwa ini dalam pembentukan watak negara sebagai institusi politik.

Perang terhadap orang-orang murtad merupakan krisis pertama yang dihadapi oleh pemerintahan yang baru setelah meninggalnya Nabi Muhammad. Saat itu, Abu Bakar harus memperlihatkan otoritas negara terhadap sejumlah suku Arab yang jelas-jelas menolak otoritas tersebut. Ummat Islam umumnya percaya bahwa Abu Bakar melaksanakan perang itu karena suku-suku itu telah murtad dengan mengikuti Nabi Palsu atau karena menolak membayar zakat. Namun kedua jenis resistensi ini ditumpas dengan menggunakan kekuatan atas nama negara. Fase ini biasanya sangat dibanggakan oleh kalangan sunni sebagai prestasi terbesar Abu Bakar yang membuktikan keabsahan pemilihannya sebagai khalifah pertama. Setelah konsolidasi kekuasaan politik di seluruh semenanjung Arab tercapai, barulah ekspansi ke Kerajaan Byzantium dan Sasanid dimulai.

Saya tidak tertarik dengan pandangan dominan itu, ataupun untuk menilai apakah tindakan Abu bakar untuk menyulut perang itu salah atau benar. Saya malah tertarik untuk melihat makna atau signifikansi episode itu dalam membentuk watak negara pada saat itu. Keputusan Abu Bakar untuk memerangi suku-suku itu agar mereka taat pada otoritasnya sebagai khalifah diperlihatkan dalam pernyataannya mengenai zakat yang sangat terkenal: "aku bersumpah demi Tuhan, jika mereka menolak untuk memberikan meski hanya sekerat daging unta yang dulu pernah diberikan kepada Nabi, saya akan bertarung dengan mereka karenanya." Apa sebetulnya alasan sikap ini? mengapa tindakan ini diinterpretasi sebagai sebuah bukti bahwa dialah khalifah pengganti Rasulullah? Apakah cara keputusan untuk memerangi suku-suku Arab itu dibuat, alasan yang melatarbelakanginya, maupun peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa itu mengindikasikan adanya model penyatuan antara kepemimpinan agama dan politik dalam Islam atau tidak? Jika ya, apa yang sejarah katakan pada kita tentang kesulitan dan kontradiski yang terdapat dalam pandangan semacam itu?

Sebagai contoh, pembedaan bisa dibuat antara dua kelompok besar yang diperangi oleh Abu Bakar yaitu mereka yang menolak untuk membayar zakat kepada Khalifah dan mereka yang mengabaikan Islam karena mengikuti Nabi Palsu. Bisa juga kita berargumen bahwa Abu Bakar menganggap penolakan untuk membayar zakat ke kas negara sama dengan murtad, sehingga pelakunya bisa dihukum mati. Namun, kita bisa juga melihat penolakan itu sebagai pemberontakan terhadap otoritas negara sebagai institusi politik yang keberadaannya bisa dijaga dengan kekuatan militer. Dengan mengatakan demikian, saya tidak bermaksud untuk bisa menyelesaikan kontroversi yang berlarut-larut, kompleks dan terus menimbulkan kemarahan bahkan hingga abad kedua dalam sejarah Islam ini. Saya hanya ingin merefleksikan implikasi kontroversi itu pada watak negara pada masa awal Islam tersebut, terlepas dari apa yang orang pikirkan tentang apa yang telah dilakukan oleh Abu Bakar. Sebagai contoh, saya ingin mengajukan pertanyaan: apakah usaha yang dilakukan Abu Bakar untuk menerapkan kewajiban zakat atau memerangi orang murtad merupakan caranya untuk memperlihatkan otoritas politiknya sebagai khalifah? apakah ia menjadi khalifah karena otoritas keagamaan yang dimilikinya di kalangan ummat Islam saat itu?

Beberapa pertanyaan menyangkut peristiwa itu masih tak terjawab sampai saat ini. Misalnya, apakah zakat itu dibayarkan secara sukarela pada masa Nabi dan apakah zakat itu diserahkan ke Madinah atau digunakan untuk kepentingan masyarakat lokal? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya sebagian dari pertanyaan yang terus dihindari oleh sejarawan. Ada satu bukti yang menunjukkan bahwa pada masa Nabi, zakat bukanlah persyaratan yang universal dan harus dipenuhi untuk menjadi seorang Muslim, dan bahwa Nabi menerima perpindahan seseorang dari agama lain tanpa syarat-syarat pembayaran. Disebutkan pula bahwa nisab zakat belum dikodifikasi hingga masa Khalifah Abu Bakar. Bukti yang ada menunjukkan bahwa Nabi tidak menggunakan kekerasan dalam mengumpulkan zakat.[3] Beberapa sahabat terkemuka seperti Umar dan Abu Ubaidah memperingatkan Abu Bakar supaya "menghapuskan pajak untuk tahun tersebut dan memperlakukan suku-suku yang loyal kepada Islam dengan lunak agar mereka memberikan dukungan kepadanya dalam melakukan tindakan terhadap mereka yang mengabaikan Islam".[4] Sahabat lain seperti Ali bahkan tidak berpartisipasi dalam kampanye tersebut. Adanya ketidaksepakatan sahabat terhadap masalah tersebut merupakan hal yang penting bagi kita untuk memahami dasar keputusan Abu Bakar dan implikasinya terhadap watak negara pada saat itu.

Hal kontroversial lain yang terjadi pada saat itu adalah keputusan Abu Bakar untuk menunjuk kalangan aristokrat Mekah sebagai komandan dalam perang riddah, padahal mereka baru masuk Islam setelah bertahun-tahun memusuhi dan menolak pesan-pesan kenabian.[5] Keputusan itu memperlihatkan sisi politis kampanye yang dilakukan Abu Bakar karena "penyerahan zakat bisa berarti tanda penyerahan otonomi kesukuan, penerimaan terhadap pajak resmi sekaligus pengakuan terhadap hak negara untuk memaksa pihak-pihak yang membangkang serta ketundukkan suku tersebut terhadap penguasa atau pemerintah.   Hal-hal tersebut, justru yang selama ini selalu ditentang oleh mereka.[6] Apreasiasi terhadap ketegangan dan ketakutan suku-suku Arab yang menghadapi transformasi drastis dalam lembaga dan hubungan sosial dan politiknya lah yang barangkali menyebabkan Nabi tidak pernah tertarik untuk menggunakan kekuatan. "Ketika pemimpin pemberontakan suku itu tertangkap kemudian dihadapkan kepada Bakar dan didakwa dengan vonis murtad, mereka membela diri dengan mengatakan bahwa dengan melakukan tindakan perlawanan itu mereka tidak bermaksud menjadi orang kafir, melainkan karena mereka tidak mau menyerahkan kekayaan mereka."[7]

Peristiwa lain yang menyebabkan kontroversi adalah perintah Abu Bakar terhadap Khalid bin al-Walid untuk membunuh Malik bin Nuwayra dari Bani Yarbu, suku Arab yang menjadi anggota federasi Bani Tamim. Perintah ini muncul karena Malik bin Nuwayra menolak untuk menyerahkan sejumlah unta yang pernah dia kumpulkan untuk diberikan sebagai zakat kaumnya kepada Nabi. Walaupun Malik menyatakan kesetiannya kembali kepada Islam, ia bersama-sama dengan anggota suku lainnya tetap dibunuh oleh Khalid. Khalid kemudian mengambil istri Malik dan nampaknya memperlakukannya sebagai "rampasan perang".[8]

Para sahabat terkemuka mengecam perbuatan Khalid. Bahkan Umar menuntut khalifah memecatnya dan Ali menetapkan hukuman had terhadapnya karena Khalid dianggap telah melakukan zina (dengan mengambil paksa istri Malik),[9] Namun Abu bakar sebagai Khalifah tidak mengabulkan kedua permintaan itu.[10] Tuntutan-tuntutan itu akan nampak tidak masuk akal jika kita memahami keputusan Abu Bakar sebagai bagian dari otoritas keagamaan yang dimilikinya dari Nabi karena para Sahabat terkemuka, tentu, tidak akan berselisih dengannya, karena mereka memahami bahwa keputusan Abu Bakar itu bersifat mengikat dan merupakan bagian dari ajaran Islam. Tetapi sebaliknya, walaupun para sahabat tidak sepakat dengan Abu Bakar, mereka tidak berbuat sekehendak hatinya untuk mewujudkan apa yang mereka anggap benar, mungkin karena mereka menghormati otoritas politik Abu Bakar sebagai khalifah. Ulama-ulama zaman berikutnya seperti al-Syafi'i, al-Khttabi, Ahmad bin Handal dan Ibnu Rajab menyikapi situasi itu secara berbeda-beda, baik dengan memberikan analisis tekstual terhadap hadits maupun sekedar berapologi.[11] Barulah kemudian pada masa-masa berikutnya Ibnu Arabi menjustifikasi keputusan Abu Bakar dengan memberikan alasan umum bahwa Abu Bakar memang harus melakukan hal tersebut. Karena jika tidak, suku-suku pemberontak itu akan mendapatkan kekuasaan dan terus memberontak. Penjelasan terakhir inilah yang kemudian menjadi pemahaman terhadap sejarah Islam yang paling populer di kalangan sunni.

Karena saya tidak bermaksud untuk menilai salah atau benarnya fakta sejarah tersebut, saya ingin kita melihat ketidakjelasan dan resiko penggunaan kekuasaan kursif negara untuk  mengimplementasikan pendapat seseorang tentang agama. Ketidakjelasan ini bisa diklarifikasi jika kita memahami isu tersebut dalam konteks peran Abu Bakar sebagai pemimpin politik dan bukan sebagai pemimpin agama. Cara pembacaan ini mungkin tidak konsisten dengan motivasi Abu bakar yang mungkin saja religius, karena ia percaya bahwa ia sedang mempertahankan Islam pada saat itu, dan bukan sekedar menjaga integritas negara sebagai institusi politik. Bahkan mungkin dia belum mengerti apa yang dimaksud negara dalam konteks pembicaraan kita. Di samping itu, kerelaan para sahabat untuk tunduk pada keputusan Abu Bakar meskipun mereka yakin bahwa keputusan itu keliru mungkin juga dimotivasi oleh oleh faktor-faktor politik, terutama kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan mengamankan komunitas selama periode-periode kritis itu. Namun alasan religius juga bisa dikemukakan untuk memperkuat faktor-faktor tersebut seperti Qs, 4: 59 yang biasa digunakan untuk menuntut ketaatan ummat Islam terhadap Allah, Rasul-Nya dan penguasa. Dengan kata lain, seorang muslim memiliki kewajiban untuk menaati khalifah, walaupun ia berpikir bahwa khalifah itu keliru. Namun kemudian kewajiban ini bisa berbenturan dengan kewajiban muslim untuk menegakkan keadilan dan melawan kemunkaran (al-amr bil ma'ruf wa l-nahy an al-munkar). Dikatakan juga dalam sunnah bahwa tidak ada seorang manusia pun yang harus taat pada perintah untuk melakukan maksiat kepada Allah (la ta'ata li makhluq fi ma'siyat al-khaliq).

Dengan demikian, dengan justifikasi apapun, nampaknya memisahkan agama dari politik tetap merupakan hal yang sulit: ummat Islam akan selalu tidak sepakat dengan dua hal tersebut dan alasan-alasan keagamaan selalu berisi pertimbangan-pertimbangan politik dan sebaliknya. Terkait dengan perang terhadap orang-orang murtad, mungkin saja tindakan yang dilakukan Abu Bakar itu sah dalam pandangan Islam karena keputusannya berdasarkan alasan bahwa mereka sudah murtad atau memberontak terhadap negara. Kedua hal ini merupakan kejahatan besar (hadd al-haraba dalam Qs. 5:33-34) dan pelakunya layak mendapatkan hukuman mati. Apapun alasannya dan meskipun ada sejumlah keberatan dari para sahabat yang lain, Abu bakar tetap bisa menjalankan keputusannya karena ia seorang khalifah, tapi bukan karena ia memiliki keputusan yang benar atau tepat dalam kacamata Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar atau salah, tapi karena tidak ada otoritas yang independen yang bisa menyelesaikan atau memediasi ketidaksepahamannya dengan sahabat lain. Dengan kata lain, jika saja Umar atau Ali yang menjadi khalifah tentu hasilnya akan sangat berbeda.

Kesimpulannya bagi kita adalah membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan keputusan dan tindakan politiknya sebagai khalifah mungkin bisa membnatu. Pembedaan ini pub bisa berguna dalam memahami beberapa sahabat besar yang tidak setuju dengan Abu Bakar karena mereka juga bisa memiliki alasan keagamaan dan politis. Pembedaan ini perlu dipertahankan tanpa melihat motivasi keagamaan Abu Bakar atau sahabat lain, karena tindakan seseorang tidak bisa ditentukan oleh motivasinya. Pembedaan seperti itu mungkin masih sulit diterapkan oleh ummat Islam untuk membaca sejarah periode Madinah karena, pada saat itu, sifat otoritas politiknya yang masih personal dan negara masih belum dianggap sebagai sebuah institusi politik. Kesulitan itu juga bisa karena berbagai faktor termasuk masih barunya contoh yang ditinggalkan Nabi, keterbatasan pendirian negara di daerah Arab pada saat itu dan cara keempat khalifah itu terpilih dan menjalankan kekuasaannya. Intinya, apapun pandangan terhadap peristiwa-peristiwa itu, ketidakjelasan seperti itu tidak bisa bisa dijustifikasi maupun diterima dalam konteks negara post kolonial model Eropa saat ini.

Ketidakjelasan otoritas politik dan agama seorang khalifah memang sudah tidak bisa lagi dipertahankan setelah pembunuhan Ali dan permulaan berdirinya negara Umayah. Walaupun Umayah berbentuk monarki, namun ia masih berusaha untuk mempertahankan kesan bahwa otoritas khalifah merupakan perpanjangan dari otoritas Nabi. Gelar-gelar yang dipakai oleh khalifah-khalifah dinasti Umayyah seperti khalifat allah, amin allah, na'ib allah menunjukkan besar dan agungnya otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah.  Gelar-gelar tanda otoritas ini selalu diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah jum'at di semua wilayah yang mereka kuasai. Namun, legitimasi keagamaan terhadap Muawiyah, pendiri dinasti ini, tidak hanya diperlemah oleh konfrontasinya dengan Ali yang berakhir dengan terbunuhnya keponakan Nabi itu, namun juga oleh upaya-upaya lunak dan keras yang dilakukannya untuk memuluskan pemilihan Yazid sebagai penerusnya, padahal Yazid tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi khalifah. Karena Yazid menghadapi ancaman semakin tingginya tingkat pemberontakan dan kekacauan yang ditujukan untuk menggoyang otoritas dan legitimasinya sebagai penguasa muslim, ia pun terpaksa menggunakan kekerasan untuk menekan pihak-pihak yang membangkang. Sayangnya, tindakan ini malah semakin mengurangi kualifikasinya yang tidak bagus. Dalam upayanya menekan pemberontakan-pemberontakan yang terjadi, ia memerintahkan untuk membunuh Husain bin Ali, cucu Nabi, keluarga dan kelompok pendukungnya di Karbala. Pada saat yang sama, sekitar tahun 681 M, Abdullah bin Zubair, cucu Abu Bakar dan anak seorang sahabat terkemuka lainnya, dan pendukungnya muncul dengan pemberontakan lain dan ia mengklaim dirinya sebagai khalifah di Mekah dan Madinah. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh tentara dinasti Umayah selama 10 tahun. Mekah dan Madinah, bahkan Ka'bah, hancur karena proses penumpasan itu. Krisis ini terus berlanjut selama delapan dekade pemerintahan dinasti Umayah dan setelahnya.[12] 

Paradoks permanen yang dihadapi oleh dinasti Umayah dan rezim sesudahnya adalah karena mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk mendapatkan legitimasi keagamaan dengan berusaha mereflikasi model pemerintahan Nabi atau pemerintahan Khulafa al-Rasyidun di Madinah. Ironisnya, masalah ini diperparah oleh keinginan penguasa untuk mengkonsolidasikan kekuatannya terhadap masyarakat, yang justru malah melemahkan legitimasi keagamaan yang mereka miliki. Revolusi Abbasiyah sukses menentang dinasti Umayah karena mereka menyatakan bahwa dinasti itu tidak memiliki legitimasi keagamaan dan mereka mengklaim bisa mendirikan sistem yang ideal bagi ummat Islam. Namun, jelas kemudian bahwa kekhalifahan sudah terlembagakan menjadi dinasti kerajaan yang penguasanya dipilih berdasarkan garis keturunan, yang tidak lebih merupakan adaptasi dari model monarkinya dinasti Sasanid dan Byzantium.[13]

Kerajaan-kerajaan Arab yang bermunculan, keberadaannya relatif tidak terlalu pelik, karena aparatur negara dan penerusnya biasanya mengadopsi struktur dinasti Sasanid dan Byzantium dan sering terus mempekerjakan pejabat yang sama dengan rezim yang sebelumnya. Untuk mempertahankan legitimasi keagamaannya, khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah, terutama yang berkuasa pada periode-periode awal, sering memposisikan diri mereka sebagai kurator ilmu-ilmu agama dan menjadi partisipan dalam upaya interpretasinya.[14]   Ironisnya, mereka membuat atau memunculkan ekspektasi itu dengan mendasarkan klaim kekuasaan mereka pada hubungan kekerabatannya dengan Nabi, sehingga mereka dianggap layak untuk mempraktikkan kembali modelnya. Khalifah-khalifah periode awal dinasti Abbasiyah berusaha untuk mempertahankan kesatuan kepemimpinan agama dan politik dengan menunjuk hakim (qadi), menguasai lembaga dan ilmu agama, sekaligus memerankan diri sebagai pertahanan militer kerajaan Islam. Namun usaha-usaha untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas politik dan negara menjadi tidak berguna, karena adanya beberapa peristiwa tragis yang kemudian dikenal sebagai mihnah.

