2. Islam, Negara dan Politik dalam Perspektif
Historis
Tujuan
utama bab ini adalah untuk menunjukkan bahwa sekularisme yang didefinisikan
sebagai pemisahan kelembagaan antara Islam dan negara dengan tetap menjaga
keterkaitannya dengan politik lebih konsisten dengan sejarah masyarakat Islam
daripada dengan ide post-kolonial mengenai Negara Islam yang bisa menerapkan
syariah melalui kekuasaan Negara yang memaksa. Pemisahan antara otoritas
keagamaan dengan otoritas Negara merupakan perisai pengaman yang penting bagi
kemungkinan terjadinya penyalahgunaan peran politik Islam. Dengan membuktikan
bahwa sekularisme semacam ini merupakan hal yang islami, saya berharap bisa
membantu menghilangkan anggapan ummat Islam bahwa konsep ini merupakan
pemaksaan ala Barat yang akan menyisihkan agama ke ruang privat. Sebagaimana akan saya jelaskan dalam bab 4,
sebetulnya tidak ada satu model sekularisme Barat yang tunggal, karena setiap
masyarakat Barat menegosiasikan hubungan antara agama dan Negara dan antara
agama dan politik sesuai dengan konteks sejarah mereka. Keliru juga memahami
bahwa di Negara Eropa dan Amerika Utara yang dianggap sekuler, agama telah
dipinggirkan ke ruang privat. Dengan memahai bab 2 dan 4, jelaslah bahwa
hubungan antara Negara dan agama dalam masyarakat Islam tidak jauh berbeda
dengan masyarakat Barat. Mengutip Ira Lapidus,
“ada
pembedaan yang jelas antara institusi Negara dan agama dalam masyarakat Islam.
Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan
Negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model yang
saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai
bagaimana distribusi otoritas, fungsi dan hubungan antara institusi-institusi
tersebut.[1]
Untuk
memenuhi tujuan tersebut, saya akan memulai dengan menjelaskan cara saya
membaca dan menginterpretasikan sejarah Islam. Setelah itu, pada bagian dua bab
ini, saya akan mengungkapkan visi ideal dan realitas pragmatis sejarah Islam
tersebut. Dalam bagian tiga, saya akan memperlihatkan bagaimana visi ideal dan
realitas pragmatis tersebut dalam sejarah Dinasti Fatimiyah dan Mamluk di
Mesir. Dalam bagian tiga tersebut, saya juga akan membahas status ahl-al-dhimma (ahl al-kitab) di beberapa negara bagian di Mesir untuk
memperlihatkan implikasi pengalaman sejarah masa lalu tersebut terhadap masa
depan penerapan prinsip konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak asasi
manusia dalam masyarakat Islam saat ini.
Satu hal yang
harus saya klarifikasi dari penjelasan ini adalah bahwa sejarah yang saya
kemukakan di sini adalah sejarah ummat Islam yang menjadi mayoritas di sebuah
daerah. Namun bukan berarti status mayoritas ini membuat mereka dianggap Islami
atau ideal menurut sumber-sumber dasar Islam. Ummat Islam dulu maupun sekarang
biasa berpendapat bahwa kegagalan ummat Islam saat ini bukanlah karena Islam
itu sendiri, melainkan karena mereka tidak bisa menjalankan islam yang ideal.
Saya tidak menganggap argumen ini relevan dengan apa yang akan saya ungkapkan
di sini, karena saya lebih tertarik dengan Islam yang dipraktikkan dan dipahami
oleh ummatnya; bukan Islam yang ada dalam tataran ideal dan berbentuk abstrak.
Memang selalu ada dimensi Islam yang ada di luar pemahaman dan pengalaman
manusia. Dimensi ini biasanya ada, paling
tidak, dalam ingatan kolektif yang relevan dengan organisasi politik dan
sosial masyarakat. Contohnya seperti yang tersurat dalam Qs. 43: 3 dan 4, “kami
telah menurunkan al-Qur’an dalam bahasa Arab kepadamu agar kamu
memahaminya,…….”. Ketika mengutip ayat-ayat tersebut atau ayat al-Qur’an
lainnya di sini, berarti kita sedang berusaha untuk menurunkan maknanya dalam
bahasa Inggris karena al-Qur’an tidak bisa diterjemahkan begitu saja. Demikian
juga ketika seseorang mengutip al-Qur’an dalam versi Arabnya, proses penurunan
makna itu akan tetap terjadi karena tidaklah mungkin seseorang merujuk pada
al-Qur’an kecuali jika ia memahaminya.
Dengan kata lain,
usaha apapun untuk mengidentifikasi atau mendeskripsikan islam yang ideal
kepada orang lain selalu terhambat oleh keterbatasan-keterbatasan dan
kemungkinan manusia untuk berbuat salah. Memang tingkat pemahaman dan
pengalaman seseorang terhadap makna al-Qur’an itu berbeda-beda, tapi tidak ada
seorang manusia pun yang bisa sepenuhnya mentransendensikan kemanusiaannya,
terutama kepada manusia lain. Jika kemampuan manusia yang terbatas untuk
memahami dan mengkomunikasikan sesuatu itu selalu menjadi dasar bagi usaha
untuk mengembangkan hubungan sosial dan politik sesuai dengan ajaran Islam,
saya jadi mempertanyakan apa sebenarnya yang dimaksud dengan Islami dalam
konteks ini? saya tidak bermaksud menolak adanya keragaman individual dalam
memahami dan mengamalkan nilai-nilai Islam, namun pemahaman dan pengamalan ini
tidak bisa dijadikan dasar organisasi sosial dan politik masyarakat, kecuali
jika ada pemahaman yang sama dan bisa dipatuhi oleh semua pihak. Dengan kata
lain, makna kolektif dan praktis istilah “Islami” itulah yang harus terus
dianalisis dan direfleksikan sepanjang sejarah pengalaman ummat Islam dulu,
kini dan nanti.
Dalam bingkai perspektif inilah saya
menjadikan bab ini sebagai sebuah usaha untuk menunjukkan kontradiksi yang
terdapat dalam gagasan penyatuan otoritas politik dan agama. Saya juga ingin
menunjukkan bahaya yang tak terhindarkan jika mengimplementasikan gagasan
tersebut. Saya katakan dengan jujur bahwa bahaya itu akan tetap ada, baik jika
gagasan tersebut diklaim secara eksplisit ataupun implisit, atau bahkan jika ia
hanya sebuah usaha yang dilakukan secara selektif tanpa klaim terbuka. Tujuan
ini saya ungkapkan di sini dalam konteks pengalaman sejarah masyarakat muslim
dimana kualitas Islami dipahami dengan cara sebagaimana yang sudah saya
ungkapkan tadi. Saya menyadari bahwa saya tidak mungkin mempresentasikan
pembahasan sejarah yang komperehensif atau mendiskusikan aspek atau peristiwa
tertentu yang disebutkan dalam bab ini secara lengkap. Bahkan jikapun hal ini
bisa dilakukan, saya akan sulit mengklarifikasi hal penting yang ingin saya
bahas dalam bab ini. Karena itulah, saya hanya akan menyoroti beberapa
peristiwa dan tema yang cukup familiar dalam sejarah Islam untuk memperjelas
isu yang saya bicarakan di sini. Saya juga akan mengutip beberapa sumber yang
memberikan informasi dan elaborasi lebih lanjut.
I.
Kerangka untuk Membaca Sejarah Islam
Sejarah
sebuah masyarakat berisi berbagai jenis peristiwa dan dimensi hubungan manusia.
Persepsi yang berbeda mengenai sejarah pasti cenderung menekankan satu atau
beberapa elemen, dan ini dilakukan untuk mendukung institusi sosial, relasi
ekonomi atau organisasi politik tertentu. Sebagai contoh, persepsi yang berbeda
tentang sejarah bisa saja menekankan tradisi toleran atau, malah, sebaliknya terhadap
perbedaan agama, praktik dan pendapat politik dalam masyarakat. Karena
perbedaan persepsi itu dikutip untuk mempengaruhi pandangan dan perilaku ummat
Islam saat ini, pembuat kebijakan dan pihak yang terlibat dalam debat publik
cenderung untuk menekankan persepsi-persepsi yang cocok dengan posisi mereka.
Pihak-pihak yang terlibat dalam debat pasti menekankan visi mereka tentang
sejarah secara meyakinkan. Namun sayangnya, visi itu tidak serta merta menjadi
benar atau sah. Jelas bahwa kerangka dan interpretasi terhadap sejarah Islam
yang akan saya kemukakan berikut ini pun merupakan salah satu persepsi-persepsi
yang saling bersaing dan memiliki sisi kemanusiaannya. Karena itu, kerangka ini
bukan merupakan satu-satunya pandangan yang sah. Namun, memang begitulah
pendekatan sejarah; tidak ada seorang pun yang bisa bersikap netral atau
objektif terhadap sejarah Islam dan sejarah lainnya.
Studi kasus
mengenai dinasti Fatimiyah dan Mamluk Mesir yang saya paparkan di sini bukanlah
wakil dari seluruh masyarakat Islam masa lalu, bahkan bagi masyarakat yang ada
di negeri tersebut dan hidup pada saat itu, apalagi dari masyarakat Asia Tengah
atau masyarakat Afrika. Tetapi, fokus studi kasus ini sedikit banyak dipengaruhi oleh adanya bias
mengenai posisi Timur Tengah dan Afrika Utara sebagai pusat Islam. Dominannya
fakta sejarah itu membuat Islam hanya dipahami sebagai pengalaman sosial dan
budaya masyarakat Islam di daerah tersebut, terutama pada masa 4 atau 5 tahun
pertama Islam. Akibatnya, penguasa-penguasa Muslim di daerah lainnya hampir
menganggap pengalaman masyarakat Islam Timur Tengah sebagai kerangka wacana
keislaman yang sah dan otoritatif.
Bahkan masyarakat muslim yang tinggal di daerah lain pun menganggap
bahwa pengalaman keagamaan dan sosial mereka lebih rendah dibandingkan dengan
pengalaman masyarakat Timur Tengah jika digunakan sebagai argumen keagamaan.
Ini bisa dipahami karena teks al-Qur’an dan sunnah berbahasa Arab dan dipahami
dalam konteks pengalaman masyarakat Arab saat itu. Namun ketika kekuatan untuk
menentukan diri sendiri (self-determination)
semakin menguat, pengakuan yang sama nampaknya harus diberikan kepada semua
pengalaman masyarakat Islam, dimanapun mereka berada.
Bias yang
tadi saya sebutkan nampaknya sudah sangat tertanam dalam sumber dan sejarah
intelektual masyarakat Islam sehingga tidak mungkin dihilangkan dalam waktu
singkat. Namun, upaya tersebut tidak mungkin dimulai jika kita tidak
mengenalinya saat ini. Meskipun mengidentifikasi bias semacam itu bukan
kompetensi saya, namun saya berharap ide saya mengenai pembacaan alternatif
terhadap sejarah masyarakat Islam dapat memunculkan debat mengenai isu
tersebut, terlepas dari pengalaman sejarah yang digunakan untuk melakukan hal
itu. Menurut saya, mengambil pelajaran dari pengalaman satu masyarakat Islam
pra-modern dengan menggunakan sebanyak-banyaknya sumber lebih baik daripada kita menyesali kurangnya perhatian terhadap
pengalaman beberapa masyarakat. Melalui perspektif inilah, saya akan
berusaha untuk mengklarifikasi tema utama bab ini yaitu memahami pengalaman
hubungan Islam dengan negara dan politik dalam sejarah pengalaman masyarakat
Islam.
Hubungan
antara Islam, negara dan politik sepanjang sejarah masyarakat Islam jelas
merefleksikan ketegangan permanen antara visi ideal penyatuan Islam dan
negara dengan kebutuhan pemimpin agama untuk melanggengkan otonominya dari
institusi negara. Pemimpin agama membutuhkan otonomi dari negara untuk
mempertahankan otoritas moralnya pada negara dan masyarakat secara keseluruhan.
Kerangka dasar yang digunakan untuk memediasi ketegangan itu adalah adanya
harapan ummat Islam kepada negara untuk memegang teguh prinsip-prinsip Islam
dalam menjalankan kewajibannya sekaligus menjaga wataknya yang sekular dan
politis. Harapan yang pertama berdasarkan pada keyakinan ummat Islam bahwa
Islam menyediakan model yang komprehensif untuk kehidupan individu dan publik
dalam ruang publik maupun ruang privat. Namun, negara pada dasarnya memang
merupakan institusi yang sekular dan politis karena kekuasaan dan institusinya
menuntut bentuk dan tingkat kontinuitas dan prediktabilitas yang tidak bisa
disediakan oleh otoritas keagamaan. Memang pemimpin agama bisa dan memang harus
menekankan cita keadilan dan kesetiaan terhadap syariah dalam teori. Tapi,
mereka tidak mempunyai kekuasaan maupun kewajiban untuk menghadapi
pertanyaan-pertanyaan praktis seperti bagaimana mempertahankan perdamaian antar
komunitas lokal, mengatur relasi ekonomi dan sosial atau mempertahankan negara
dari ancaman luar. Fungsi pragmatis itulah yang menuntut negara untuk memiliki
kontrol yang efektif terhadap wilayah dan penduduknya, serta memiliki kemampuan
untuk menggunakan kekuataan pemaksa agar penduduknya tunduk dan patuh pada
kekuasaanya. Fungsi seperti ini nampaknya lebih mungkin dipenuhi oleh pemimpin
politik daripada pemimpin agama.
Namun
demikian, bukan berarti pemimpin agama tidak bisa memiliki otoritas politis
atas pengikutnya. Saya hanya menyarankan untuk membedakan kedua jenis otoritas
ini, bahkan jikapun keduanya dimiliki oleh satu orang. Sebagai contoh: otoritas
keagamaan lebih berdasarkan pada penilaian dan kepercayaan personal terhadap
tingkat kesalehan seorang ulama. Penilaian subjektif seperti ini hanya mungkin
dilakukan melalui interaksi yang rutin dan bersifat lokal. Namun perlu juga
diingat bahwa model interaksi yang seperti ini nampaknya tidak bisa dimiliki
oleh semua orang, apalagi bagi mereka yang tinggal di daerah perkotaan atau di
daerah yang sangat jauh. Sebaliknya, otoritas politik cenderung berdasarkan
kualitas yang bisa dinilai secara lebih “objektif”. Kualitas tersebut
menyangkut kemampuan untuk menjalankan kekuasaaan kursif dan administrasi yang
efektif bagi kemaslahatan komunitas. Saya harap pembedaan ini bisa menjadi
lebih jelas pada bagian-bagian selanjutnya.