Implikasi Mihnah terhadap Otoritas dan Institusi Politik dan Agama

Ketidaksesuaian antara cita ideal Islam untuk menyatukan kepemimpinan agama dan politik dengan realitas empiris sejarah ummat Islam mulai jelas, bahkan sebelum pemberontakan Khawarij dan Syi'ah. Masalah-masalah politik yang dihadapi oleh Khulafaurrasyidun di Madinah merupakan bukti yang jelas bahwa struktur ideal yang diperintahkan oleh Nabi tidak cocok untuk direplikasi. "Secara implisit, keberadaan para pemberontak merupakan tanda kemunculan kelompok ummat Islam yang memisahkan diri dari otoritas dan kepemimpinan khalifah."[15] Tumbuhnya sejumlah sekte seperti Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang mitos tentang kesatuan Islam. Apalagi, jika mempertimbangkan kemunculan peristiwa drastis yang lebih dikenal sebagai mihnah melalui perspektif sejarah sosial. Konflik antara otoritas khalifah dan ulama harus dilihat dalam konteks relasi sosial antara 3 kelompok yaitu: elite Bangsa Arab yang mewakili Istana Khalifah dan aparat administratifnya, para pemimpin agama, serta keturunan pemberontak Bangsa Khurasan yang mengawali kesuksesan revolusi Abbasiyah.

Penting juga untuk membedakan antara kekhalifahan ideal dengan realitasnya pada masa Abbasiyah. Ia merupakan sebuah pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah (Sasanid dan Byzantium) Pra Islam dan universalisme Islam. Para khalifah berusaha untuk mengkombinasikan otoritas keagamaan sebagai penerus Nabi dengan bentuk kerajaan dan otoritas kelembagaan serta budaya ala Kerajaan Timur Tengah. Kecendrungan ini terlihat jelas dalam patronase dinasti Umayyah terhadap artistik, arsitektur dan perayaan ala Byzantium di Istana kerajaan" dan dalam proyek kerajaan yang lain, serta gaya ekspansi mereka yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru model Persia dengan berpatron pada khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat Hellenistik."[16] Sebagai respon, para ulama periode awal menunjukkan adanya keterputusan antara cita ideal dan realitas, dan meragukan klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan atau mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan fakta bahwa ulama memiliki pengaruh yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah. "Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan dari kekuasaan khalifah berkembang bersamaan dengan munculnya kelompok-kelompok sektarian dalam ummat Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan dan Islam tidak lagi terintegrasikan."[17] Kemunculan otoritas keagamaan yang independen dari khalifah dan aparat negara inilah, yang disebut Lapidus sebagai pembedaan antara otoritas politik dan agama dalam sejarah masyarakat Islam.

Apa yang disebut mihnah adalah inkuisisi teologis yang bertujuan untuk membuat anggota kelompok ulama, yang pada saat itu merupakan sebuah kelompok yang bersatu tanpa tujuan tertentu, menyetujui sikap yang diambil oleh kalangan Mu'tazilah bahwa al-Qur'an adalah ciptaan Allah dan dengan demikian ia adalah atribut dan bukan kata-kata yang tidak diciptakan oleh-Nya. Isu ini merupakan bagian dari debat yang berkelanjutan antara kelompok yang lebih menyukai pendekatan yang lebih alegoris dan rasional terhadap sumber-sumber Islam (Mu'tazilah) dengan kelompok lain (ahl-alhadits dan Asy'ariah) yang menganut pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks itulah, Khalifah al-Ma'mun melaksanakan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H) untuk memaksa ulama tertentu agar mengadopasi pandangan mu'tazilah. Walaupun setelah al-Ma'mun wafat, inkuisisi masih berlanjut hingga masa tiga khalifah setelahnya selama 16 tahun. Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri hukuman itu dengan melepaskan para ulama yang tidak tunduk pada kebijakan khalifah sebelumnya dari penjara dan menempatkan beberapa orang diantaranya dalam pemerintahannya.

Al-Ma'mun berkuasa setelah memenangkan perang sipil dengan saudaranya al-Amin. Baik al-Ma'mun maupun al-Amin merupakan anak dari Khalifah Harun al-Rasyid. Secara mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam al-Rida, Imam kedelapan dalam rangkaian imamah syi'ah dua belas, sebagai penggantinya. Ini merupakan upayanya untuk menenangkan pemberontakan Syi'ah yang terus berlanjut pada saat itu, atau untuk mengembalikan kekhalifahan pada formulasi orisinalnya sebagai lembaga keagamaan dan politik. Ia juga mengadopsi warna hijau Syi'ah untuk atribut pasukannya. Namun dua keputusan itu dibatalkan segera setelah al-Rida wafat secara misterius. Saat al-Ma'mun kembali ke Baghdad yang saat itu sedang dilanda kekacauan, ia berusaha untuk memaksakan teologi tertentu kepada masyarakat, yang akhirnya bukan menambah kekuatannya, malah membuat habis otoritas kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi di Baghdad diakibatkan oleh adanya kompetisi sejumlah kelompok untuk mendapatkan kekuasaan dan juga tentara yang marah dan tidak  puas. Situasi ini diperparah dengan adanya geng kriminal dan penjahat. Kekacauan ini berakhir dengan munculnya sejumlah gerakan yang semakin mengukuhkan fakta bahwa penyatuan kepemimpinan agama dan politik tidak lagi relevan untuk dipraktikkan.

Sebagai contoh, Sahl bin Salama al-Ansari, penduduk Baghdad "yang memakai  salinan al-Qur'an di lehernya dan menyeru orang-orang untuk melakukan 'amar ma'ruf nahyi munkar', berhasil menarik sejumlah pengikut dari seluruh penjuru kota  yang berasal dari latar belakang yang berbeda. Ia juga menyeru pengikutnya untuk tidak hanya mempertahankan lingkungannya dengan menyediakan keamanan dan stabilitas bagi tempat tinggal mereka, namun juga mengimplementasikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah yang dibawa oleh Nabi. Sahl menggambarkan kepatuhan pada prinsip yang lebih tinggi yang memberikan justifikasi untuk melawan khalifah dan otoritas negara yang gagal untuk menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan kepada al-Qur'an dan Sunnah harus mengalahkan ketaatan kepada otoritas yang gagal menegakkan Islam."[18] Ia mengadopsi slogan 'tidak ada ketaatan kepada makhluk bila untuk melakukan ma'siat kepada Allah' (la ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq). Pengikutnya di berbagai penjuru kota membangun menara di depan rumah mereka yang berfungsi membentengi mereka dalam kota."[19] Dengan demikian, organisasi berbasis komunitas yang dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yang militan dan menolak otoritas khalifah secara terbuka.

Dengan menggunakan bahasa-bahasa keagamaan, gerakan tersebut berhasil "menarik sentimen yang berada di luar batas-batas  pemerintahan khalifah menjadi konsepsi komunal tentang Islam. Dalam konteks inilah, gerakan-gerakan di luar sistem seperti ini merepresentasikan konsepsi yang revolusioner mengenai struktur masyarakat Islam."[20] Kewajiban untuk melaksanakan 'amar ma'ruf nahyi munkar' pada dasarnya merupakan kewajiban khalifah, namun gerakan Sahl yang didukung oleh banyak ulama yang percaya bahwa kewajiban itu juga merupakan kewajiban semua muslim. Gerakan ini, dengan demikian, menggunakan simbol otoritas religius yang kuat dan alasan bahwa kewajiban itu dibiarkan kosong oleh penguasa yang tidak kompeten. Salah satu ulama terkemuka yang terlibat dalam gerakan itu adalah Ahmad bin Hanbal yang secara kebetulan adalah penduduk di salah satu sudut kota Baghdad yang menyediakan keamanan dan stabilitasnya sendiri.[21] Dengan demikian, kekuatan sosial yang diwakili oleh Sahl dan lainnya muncul bersamaan dengan kemerdekaan teologis para ulama seperti Ahmad bin Hanbal dan pengikutnya seperti Ahmad bin Nasr bin Malik (keduanya adalah penduduk kota Baghdad yang diwakili oleh Sahl dan penentang khalifah lainnya)[jd1] .

Ahmad bin Nasr lah yang memimpin gerakan oposisi terhadap kebijakan mihnah selama masa pemerintahan al-Watsiq dan yang menghidupkan kembali gerakan Sahl yang meredup setelah al-Ma'mun memasuki Baghdad lagi. Pada periode berikutnya, slogan yang sama, yang memproklamirkan oposisi otoritas keagamaan terhadap khalifah, terus muncul dan berkembang dengan mengorganisasi perekrutan masa untuk gerakan pemberontakan. Namun usaha-usaha seperti itu terhenti karena buruknya perencanaan yang dilakukan oleh pengikut Ahmad bin Nasr dan karena ia sendiri akhirnya ditangkap bersama sejumlah pengikutnya. Penting untuk dicatat bahwa Ahmad bin Nasr dimejahijaukan karena pandangan keagamaannya dan bukan karena tuduhan menghasut. Ia kemudian dieksekusi dan kepalanya dipajang di hadapan publik untuk memperingatkan yang lain tentang hukuman yang akan diterima jika membangkang kepada khalifah.[22]

Inkuisisi yang berlarut-larut memperlihatkan adanya konfrontasi antara ulama dan khalifah dalam mengklaim otoritas keagamaan. Penolakan Ahmad bin Hanbal untuk menerima klaim keagamaan khalifah yang kemudian membuatnya dipenjara hingga akhir hayatnya, membenarkan penolakan terhadap penyatuan otoritas negara dan agama. seperti yang Lapidus ungkapkan:

"perdebatan tentang status makhluk al-Qur'an menegaskan adanya pemisahan kelembagaan khalifah dan komunitas, pemisahan otoritas di antara keduanya sekaligus memberikan peran yang berbeda kepada masing-masing yang sebelumnya dimiliki oleh Nabi. Dengan demikian, berbeda dengan bayangan ideal ummat Islam, kekhalifahan berkembang menjadi institusi kerajaan dan militer yang disahkan dengan cara Byzantium dan Sasanid, sementara para pemuka agama mengembangkan otoritas yang lebih lengkap terhadap aspek komunal, personal, keagamaan dan doktrin dalam Islam."[23]

Isu yang akan kita bicarakan dan sesuai dengan tujuan diskusi kita adalah mengenai hubungan antara komunitas muslim dengan negara muslim. Bagaimana hubungan itu dibentuk dalam rezim dan lokasi yang berbeda? Bagaimana ia berubah sepanjang waktu? Seberapa besar pengaruh ulama terhadap perkembangan negara? Seberapa besar kontrol negara terhadap ulama dan komunitas keagamaan?[24] Namun penting pula untuk menekankan bahwa pembedaan antara lembaga keagamaan dan politik belum dikenal oleh mayoritas ummat Islam saat itu. Meskipun, pemisahan kelembagaan ini ternyata mendapat dukungan dari sejumlah ulama seperti al-Baqullani, al-Mawardi dan Ibnu Taimiah. "Hasil terorisasi mereka adalah, negara bukanlah ekspresi langsung Islam. Ia adalah institusi sekuler yang bertugas untuk menegakkan Islam; komunitas ummat Islam yang sebenarnya adalah komunitas ulama dan orang suci yang melaksanakan sunnah rasul dalam kehidupannya."[25] Pandangan ini selaras dengan saran saya untuk menerapkan sekularisme sebagai sebuah prinsip yang menjaga netralitas negara terhadap agama dengan tetap mempertahankan keterhubungan antara Islam dan politik.

Nampaknya kita perlu mempertimbangkan kembali dinamika sosial dan implikasi mihnah dalam kerangka teori Habermas tentang "ruang publik" tempat ide-ide diperdebatkan dalam ruang publik sehingga orang yang berbeda dapat mengakses dan berpartisipasi di dalamnya. Dengan berpihak pada Mu'tazilah, al-Makmun telah mencabut legitimasi atas kekuasaannya dengan menentang arus massa yang diwakili oleh Ahmad bin Hanbal dan yang lainnya. Dari perspektif ini, jelas bahwa khalifah dan ulama memperoleh ruang pengaruh yang berbeda dan kedua pihak memahami bahwa artikulasi dogma keagamaan adalah wilayah ulama…mihnah dengan demikian merupakan akibat perseteruan antar tren pemikiran ulama sekaligus konsekuensi kehendak khalifah yang ingin membentuk doktrin."[26] Relevansi pandangan ini untuk proposal kita adalah bahwa inkuisisi menandai pentingnya otonomi "public reason" dari otoritas negara, seperti yang nanti akan kita diskusikan dalam buku ini.

Pembedaan antara Islam dan negara terkonsolidasikan dengan baik melalui kemunculan kontrol militer terhadap kekhalifahan pada saat yang bersamaan. Kesulitan para khalifah Abbasiyah dalam mengelola problem internal kekhalifahannya berakhir dengan menurunnya loyalitas dan kesetiaan terhadap lembaga kekhalifahan di Baghdad. Untuk merespon pemberontakan Syi'ah dan Khawarij di hampir  seluruh wilayah kerajaan, khalifah Abbasiyah mempekerjakan tentara budak untuk memperkuat kekuasaannya. Ketergantungan terhadap Mamluk sebagai tentara dimulai pada masa pemerintahan al-Mu'tasim (833-42), periode setelah pecahnya kekacauan pada masa al-Ma'mun berkuasa sebagai khalifah.[27] Tentara non Arab dan para komandan militer hanya memiliki sedikit kesetiaan kepada kekhalifahan sebagai sebuah institusi, dan cenderung menganggap jabatannya sebagai sumber kekuatan politik dan keuntungan ekonomi. Karena diharapkan menjadi mesin militer yang efektif, Mamluk memang didorong untuk tidak berinteraksi dengan penduduk sipil dan tetap diposisikan sebagai kekuatan asing.

Sebagai contoh, para komandan dari suku Buwaihi yang berasal dari daerah Kaspia di Iran memasuki Baghdad pada tahun 945. Walaupun Syi'ah, mereka mendukung dan berpihak kepada khalifah al-Mustakfi. Suku Buwaihi berusaha mengelola perbedaan tren keagamaan di Baghdad dengan melindungi minoritas Syi'ah. Mereka juga menggunakan otoritas negara untuk mendukung prosesi peringatan syahidnya Imam Husain dan membuat peringatan idul ghadir secara resmi, peristiwa kontroversial dalam sejarah Islam yang dipercara syi'ah sebagai hari ditunjuknya Ali sebagai pewaris kepemimpinan Nabi. Namun, suku ini juga mempertahankan toleransi yang penuh terhadap golongan Sunni dengan mendukung lembaga-lembaga utamanya, tidak mencampuri urusan-urusan ritualnya  dan berusaha untuk tampil sebagai pemimpin yang netral dalam suasana perpecahan. Yang paling penting adalah institusi kekhalifahan tetap dipertahankan hingga karakter sunni yang melekat pada kerajaan dan rezim pun tetap ada. Namun kurang dari satu abad kemudian, setelah konflik  internal di kalangan Buywaihi mengganggu kemampuan mereka untuk memerintah, pasukan Seljuk dengan ambisi mendirikan dinasti, menduduki Baghdad dan mendukung massa sunni dan ulamanya untuk mengklaim diri sebagai penjaga ortodoksi.