Setiap
masyarakat membutuhkan negara untuk melaksanakan fungsi-fungsi penting seperti
mempertahankan kedaulatan dari ancaman luar, menjaga perdamaian dan keamanan
publik dalam wilayahnya, menyelesaikan perselisihan antarwarga serta
menyediakan pelayanan yang dibutuhkan untuk kebaikan mereka. Agar negara bisa
menjalankan fungs-fungsi tersebut, ia harus memilih salah satu dari sejumlah
kebijakan yang saling bertentangan dan mempunyai monopoli yang efektif untuk
menggunakan kekuatannya dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan tersebut.
Saya harus tekankan di sini bahwa kita sedang berbicara tentang kebijakan
publik dalam skala yang luas; bukan kepercayaan personal seseorang terhadap
pemimpin agamanya dengan mematuhi saran-saran yang mereka berikan dalam persoalan-persoalan
rutin maupun spiritual. Kebutuhan untuk melaksanakan kebijakan publik yang
umum, seperti dibedakan dari kepatuhan sukarela seorang individu, menuntut
adanya pemimpin yang ditentukan (baik melalui ditunjuk, dipilih atau dengan
cara apapun) karena mereka diharapkan
bisa melaksanakan fungsi-fungsi tersebut. Pemimpin-pemimpin itu diharapkan pula
memiliki kecakapan politik dan kemampun untuk menggunakan kekuasaaan
kursif. Kualitas pemimpin politik yang
efektif, dengan demikian, harus ditentukan oleh publik dalam skala yang luas,
dengan cara yang jelas dan teratur, agar bentrokan sipil atau konflik bernuansa
kekerasan dapat diminimalisir. Ketidakpastian mengenai pemimpin politik dan
otoritas mereka menimbulkan resiko perang sipil, kekacauan, bentrokan atau,
paling tidak, kebuntuan dan kebingungan dalam pemerintahan.
Sebaliknya,
pemimpin agama mendapatkan pengakuan dari ummat karena kesalehan dan
pengetahuan mereka. Pengakuan ini bisa ditentukan oleh penilaian personal
seseorang yang butuh untuk tahu potensi pemimpin agamanya melalui interaksi
sehari-hari. Identitas dan otoritas pemimpin agama hanya bisa dicapai secara
gradual dan tentatif melalui relasi interpersonal dengan pengikutnya. Dalam
pandangan saya, hal ini tidak saja terjadi dalam komunitas sunni, namun juga
dalam komunitas syi’ah yang memiliki hirarki struktural yang sudah mapan. Dalam
komunitas Syi'ah, interaksi harian di level lokal ini diperkuat dengan
otentisitas rantai riwayat yang sampai pada Imam atau Syeikh. Perbedaan antara
otoritas politik dan keagamaan yang saya tekankan di sini, bisa juga
diungkapkan untuk membedakan antara kekuasaan kursif dan kekuasaan eksklusif
yang dimiliki oleh pemimpin politik atas wilayah dan penduduk tertentu, dengan
otoritas moral yang dimiliki oleh pemimpin agama yang bisa juga berlaku luas
dan bagi banyak orang.
Dengan
demikian, ada perbedaan fundamental antara kualitas pemimpin politik dan
pemimpin agama dalam cara penunjukkan atau pemilihan mereka dan bentuk serta
jangkauan otoritasnya terhadap pengikutnya. Mungkin saja beberapa pemimpin
politik juga memiliki kesalehan dalam beragama dan pengetahuan. Begitupun
pemimpin agama, mereka bisa memiliki keterampilan berpolitik dan kemampuan
untuk menggunakan kekuasaan kursif. Bahkan nampaknya umat Islam mengharapkan
masing-masing pemimpin memiliki kualitas yang lain. Seorang pemimpin politik
misalnya diharapkan memiliki tingkat kesalehan dan pengetahuan tertentu,
sementara pemimpin agama juga diharuskan memiliki keterampilan berpolitik untuk
bisa memenuhi peran mereka dalam masyarakat. Namun, penguasa manapun tidak akan
mengijinkan adanya penilaian independen terhadap tingkat kesalehan dan
pengetahuannya, apalagi jika itu dikaitkan dengan klaim legitimasi mereka atas
kekuasaan. Sebaliknya, keterampilan politik pemimpin agama bisa dinilai melalui
interaksi inter-personal yang damai dan tanpa kekerasan. Suatu hal yang tidak
realistis untuk mengharapkan penguasa melepaskan kekuasaan kursifnya karena
masyarakat menilai tingkat kesalehan dan pengetahuan mereka tidak cukup. Sama
tidak realistisnya mengharapkan pemimpin agama melepaskan otoritas mereka hanya
karena kualitas dan keterampilan politiknya tidak memuaskan. Namun, membiarkan
orang yang sama untuk memiliki kedua otoritas ini pun merupakan hal yang
berbahaya dan kontra produktif, karena tidak mungkin memecatnya tanpa resiko
terjadinya kekacauan sipil dan kekerasan.
Karena
legitimasi keagamaan merupakan hal yang penting bagi penguasa untuk
mempertahankan otoritas politiknya terhadap ummat Islam, tak heran jika mereka
selalu cenderung mengklaim bahwa mereka memiliki otoritas keagamaan. Namun,
klaim seperti itu tidak serta merta menjadikannya muslim yang hebat atau
menjadikan negara yang dipimpinnya islami. Malah, penguasa biasanya sangat
menginginkan legitimasi keagamaan ketika klaim mereka tidak lagi dianggap sah.
Padahal, kerendahan hati yang merupakan simbol kesalehan, menuntut seseorang
untuk tidak mengklaim dirinya sebagai orang soleh atau paling tidak, tidak
secara aktif mengakui kualitas tersebut. Namun bila cara ini ditempuh, penguasa
harus menyeimbangkan kontrol mereka terhadap pemimpin agama dengan membiarkan
mereka tetap mempertahankan otonomi relatifnya. Otonomi inilah yang justru
menjadi sumber kekuatan untuk memberikan legitimasi bagi otoritas penguasa.
Tapi, penguasa juga tidak bisa memberikan kebebasan sepenuhnya kepada pemimpin
agama, karena mereka mungkin menggunakan kebebasan itu untuk melemahkan
otoritas politik negara. Pemimpin agama, memang, harus bersikap kritis kepada
negara karena dengan cara demikian, mereka bisa mempertahankan otoritas
keagamaan mereka di tengah-tengah komunitas dan juga mendorong negara untuk
mengontrol mereka. Dengan demikian,
semakin besar otonomi pemimpin agama, semakin besar pulalah tantangan mereka
bagi otoritas politik negara. Tetapi, jika mereka dianggap dikontrol oleh
negara, semakin kecil pulalah kemungkinan masyarakat menerima penilaian mereka
bahwa negara sesuai dengan prinsip-prinsip Islam. Dengan kata lain, sejarah
memperlihatkan bahwa institusi agama dan negara memang harus dipisahkan, namun
dalam praktiknya keadaan ini sulit untuk dipertahankan.