Sejak saat itu, ulama menyerahkan otoritas politik atau militer kepada rezim militer luar. Apakah itu Saljuk, Ayyubiyah, Mamluk maupun Ottoman, namun tetap mempertahankan otoritasnya terhadap institusi, doktrin dan praktik keagamaan. Yang saya sebut dengan model negosiasi kemudian menguat dengan dua institusi besar yang bekerja dalam hubungan yang saling menguntungkan; ulama mendukung negara militer sedangkan negara melindungi daerah-daerah muslim. Pembesar-pembesar militer dan pejabat sipil terkemuka mengamankan kerjasama mereka dengan komunitas keagamaan melalui wakaf sekolah-sekolah agama, masjid, dan lembaga-lembaga komunitas muslim lainnya. Model ini terus berlanjut hingga masa pra kolonial, dan sisa-sisanya masih tetap ada hingga saat ini seperti  terlihat dalam dominannya kultur militer di negeri-negeri Muslim.

Sementara model seperti tadi berlaku di Baghdad dan daerah-daerah sekitarnya, model pemerintahan lain berlaku di Afrika Utara. Dinasti Fatimiah memulai kekuasaannya pada tahun 909 di Tunisia ketika Ubaidillah al-Mahdi, seorang penganut Syi'ah Ismailiyah, mengklaim diri sebagai satu-satunya pewaris sah Nabi dari keturunan Ali dan Fatimah (ahl al-bayt).  Gerakan itu, sebagaimana yang nanti akan kita diskusikan, berusaha untuk menegakkan kembali penyatuan kepemimpinan agama dan politik. Namun dinasti Fatimiah hanyalah salah satu contoh kecendrungan yang berlaku umum di kawasan Afrika Utara saat itu karena kawasan ini telah didominasi dengan model kepemimpinan seperti itu sejak jatuhnya dinasti Umayyah. Penguasa muslim dari berbagai rezim di Afrika Utara seperti dinasti Idrisiyah, Fatimiyah, al-Murabithun, dan al-Muwahhidun mengklaim otoritas ketuhanan untuk berkuasa berdasarkan kualifikasi individu dan keturunan Nabi. Dinasti Idrisiyah dan Fatimiyah adalah penganut syi'ah dan sangat otoriter. Bahkan dinasti Fatimiyah mengklaim dirinya bebas dari dosa. Di sisi lain, pemimpin gerakan al-Murabithun dan al-Muwahhidun, Syaikh Abdullah Yasin dan Abdullah bin Tumart, hanya berusaha untuk menjalankan bentuk rigid dari Islam.

Namun dalam kasus Afrika Selatan itu, usaha untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas politik dan agama berakhir dengan kekerasan, ketidaktoleranan dalam beragama, dan hilangnya stabilitas. Sebagai contoh, sarjana Yahudi terkemuka, Maimonades, meninggalkan Afrika menuju Spanyol pada masa al-Muwahhidun berkuasa. Masyarakat Islam di timur Iran dan Asia mengambil bentuk yang berbeda sesuai dengan kondisi geografis dan demografis negerinya, dimana keluarga dan suku merupakan faktor penting untuk organisasi sosial di tingkat lokal. Selain itu, koalisi bersama yang disatukan oleh peninggalan sejarah dan budaya yang sama nampaknya menjadi komponen yang fundamental bagi aparat negara di daerah-daerah tersebut. Tetapi, mereka juga melindungi kelompok-kelompok persaudaraan Sufi dan Syeikh daripada ulama profesional yang ada di pusat kekuasaan Islam. Pola ini terus berlanjut sejak masa invasi Mongol sampai periode pra-modern.

Sebagai kesimpulan bagian ini, jelas bahwa model hubungan antara otoritas agama dan negara beragam baik dari tingginya kontrol negara terhadap institusi-institusi sentral keagamaan hingga hubungan yang lebih independen namun kooperatif, dan otonomi penuh bahkan oposisi terbuka terhadap kebijakan negara".[28] Saya akan berusaha mengklarifikasi dan mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk pada pengalaman historis Mesir dari abad sembilan sampai empat belas masehi.

III.   Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir
Seperti yang sudah dicatat di bagian lalu, saya tidak sedang berusaha untuk memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah dan Mamluk di Mesir secara umum. Tapi, saya akan memaparkan masing-masing periode dan kemudian menandai aspek-aspek tertentu untuk memberikan ilustrasi mengenai ketidakmungkinan penyatuan antara agama dan negara. Saya mengatakan demikian bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah ada pada masa lalu karena dinasti Fatimiyah jelas-jelas menyatakan bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk berkuasa. Namun, jika pun demikian, tidak berarti bahwa klaim itu serta merta menjadi sah atau realistis. Hal yang penting untuk kita catat adalah bahwa klaim seperti itu tidak hanya gagal dalam tingkat praksis, tetapi juga tidak mungkin berhasil karena adanya perbedaan fundamental antara otoritas agama dan negara. Saya harap diskusi kita mengenai Imam-imam Syi'ah Ismailiyah pada bagian awal bab ini (bagian yang membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan hal yang saya sebut tadi. Bahaya negara yang berusaha untuk memaksakan otoritas keagamaan, walaupun tidak membuat klaim eksplisit tentang itu, bisa menjadi lebih jelas dalam diskusi kita tentang dinasti Mamluk berikut ini.

Selayang Pandang tentang Dinasti Fatimiyah di Mesir

Dinasti Fatimiyah didirikan pertama kali pada tahun 909 di Afrika Utara (Tunisia sekarang) oleh Ubaidillah yang dianggap sebagai Imam Mahdi oleh pengikut Syi'ah Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah di Mesir mulai ketika Jauhar, komandan pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah untuk periode 953-975) menaklukkan negeri itu dan memasuki ibukotanya Fustat pada tahun 969. al-Mu'izz sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz memerintah dari tahun 975 sampai tahun 996, yang kemudian diikuti oleh al-Hakim yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim dianggap menghilang, atau menurut riwayat lain dibunuh oleh atas perintah saudara perempuannya, Sitt al-Mulk, anaknya al-Zahir menggantikannya dan memerintah selama 15 tahun berikutnya (1021-1036). Masa pemerintahan al-Mustansir yang cukup panjang (1036-1094) menyaksikan pecahnya perang sipil yang berakhir dengan berkuasanya militer dalam pemerintahan. Sejak saat itu, usaha-usaha yang dilakukan oleh para wazir, hakim, komandan militer, dan gubernur adalah untuk meluaskan kekuasaan mereka melebihi kekuasaan kekhalifahan Fatimiyah sendiri. 75 tahun berikutnya kita menyaksikan munculnya 6 imam yang berbeda, yang otoritasnya terus berkurang di tengah-tengah perpecahan sekte, kup militer dan disintegrasi. Dinasti Fatimiyah berakhir ketika Saladin, Komandan pasukan Bani Ayyub, menduduki kementrian dinasti Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya kepada Khalifah Abbasiyah di Baghdad pada tahun 1171.

Pencitraan diri dinasti Fatimiyah sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang sah merupakan tanda untuk menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual yang dimiliki Nabi karena baik syi'ah Imamiyah maupun syi'ah Ismailiyah mengidentifikasi bahwa kepala negara yang sah adalah wakil Tuhan di muka bumi."[29] Kualitas yang harus dicapai seorang imam agar bisa dianggap memiliki otoritas ketuhanan tidak bisa dianggap remeh. Seorang Imam harus menjadi a'immat al-huda, imam keadilan yang bisa menjauhkan ummat dari siksaan", "suar kebenaran dan pedoman… yang bersinar seperti matahari dan bercahaya seperti bintang, dan menjadi pilar agama, rizki dan kehidupan manusia."[30]  Bagi orang awam, imam adalah sosok yang sempurna dalam pelaksanaan shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad, mendapatkan bagian lebih dari ghanimah dan zakat, dan memutuskan pelaksanaan hudud…pendek kata, ia lebih dari siapapun kecuali Nabi."[31] Karena imam juga dianggap mendapatkan posisi istimewa dalam bidang keilmuan, maka seorang imam juga dituntut untuk menjadi penjaga ilmu-ilmu keagamaan. Status ma'shumnya menjamin ummat Islam untuk selalu mendapatkan bimbingan dari penguasa yang sangat adil dan sempurna. Imam juga harus mempunyai kualitas mufahham artinya ia bisa dipahami oleh Tuhan, seperti Sulaiman yang dideskripsikan dalam al-Qur'an.[32]

Namun dalam praktiknya, upaya mewujudkan model kepemimpinan rasul itu tidak terreflesksikan dalam sikap Imam-Imam Dinasti Fatimiyah cenderung menunjukkan sikap materialitik  di ruang publik. Mulai tahun 990 M, penguasa selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan prosesi festival ibadah (biasanya idul fitri) dimana khalifah berkeliling dengan pasukannya dengan memakai pakaian berornamen brokat dan dilengkapi dengan pedang dan sabuk emas. Para sedadu yang menunggangi gajah dan mengangkat senjata berbaris di hadapannya. Khalifah sendiri berpawai dengan memakai tenda yang dihiasi mutiara.”[33] Citra kemakmuran dan kekuasaan yang diperlihatkan di hadapan publik yang kelaparan nampaknya memang digunakan untuk menegakkan otoritas keagamaan khalifah.

Sebagai contoh, dalam prosesi idul fitri, khalifah, para pejabat tinggi dan hakim yang berpakaian mewah layaknya sedang melakukan peragaan busana, keluar dari istana ke lapangan dimana shalat idul fitri yang diikuti oleh khalayak ramai diselenggarakan. Sepanjang prosesi, takbir tak henti dikumandangkan hingga sang Khalifah memasuki tempat shalat. Sebagaimana pengamatan para sejarawan saat itu, karena panggilan untuk melaksanakan shalat id tidak membutuhkan adzan, tapi cukup dengan takbir, “maka dapat kita katakan bahwa pelaksanaan shalat id dimulai sejak datangnya khalifah dan bahkan prosesi kedatangan khalifah pun menjadi bagian dari perayaan shalat id.”[34] Qadi al-Nu’manlah yang pertama kali membuat Muslim mengasosiasikan pertunjukkan ini sebagai bagian dari doktrin syi,ah Ismailiyah karena ia  mengklaim adanya hubungan yang mendalam antara shalat jum’at, idul fitri, idul adha dan peran imam dalam seluruh missi Islam. Bisa saja kita menganggap klaim seperti itu hanya terjadi pada Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Fatimiyah dan konteks historisnya. Namun seperti yang akan saya tekankan nanti, ciri-ciri seperti itu ada dalam setiap usaha mengkombinasikan otoritas politik dan agama. Apapun sebutannya: imam, khalifah ataupun presiden, penguasa yang mendasarkan otoritas politiknya pada klaim keagamaan akan selalu mencari cara untuk mengasosiasikan kekuasaan mereka dengan otoritas Islam yang suci.

Aspek lain yang membuat asosiasi seperti ini berbahaya adalah karena asosiasi semacam itu mengharuskan penguasa untuk mengakumulasi kekayaan dengan menggunakan kekuasaannya untuk mendapatkan patronase politik atau untuk tujuan-tujuan lainnya. Dalam kasus Dinasti Fatimiah, sumber-sumber keuangan dinasti ini didapat dari hampir toko-toko yang disewakan bulanan di Kairo, tempat mandi, gedung pernikahan, kebun buah-buahan, lebih dari 8.000 bangunan, tanah pedesaan dan lain sebagainya. Sumber-sumber itu, tentu saja, hanya merupakan bagian dari perdagangan milik pribadi imam yang meliputi seluruh pelabuhan dan armada laut.[35]  Sebagai penentu semua urusan negara, “Imam Fatimiyah juga bertanggung jawab terhadap perlengkapan dan peralatan tentara.”[36]  Tanggung jawab ini tidak sejalan dengan posisi Imam sebagai pemimpin spiritual karena sistem militer yang mempekerjakan budak pada saat itu membutuhkan dana yang sedikit lebih tinggi daripada biaya untuk mendapatkan perbekalan dan pembayaran honor tentara bayaran.[37] Selain membayar tentara, imam juga nampaknya harus membayar gaji pegawai negara.[38]  Namun, justru penyatuan fungsi penguasa militer dengan simbol keagamaan yang tertinggi dalam negara inilah yang harus kita perhatikan sebagai bahan pertimbangan untuk melihat karakter opresif sebuah rezim militer. Permusuhan antara kelompok militer yang beranggotakan budak pecah menjadi peristiwa penuh kekerasan karena adanya ketegangan rasial dam perlakuan negara yang diskriminatif dan diperparah oleh terlibatnya masyarakat umum.[39]

Sekedar penjelasan singkat, institusi-institusi peradilan dinasti Fatimiyah terdiri dari pengadilan umum(qada), pengadilan privat  (mazalim), pengadilan publik (hisbah), dan polisi (shurta).*  Semua institusi ini berada di bawah pengawasan Hakim Agung (qadi al-qudat). Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-lembaga yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah. Namun ada beberapa daerah yang dikuasai oleh kekuatan politik lain seperti Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun tidak berada di bawah pengawasan Hakim Agung Abi al-Awwam yang bermazhab Hanbali. Tentara juga tidak harus tunduk kepada Hakim Agung, tetapi mereka menjadi pelindung yurisdiksi mazalim, jika dianggap akuntabel.[40] “Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas sampai ke persoalan agama seperti menjadi imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan juga tanggung jawab lain seperti mengepalai kantor percetakan uang (dar al-darb), mengawasi standar timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul mal.”[41] Penyatuan peran peradilan dan tanggung jawab keuangan ini memberikan kesempatan kepada aparatur negara untuk menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yang dimiliki mazalim memperlihatkan hak pregoratif khalifah untuk menginvestigasi pengaduan-pengaduan individual tentang ketidakadilan, kekeliruan administratif yang dilakukan oleh pejabat negara dan menyelesaikan keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku. Perwakilan dari seluruh departemen hadir pada saat pengadilan mazalim, yang juga menjadi tempat yang tepat untuk menyortir dan mendistribusikan keluhan kepada pejabat negara terkait.[42]

Kepala polisi, sahib al-shurta, diharapkan untuk memperlakukan orang secara setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan, mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yang terkait dengan kasus ke hadapan hakim jika diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa, pengintegorasi, algojo (pelaksana hukuman) dan pengelola penjara.[43] Meskipun kepala polisi seharusnya ada di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang cukup besar antara pejabat negara yang berada di dua departemen yang berbeda itu menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan hukuman hudud.[44]

Insitusi kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi ini muncul pada masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain. Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa institusi ini berasal dan berkembang dari masa pra-Islam, jelas bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi aturan hisbah) telah mapan pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar ma’ruf nahyi munkar.[45] Seorang pelaksana hukum hisbah menjadi figur sentral di mata publik karena ia memegang otoritas yang sangat besar baik sebagai pegawai pemerintahan maupun sebagai otoritas keagamaan yang bertugas menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yang menjadi wilayah kekuasaan muhtasib, menurut manual hisbah yang dibuat oleh Ibnu Abdun, dianggap mewakili seluruh kehidupan sosial.[46]

Muhtasib merupakan bagian dari pegawai lembaga peradilan karena penunjukkannya merupakan tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat). Dengan demikian, muhtasib juga merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di Masjid Agung di Kairo dan Fustat untuk mendengarkan pengaduan dalam pengadilan mazalim. Penempatan ini memperlihatkan penitngnya posisi muhtasib dalam sistem peradilan dinasti ini.[47] Namun karena kekuasaan muhtasib dianggap memiliki fungsi religius, maka orang yang ditunjuk sebagai muhtasib harus memiliki kualitas moral yang tinggi.[48] Ia berkewajiban dan diberi otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud tidak berada di bawah mandatnya secara langsung.[49] Begitu penting dan besarnya jabatan ini tercermin dari terpilihnya wazir atau imam itu sendiri untuk menduduki posisi ini. al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin al-Nu’man misalnya pernah menduduki jabatan ini.[50] Namun fakta ini juga mencerminkan bahwa otonomi dan indepensi jabatan ini terbatas dan bahwa institusi ini mencoba menggabungkan otoritas keagamaan dan politik.

Dengan demikian, peran muhtasib dalam sejarah Fatimiyah sebagai pengawas tidak hanya terbatas pada pasar (suq) saja, namun meliputi semua aspek yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan impor produk makanan. Jabatan muhtasib menjadi istimewa karena ia tidak hanya menjadi badan arbitrase perdagangan tetapi juga agen pemerintah dan sekaligus pelaku yang aktif (karena bisa melakukan monopoli) dalam aktivitas perdagangan masyarakat Mesir saat itu.[51] Pemerintah mendapatkan gandum dengan membelinya dari pasar bebas, kemudian menanamnya di ladang-ladang pribadi milik imam, dan kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga harus berhadapan dengan para pedagang yang menjualnya.[52] Karena hal itulah, membedakan milik pribadi, kepentingan penguasa dan domain publik menjadi sulit.[53]  Peran muhtasib sebagai agen negara bagi publik dan simbol keagamaan merupakan hal yang problematik. Praktik penjualan gandum oleh elite penguasa pada masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan untuk mencari keuntungan sendiri dan mengabaikan permintaan rakyat miskin.[54]

Seperti yang terlihat dalam fungsi muhtasib sebagai pengumpul pajak dan penjaga moralitas publik, masalah yang potensial muncul dari penyatuan antara insitusi keagamaan dan negara adalah ketidakjujuran dan korupsi. Ulama-ulama seperti al-Mawardi dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah, menggambarkan tanggung jawab muhtasib meliputi penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan moralitas publik seperti pengaturan penyatuan laki-laki perempuan di ruang publik, mabuk di muka umum, atau pengunaan alat-alat musik. Fungsi-fungsi itu diselengarakan dengan cara paksa di jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya.[55] Ada pula hukum resmi yang berkaitan dengan warga dzimma seperti larangan untuk menunggang kuda atau keledai dalam kota, atau kewajiban untuk memakai baju yang berbeda dan mengalungkan lonceng di leher jika memasuki tempat mandi umum (hammam).[56] Saya akan mengulang penjelasan mengenai hal ini di bagian lain.

Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan

Penjelasan mengenai dinasti Fatimiyah dan institusi-institusinya diatas diharapkan bisa menjadi latar dan konteks untuk penjelasan utama kita dalam bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas agama dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama dua abad, mazhab Syi'ah yang dianut oleh negara tidak pernah benar-benar tersebarkan kepada masyarakat banyak, dan mayoritas masyarakat Mesir  tetaplah penganut sunni. Jadi, apa konsekuensi dari patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan  apa implikasinya terhadap model penyatuan otoritas agama dan politik yang dipakainya?

Pada saat penaklukkan Jawhar al-Mishriyyah, gubernur militer dinasti Fatimiyah, menawarkan surat jaminan keamanan (aman) kepada para bangsawan kota Fustat (kelak kota ini dijadikan ibu kota Dinasti Fatimiyah) untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya program-program politik rezim baru, termasuk pengaturan kehidupan keagamaan masyarakat.[57]  Referensinya kepada sunnah dan persatuan Islam jelas sesuai dengan interpretasi khas Ismaili yang dirumuskan oleh Jauhar. Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah Fatimiyah, al-Muizz, yang saat itu masih berkuasa di Tunisia disebut-sebut dalam khutbah Jum'at di masjid Agung Fustat. Ini juga dimaksudkan sebagai cara untuk memperlihatkan keinginan rezim baru untuk menegakkan citra Islam dengan cara mengembalikan fungsi kota-kota suci dan keadilan di negeri-negeri Islam.[58] Penyebutan nama khalifah al-Mu'izz dan khalifah-khalifah setelahnya, walaupun bukan fenomena baru, merupakan simbol yang amat kuat bagi dinasti Fatimiyah untuk mengklaim otoritas keagamaan dan politik  dan menentang dinasti Abbasiyah. Klaim otoritas politik juga dilakukan dinasti ini dengan membuat uang logam yang berpahatkan nama al-Mu'izz dan penguasaan keluarga Jawhar atas pengadilan mazalim. Setelah kekuasaan di Fustat mulai stabil, Hakim Agung membagikan infak kepada warga di  masid Agung Fustat sebagai cara untuk memperlihatkan keagungan dan keberadaan rezim Fatimiyah baru.[59]

Selain model ini, ada pula model penyatuan institusi agama dan politik yang lebih tingi tingkatnya yaitu ketika 2 masjid agung mencampurkan fungsi keagamaan, sipil dan administratif sementara pada saat yang sama istana khalifah atau imam dipandang sebagai tempat yang tepat untuk proses diseminasi pengetahuan. "Hakim agung Muhammad bin an-Nu'man mengajar ilmu ahlul bait disana. Begitupun para da'i. Selain di Istana, mereka pun memberikan kuliah di al-Azhar.[60] Khalifah atau Imam sering menjadi kurator dan patron bagi berbagai institusi dan aktivitas keagamaan seperti wakaf masjid, perpustakaan dan sekolah disamping ia juga menjadi tuan rumah penyelenggaraan kuliah umum atau debat seperti menteri-menteri sipilnya.[61]

Dalam proses perdebatan dan perselisihan (munazarat), "para oposan dihadapkan pada otoritas negara untuk diinterogasi, atau paling tidak, untuk menjawab sejumlah pertanyaan mengenai masalah-masalah pemahaman dan interpretasi agama."[62] Prestise negara dipertaruhkan dalam peristiwa semacam itu .[63] Adapula majlis keilmuan (majlis al-ilm dan majlis alhikma) yang menjadi wahana untuk penumbuhan, pengembangan dan pengajaran mazhab syi'ah ismailiyah. [64] Dar al-Hikmah, misalnya, didirikan tahun 1005 dengan sebuah perpustakaan besar. Ia berfungsi sebagai sekolah tempat berbagai cabang ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran, astronomi dan bahkan hukum sunni diajarkan. Dar al-hikmah juga berfungsi sebagai pusat pelatihan bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yang diselenggarakan di Dar al-Hikmah ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah."[65] Lembaga ini kemudian diwakafkan setelah berdiri selama lima tahun sebagai upaya pemberian otonomi kepada para ulama sunni dan syi'ah. Satu abad kemudian, ketika dua orang ulama mulai mengajarkan teologi asy'ariyah dan ajaran-ajaran yang terinspirasi oleh al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan kedua orang itu dan Dar al-Ilm pun ditutup."[66]  Sejak saat itu, Dar al-ilm mulai dipimpin oleh para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan oleh Salahuddin ketika ia mengakhiri kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.[67]

Dinasti Fatimiyah mulai mengadakan penyesuaian praktik dan kepercayaan agama di Mesir secara bertahap termasuk dengan cara memperkenalkan cara adzan Syi'ah.[68] Namun sejak awal, nampaknya ada resistensi dan negosiasi dari kalangan sunni. Sebagai contoh, dalam khutbah jum'at, imam shalat dari kalangan sunni menyebutkan nama Jawhar, penguasa militer dinasti Fatimiyah, namun tidak menyebutkan nama al-Mu'izz, Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah. Dengan demikian, "ia berusaha untuk menegosiasikan batas-batas antara politik dan agama yang tidak jelas itu, untuk mengakui adanya pengaruh politik. Namun pada saat yang sama, ia pun menolak otoritas spiritual."[69] Imam-lokal dengan demikian mendeklarasikan kesetiaannya kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah sebagai otoritas yang sah secara de fakto, namun menolak otoritas keagamaannya.

Kebiasaan dinasti Fatimiyah yang lebih menyukai menggunakan hisab untuk menentukan akhir Ramadhan daripada ru'yah langsung dilembagakan walaupun masyarakat dan ulama sunni  tidak ikut dalam tradisi itu sampai setahun kemudian.[70] Ada laporan yang menyebutkan bahwa Hakim Barqa dihukum mati pada tahun 953 oleh al-Mu'izz karena melakukan observasi ru'yah untuk menentukan awal puasa Ramadlan, daripada dengan menggunakan perhitungan astronomi yang biasa dilakukan oleh Sang imam.[71] Seorang laki-laki juga dihukum karena ia melakukan qunut, mungkin pada saat shalat Tarawih.[72] Namun hukuman-hukuman ini nampaknya tidak pernah tercatat terjadi di Mesir, mungkin demi menjaga hubungan politik dengan kalangan mayoritas sunni.

Ritual syi'ah lain seperti perayaan Id al-Ghadir dan Ashura yang biasanya menjadi lebih publik dan provokatif bagi kalangan sunni, juga menguat di bawah perlindungan dinasti Fatimiyah. Nampaknya baru di tahun 973, perayaan Id al-Ghadir diakui secara formal keabsahannya, seperti sebelumnya pernah terjadi pada masa Dinasti Buwaihi di daerah Timur.[73] Perayaan Ashura mulai diformalkan pada tahun 970 walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan dengan komunitas sunni.[74]  Selama perayaan ashura 1005, mereka yang mengikuti perayaan berkumpul di Masjif al-Amr dan setelah melakukan shalat juma't mereka memenuhi jalan dan meneriakkan kutukan kepada para sahabat Nabi. Untuk meredam kericuhan, petugas menahan dan menghukum seorang laki-laki dan mengumumkan kepada khalayak bahwa hukuman yang sama akan ditimpakan bagi siapapun yang mengutuk Aisyah dan Abu Bakar lagi.[75] Walaupun perayaan Ashura dilaksanakan di luar kota oleh qadi dinasti Fatimiyah, namun perayaan itu terus menimbulkan kerusuhan di dalam kota.[76] In 1009, al-Hakim melarang perayaan Ashura dan kemudian menunjuk seorang alim dari kalangan Hanbali untuk menempati posisi Hakim Agung untuk meredam oposisi sunni. Namun, beberapa perayaan syi'ah yang lain seperti malam rajab dan sya'ban, maulid nabi dan maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan Husein tetap disponsori oleh negara. Pembuatan kalender yang khas ini memang hanya mungkin dicapai dengan adanya infrastruktur negara yang kuat yang mempergunakan sumberdaya untuk mengimplementasikan dan memanipulasinya. Penggunaan kekuasaan seperti ini biasanya ditentang dan dikritik keras oleh para ulama.

Dinasti Fatimiyah perlahan namun pasti mulai memaksakan doktrin syi'ah Ismailiyah di negeri itu melalui institusi peradilan. Seperti yang terlihat dalam kasus Abu Tahir (Hakim agung Mazhab Maliki yang sudah ada di Mesir sebelum Dinasti Fatimiah menaklukkan negeri ini). Walaupun Jawhar langsung berusaha untuk menerapkan hukum syi'ah Ismailiyah dalam kasus perceraian dan warisan, namun Abu Tahir, hakim agung mazhab Maliki, masih diperkenankan untuk menjabat sebagai hakim di Fustat karena ia setia kepada Jawhar dan al-Mu'izz. Di samping itu, abu Tahir juga bisa mempertahankan jabatannya sebagai Hakim Fustat meskipun Qadi al-Nu'man datang dan bertanggung jawab atas tentara Dinasti Fatimiyah dan kasus-kasus mazalim. Namun,  qadi berikutnya, Ali bin Nu'man, dengan bantuan khalifah yang berkuasa saat itu, Al-Aziz, bisa menyingkirkan Abu Tahir hingga semua kewenangan yang dimilikinya  jatuh ke tangan Ali bin Nu'man yang menjabat sebagai Qadi baru. Ali bin Nu'man kemudian menunjuk saudaranya, Muhammad, sebagai deputi dan mereka bersama-sama menerapkan hukum dinasti Fatimiyah di Kairo, Fustat dan di kota-kota lainnya. Muhammad bin Nu'man mengangkat seorang ahli hukum Syi'ah Ismailiyah di Masjid Agung untuk memberikan fatwa sesuai dengan ketentuan hukum dinasti Fatimiyah dan menekan oposisi dari kalangan sunni.[77] Dengan demikian, pada masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah memang nampak enggan menentang elite-elite agama yang sudah ada, namun mereka terus mengkonsolidasikan kekuasaannya ketika mereka mulai lebih stabil. Untuk untuk tujuan diskusi kita pada bagian ini, kita bisa katakan bahwa pendekatan Dinasti Fatimiyah terhadap isu ini murni tindakan politis.

Watak otoriter kekuasaan Imam dalam dinasti Fatimiyah Mesir berarti bahwa birokrat sipil, bahkan yang berpangkat tinggi sekalipun, harus mencari dukungan dari jaringan personal dan profesionalnya. Kebiassan ini akhirnya menyebabkan terjadinya korupsi dan nepotisme.[78] Strategi yang umum digunakan, seperti yang sudah disebutkan tadi, adalah melalui pemberian dukungan kepada ulama-ulama dan ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini misalnya dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri dinasti Fatimiyah yang awalnya Yahudi dan baru masuk Islam, dengan mempekerjakan para sarjana dan intelektual yang berpartisipasi dalam berbagai forum-forum munazharat.[79] Namun penting untuk diperhatikan, posisi Ibnu Killis ketika melakukan tindakan itu tidak jelas, apakah ia melakukannya sebagai bentuk kedermawanan personal atau dalam posisinya sebagai menteri?[80] Para khalifah tentu saja mengembil peran langsung dalam patronase semacam itu, seperti yang dilakukan al-Hakim dengan dar al-ilminya, atau dengan mengalokasikan sejumlah besar uang bagi dua masjid agung dan masjid lainnya walaupun masjid-masjid tersebut tidak memberi pemasukan.[81]  Al-Hakim juga membangun masjid al-Hakim yang berisi sejumlah inskripsi yang menggambarkan keagungan Sang Imam dan dianggap setara posisinya dengan masjid-masjid yang ada di Mekah, Madinah dan Jerussalem.[82] Inovasi keagamaan yang dilakukan oleh dinasti Fatimiyah Mesir ini berakar pada struktur hirarkis syi'ah Ismailiyah yang sudah ada sebelumnya. Kadang-kadang negara mencoba memaksakan pelaksanaan doktrin-doktrin Syiah Ismailiyah pada rakyat banyak, seperti dengan menekan perkembangan mazhab-mazhab lain dan mengharuskan setiap orang untuk menghapal isi buku-buku fiqih Syiah Ismailiyah.[83] Namun usaha-usaha semacam itu ditentang oleh menteri-menteri dari kalangan sunni dan kristen seperti dalam kasus pendirian sejumlah madrasah pada abad ke-12 oleh dua orang menteri sunni yaitu Ridwan dan Sallar.[84]

Dinasti "Bahri" Mamluk di Mesir

Korps militer Mamluk yang terdiri dari para budak mendapatkan prestise yang cukup besar pada masa dinasti Fatimiyah dan Ayyubiyah meski mereka tak pernah mendapatkan kekuasaan untuk diri mereka sendiri. prestise tertinggi dicapai pada tahun 1260 ketika mereka mengalahkan pasukan Mongol di Ain Jalut, selatan Damaskus.[85] Karena kekuasaan dan status Mamluk tergantung pada penguasa atau ologarki dominan yang bertanggung jawab atas pembelian, pelatihan dan pengurusan mereka, maka Mamluk merupakan mesin militer yang efektif digunakan oleh sejumlah negara penjajah untuk menekan pemberontakan maupun mempertahankan diri dari serangan luar. Namun status mereka sebagai budak juga menimbulkan ketegangan sosial serta kerusakan struktur politik dan ekonomi di negara-negara tempat mereka mengabdi.[86]

Pasukan mamluk adalah pendukung setia ortodoksi sunni, bahkan mereka menyandang gelar kesetiaan kepada Khalifah yang membuat mereka menjadi simbol kesatuan sunni menjadi kekuatan politik independen. Mereka juga menyandang image sebagai pelayan atau penjaga sunni Islam bahkan pada saat mereka menjadi penguasa. Serdadu Turki misalnya digunakan oleh Dinasti Saljuk untuk mempertahankan Islam sunni dari ancaman Syi'ah yang terus meningkat ketika berdirinya dinasti-dinasti Buwaihi, Haman, Fatimiyah dan Qamaritiyah. Kombinasi kesetiaan terhadap sunni dan kemampuan militer membuat mamluk menjadi penekan yang keras bagi elemen-elemen non sunni dalam masyarakat Islam termasuk ahl al-dzimma dan pengikut Syi'ah. Namun pada 1517, seluruh kesultanan Mamluk berakhir oleh serangan militer Dinasti Utsmaniyah.[87] Dalam bagian ini, saya akan mereview institusi kepemimpinan, administrasi dan keagamaan Dinasti Mamluk Bahri di Mesir untuk menekankan adanya ketegangan hubungan antara otoritas dan institusi politik dan agama dalam salah satu periode sejarah Islam.