Paradoks yang
dalam dan kompleks ini, yang juga merupakan pengalaman komunitas agama lain dan
bukan hanya ummat Islam, mengantarkan kita pada bagian berikutnya. Otoritas
keagamaan harus dipisahkan dari kekuasaan politik agar pemimpin agama bisa
menjaga penguasa untuk tetap akuntabel pada
prinsip-prinsip Islam. Karena akuntabilitas murni tidak mungkin
bergantung pada kerjasama sukarela penguasa yang pasti merasa terbebani dengan
itu, maka persoalannya adalah bagaimana membuat penguasa tetap akuntabel tanpa
harus menghadapi ancaman pemberontakan. Jika otoritas keagamaan mengancam atau
cenderung memberontak, seperti yang terjadi sepanjang sejarah, penguasa akan
berusaha menekan mereka dengan kekerasan yang akhirnya mengarah pada perang
sipil atau kekacauan sipil. Inilah dilema yang dihadapi pemimpin agama seperti
al-Ghazali untuk mentoleransi penguasa yang opresif atau tidak sah dan
menyebutnya sebagai The Lesser of Two
Evils (iblis kerdil).
Dari perspektif ini, sejarah Islam bisa dibaca
sesuai dengan jarak antara institusi agama dan negara yang dialami atau
dibangun oleh rezim yang berbeda. Model pertama hubungan ini adalah penyatuan utuh
institusi agama dan negara berdasarkan prototipe masyarakat yang dibangun Nabi
di Madinah yang mengasumsikan keharusan penyatuan kepemimpinan militer dan
politik dengan kepemimpinan agama. Dalam model seperti itu berarti tidak ada
pemisahan antara institusi agama dan politik; masyarakat diorientasikan pada
satu figur, dan nampaknya ada hirarki dan sentralisasi yang kuat. Model yang
lain adalah pemisahan utuh antara otoritas agama dan politik yang nampaknya
menjadi pilihan yang dominan dipraktikkan, meskipun tidak penah diakui secara terbuka
oleh rezim yang bersangkutan karena mereka masih menganggap pentingnya
mendapatkan legitimasi keagamaan. Ambivalensi ini berarti bahwa kebanyakan
rezim politik di negara-negara Islam ada
diantara dua model ini. Mereka tidak pernah mencapai penyatuan secara utuh
seperti model ideal yang dicontohkan Nabi, meskipun mereka selalu mengklaim
lebih dekat pada model ini daripada ke model pemisahan utuh antara otoritas
politik dan agama. Hal yang
ingin saya tekankan dalam bab ini adalah ummat Islam lebih baik mengenali
ketidakmungkinannya mencapai model penyatuan utuh agar mereka lebih mudah untuk
mengelola dan mengatur model pemisahan yang lebih pragmatis. Saya akan jelaskan
hal ini lebih lanjut pada bagian lain dalam bab ini.
Penyatuan ideal tidak mungkin dicapai
setelah Nabi meninggal karena tidak ada seorang manusiapun pada saat ini yang
memiliki otoritas politik dan keagamaan yang sama sepertinya. Sebagai
perwujudan utama model ini, ummat Islam menerima Nabi sebagai satu-satunya
pembuat undang-undang, hakim dan pemberi perintah. Pengalaman seperti itu unik
dan tidak bisa direplikasi, karena ummat Islam percaya bahwa tidak ada Nabi
setelah Nabi Muhammad. Semua penguasa sejak Abu Bakar, Khalifah pertama, harus
menegosiasikan atau memediasi ketegangan permanen antara otoritas politik dan
agama, karena tidak satupun dari mereka yang dianggap mampu oleh semua ummat
Islam untuk menggantikan posisi Nabi yang telah mendefinisikan Islam dan yang
menentukan bagaimana ia harus diimplementasikan oleh ummatnya.
Semua pemimpin,
memang, pasti menghadapi oposisi yang bisa jadi sangat kuat bahkan,
kadang-kadang, penuh kekerasan. Namun perbedaan yang signifikan antara dua
model otoritas ini adalah bahwa klaim oposisi terhadap otoritas politik hanya
bisa berdasar pada penilaian manusia yang bisa dinilai oleh manusia lain.
sedangkan oposisi terhadap kepemimpinan agama memerlukan adanya otoritas
ketuhanan yang tentu saja mampu mengatasi tantangan manusia. Karena dasar
otoritas politik, seberapapun despotik dan otoriternya, adalah representasi
pandangan dan kepentingan warga, maka ia bisa ditantang dengan menggunakan
alasan-alasan yang sama. Sebaliknya, karena dasar kepemimpinan agama adalah
klaim otoritas moral, maka ia tidak bisa tunduk pada penilaian manusia.
Meskipun ada kebebasan untuk menerima atau menolak pesan-pesan Islam, namun
tidak ada masalah oposisi politik yang ditujukan kepada Muhammad di kalangan
Ummat Islam yang mengakuinya sebagai nabi terakhir. Sebaliknya, ketika Abu
Bakar menggunakan otoritasnya untuk memerangi suku-suku Arab yang menolak untuk
membayar zakat kepada negara, banyak sahabat Nabi yang terkemuka, termasuk Umar
yang menggantikannya sebagai khalifah kedua, menentang kebijakan ini.
Contoh yang
saya kemukakan barusan masih menjadi bahan kontroversi di kalangan sarjana
Islam, seperti yang dijelaskan dalam bagian berikutnya, karena Abu Bakar
menggunakan alasan keagamaan untuk menumpas pemberontakan. Saya sendiri
berpendapat bahwa Abu Bakar membuat keputusan yang benar. Namun saya juga
melihat bahwa pada sahabat menerima pendapat Abu Bakar karena ia adalah
pemimpin politik komunitas muslim saat itu, dan bukan karena persoalan otoritas
keagamaan. Tentu saja benar bahwa, bagi para sahabat Nabi saat itu, seperti
bagi ummat Islam generasi berikutnya, ketaatan kepada penguasa yang sah
merupakan kewajiban agama seperti yang tersurat dalam Qs. 4:59. Namun,
kewajiban ini juga nampaknya berlaku meskipun seseorang tidak setuju dengan
kebijakan penguasa dengan alasan
keagamaan demi mempertahankan stabilitas dan keamanan masyarakat. Jika saja
Umar yang menjadi khalifah pada saat itu, mungkin pandangannya yang tidak
sesuai dengan Abu Bakarlah yang akan berlaku. Dari perspektif inilah, situasi
yang melatari peristiwa-peristiwa itu jelas-jelas politik dan bukan agama, walaupun
kampanye untuk memerangi suku Arab yang murtad itu memiliki alasan-alasan
religius sekaligus politik.
Jelas bahwa
para penguasa muslim terus berusaha mengamankan kontrol mereka atas negara
dengan menarik atau memaksa otoritas keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya.