Kesultanan Mamluk dikuasai oleh beberapa komandan (amir) dengan oligarki yang esklusif dan memiliki kekuasaan politik/militer berdasarkan kekuatan resimen militer Mamluk yang dimilikinya. Tidak hanya kalangan elite, dalam hal ini Sultan, bahkan semua elite militer berasal dari budak atau orang asing yang dibeli dan dibesarkan sebagai budak kemudian dilatih sebagai tentara dan tenaga administratif. Karena mereka tidak mempunyai keluarga atau hubungan apapun di daerah tersebut, maka mereka sangat setia kepada tuannya dan mengabdi dengan sangat baik di kemiliteran. Rezim mamluk mengandalkan sumber keuangannya dari sistem iqta dimana mereka bisa mendapatkan hasil tanah namun tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya.[88]  Seperti Dinasti Ayyubi dan Seljuk, dinasti Mamluk juga tidak mempunyai justifikasi lain untuk berkuasa selain kekuatan militer yang mereka miliki. Dengan demikian legitimasi yang mereka dapatkan untuk dinasti mereka berasal dari klaim mereka sebagai penjaga Islam. Dominannya berbagai dinasti Mamluk sejak abad 10 di Baghdad dan di beberapa daerah Islam lain diikuti dengan berkuasanya Turki Utsmani yang membuat institusi negara menjadi institusi sekuler yang tersendiri.

Kampanye militer terhadap tentara salib, wakaf bagi institusi keagamaan dan perlindungan terhadap tanah-tanah ummat Islam merupakan simbol-simbol publik yang sengaja ditampilkan untuk menekankan pengabdian Mamluk terhadap Islam. Ribuan ulama dilatih, dihidupi, diajari di institusi-institusi tersebut dan dijamin kehidupannya dari waqaf-waqaf yang dikelola oleh Dinasti Mamluk. Walaupun Amir-amir itu memiliki tujuan-tujuan keagamaan, namun ada motivasi politik yang jelas terlihat dalam wakaf-wakaf tersebut terutama untuk mendapatkan legitimasi keagamaan bagi elite yang sedang berkuasa dan jajaran aparatnya.[89] Selain memberikan wakaf kepada institusi pendidikan agama, para penguasa Mamluk juga menekankan pentingnya kehadiran mereka di kota suci Mekah dan Madinah dengan menyelenggarakan festival haji tahunan dan berperan sebagai pelindung utama Ka'bah. Tahun 1281 misalnya, Sultan Qalawun melakukan perjanjian dengan suku Qatadah yang saat itu bertanggung jawab atas pengurusan kota Mekah untuk memasangkan kelambu khusus yang dikirim dari Mesir pada Ka'bah dan memasang lambang-lambang kerajaan Mamluk di depan lambang-lambang penguasa Muslim lain.[90]

Karena Mamluk tidak mempunyai klaim yang independen bagi kekuasaannya, mereka mengunakan beberapa tokoh pemimpin untuk mengontrol negara. Tahun 1261 setelah Baghdad jatuh ke tangan Mongol pada tahun 1258, Sultan al-Zahir Baybars mendukung klaim al-Mustansir atas dinasti Abbasiyah. Ia mengundang al-Mustansir ke Mesir dan melantiknya sebagai Khalifah. Sebagai imbalan, Khalifah al-Mustansir mengakui Baybars sebagai sultan.[91] Sultan kemudian mengirim khalifah ke Baghdad untuk menghadapi kehadiran Mongol di Ibukota Islam tersebut. Ketika al-Mustansir terbunuh dalam ekspedisi mematikan itu, sultan kemudian menggantinya dengan melantik al-Hakim sebagai khalifah pada tahun tersebut. Namun kekhalifahan al-Hakim memang hanya merupakan kegiatan seremonial dan lebih banyak diwarnai dengan penahanan rumah. Walaupun sultan-sultan Mamluk umumnya melakukan pengawasan yang ketat terhadap para Khalifah yang mereka angkat dan memperlakukan mereka hanya sebagai pelengkap acara-acara publik, mereka tetap sadar akan potensi kekuasaan politik dan ancaman yang mungkin muncul dari khalifah-khalifah tersebut. Karena mereka tidak memiliki gelar untuk berkuasa kecuali kekuatan pemaksa, dinasti Mamluk menggunakan simbol keagamaan Khalifah untuk maksud-maksud politik mereka melalui menampilkan khalifah-khalifah rekaan mereka.[92] 

Perkembangan hubungan antara institusi politik dan agama yang cukup signifikan terjadi pada saat transformasi lembaga peradilan  yang dilakukan oleh Sultan al-Zahir Baybars (1260-77). Baybars melakukan perubahan tersebut pada periode 1262-1265 dengan merubah komposisi majelis hakim yang biasanya diisi hanya oleh seorang hakim agung yang bermazhab syafi'I dengan memberikan tempat yang sama kepada hakim dari tiga mazhab lain, dengan demikian majelis hakim terdiri dari 4 orang hakim dari empat mazhab sunni. Keputusan ini nampaknya disebabkan beberapa hal termasuk keinginan Baybars untuk mendapatkan dukungan dari kalangan sunni yang bermazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali yang memang menjadi mayoritas pada saat ia naik tahta. Dengan melakukan hal itu, ia juga bermaksud untuk mengarahkan mereka untuk berkonfrontasi dengan hakim bermazhab Syafi'i yang saat itu sangat berkuasa yaitu Taj al-Din bin Bint al-A'zz.[93] Episode ini sengaja saya ungkapkan untuk memperlihatkan peran negara untuk menegosiasikan kekuasaannya dengan institusi keagamaan dalam rangka mendapat legitimasi dan juga peran negara untuk memediasi sejumlah institusi keagamaan dalam tradisi sunni.[94]

Kompetisi antara para ulama untuk mendapatkan atau menarik dukungan terhadap negara memperlihatkan betapa kompleksnya hubungan antara institusi agama dan negara. Walaupun berbagai mazhab memiliki ketentuan-ketentuan khusus dalam menyelesaikan masalah-masalah fiqih, mereka membutuhkan dukungan sukarela atau kekuasaan negara untuk mengimplementasikannya. Sifat hirarkis lembaga peradilan membagi hakim ke dalam dua kategori yaitu hakim ketua dan hakim deputi. Hakim ketua memberikan otorisasi terhadap keputusan para deputi agar putusan tersebut bisa dicatat dalam daftar hukum pengadilan (diwan al-hukum) dan dengan demikian bisa dilaksanakan oleh negara.[95] namun bila deputi yang mengeluarkan keputusan tidak menganut mazhab yang sama dengan hakim ketua, maka hakim ketua tetap berkewajiban untuk melaksanakan keputusan itu. Namun minoritas hakim bermazhab syafi'I tidak mengizinkan hal tersebut karena itu berarti melanggar aturan mazhab orang lain. Dengan demikian, bila seorang hakim bermazhab syafi'i menduduki jabatan tertinggi daalam struktur pengadilan, dia tidak akan mengeimplementasikan keputusan yang dihasilkan oleh hakim dari mazhab lain. Karena pada saat Baybar naik tahta, jabatan hakim ketua dipegang oleh hakim bermazhab syafi'i yang memiliki pandangan seperti yang tersebut di atas, maka ia mulai memutuskan untuk menunjuk hakim agung lain yang mewakili kelompok-kelompok sunni yang bisa menerima keputusannya.[96] Kebijakan ini memberikan keuntungan politis yang sangat jelas bagi penguasa-penguasa Mamluk. Mereka  tidak hanya menerima ucapan terimakasih dan kesetiaan dari kelompok-kelompok mazhab baru di lembaga peradilan yang tentu bisa membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka, tetapi juga mereka bisa mempengaruhi khalayak banyak untuk menerima keberadaan mereka sebagai penguasa yang berasal dari tentara budak asing.[97] Pada saat perang, rezim Mamluk mengandalkan dukungan ulama untuk memberikan mereka izin untuk memungut pajak baru dan mengalihkan dana wakaf untuk kepentingan perang.[98]

Mari berbalik sejenak untuk melihat kewenangan muhtasib dalam periode Fatimiyah, posisi ini tetap memiliki fungsi yang sama di bawah kekuasaan Mamluk yaitu menjadi penjaga moral publik, pengawas pasar dan sekaligus pengumpul pajak. Pada masa ini, posisi muhtasib juga memperlihatkan adanya negosiasi yang sama antara institusi politik dan agama seperti yang terjadi pada masa sebelumnya. Awalnya, pada saat berdirinya dinasti Mamluk jabatan muhtasib lebih dikenal sebagai jabatan keagamaan (wadzifa diniyyah) yang biasanya dipegang oleh para fuqaha, ulama, pengajar madrasah, dan praktisi ilmu-ilmu keislaman selama hampir 150 tahun. Namun akhirnya rezim-rezim Mamluk yang saling bermusuhan menguasai jabatan ini untuk kepentingan kelompok dan diri mereka sendiri, dan berakhir dengan konsekuensi ekonomi yang buruk. Perubahan posisi jabatan ini juga terrefleksikan dalam perubahan hubungannya dengan negara dan persepsi masyarakat umum.[99]

Kasus Ibnu Taimiyah bisa menjadi contoh intervensi rezim Mamluk dalam masalah diskursus kegamaan. Sebagaimana mafhum, Ibnu Taimiyah dipenjarakan tidak kurang lima kali selama hidupnya pada zaman kekuasaan Mamluk karena kepercayaannya dianggap tidak mendapat dukungan dari kalangan salaf dan bertentangan dengan konsensus para ulama dan para pembuat hukum (hakkam) yang hidup pada zamannya. Fatwa ibnu Taimiyah juga dianggap membuat kekhawatiran di kalangan masyarakat awam".[100] Pendapat Ibnu Taimiyah yang kontroversi itu diantaranya adalah pemisahan antara kelompok masyarakat ahl al-dzimma dengan muslim dan penggunaan kekuasaan negara untuk melawan musuh dari dalam seperti komunitas syiah yang termasuk dalam kekuasaan rezim Mamluk. Tanpa melihat kebijakan aparat negara terhadap Ibnu Taimiyah, kita bisa melihat bahwa dinasti Mamluk memperlakukan Ibnu Taimiyah dengan sikap politik yang cukup keras karena Ibnu Taimiyah memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan masyarakat Islam dan amir-amir Syiria. Namun Ibnu Taimiyah sendiri bekerja sama dan melayani pejabat-pejabat negara, atau melemahkan dam mengancam mereka tergantung apakah ia setuju dengan pandangan dan kebijakan mereka atau tidak.

Sebaliknya, para ulama, terutama ulama Damaskus, cenderung segera mendeklarasikan kesetiaan mereka kepada rezim militer manapun yang memasuki kota tersebut agar ketertiban segera bisa dikembalikan secepat mungkin. Sikap seperti ini berdasarkan pada pendapat bahwa negara, seperti apapun bentuknya, lebih baik daripada perang dan pentingnya penyerahan diri. Ironisnya, janji perdamaian dan pengampunan yang diharapkan para ulama itu tidak mereka dapatkan ketika pasukan Mongol menyerang kota itu pada tahun 1299-1300.[101] Bahkan  hal yang sama terjadi pada saat Timur Lenk menginvasi kota itu satu abad setelahnya pada tahun 1400. Sementara ulama-ulama lain bersedia untuk bertahan dan melawan dengan mempersiapkan blokade atau perang gerilya, ahli fiqih Hanbali yang terkemuka, Ibnu Muflih, malah memperingatkan masa untuk menyerah dan mempercayakan keselamatan kota kepada penjajah. Timur Lenk menproklamirkan diri menjadi Sultan setelah berhasil memblokade kota selama 2 hari. Ia mengangkat Ibnu Muftih menjadi qadi dan agen Timur Lenk, namun kota tetap saja dihancurkan.

Peran para Qadi dalam kekuasaan Mamluk terintegarasi dan terpenetrasi oleh aparat negara. ada 4 jabatan qadi di setiap kota-kota Dinasti Mamluk, masing-masing qadi memiliki jaringan deputi  yang memiliki kekuasaan politik yang setara dengan menempatkan diri mereka sebagai penengah antara ulama dan rezim Mamluk yang menuntut pajak yang tinggi untuk membiayai kebutuhan militernya.[102]  Memang sulit untuk mengetahui parameter otoritas dan wilayah kewenangan peradilan ketika tidak ada satupun prinsip pemisahan kekuasaan diketahui, meskipun pada saat itu telah ada pembedaan institusi dan pejabat peradilan seperti qada, mazalim, hisba, dan lain sebagainya. Pengadilan Mazalim misalnya menjadi tempat bagi masyarakat untuk mengadukan penindasan atau ketidakpedulian yang dilakukan oleh aparat negara, sekaligus menjadi tempat bagi para pejabat negara dan orang-orang berpengaruh untuk memenangkan kepentingannya atau menghentikan lawan-lawannya.[103] Kasus-kasus wakaf dan properti individu sering menjadi kasus dalam pengadilan mazalim karena semasa rezim Mamluk beberapa amir dengan pengawal miiternya biasa merampas tanah milik orang lain.

Ahl al-Dzimma di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mamluk

Dinasti Fatimiya sangat menekankan peran pemimpin dalam membangun masyarakat Islam yang adil. Bahkan keadilan nampaknya menjadi platform dasar bagi setiap gerakan syi'ah untuk mendapatkan legitimasi. Secara teoritis, semua urusan negara, masyarakat, dan agama harus berada di bawah pengawasan imam yang maksum yang mengatur masyarakat berdasarkan otoritas ketuhanan yang komprehensif. Berbeda dengan Dinasti Fatimiyah, dinasti Mamluk tidak mempunyai klaim ideologis dari ajaran lama. Mereka mendasarkan diri pada klaim yang mereka buat sendiri untuk mempertahankan dan mendukung ajaran Islam. Selama pejabat dinasti Mamluk tidak menyalahi tatanan Islam di depan publik, kekuasaan mereka akan selalu dilegitimasi oleh mayoritas ulama.

Status dan peran ahl al-dzimmah dalam masyarakat Islam selalu menjadi bahan perdebatan dan ketegangan. Sementara teks-teks dasar Islam lebih banyak dipahami untuk merefleksikan sikap toleransi kepada ahl al-kitab dan penganut agama lain, data historis menunjukkan bahwa permusuhan lebih banyak mewarnai hubungan antara muslim dan non muslim daripada hubungan simpatik. Dalam kasus Mesir misalnya yang merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Koptik, umat islam berhutang budi kepada masyarakat Mesir koptik atas keahlian yang mereka miliki untuk mengelola ekonomi pertanian Sungai Nil dan aspek lain dalam kehidupan masyarakat Mesir. Kelebihan kemampuan teknik yang dimiliki oleh  komunitas Koptik dalam kegiatan ekonomi lokal sering menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial di kalangan penduduk yang beragama Islam yang walaupun menjadi elite penguasa namun tetap tergantung pada minoritas luar. Cara bagaimana ketegangan seperti ini dinegosiasikan dalam kasus-kasus yang akan saya paparkan nanti memperlihatkan adanya pola perlakuan yang berbeda terhadap ahl al-dzimmah dalam masyarakat muslim.

Selama periode Fatimiyah, kita bisa melihat adanya pola yang toleran dimana tidak adanya pembatasan bagi penduduk beragama Kristen atau Yahudi untuk mendapatkan kesempatan bekerja atau kemungkinan untuk melakukan mobilitas sosial. Bahkan orang-orang Kristen dan Yahudi berkerja di pemerintahan selama masa dinasti Fatimiyah dan awal masa Dinasti Ayyubi, meskipun pada dinasti Ayyubi, beberapa pelarangan sempat terjadi.[104] Namun praktik ini tidak boleh kita besar-besarkan juga, Dinasti Fatimiyah yang berada di Mesir tidak memiliki sistem yang bisa menyeimbangkan sejumlah kelompok dalam masyarakat yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan. Yang ia miliki hanyalah seorang imam yang memiliki otoritas yang tinggi. Rezim Fatimiyah yang bermazhab Ismailiyah sendiri juga merupakan kelompok minoritas di Mesir yang mengelola kelompok minoritas muslim lain yang mengklaim dirinya memiliki otoritas keagamaan atas mayoritas orang Koptik. Dengan demikian semua segmen masyarakat Fatimiyah dan Mamluk di Mesir sangat rentan mengalami ketegangan yang sama dan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang dan kekuatan yang tak terdeteksi oleh negara.

Walaupun rezim dinasti Fatimiyah nampaknya agak sedikit lebih toleran dan mendukung institusi ahl-al-dzimmah (terutama kristen Koptik) karena berbagai alasan, penduduknya yang mayoritas sunni sangat anti-dzimmi dan mereka marah kepada rezim Fatimiyah karena mendukung ahl-dzimmah. Masyarakat sunni memandang keberadaan kristen Koptik dan yahudi dalam pemerintahan dinasti Fatimiyah Mesir mewakili sistem pemerintah yang tidak sah dan tidak bisa diterima dalam masyarakat Islam. dengan demikian, tekanan negara kepada kelompok dzimmi harus dilihat sebagai konsesi terhadap kemarahan dan permusuhan kalangan sunni kepada kelompok ini dan sebagai sikap politik yang layak diambil untuk mencegah konfrontasi serius antara kelompok ini dengan masyarakat muslim. Dengan demikian,

Posisi orang kristen dan Yahudi di negara Islam (selama dinasti fatimiyah berkuasa) dilindungi namun tidak cukup aman. Hukum Islam melindungi hidup, hak milik, serta kebebasan mereka, meskipun dengan beberapa pembatasan, untuk melaksanakan ajaran agamanya. tetapi, hukum Islam juga menuntut mereka untuk dipisahkan dari masyarakat lain dan mengharuskan mereka untuk tunduk pada aturan. Jika aturan-aturan itu dijalankan di bawah pemerintahan yang lemah atau buruk`,maka kondisi ini dapat dan pasti mengarah pada absennya hukum dan perlakuan buruk. Kebijakan yang diambil rezim Fatimiyah ini selaras dengan karakter umum periode saat itu dimana… perdagangan internasional yang cepat dibuat untuk interaksi bebas antara kelompok yang berbeda dalam masyarakat disamping karena perilaku tertentu yang dianggap masuk akal.[105]

Debat akademis mengenai status dzimmah di kalangan ummat Islam sering merujuk pada apa yang disebut "perjanjian Umar", sebuah teks yang berasal dari perjanjian antara Umar bin Khatab dengan ahl al-dzimmah di Syiria, namun dianggap oleh sebagian sarjana baru muncul pada beberapa masa berikutnya.[106] Kondisi yang nampaknya telah diatur oleh perjanjian itu adalah perbedaan gaya berpakaian (ghiyar), larangan untuk mendirikan gereja atau sinagog, pembatasan kegiatan ibadah yang dilakukan di ruang publikm dan aturan-aturan mengenai kemungkinan ahl-dzimmah bekerja dalam pemerintahan Islam. Aturan-aturan ini tentu saja merupakan tambahan atas kewajiban membayar pajak (jizyah). Aturan-aturan tersebut nampaknya tidak pernah dikodifikasikan di Mesir baik sebelum ataupun semasa dinasti Fatimiyah berkuasa, namun implikasi dan pengaruhnya masih terlihat dalam berbagai kasus.

Praktiknya, memang, beragam tergantung faktor politik dan faktor-faktor lainnya. Negara bisa saja mengizinkan pendirian gereja dan sinagog baru atau merehabilitasi bangunan lama, tetapi ia juga bisa saja menyerah pada tuntutan ulama dan masyarakat untuk menolak permintaan komunitas dzimmi. Khalifah/Imam al-Mu'izz mengizinkan pembangunan gereja baru walaupun perasaan anti-kristen sangat umum di masyarakat Islam Fustat saat itu, dan Khalifah Abdul Aziz mengizinkan rehabilitasi sebuah gereja. Imam-imam dinasti Fatimiyah memperluas pengaruh mereka kepada masyarakat non-muslim dengan mewakafkan tanah untuk gereja, melindungi hak-hak lembaga biarawan St. Catherine, bahkan mendukung pendirian seminari Yahudi di Yerussalem. Namun kompleksitas masalah ini bisa dilihat dari kasus Muhammad bin Tughj, penguasa dinasti Ikhsid (dinasti sebelum Fatimiyah), yang menghadapi tekanan yang sangat besar dari masyarakat muslim yang sangat marah untuk melarang perbaikan gereja Abu Shenuda yang sebagian bangunannya mulai rusak. Dua dari tiga ahli hukum yang ditunjuk untuk memeriksa legalitas perbaikan gereja itu menyimpulkan bahwa upaya tersebut memang dilarang, tetapi Ibnu Tughj lebih suka mengambil pendapat hakim ketiga yang menyatakan legalitas perbaikan tersebut. Namun setelah ahli hukum ketiga ini diserang oleh kerumunan massa di jalanan dan bahkan menimbulkan kerusuhan yang melibatkan pasukan bersenjata, jelaslah bagi Ibnu Tughj bahwa ia tidak bisa mengimplementasikan kebijakannya itu karena akan menimbulkan ketidakstabilan yang berkelanjutan. Ibnu Tughj akhirnya menyerah pada tuntutan masa dan usaha perbaikan gereja tidak diizinkan untuk diteruskan.[107]

Pada tingkat lokal, wazir, amir dan ulama berusaha menggunakan kekuasaan mereka untuk mengeksploitasi, memeras dan menekan rekan non-muslimnya. Sebagai contoh, ummat Yahudi di Yerussalem kadang-kadang harus membayar untuk mendapatkan izin penyelenggaraan kegiatan agama. Pada masa  wazir al-Yazuri berkuasa (1055-1056), qadi lokal mengajukan keberatan atas pembangunan dan perbaikan sejumlah gereja di wilayah mereka. Namun kasus ini akhirnya bisa diselesaikan setelah komunitas Kristen koptik di wilayah itu membayar sejumlah besar uang kepada pimpinan militer wilayahnya, Nasir al-Daulah bin Hamdan. Peristiwa ini terjadi meskipun ada resiko terjadinya ketegangan antara rezim dinasti Fatimiyah dengan Pimpinan Kristen koptik dan akan mengganggu peran komunitas koptik yang cukup besar dalam mengelola pertanian Mesir. Pendukung Nasir al-daulah memang yang harus bertanggung jawab atas perusakan terhadap sejumlah gereja dan pembunuhan sejumlah pendeta yang terjadi sepuluh tahun berikutnya pada perang sipil di masa al-Mustansir.[108]  Meskipun ada banyak contoh perlakukan buruk terhadap ahl al-dzimmah seperti yang sudah saya kemukakan tadi dan adanya kebijakan resmi pemerintah untuk melindungi dan memberikan toleransi kepada kalangan minoritas, kita akan lebih menekankan perhatian pada kasus diskriminasi yang dilakukan atas perintah khalifah, seperti yang terjadi pada masa Khalifah al-Hakim.

Sejarawan periode ini umumnya setuju bahwa karakter dinasti ini cukup bagus karena mereka memperlakukan kelompok non-muslim dan non-syiah Ismailiyah dengan baik. Namun, pada masa al-Hakim bi Amr Allh (996-1021) sebetulnya terjadi penganiayaan atas nama agama, terror yang disponsori negara dan tumbuhnya semangat keagamaan yang tidak terkontrol. Selain memberlakukan aturan pembedaan gaya berpakaian (ghiyar) dan  memerintahkan penghancuran gereja, al-Hakim juga melakukan kampanye sistematis untuk menganiaya dan melakukan tindakan kekerasan kepada non-Muslim. Pada masa terburuk pemerintahannya, 1004-1012,  gereja dan biara di Kairo dan seluruh kota-kota Dinasti Fatimiyah dihancurkan termasuk Gereja Suci Sepulchure di Yerussalem, bangunan-bangunan non Muslim diubah peruntukkannya menjadi masjid, kas-kas gereja dirampas, dan tanah pemakaman gereja dihancurkan. Al-Hakim juga merampas wakaf sejumlah gereja dan biara, dan kebijakannya ini berimplikasi sangat buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi komunitas dzimmi pada masa itu.[109]  Walaupun al-Hakim membatalkan beberapa kebijakannya setahun sebelum ia meninggal (menghilang), kerusakan, terutama yang disebabkan oleh hilangnya wakaf dan perubahan bangunan gereja menjadi masjid, bisa dikatakan permanen. Namun pada pemerintahan khalifah Fatimiyah berikutnya, sejumlah orang kristen dan Yahudi yang beremigrasi ke Byzantium pada masa al-Hakim, mulai kembali ke Mesir dan melakukan rehabilitasi, hingga hubungan antar agama mulai kembali membaik. 

Tidak seperti rezim Fatimiyah, rezim Mamluk tidak memandang dirinya sebagai pemimpin agama atau berusaha menempatkan diri mereka dalam urusan-urusan yang dianggap urusan ulama. Malah, mereka tergantung pada ulama dan pemimpin agama lainnya untuk melegitimasi otoritas politiknya. Ironisnya, sikap ini membuat posisi ahl al-dzimmah di masa Dinasti Mamluk lebih buruk daripada di masa Dinasti Fatimiyah. Meskipun para penguasa Mamluk tidak berniat untuk menyulut permusuhan dengan komunitas ahl-dzimmah tertentu, namun mereka cenderung menyerah pada permintaan para pemimpin agama yang menekan mereka untuk memperlakukan ahl al-dzimmah dengan buruk.

Hampir di seluruh negeri-negeri Muslim, ahl al-dzimmah sering dipekerjakan oleh Mamluk sebagai pengontrol atau penjaga badan-badan negara, konsultan kesehatan para sultan, akuntan, staf keuangan pejabat-pejabat tinggi atau juru tulis bagi kalangan militer dan amir-amir lokal. Posisi yang cukup berpengaruh itu jelas memancing permusuhan dan kecurigaan komunitas muslim. Sentimen ini nampaknya semakin meningkat ketika mayoritas sunni yang tinggal di Mesir menghadapi tantangan hegemoni kalangan syi'ah selama dua abad berikutnya dan menghadapi perang salib. Dalam suasana seperti itu, kejadian kecil saja bisa menyebabkan terjadinya kekacauan dan protes terhadap ahl al-dzimmah, dan biasanya sultan-sultan dinasti Mamluk meresponnya dengan cara menekan kalangan dzimmi untuk menenangkan para pemrotes. Sikap pemerintah ini membuat masyarakat semakin menuntut adanya tindakan yang lebih keras kepada kalangan Kristen Koptik hingga menyebabkan terjadinya penjarahan dan pembunuhan. Namun ketika Mamluk berusaha untuk menegakkan otoritas mereka dan mengembalikan perdamaian, mereka juga berusaha untuk tidak terlihat mendukung Kristen Koptik, hingga Mamluk terpaksa menjatuhkan hukuman ekstra judicial kepada mereka dan memecat mereka dari pekerjaan.[110] Namun perlakuan buruk ini tidak terjadi pada kristen Koptik yang menjadi pejabat tinggi negara. Mereka biasanya ditawari untuk masuk Islam, namun hanya beberapa orang di antara mereka yang merespon tawaran itu dengan serius.

Kadang-kadang tuntutan untuk memperlakukan ahl-dzimmah dengan buruk itu datang dari luar. Misalnya ketika seorang menteri Dinasti Hafasid Algeria Timur dayang berkunjung ke Mesir pada tahun 1301. Ia mengungkapkan ketidak sukaannya terhadap sikap baik dinasti Mamluk terhadap orang-orang kristen dan Yahudi yang ada di Mesir karena di negerinya orang-orang ini diperlakukan dengan sangat buruk. Akibatnya, beberapa Amir mamluk yang oportunis berusaha untuk melaksanakan tuntutan umum masyarakat ini dan mereka memberlakukan tindakan keras kepada ahl al-dzimmah dengan menutup atau merubuhkan gereja-gereja di daerah kekuasaan Mamluk bahkan hingga mencapai Damaskus. Namun tindakan represif ini hanya berlangsung selama satu tahun, setelahnya sejumlah gereja kembali dibuka. Protes massa Muslim terhadap peningkatan status dan perlakuan kepada ahl al-dzimmah cenderung menyebabkan negara bertindak keras kepada mereka hingga banyak di antara mereka yang masuk Islam. Nampaknya ada hasutan dan sejenis koordinasi antara kerusuhan yang melibatkan orang Islam dan ditujukan kepada Kristen Koptik di seluruh wilayah Mamluk. Tahun 1321 misalnya ada 11 gereja yang dihancurkan oleh massa di Kairo dan pada hari yang sama, sekitar 60 gereja di daerah lainnya juga dihancurkan. Kristen Koptik melakukan pembalasan dengan membakar sejumlah masjid di Kairo. Akhirnya, Sultan Mamluk menggunakan tindakan kekerasan untuk mengamankan suasana.[111]

Pada tahun 1354, Negara beberapa kali menggunakan kekerasan untuk meredam perlawanan kalangan Kristen Koptik yang disebabkan oleh kejadian-kejadian kecil. Seperti pada masa sebelunya, pembatasan ketat yang berdasarkan Perjanjian Umar kembali diberlakukan. Kalangan Kristen Koptik dan Yahudi yang menjadi pejabat tinggi dipecat dari jabatannya, dipaksa masuk Islam dengan ancaman akan dibunuh di jalanan kota Kairo. Pada tahun itu pula, semua tanah wakaf yang diberikan kepada gereja-gereja dan biara-biara Kristen diambil alih dan didistribusikan kepada para amir dan beberapa ulama, hingga lembaga-lembaga kristen kehilangan sumber utama keuangannya. Tekanan dan pengambil alihan sumber-sumber keuangan lembaga itu dimaksudkan untuk menarik ahl al-dzimmah agar masuk Islam dalam jumlah besar.[112] 

IV. Negosiasi AntarLembaga
Pengalaman sejarah yang saya ungkapkan tadi hanya merupakan contoh pendekatan Islam terhadap sekularisme sebagai negosiasi konstan antara institusi negara dan politik. Seperti yang sudah saya tekankan di awal bab ini, sejarah selalu diperdebatkan dan diinterpretasikan dengan cara yang berbeda untuk mendukung pandangan yang berbeda bahkan yang saling bertentangan. Karena itulah saya sadar bahwa cara pembacaan terhadap sejarah yang saya lakukan di sini bukanlah satu-satunya cara.  Namun bukan berarti interpretasi sejarah dan penjelasan mengenai implikasinya yang saya lakukan di sini harus ditolak atau diterima sepenuhnya. Yang saya inginkan adalah mudah-mudahan cara pembacaan sejarah yang saya lakukan bisa masuk akal dan berguna bagi ummat Islam sekarang yang sedang berusaha merekonsiliasikan komitmen mereka untuk tetap berpegang teguh kepada syariat dalam konteks mereka saat ini baik dalam konteks lokal maupun global. Melalui perspektif ini, saya akan menyusun beberapa implikasi tentatif yang saya dapat dari kilas balik sejarah yang saya lakukan tadi dan mengaitkannya dengan proposisi utama yang saya ajukan dalam buku ini, tanpa membuat kesimpulan apapun.

Bab ini saya mulai dengan menyatakan bahwa saya setuju dengan padangan Ira Lapidus tentang  adanya pembedaan antara institusi agama dan negara dalam sejarah masyarakat Islam. Dalam bagian selanjutnya, saya berusaha untuk mendukung dan menjelaskan validitas pandangan ini dan menghubungkannya dengan ide mengenai pemisahan antara lembaga keagamaan dan negara dengan tetap mengakui keterhubungan antara agama dan politik dalam masyarakat Islam saat ini. Dengan kata lain, pentingnya pembedaan otoritas negara dan agama bisa dilakukan melalui teori dan dibuktikan dengan analisis sejarah seperti berikut ini.