Namun, di sisi lain, otoritas keagamaan juga berusaha untuk mempertahankan
tingkat otonomi dan kemerdekaan mereka dari aparat negara agar mereka bisa
menantang atau bahkan memperbaiki penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh
aparat negara. Seperti yang sudah saya catat sebelumnya, negara harus
menyelesaikan paradoks pemberian otonomi yang cukup bagi otoritas keagamaan agar mereka bisa mendapatkan
legitimasi dari kelompok ini untuk kekuasaannya. Tapi, penguasa juga tidak bisa
membiarkan mereka terus independen, hingga mereka bisa menantang otoritas
negara. Secara historis, model yang telah ternegosiasikan, telah diperlihatkan
melalui sistem patronase dan pemberian sponsor oleh pihak yang berkuasa kepada
institusi-institusi keagamaan. Beberapa bentuk negosiasi telah kita saksikan
sebelumnya, namun bentuk yang paling jelas bisa ditelusuri ke pertengahan abad
ke-10 ketika Dinasti Buwaihhi menaklukkan Baghdad dan harus menghadapi
minoritas syi'ah serta sunni yang menolak kehendak politiknya. Setelahnya,
dinasti Saljuk, Zangid, Ayyub, dan Mamluk meniru model ini dengan berbagai
penyesuaian.
Ini tidak
berarti bahwa otoritas keagamaan selalu mengakomodasi atau dikooptasi dan
dipaksa oleh penguasa. Para ulama dan
pemimpin sufi, misalnya, memilih untuk menghindari negara dan aparatusnya.
Meskipun kebanyakan pemimpin agama yang beroposisi kepada pemerintah
melakukannya dengan cara damai, tak sedikit di antara mereka yang terpaksa
mengunakan pemberontakan. Mungkin kasus-kasus oposisi politik para pemimpin
agama tidak memperlihatkan model terpisah, seperti yang terlihat pada respon
sejumlah pemimpin agama terhadap penguasa yang berusaha mendapatkan legitimasi
bagi negara yang dipimpinnya. Namun
keberadaan respon-respon tersebut tetap menunjukkan adanya pembedaan antara
otoritas agama dan negara, seperti yang sudah diungkapkan oleh Lapidus di muka.
Sekarang saya akan mencoba untuk mengklarifikasi dan mendukung perspektif
tentang sejarah masyakat Islam ini dengan menyoroti pola hubungan Islam, negara
dan politik dan tidak sekedar menarasikan peristiwa dan sosok.
Sekedar
menyimpulkan, pembacaan atau cara pandang terhadap sejarah masyarakat Islam
yang saya ajukan adalah bahwa ada pemisahan yang jelas antara otoritas agama
dan politik yang bisa ditelusuri sejak masa Abu Bakar menjadi khalifah pertama
negara Madinah. Fakta bahwa pandangan ini tidak berlaku di kalangan ummat Islam
tidak berarti bahwa pandangan ini dengan sendirinya keliru. Malah, krisis
hubungan antara Islam dengan negara dan politik yang sedang dialami oleh ummat
Islam saat ini di manapun mereka berada, mengindikasikan pentingnya cara baru
dalam membaca sejarah. Cara ini diharapkan berguna sebagai pedoman pelaksanaan
syariah dalam masyarakat muslim di masa yang akan datang karena cara pandang
lama yang sudah familiar nampaknya mulai tidak berlaku. Tentu saja, ini tidak
berarti bahwa pandangan yang saya ajukan di sini seluruhnya benar, hanya saja
ajuan ini perlu dipertimbangkan secara serius sebagai alternatif bagi pandangan
umum yang berlaku saat ini, daripada sekedar dianggap keliru karena sifatnya
yang tidak familiar.
II. Permulaan Mediasi antara Visi Ideal dan Realitas Pragmatis
Seperti yang
sudah saya ungkapkan, karena model Nabi di Madinah terlalu unik untuk
direplikasi, saya akan memfokuskan pembahasan ini dengan mengklarifikasi
signifikansi masa Khulafaurrasyidin (abu Bakar, Ustman, Umar dan Ali) pada
tahun 632-661, dan periode Umayah (661-750).[2] Saya akan mempertimbangkan
sejarah masa awal ini dalam hubungannya dengan dua model penyatuan dan
negosiasi hubungan antara Islam dan negara maupun antara Islam dan politik.
Dalam bagian kedua saya akan menguji secara singkat beberapa peristiwa dan
konsekuensi yang ditimbulkan oleh peristiwa mihnah
yang dimulai pada masa Khalifah al-Ma'mun di tahun 833 dan dilanjutkan oleh
penguasa setelahnya dalam hubungannya dengan pertanyaan yang kita bahas dalam
bab ini. Karena peristiwa-peristiwa itu menekankan pentingnya membedakan Islam
dan negara, bagian ketiga akan menyoroti pentingnya wakaf sebagai kekuataan
kelembagaan dan keuangan institusi keagamaan dan otonomi ulama dalam
menegosiasikan hubungan Islam dengan negara dan politik.
Sebagaimana
muslim yang lain, sulit bagi saya untuk menawarkan refleksi analitis terhadap
fase awal sejarah Islam tersebut karena tingginya penghormatan yang diberikan
kepada para sahabat yang terlibat dalam peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
masa itu. Bagaimana saya bisa melakukan penilaian salah atau benar kepada Abu
Bakar, seorang sahabat Nabi yang paling dihormati di kalangan muslim sunni,
ketika ia memutuskan untuk mengobarkan perang terhadap orang murtad atau yang
lebih dikenal sebagai hurub al-rida, atau menilai bagaimana ia mengatasi
persoalan Khalid bin al-Walid karena perilakunya selama masa penaklukan?
Bagaimana saya bisa mengkritik Muawiyah, seorang sahabat lain yang mendirikan
dinasti Umayyah? Namun, sebagai seorang muslim saya juga harus merefleksikan
sosok-sosok tersebut dan perilaku mereka karena saya percaya pentingnya
menyelesaikan persoalan yang dihadapi oleh ummat Islam kini dan nanti. Karena
sebagai Muslim saya tidak mau menghindar dari tanggung jawab dengan hanya
menjauhi isu semacam ini. Saya malah merasa terhormat untuk mengungkapkan
pandangan seperti itu dan karena saya melakukannya untuk kemasalahatann bersama
bukan demi keuntungan pribadi.
Lagipula,
keterlibatan saya dalam melakukan refleksi kritis terhadap aksi politik
sosok-sosok religius itu merupakan bagian dari alasan saya untuk tetap
menekankan pentingnya netralitas negara terhadap agama, seperti yang
berkali-kali saya ajukan dalam buku ini. Pemisahan antara agama dan negara
diperlukan agar ummat Islam bisa memegang teguh kepercayaan agamanya dan hidup
sesuai dengan kepercayaan itu tanpa mengabaikan tanggung jawab mereka untuk
berpartisipasi dalam urusan-urusan publik masyarakatnya. Sejarah menunjukkan
bahwa pemuka agama rentan terhadap rayuan dan paksaan untuk mendukung agenda
politik penguasa, bahkan mereka rentan terhadap konsekuensi yang berat seperti
yang terlihat dalam kasus mihnah berikut
ini. Untuk menghindari dilema ini, beberapa pemimpin agama cenderung
menghindari keterlibatan serius dalam urusan publik. Daripada menghadapi
kesulitan yang sama, saya menyarankan agar ummat Islam saat ini sebaiknya
menempuh upaya pemisahan antara Islam dengan negara, yang berarti bahwa mereka
yang mengontrol negara tidak bisa menggunakan kekuasaan kursifnya memaksakan
atau menerapkan kepercayaannya. Tujuan saya merefleksikan relevansi dan
signifikansi peristiwa-peristiwa sejarah fase awal dan sangat diperdebatkan ini
adalah untuk melihat apa yang mereka perlihatkan kepada kita tentang Islam dan
negara, tanpa menilai apa yang benar dan yang salah, siapa yang baik dan siapa
yang jahat.
Perang terhadap Orang-Orang Murtad dan Watak Negara
Suksesi
Nabi merupakan topik yang tetap hangat diperdebatkan sepanjang sejarah
masyarakat Islam karena implikasinya yang besar terhadap watak negara dan
hubungannya dengan Islam. Urutan peristiwa yang umum diterima adalah bahwa
klaim kelompok Muhajirun lebih kuat daripada klaim kelompok anshar.
Riwayat-riwayat yang menunjukkan bahwa kelompok anshar menuntut adanya pemimpin
(amir) dari dua kelompok yang berbeda
ini, menunjukkan bahwa mereka khawatir mengenai resiko adanya pemerintahan yang
terkonsolidasikan, daripada sekedar reaksi penolakan terhadap Abu Bakar atau
semacamnya. Fakta ini akan relevan untuk memahami alasan pemberontakan
suku-suku Arab lain yang ditumpas melalui perang riddah yang akan kita diskusikan berikut ini. Ketika isu pertama
ini terselesaikan, Abu bakar memiliki pengaruh yang lebih kuat di kalangan
muslim Mekah saat itu daripada calon lainnya, hingga Umar menyebutnya "kebetulan yang tak
terrencanakan" (falta). Hal
penting yang selalu menjadi kontroversi dalam proses ini adalah sebagian ummat
Islam saat itu, yang kemudian dikenal sebagai kelompok pendukung Ali (shi'at)
terus menentang validitas kemenangan Abu Bakar atas Ali. Hal yang lebih
signifikan kita bahas dalam perbicangan kita saat ini adalah bahwa perbedaan
alasan pemilihan pengganti Nabi dan kriteria pemilihan memiliki konsekuensi
yang luar biasa terhadap watak negara sebagai institusi politik. Masalah yang
berkaitan dengan posisi khalifah dan hubungannya dengan masa Nabi terus
memiliki konsekuensi yang besar bagi watak negara itu sendiri. Sekarang saya
akan membahas permasalahan ini melalui analisis terhadap perang orang-orang
murtad dan pentingnya peran peristiwa ini dalam pembentukan watak negara
sebagai institusi politik.
Perang
terhadap orang-orang murtad merupakan krisis pertama yang dihadapi oleh
pemerintahan yang baru setelah meninggalnya Nabi Muhammad. Saat itu, Abu Bakar
harus memperlihatkan otoritas negara terhadap sejumlah suku Arab yang
jelas-jelas menolak otoritas tersebut. Ummat Islam umumnya percaya bahwa Abu
Bakar melaksanakan perang itu karena suku-suku itu telah murtad dengan
mengikuti Nabi Palsu atau karena menolak membayar zakat. Namun kedua jenis
resistensi ini ditumpas dengan menggunakan kekuatan atas nama negara. Fase ini
biasanya sangat dibanggakan oleh kalangan sunni sebagai prestasi terbesar Abu
Bakar yang membuktikan keabsahan pemilihannya sebagai khalifah pertama. Setelah
konsolidasi kekuasaan politik di seluruh semenanjung Arab tercapai, barulah
ekspansi ke Kerajaan Byzantium dan Sasanid dimulai.
Saya
tidak tertarik dengan pandangan dominan itu, ataupun untuk menilai apakah
tindakan Abu bakar untuk menyulut perang itu salah atau benar. Saya malah
tertarik untuk melihat makna atau signifikansi episode itu dalam membentuk
watak negara pada saat itu. Keputusan Abu Bakar untuk memerangi suku-suku itu
agar mereka taat pada otoritasnya sebagai khalifah diperlihatkan dalam
pernyataannya mengenai zakat yang sangat terkenal: "aku bersumpah demi
Tuhan, jika mereka menolak untuk memberikan meski hanya sekerat daging unta
yang dulu pernah diberikan kepada Nabi, saya akan bertarung dengan mereka
karenanya." Apa sebetulnya alasan sikap ini? mengapa tindakan ini
diinterpretasi sebagai sebuah bukti bahwa dialah khalifah pengganti Rasulullah?
Apakah cara keputusan untuk memerangi suku-suku Arab itu dibuat, alasan yang
melatarbelakanginya, maupun peristiwa yang berkaitan dengan peristiwa itu
mengindikasikan adanya model penyatuan antara kepemimpinan agama dan politik
dalam Islam atau tidak? Jika ya, apa yang sejarah katakan pada kita tentang kesulitan
dan kontradiski yang terdapat dalam pandangan semacam itu?
Sebagai
contoh, pembedaan bisa dibuat antara dua kelompok besar yang diperangi oleh Abu
Bakar yaitu mereka yang menolak untuk membayar zakat kepada Khalifah dan mereka
yang mengabaikan Islam karena mengikuti Nabi Palsu. Bisa juga kita berargumen
bahwa Abu Bakar menganggap penolakan untuk membayar zakat ke kas negara sama
dengan murtad, sehingga pelakunya bisa dihukum mati. Namun, kita bisa juga
melihat penolakan itu sebagai pemberontakan terhadap otoritas negara sebagai
institusi politik yang keberadaannya bisa dijaga dengan kekuatan militer.
Dengan mengatakan demikian, saya tidak bermaksud untuk bisa menyelesaikan
kontroversi yang berlarut-larut, kompleks dan terus menimbulkan kemarahan bahkan
hingga abad kedua dalam sejarah Islam ini. Saya hanya ingin merefleksikan
implikasi kontroversi itu pada watak negara pada masa awal Islam tersebut,
terlepas dari apa yang orang pikirkan tentang apa yang telah dilakukan oleh Abu
Bakar. Sebagai contoh, saya ingin mengajukan pertanyaan: apakah usaha yang
dilakukan Abu Bakar untuk menerapkan kewajiban zakat atau memerangi orang
murtad merupakan caranya untuk memperlihatkan otoritas politiknya sebagai
khalifah? apakah ia menjadi khalifah karena otoritas keagamaan yang dimilikinya
di kalangan ummat Islam saat itu?
Beberapa
pertanyaan menyangkut peristiwa itu masih tak terjawab sampai saat ini.