Pembedaan instituisonal ini bisa didukung secara teoritis dengan memperlihatkan perbedaan karakter otoritas politik dan agama seperti yang sudah saya jelaskan dalam bab I. Hal terpenting yang perlu saya ungkapkan di sini adalah bahwa negara memang harus sekuler dan politis karena kekuasaan dan institusinya membutuhkan tingkat dan bentuk kontinuitas dan prediktabilitas tertentu yang tidak dimiliki oleh otoritas keagamaan. Secara teoritis, pemimpin agama memang harus memperjuangkan keadilan dan kesetiaan terhadap Syari'ah, namun mereka tidak punya kekuasaan maupun kewajiban untuk bertanggung jawab atas ketertiban kekomunitas lokal, pengaturan relasi ekonomi dan sosial, atau pertahanan terhadap ancaman luar. Fungsi-fungsi ini membutuhkan adanya kontrol yang efektif atas wilayah dan penduduk, serta kemampuan untuk menggunakan kekuatan pemaksa. Kualitas ini memang harus dimiliki oleh pejabat negara, namun tidak oleh pemimpin agama.

Seperti yang sudah disebutkan di awal, beberapa pemuka agama mungkin memiliki otoritas politik atas pengikutnya, dan beberapa pemimpin politik mungkin mendapatkan legitimasi keagamaan dari kelompok tertentu dalam masyarakat. Namun yang perlu kita perhatikan di sini adalah ada dua tipe otoritas yang berbeda, bahkan meskipun keduanya dipegang oleh yang sama. Keduanya memiliki kriteria yang berbeda dan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang lain. Otoritas agama didasarkan pada tingkat pengetahuan dan kesalehan seorang ilmuwan dan dinilai oleh yang menerima otoritasnya berdasarkan penilaian pribadinya yang subjektif di luar interaksi personal rutinnya dengan  orang itu. Sementara otoritas politik pejabat negara berdasarkan kualitas yang bisa dinilai secara lebih objektif seperti kemampuannya untuk menggunakan kekuasaan dan mengelola administrasi yang efektif untuk kemaslahatan ummat. Bahwa ada seseorang yang bisa mengkombinasikan otoritas politik dan keagamaan, tidak berarti bahwa kedua otoritas ini sama atau kemampuan tersebut harus dimiliki oleh orang lain yang akan melakukan fungsi-fungsi politik dan keagamaan.

Pentingnya pembedaan otoritas ini juga bisa dilihat dari konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh keinginan untuk memaksakan penyatuan antara Islam dan negara seperti pecahnya perang terhadap orang-orang murtad di masa Khalifah Abu Bakar (632-634).  Kesimpulan yang saya tarik dari terjadinya perang terhadap orang-orang murtad ini adalah apapun alasannya, Abu Bakar tetap bisa melaksanakan kebijakannya ini walaupun ditentang oleh para sahabat utama karena ia adalah seorang khalifah dan bukan karena ia mengambil keputusan yang benar dan tepat menurut pandangan Islam. Ini bukan berarti Abu Bakar benar atau sah. Ummat Islam memang  akan terus berbeda pendapat mengenai hal ini tanpa adanya kemungkinan untuk mendapatkan kepastian yang independen dan bisa diterima oleh semua pihak. Namun menurut saya, akan lebih konstruktif bila kita membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan kebijakan dan tindakan politiknya sebagai khalifah. Seperti Umar dan Ali yang berbeda pendapat dengannya, Abu Bakar juga seorang sahabat yang memiliki justifikasi religius untuk posisi mereka. Namun ini tidak berarti keputusannya untuk menyerang suku-suku Arab yang memberontak adalah keputusan agama dan bukan keputusan politik. Arti sebuah tindakan tidak boleh ditentukan oleh motivasi pelakunya. Pembedaan ini mungkin terasa masih sulit bagi ummat Islam untuk melihat periode Madinah karena otoritas politik pada masa itu masih sangat personal dimana negara bukanlah institusi politik. Kondisi ini terjadi karena  berbagai faktor diantaranya contoh yang diberikan Rasul, tiadanya pembentukan negara di wilayah Arabia sebelumnya dan cara 4 khalifah pertama dipilih dan menjalankan kekuasaannya. Masalahnya adalah apapun pandangan yang digunakan untuk melihat peristiwa-peristiwa sejarah itu, kebingungan seperti ini tidak bisa dijustifikasi dan diterima dalam konteks negara post kolonial model eropa saat ini.

Pentingnya pemisahan otoritas agama dan negara dalam masyarakat Islam juga bisa dipahami dengan melihat konsekuensi kebijakan mihnah yang dikeluarkan oleh Khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun pada tahun 833, persis 200 tahun setelah perang terhadap orang-orang murtad terjadi. Episode tragis yang terjadi dalam sejarah Ummat Islam ini penting bagi diskusi kita kali ini karena peristiwa mihnah jelas memperlihatkan bahayanya penyatuan otoritas agama dan negara sekaligus menandai runtuhnya dominasi model ini karena ulama bisa menegaskan otonomi mereka dari negara dengan sukses walaupun beberapa di antara mereka harus membayar mahal. Pengalaman ini juga menegaskan pentingnya melindungi otonomi aktor-aktor masyarakat sipil, termasuk otoritas keagamaan karena perlindungan ini merupakan hal penting bagi suksesnya pemisahan antara Islam dan negara dengan tetap mengatur keterhubungan antara Islam dan politik. Agar proses negosiasi antara pemimpin agama dan negara berlangsung mulus, perlu adanya dasar kelembagaan dan sumber keuangan yang mendukung mereka. Dari perspektif inilah, saya akan secara singkat membahas pentingnya peran waqaf dalam konteks historis tersebut.

Sejak periode awal sejarah Islam, ummat Islam yang mampu telah berusaha untuk mewakafkan tanah atau harta milik mereka yang lain untuk mendukung masjid, madrasah dan apapun yang bisa bermanfaat bagi komunitas. Alasan mereka melakukannya adalah layanan publik yang disediakan oleh waqaf terus mengalir manfaatnya dan mungkin akan menjadi rahmat bagi wakif saat dia hidup mauopun setelah mati. Waqaf memang telah memainkan peran yang sangat besar dan cukup kompleks dalam masyarakat Islam, lebih dari pernah diperkirakan. Regulasi mengenai wakaf menjadi bidang yang sangat komplek dalam hukum Islam karena ia berkaitan dengan hal-hal yang juga penting seperti warisan termasuk di dalamnya kehendak waris, pernyataan waris, dan penunjukkan penerima waris, dan etika pertanggung jawaban keuangan. Para fuqaha juga memperhatikan aturan mengenai wakif karena institusi waqaf sangat rentan dimanipulasi oleh orang-orang yang menghindari aturan zakat dan waris. Namun, karena wakaf sangat penting dari segi praksis maupun keagamaan, memiliki konsekuensi sosial dan politik serta kompleksitas teknis, ia menjadi rentan terhadap manipulasi yang dilakukan oleh penguasa atau pejabat negara. dan ini bisa menjadi  indikasi bahayanya penyatuan otoritas politik dan keagamaan dalam masyarakt Islam.

Selain memiliki implikasi hukum, wakaf atau donasi semacamnya yang ditujukan untuk kepentingan publik atau kelompok tertentu, juga memiliki implikasi sosial dan politik. Wakaf memang telah menjadi bagian yang penting dalam ruang publik masyarakat Islam karena wakaf menyediakan tempat bagi penumbuhan norma-norma dan etika Islam dalam bentuk institusi pendidikan, institusi peribadatan dan penyediaan layanan sosial. "meskipun tindakan mewakafkan merupakan urusan individu, namun pengguna wakaf selalu berada di ruang publik". karena itulah, "dengan mewakafkan hak miliknya… pewakaf telah mengekspresikan rasa keterikatanya dengan komunitas kaum beriman dan identifikasi dirinya dengan nilai-nilai yang dianut komunitas itu."[113]

Ulama-ulama Syafi'I mendefinisikan wakaf sebagai, "Penggunaan hasil yang didapat dari benda hak milik untuk tujuan-tujuan kebaikan dengan tetap mempertahankan wujud bendanya".[114] Namun insitusi atau bagian—bagian wakaf yang tidak ditujukan untuk mencari penghasilan seperti sekolah agama, madrasah, masjid, tempat-tempat para sufi, dan institusi-institusi keagamaan lainnya biasanya didanai dari hasil aset wakaf yang produktif seperti tanah pertanian, apartemen atau bisnis lainnya. Sebagai balasannya, para pewakaf akan terus didoakan oleh orang-orang yang memanfaatkan institusi-institusi yang didirikan di atas properti yang mereka wakafkan baik dengan belajar, beribadah atau menerima santunan. Doa-doa para donatur itu biasanya dilakukan dalam acara publik. Sudah barang tentu, pejabat, sultan, pedagang dan pemuka masyarakat berusaha untuk mewakafkan harta mereka sebanyak-banyaknya untuk memperkuat bahwa kesan mereka adalah pemimpin yang soleh di mata masyarakat. Namun bisa saja sikap itu didorong oleh tujuan untuk mendapatkan pahala. Wakaf sebenarnya merupakan wahana bagi pewakaf untuk terus diingat dan didoakan oleh orang-orang di sekelilingnya. Namun di samping itu, tak kalah pentingnya, wakaf juga berfungsi untuk melayani masyarakat.[115] 

Besarnya fungsi sosial dan keagamaan yang dimiliki oleh wakaf jelas mempunyai implikasi politik tertentu. Wakif bisa menjamin kesetiaan orang-orang yang memanfaatkan wakafnya, dan sekaligus menjamin lingkaran jaringan dan hubungan sosialnya. Tak heran bila wakaf yang ditujukan untuk keperluan kegiatan keagamaan seperti untuk madrasah dan masjid banyak bermunculan pada saat taruhan politik sedang meninggi.[116] Sebagai contoh, Sekolah agama Dar al-Ilmi merupakan wakaf yang diberikan oleh khalifah dinasti Fatimiyah al-Hakim untuk memenuhi kebutuhan kalangan sunni pada saat terjadinya kekerasan publik yang diakibatkan politik sektarian kalangan Syi'ah Fatimiyah di Kairo. Begitupun Nizam al-Muluk, ia mewakafkan sekolah pada saat Baghdad sedang dalam suasana tidak menentu.

Akhirnya, wakaf menjadi tempat bagi penguasa dan ulama untuk menegosiasikan dan memediasi hubungan antara keduanya. Penguasa tidak bisa berfungsi tanpa restu dari rakyatnya yang menginginkan mereka untuk memegang teguh dan mengimplementasikan ajaran Islam seperti yang sudah dijelaskan oleh para ulama. pada saat yang sama, ulama dan institusi keagamaan juga tidak berfungsi tanpa dukungan penguasa yang tidak hanya melindungi batas-batas negara Islam dan  menjaga stabilitas dan perdamaian domestik, tetapi juga memberikan wakaf kepada institusi-institusi keagamaan dan menegakkan aturan-aturan wakaf.

Namun, seperti yang sudah saya jelaskan, penguasa perlu menghormati otonomi para ulama karena para ulama mempunyai kredibilitas untuk memberikan legitimasi keagamaan bagi negara. Dengan kata lain, independensi kelembagaan dan keuangan ulama sangat bermanfaat tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi pengikut mereka dan negara. Wakaf menyediakan mekanisme hukum dan sosial untuk menjaga keseimbangan antara otonomi dan ketergantungan ulama terhadap negara.  Sebagai wahana bagi para pemimpin untuk mendoakan pemberi wakaf secara publik maupun privat, wakaf menjadi representasi hubungan yang tersembunyi namun konstan antara yang berkuasa dan yang diatur. Namun dinamika dan peran wakaf di satu daerah bisa berbeda dengan daerah lain dan berimplikasi pada penyebaran mazhab.

Aturan mengenai wakaf memberikan perhatian khusus pada posisi wakif, yang sering memiliki hak untuk menunjuk dirinya sendiri atau orang pilihannya untuk mengurus aset wakaf. Ia juga mempunyai hak untuk mendapapatkan manfaat meskipun tidak ekslusif dari hasil pengelolaa aset wakaf. Aturan ini nampaknya merupakan konsekuensi dari prinsip bahwa wakfi tetap memiliki hak kepemilikan tertentu terhadap aset wakaf dan bisa terus mendapatkan keuntungan dari pengelolaan wakaf tersebut. Sebagai prinsip umum, wakif memiliki kekuasaan untuk menentukan aturan-aturan tertentu terhadap harta yang diwakafkannya. Aturan ini sudah sangat sering diulang-ulang dalam fatwa dan kajian mengenai wakaf  bahwa "nash  al-waqif ka nash al-syar'I (keputusan pemberi wakaf sama kuatnya dengan keputusan syariat).[117]

Prinsip tetapnya hak kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya dianut oleh semua mazhab fiqih sunni kecuali oleh mazhab Maliki yang menyatakan bahwa pemberi wakaf harus melepaskan hak kepemilikan atas harta yang diwakafkannya. Karakter mazhab Maliki ini menurunkan minat penganut mazhab ini untuk mewakafkan hartanya hingga popularitas mazhab ini di Baghdad menurun pada Abad Pertengahan, sementara mazhab lainnya mengail keuntungan pada saat itu. Bahkan mazhab Maliki nampaknya tidak pernah memiliki madrasah di Baghdad maupun di negeri Islam lainnya."[118] Meski demikian, karakter ini menyebabkan lembaga-lembaga mazhab Maliki memiliki otonomi yang sangat tinggi. Dengan tidak mengizinkan pemberi wakaf ikut campur dalam urusan penggunaan wakaf (sekolah dan masjid), lembaga-lembaga mazhab Maliki hendak mengurangi kemungkinan terjadinya ekploitasi sistem terhadap institusi-institusi keagamaan untuk tujuan-tujuan politik.

Pemberi wakaf bisa saja memiliki motif berbeda ketika mewakafkan hartanya kepada satu atau beberapa mazhab. Salahuddin misalnya mewakafkan hartanya kepada madrasah-madrasah syafi'I dan Maliki ketika hendak menaklukkan Mesir walaupun ia sendiri penganut mazhab hanafi.[119] Nampaknya pemberian wakaf kepada mazhab Maliki bertujuan untuk menenangkan penduduk lokal yang telah menderita di bahwa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sementara mazhab syafii didirikan untuk menunaikan ambisi mereka untuk mengikatkan dirinya dan kekuasaannya kepada istana khalifah di Baghdad yang menganut mazhab ini. Salahuddin juga membangun madrasah di lokasi-lokasi yang bagus yang dulunya digunakan dinasti Fatimiyah untuk mensimbolisasikan kekuasaannya, seperti istana dan stasiun polisi.[120]

Tingkat otonomi wakaf kemudian memainkan peranan penting dalam menegosiasikan hubungan antara ulama dan penguasa. Karena ditujukan untuk untuk tujuan atau komunitas tertentu, wakaf boleh diberikan kepada kelompok otonom yang memiliki tingkat pengaruh dan partisipasi tertentu dalam ruang publik. Lembaga-lembaga yang memainkan peran dan sosial keagamaan seperti mengundang para sufi, mengembangkan dan mempertahankan fasilitas-fasilitas peribadatan, atau mempromosikan mazhab lokal membuat para pemberi wakaf dan penerimanya penghormatan yang cukup tinggi dari masyarakat. Wakaf merupakan alat penting bagi keluarga terkemuka untuk mengamankan kekuasaan mereka dari otoritas penguasa, dan mempertahankan posisi mereka di tengah-tengah masyarakat. Wakaf juga merupakan alat pendukung yang penting jika mereka hendak melindungi kepentingan masyarakat dengan menentang kebijakan pemerintah."[121]

Namun, otonomi penuh tidak bisa diraih melalui wakaf dan malah bisa dikompromikan karena berbagai faktor. Misalnya, jika pemberi wakaf adalah pejabat terkemuka, kita tidak akan menemukan resistensi terhadap kebijakan pemerintah, seperti yang bisa kita temukan dari institusi yang diwakafkan oleh pedagang atau pemuka masyarakat sipil, dari institusi wakafnya. Otonomi sebuah institusi wakaf mungkin bisa meningkatkan kredibilitasnya, namun bisa juga menurunkan tingkat ketertarikan masyarakat terhadapnya. Mazhab Hanbali (yang dinisbatkan kepada nama pendirinya, Ibnu Hanbal, yang sukses menolak permintaan khalifah Abbasiyah selama masa inkuisisi) dikenal enggan menerima pemberian dari institusi-institusi negara atau terlibat dalam masalah-masalahitu dengan negara. posisi seperti ini mungkin bisa membuat satu mazhab atau seorang ulama memiliki otonomi yang lebih tinggi dan pengaruh yang lebih besar pada lembaga-lembaga negara daripada mazhab atau ulama yang bersikap lebih kompromis. Namun sikap seperti ini tidak selalu menghasilan kebijakan yang lebih plural  dan toleran. Mazhab Hanbali misalnya malah cenderung memberikan pengaruh konservatif atau ortodoks.