Misalnya, apakah zakat itu dibayarkan secara sukarela pada masa Nabi dan apakah
zakat itu diserahkan ke Madinah atau digunakan untuk kepentingan masyarakat
lokal? Pertanyaan-pertanyaan itu hanya sebagian dari pertanyaan yang terus
dihindari oleh sejarawan. Ada satu bukti yang menunjukkan bahwa pada masa Nabi,
zakat bukanlah persyaratan yang universal dan harus dipenuhi untuk menjadi
seorang Muslim, dan bahwa Nabi menerima perpindahan seseorang dari agama lain
tanpa syarat-syarat pembayaran. Disebutkan pula bahwa nisab zakat belum
dikodifikasi hingga masa Khalifah Abu Bakar. Bukti yang ada menunjukkan bahwa
Nabi tidak menggunakan kekerasan dalam mengumpulkan zakat.[3] Beberapa sahabat terkemuka
seperti Umar dan Abu Ubaidah memperingatkan Abu Bakar supaya "menghapuskan
pajak untuk tahun tersebut dan memperlakukan suku-suku yang loyal kepada Islam
dengan lunak agar mereka memberikan dukungan kepadanya dalam melakukan tindakan
terhadap mereka yang mengabaikan Islam".[4] Sahabat lain seperti Ali
bahkan tidak berpartisipasi dalam kampanye tersebut. Adanya ketidaksepakatan
sahabat terhadap masalah tersebut merupakan hal yang penting bagi kita untuk
memahami dasar keputusan Abu Bakar dan implikasinya terhadap watak negara pada
saat itu.
Hal
kontroversial lain yang terjadi pada saat itu adalah keputusan Abu Bakar untuk
menunjuk kalangan aristokrat Mekah sebagai komandan dalam perang riddah, padahal mereka baru masuk Islam
setelah bertahun-tahun memusuhi dan menolak pesan-pesan kenabian.[5] Keputusan itu
memperlihatkan sisi politis kampanye yang dilakukan Abu Bakar karena
"penyerahan zakat bisa berarti tanda penyerahan otonomi kesukuan, penerimaan
terhadap pajak resmi sekaligus pengakuan terhadap hak negara untuk memaksa
pihak-pihak yang membangkang serta ketundukkan suku tersebut terhadap penguasa
atau pemerintah. Hal-hal tersebut,
justru yang selama ini selalu ditentang oleh mereka.[6] Apreasiasi terhadap
ketegangan dan ketakutan suku-suku Arab yang menghadapi transformasi drastis
dalam lembaga dan hubungan sosial dan politiknya lah yang barangkali
menyebabkan Nabi tidak pernah tertarik untuk menggunakan kekuatan. "Ketika
pemimpin pemberontakan suku itu tertangkap kemudian dihadapkan kepada Bakar dan
didakwa dengan vonis murtad, mereka membela diri dengan mengatakan bahwa dengan
melakukan tindakan perlawanan itu mereka tidak bermaksud menjadi orang kafir,
melainkan karena mereka tidak mau menyerahkan kekayaan mereka."[7]
Peristiwa
lain yang menyebabkan kontroversi adalah perintah Abu Bakar terhadap Khalid bin
al-Walid untuk membunuh Malik bin Nuwayra dari Bani Yarbu, suku Arab yang
menjadi anggota federasi Bani Tamim. Perintah ini muncul karena Malik bin
Nuwayra menolak untuk menyerahkan sejumlah unta yang pernah dia kumpulkan untuk
diberikan sebagai zakat kaumnya kepada Nabi. Walaupun Malik menyatakan
kesetiannya kembali kepada Islam, ia bersama-sama dengan anggota suku lainnya
tetap dibunuh oleh Khalid. Khalid kemudian mengambil istri Malik dan nampaknya
memperlakukannya sebagai "rampasan perang".[8]
Para sahabat
terkemuka mengecam perbuatan Khalid. Bahkan Umar menuntut khalifah memecatnya
dan Ali menetapkan hukuman had terhadapnya
karena Khalid dianggap telah melakukan zina (dengan mengambil paksa istri
Malik),[9] Namun Abu bakar sebagai
Khalifah tidak mengabulkan kedua permintaan itu.[10] Tuntutan-tuntutan itu
akan nampak tidak masuk akal jika kita memahami keputusan Abu Bakar sebagai
bagian dari otoritas keagamaan yang dimilikinya dari Nabi karena para Sahabat
terkemuka, tentu, tidak akan berselisih dengannya, karena mereka memahami bahwa
keputusan Abu Bakar itu bersifat mengikat dan merupakan bagian dari ajaran
Islam. Tetapi sebaliknya, walaupun para sahabat tidak sepakat dengan Abu Bakar,
mereka tidak berbuat sekehendak hatinya untuk mewujudkan apa yang mereka anggap
benar, mungkin karena mereka menghormati otoritas politik Abu Bakar sebagai
khalifah. Ulama-ulama zaman berikutnya seperti al-Syafi'i, al-Khttabi, Ahmad
bin Handal dan Ibnu Rajab menyikapi situasi itu secara berbeda-beda, baik
dengan memberikan analisis tekstual terhadap hadits maupun sekedar berapologi.[11] Barulah kemudian pada
masa-masa berikutnya Ibnu Arabi menjustifikasi keputusan Abu Bakar dengan
memberikan alasan umum bahwa Abu Bakar memang harus melakukan hal tersebut.
Karena jika tidak, suku-suku pemberontak itu akan mendapatkan kekuasaan dan
terus memberontak. Penjelasan terakhir inilah yang kemudian menjadi pemahaman
terhadap sejarah Islam yang paling populer di kalangan sunni.
Karena saya
tidak bermaksud untuk menilai salah atau benarnya fakta sejarah tersebut, saya
ingin kita melihat ketidakjelasan dan resiko penggunaan kekuasaan kursif negara
untuk mengimplementasikan pendapat
seseorang tentang agama. Ketidakjelasan ini bisa diklarifikasi jika kita
memahami isu tersebut dalam konteks peran Abu Bakar sebagai pemimpin politik
dan bukan sebagai pemimpin agama. Cara pembacaan ini mungkin tidak konsisten
dengan motivasi Abu bakar yang mungkin saja religius, karena ia percaya bahwa
ia sedang mempertahankan Islam pada saat itu, dan bukan sekedar menjaga
integritas negara sebagai institusi politik. Bahkan mungkin dia belum mengerti
apa yang dimaksud negara dalam konteks pembicaraan kita. Di samping itu,
kerelaan para sahabat untuk tunduk pada keputusan Abu Bakar meskipun mereka
yakin bahwa keputusan itu keliru mungkin juga dimotivasi oleh oleh
faktor-faktor politik, terutama kebutuhan untuk mengkonsolidasi dan mengamankan
komunitas selama periode-periode kritis itu. Namun alasan religius juga bisa
dikemukakan untuk memperkuat faktor-faktor tersebut seperti Qs, 4: 59 yang
biasa digunakan untuk menuntut ketaatan ummat Islam terhadap Allah, Rasul-Nya
dan penguasa. Dengan kata lain, seorang muslim memiliki kewajiban untuk menaati
khalifah, walaupun ia berpikir bahwa khalifah itu keliru. Namun kemudian
kewajiban ini bisa berbenturan dengan kewajiban muslim untuk menegakkan
keadilan dan melawan kemunkaran (al-amr
bil ma'ruf wa l-nahy an al-munkar). Dikatakan juga dalam sunnah bahwa tidak
ada seorang manusia pun yang harus taat pada perintah untuk melakukan maksiat
kepada Allah (la ta'ata li makhluq fi
ma'siyat al-khaliq).