Dengan demikian, madrasah-madrasah yang ada di Baghdad pada abad ke-11 adalah wakaf dari para menteri dan sultan dinasti Saljuk yang juga "membayar gaji para guru dan memberikan biaya kepada para siswa."[122] Setelah itu Baghdad dikuasai oleh Dinasti Buwaihi yang penguasanya berhaluan syi'ah dan mendukung penyelengaraan ritual-ritual syi'ah di ruang publik. Sikap ini kemudian memprovokasi massa sunni di Baghdad dan di daerah lainnya. Dengan kata lain, munculnya sistem patronase dinasti Seljuk, tekanan mereka terhadap ulama-ulama Syi'ah, dan penghancuran sejumlah kuil Syi'ah menunjukkan adanya dimensi lain dalam hubungan antara institusi negara dan agama yaitu peran sektarianisme. Pola patronase ini tidak hanya terjadi di antara dua jenis institusi ini secara ekslusif, tetapi di dalam kedua institusi ini. Jadi, patronase terjadi antara aktor-aktor negara yang mempunyai kepentingan berbeda dan bersaing satu sama lain dengan institusi agama yang terdiri dari berbagai kelompok yang bersaing dan bertentangan satu sama lain. Selama peristiwa mihnah, kalangan Syi'ah adalah korban dominasi Sunni yang mendapatkan keuntungan dari sistem patronase yang berlaku saat itu.

Jelaslah bahwa ada  banyak pelajaran dan hikmah yang bisa ditarik dari beberapa penggal sejarah Islam. aspek-aspek yang telah saya terangkan dan diskusikan, yang mungkin kadang-kadang terlalu mendetil, ditujukan untuk memperlihatkan adanya beberapa peristiwa dalam sejarah yang bisa mendukung argumen utama yang saya bangun dalam buku ini. selain elemen dan implikasi yang disebutkan di bagian akhir, saya juga telah menekankan posisi kritis ahl al-dzimmah, yang seharusnya dilindungi oleh syari'at. Bagian tersebut ditujukan untuk menunjukkan bahwa aspek normatif Syari'ah bisa menjadi lemah karena faktor-faktor ekonomi, sosial dan politik dan tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya mekanisme kelembagaan yang tepat. Karena itulah konstitusionalisme menjadi penting untuk memberikan landasan yang kuat bagi berjalannya mekanisme tersebut dalam masyarakat Islam saat ini. Saya juga berharap bahwa bagian yang menerangkan tentang ahl al-dzimmah di masa Fatimiyah dan Mamluk bisa memberikan landasan historis untuk menjawab pertanyaan ini terutama dalam hubungannya dengan pentingnya prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak asasi manusia dan kewarganegaraan yang akan kita diskusikan dalam bab selanjutnya.

Akhirnya, nampaknya masih terlalu dini untuk menyimpulkan argumen saya dalam bab ini karena kita tidak mungkin mengaitkan analisis historis dengan proposisi utama yang saya bangun mengenai Islam, negara dan politik sebelum mengklarifikasi karakter negara pasca kolonial. Kemungkinan yang dihasilkan dari dimensi historis dan tantangan masa depan syariah dalam masyarakat Islam hanya bisa dipahami lebih baik dengan membaca bab-bab berikutnya dalam buku ini.


[1] [1] Ira M. Lapidus, “State and Religion in Islamic Socieites,” Past and Present, No. 151 (May, 1996), p. 4.
[2] Untuk review terhadap sejarah masa awal yang otoritatif dan mengutip sumber-sumber Arab lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, vol. 1, The Classical Age of Islam, Chicago: University of Chicago Press 1974, pp. 187-230;  Wilfred Madelung, The Succession of Muhammad: A Study of the early Caliphate, Cambridge: Cambridge University Press, 1997; and Ira M. Lapidus, A History of Islamic Societies, 2nd edition, Cambridge: Cambridge University Press 2002.
[3] Madelung, The Succession to Muhammad, 46- 47.
[4] Madelung, The Succession to Muhammad, 48, note 55.
[5] Fred M. Donner, The Early Islamic Conquests, Princeton: Princeton University Press, 1981, 86-87
[6] Madelung, The Succession to Muhammad,  47.
[7] M. J. Kister, “…illa bi-haqqihiJerusalem Studies in Arabic and Islam, no. 8, pp. 61-96, 1986, p. 35, n. 8 mengutip al-Shafi’i “…wa-qalu li-abi bakrin ba’da l-isari: ma kafarna ba’da imanina wa-lakin shahana ‘ala amwalina…”
[8] Untuk beberapa versi kisah ini, lihat EI (Encyclopedia of Islam): Malik b. Nuwayra and Khalid b. Walid.
[9] Madelung, Succession to Muhammad, 50, Catatan Kaki 60, mengatakan bahwa penyebutan Malik b. Nuwayra sebagai pengikut nabi palsu dari Najd, Sajah, adalah rekayasa. Ia juga mencatat bahwa Umar pasti tindakan menyatakan keberatan atas perilaku Khalid, jika ia menganggap Malik sudah murtad.
[10] Syed H.M. Jafri, The Origins and Early Development of Shi’a Islam, Oxford: University Press, 2000, 58-79.
[11] Kister, “…illa bi-haqqihi”, 36-37.
[12] P. Crone and M. Hinds, God’s Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam, London: Cambridge University Press, 1986. 12.
[13] Lapidus, A History of Islamic Societies, 58-66.
[14] Muhammad Qasim Zaman, Religion and Politics under the Early ‘Abbasids: The Emergence of the Proto-Sunni Elite, Leiden: Brill, 1997, 129-166.
[15] Ira Lapidus, “The Separation of State and Religion in the Development of Early Islamic Society”, International Journal of Middle East Studies, vol. 6, 1975, 366.
[16] Lapidus, “State and Religion”, 9-10.
[17] Lapidus, “The Separation” 369.
[18] Lapidus, “The Separation”, p. 372.
[19] Lapidus, “The Separation”, p 373.
[20] Lapidus, “The Separation”, p. 376. 
[21] Lapidus, “The Separation”, p. 375-77
[22] Lapidus, “The Separation”, pp. 381-2.
[23] Lapidus, “State and Religion”, 12.
[24] Lapidus, “Separation”, p. 385.
[25] Lapidus, “State and Religion”, p. 19.
[26] Nimrod Hurvitz, “The Mihna (Inquisition) and the Public Sphere” in The Public Sphere in Muslim Societies, M. Hoexter, S. Eisenstadt, and N. Levitzion, eds. Albany NY: State University of New York Press, 2002, 27
[27] Carl Petry, The Civilian Elite of Cairo in the Later Middle Ages, Princeton: Princeton University Press, 1981, 15.
[28] Lapidus, “State and Religion”, 24
[29] Crone and Hinds, God’s Caliph, p. 99.
[30] Crone and Hinds, God’s Caliph, pp. 100-101.  Pengarang buku ini mengutip ulama-ulama Syi'ah seperti Kulayni and Nu’man.
[31] Crone and Hinds, God’s Caliph, p. 102.
[32] Crone and Hinds, God’s Caliph, p. 103.
[33] Paula Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, Albany:  State University of New York Press, 1994, 49.
[34] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, pp. 49-50.
[35] Lev, State and Society in Fatimid Egypt, Leiden: Brill, 65-66.
[36] Yacoy Lev, “Army, Regime and Society in Fatimid Egypt, 358-487/968-1094”, International Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 19:3, 354
[37] Lev, “Army, Regime and Society”, 355.
[38] Lev, State and Society, p. 70.
[39] Lev, “Army, Regime and Society”, 340, 341; M. Conrad, “Fatimids”, in The Encyclopaedia of Islam, volume 2.
* Mazalim nampaknya seperti PTUN karena ia adalah lembaga peradilan yang menangani masalah kelaliman penguasa beserta keluarganya terhadap rakyat, namun kadang-kdang fungsinya lebih dari itu. Sedangkan peradilan hisbah nampaknya seperti pengadilan syari'at yang seperti diberlakukan di Aceh karena pengadilan ini menangani pelanggaran terhadap prinsip amar ma'ruf nahi munkar. (catatan penerjemah)
[40] Amin Haji, “Institutions of Justice in Fatimid Egypt (358-567/969-1171)”, Aziz Al-Azmeh, ed. Islamic Law: Social and Historical Contexts, Routledge, 1988, 198-200.
[41] Haji, “Institutions of Justice”, 200.  See also Lev, State and Society, 135.
[42] Haji, “Institutions of Justice”, 203
[43] Haji, “Institutions of Justice”, 208, 209.
[44] Lev, State and Society, 153-157.
[45] See, for example, Lev State and Societ, 160-176; Jonathan Berkey, “The Muhtasibs of Cairo Under the Mamluks: Toward an Understanding of an Islamic Institution”, Michael Winter and Amalia Levanoni, eds., The Mamluks in Egyptian and Syrian Politics and Society Leiden: Brill NV, 2004.
[46] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 247, note 14.
[47] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 251.
[48] Lev, State and Society, 161; Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 249, note 28.
[49] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 248.
[50] Boaz Shoshan, “Fatimid Grain Policy and the Post of the Muhtasib”, International Journal of Middle East Studies, vol. 13, 1981, 185 and Lev, State and Society, 161
[51] Lev, State and Society, 162.
[52] Shoshan, “Fatimid Grain Policy”, 182
[53] Lev, State and Society, 162-63
[54] Lev, State and Society, 176.
[55] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 261- 64
[56] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 262-63
[57] Yaacov Lev, “The Fatimid Imposition of Isma`ilism on Egypt (358-386/969-996)”, Zeitschrift der Deutschen Morgenandischen Gesellschaft, vol. 138, 1988, 315.
[58] Mekah diobrak-abrik oleh Penganut Karmatiyah yang berusaha mencuri hajar aswad dari Ka'bah. Perlu dicatat bahwa Karmatiyah adalah salah satu sekte Syi'ah Ismailiyah yang tidak menyatakan kesetiannya kepada dinasti Fatimiyah, dan malah dipergunakan oleh komandan-komandan dinasti Buwaihi untuk menyerang dinasti Fatimiyah, walaupun kedua kelompok ini sebetulnya adalah Syi'ah. Farhad Daftary, The Ismai`ilis: Their History and Doctrines, Cambridge: Cambridge University Press, 1990, 161-165.
[59] Lev, “The Fatimid Imposition of Isma’ilism on Egypt”, 315-316.
[60] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 43-44.
[61] Lev, State and Society, 71
[62] Paul Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, Journal of the American Research Center in Egypt, vol. 34, 1997, 180, 181.
[63] Walker, “Fatimid Institutions of Learning, 181.
[64] Walker, “Fatimid Institutions of Learning,  184-5.
[65] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p. 56
[66] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, 192
[67] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, 193.
[68] Lev, “The Fatimid Imposition”,  317
[69] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 45-46.
[70] Lev, “The Fatimid Imposition” p. 316 and Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p. 45.
[71] Michel Brett, “The Realm of the Imam: The Fatimids in the Tenth Century”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 59:3, 1996, 437-38.
[72] Lev, State and Society, 143 note 48
[73] Lev, “The Fatimid Imposition” 317 and Sanders, 124-5.
[74] Lev, “Fatimid Imposition”, 318.
[75] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, 125-26.
[76] Lev, “Fatimid Imposition”, 318.
[77] Lev, “Fatimid Imposition”, pp. 320-23.
[78] Lev, “State and Society” 73-4.
[79] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 181.
[80] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 188.
[81] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p.  62.
[82] Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, pp. 56-57.
[83] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 185.
[84] Lev, State and Society, 140
[85] Marshall Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. II, 467; Lapidus, A History of Islamic Societies, 292.
[86] Carl Petry, “The Civilian Elite” 16.
[87] Hodgson, The Venture of Islam, Vol. II, p. 419.
[88] Lapidus, A History of Islamic Societies, 287, 291-92.
[89] Donald Little, “Religion Under the Mamluks”, The Muslim World, 1983, 73; reprinted in History and Historiography of the Mamluks, Variorum Reprints, 1986. 169 - 172.
[90] Little, “Religion under the Mamluks”, 171
[91] Robert Irwin, The Middle East in the Middle Ages: The early Mamluk Sultanate 1250-1382, London: Croom Helm, 1986, 43.
[92] Little, “Religion Under the Mamluks”, 173-74.
[93] Sherman Jackson, “The Primacy of Domestic Politics: Ibn Bint al-Aazz and the Establishment of Four Chief Judgeships in Mamluk Egypt”,  Journal of the American Oriental Society, vol.  115:1, 52-65.
[94] Jackson, “The Primacy of Domestic Politics”, 53.
[95] Jackson, “The Primacy of Domestic Politics”, p. 61, note 91
[96] Jackson, “The Primacy of Domestic Politics”, p. 54.
[97] Little, “Religion under the Mamluks”, 174.
[98] Lapidus, “Muslim Cities in the Later Middle Ages”, p. 135
[99] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo Under the Mamluks”, 252, 253
[100] Little, “The Detention of Ibn Taymiyya” 321.
[101] Ira Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Ages, Cambridge, MA: Harvard University Press, 1967, 131-34.
[102] Lapidus, Muslims Cities, 135.
[103] J. Nielson, “Secular Justice in an Islamic State: Mazalim under the Bahri Mamluks 662/1264-789/1387”, Leiden: Nederlands Historisch-Archaeologisch Istituut te Istanbul, 1985, 123
[104] S.D. Goitein, A Mediterranean Society: The Jewish Communities of the Arab World as Portrayed in the Documents of the Cairo Geniza, 6 volumes, Berkeley: University of California, 1967-94, vol. II, 1971, 288
[105] Goitein, A Mediterranean Society, 289
[106] Lev, State and Society, 180-81
[107] Lev, State and Society, 185-89.
[108] Lev, State and Society, 188.
[109] Lev, “Persecutions and Conversion to Islam in Eleventh-Century Egypt”, The Medieval Levant.  Studies in Memory of Eliyahu Ashtor, Asian and African Studies, 22 (1988) pp. 77 - 84.
[110] Donald P. Little, “Coptic Conversion to Islam under the Bahri Mamluks, 692-755/1293-1354”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 39 (1976), 553-54.
[111] Little, “Coptic Conversion to Islam”, 556-64.
[112] Little, “Coptic Conversion to Islam”, 567-68
[113] Miriam Hoexter, “The Waqf and The Public Sphere”, The Public Sphere in Muslim Societies, M. Hoexter, S. Eisenstadt, and N. Levitzion, eds., Albany NY: State University of New York Press, 2002, 121
[114] Adam Sabra, Poverty and Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt, 1250-1517, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000, 70.
[115] Sabra, Poverty and Charity, 95-100
[116] Leonor Fernandes, “Mamluk Politics and Education: The Evidence FromTwo Fourteenth Century Waqfiyya” Annals Islamoques, vol. 23, 1987, 87-98.
[117] George Makdisi, The Rise of Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, Edinburgh: Edinburgh University Press, 1981, 35
[118] Makdisi, The Rise of Colleges, 38.
[119] Yehoshua Frenkel, “Political and Social Aspects of Islamic Religious Endowments (“awqaf”): Saladin in Cairo (1169-73) and Jerusalem (1187-93)”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, University of London, vol. 62, 1999, 1-20.
[120] Leonor Fernandez, “Mamluk Politics and Education: The Evidence From Two Fourteenth Century Waqfiyya” Annals Islamoques, v. 24, 1987, p. 87.  See also Yacov Lev, Yacov, State and Society, 153, n.5;
[121] Hoexter, “The Waqf and The Public Sphere”, 129.
[122] Daphna Ephrat, “Religious Leadership and Associations in the Public Sphere of Seljuk Baghdad” in Hoexter, Eisenstadt, and Levitzion, eds., The Public Sphere in Muslim Societies, eds. State University of New York Press, Albany, NY, p. 32-3.

 [jd1]See Engish version of these two sentences

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design