Dengan
demikian, dengan justifikasi apapun, nampaknya memisahkan agama dari politik
tetap merupakan hal yang sulit: ummat Islam akan selalu tidak sepakat dengan
dua hal tersebut dan alasan-alasan keagamaan selalu berisi
pertimbangan-pertimbangan politik dan sebaliknya. Terkait dengan perang
terhadap orang-orang murtad, mungkin saja tindakan yang dilakukan Abu Bakar itu
sah dalam pandangan Islam karena keputusannya berdasarkan alasan bahwa mereka
sudah murtad atau memberontak terhadap negara. Kedua hal ini merupakan
kejahatan besar (hadd al-haraba dalam
Qs. 5:33-34) dan pelakunya layak mendapatkan hukuman mati. Apapun alasannya dan
meskipun ada sejumlah keberatan dari para sahabat yang lain, Abu bakar tetap
bisa menjalankan keputusannya karena ia seorang khalifah, tapi bukan karena ia
memiliki keputusan yang benar atau tepat dalam kacamata Islam. Ini bukan
berarti Abu Bakar benar atau salah, tapi karena tidak ada otoritas yang
independen yang bisa menyelesaikan atau memediasi ketidaksepahamannya dengan
sahabat lain. Dengan kata lain, jika saja Umar atau Ali yang menjadi khalifah
tentu hasilnya akan sangat berbeda.
Kesimpulannya
bagi kita adalah membedakan antara pandangan keagamaan Abu Bakar dengan
keputusan dan tindakan politiknya sebagai khalifah mungkin bisa membnatu.
Pembedaan ini pub bisa berguna dalam memahami beberapa sahabat besar yang tidak
setuju dengan Abu Bakar karena mereka juga bisa memiliki alasan keagamaan dan
politis. Pembedaan ini perlu dipertahankan tanpa melihat motivasi keagamaan Abu
Bakar atau sahabat lain, karena tindakan seseorang tidak bisa ditentukan oleh
motivasinya. Pembedaan seperti itu mungkin masih sulit diterapkan oleh ummat
Islam untuk membaca sejarah periode Madinah karena, pada saat itu, sifat
otoritas politiknya yang masih personal dan negara masih belum dianggap sebagai
sebuah institusi politik. Kesulitan itu juga bisa karena berbagai faktor
termasuk masih barunya contoh yang ditinggalkan Nabi, keterbatasan pendirian
negara di daerah Arab pada saat itu dan cara keempat khalifah itu terpilih dan
menjalankan kekuasaannya. Intinya, apapun pandangan terhadap
peristiwa-peristiwa itu, ketidakjelasan seperti itu tidak bisa bisa
dijustifikasi maupun diterima dalam konteks negara post kolonial model Eropa
saat ini.
Ketidakjelasan
otoritas politik dan agama seorang khalifah memang sudah tidak bisa lagi dipertahankan
setelah pembunuhan Ali dan permulaan berdirinya negara Umayah. Walaupun Umayah
berbentuk monarki, namun ia masih berusaha untuk mempertahankan kesan bahwa
otoritas khalifah merupakan perpanjangan dari otoritas Nabi. Gelar-gelar yang
dipakai oleh khalifah-khalifah dinasti Umayyah seperti khalifat allah, amin allah,
na'ib allah menunjukkan besar dan
agungnya otoritas keagamaan yang dimiliki khalifah. Gelar-gelar tanda otoritas ini selalu
diumumkan menjelang pelaksanaan khutbah jum'at di semua wilayah yang mereka
kuasai. Namun, legitimasi keagamaan terhadap Muawiyah, pendiri dinasti ini,
tidak hanya diperlemah oleh konfrontasinya dengan Ali yang berakhir dengan
terbunuhnya keponakan Nabi itu, namun juga oleh upaya-upaya lunak dan keras
yang dilakukannya untuk memuluskan pemilihan Yazid sebagai penerusnya, padahal
Yazid tidak memiliki kualifikasi untuk menjadi khalifah. Karena Yazid
menghadapi ancaman semakin tingginya tingkat pemberontakan dan kekacauan yang
ditujukan untuk menggoyang otoritas dan legitimasinya sebagai penguasa muslim,
ia pun terpaksa menggunakan kekerasan untuk menekan pihak-pihak yang
membangkang. Sayangnya, tindakan ini malah semakin mengurangi kualifikasinya
yang tidak bagus. Dalam upayanya menekan pemberontakan-pemberontakan yang
terjadi, ia memerintahkan untuk membunuh Husain bin Ali, cucu Nabi, keluarga
dan kelompok pendukungnya di Karbala. Pada saat yang sama, sekitar tahun 681 M,
Abdullah bin Zubair, cucu Abu Bakar dan anak seorang sahabat terkemuka lainnya,
dan pendukungnya muncul dengan pemberontakan lain dan ia mengklaim dirinya
sebagai khalifah di Mekah dan Madinah. Pemberontakan ini berhasil ditumpas oleh
tentara dinasti Umayah selama 10 tahun. Mekah dan Madinah, bahkan Ka'bah,
hancur karena proses penumpasan itu. Krisis ini terus berlanjut selama delapan
dekade pemerintahan dinasti Umayah dan setelahnya.[12]
Paradoks
permanen yang dihadapi oleh dinasti Umayah dan rezim sesudahnya adalah karena
mereka berusaha untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk mendapatkan legitimasi keagamaan
dengan berusaha mereflikasi model pemerintahan Nabi atau pemerintahan Khulafa
al-Rasyidun di Madinah. Ironisnya, masalah ini diperparah oleh keinginan
penguasa untuk mengkonsolidasikan kekuatannya terhadap masyarakat, yang justru
malah melemahkan legitimasi keagamaan yang mereka miliki. Revolusi Abbasiyah
sukses menentang dinasti Umayah karena mereka menyatakan bahwa dinasti itu
tidak memiliki legitimasi keagamaan dan mereka mengklaim bisa mendirikan sistem
yang ideal bagi ummat Islam. Namun, jelas kemudian bahwa kekhalifahan sudah
terlembagakan menjadi dinasti kerajaan yang penguasanya dipilih berdasarkan
garis keturunan, yang tidak lebih merupakan adaptasi dari model monarkinya
dinasti Sasanid dan Byzantium.[13]
Kerajaan-kerajaan
Arab yang bermunculan, keberadaannya relatif tidak terlalu pelik, karena
aparatur negara dan penerusnya biasanya mengadopsi struktur dinasti Sasanid dan
Byzantium dan sering terus
mempekerjakan pejabat yang sama dengan rezim yang sebelumnya. Untuk
mempertahankan legitimasi keagamaannya, khalifah-khalifah dinasti Abbasiyah,
terutama yang berkuasa pada periode-periode awal, sering memposisikan diri
mereka sebagai kurator ilmu-ilmu agama dan menjadi partisipan dalam upaya
interpretasinya.[14] Ironisnya, mereka membuat atau memunculkan
ekspektasi itu dengan mendasarkan klaim kekuasaan mereka pada hubungan
kekerabatannya dengan Nabi, sehingga mereka dianggap layak untuk mempraktikkan
kembali modelnya. Khalifah-khalifah periode awal dinasti Abbasiyah berusaha
untuk mempertahankan kesatuan kepemimpinan agama dan politik dengan menunjuk
hakim (qadi), menguasai lembaga dan
ilmu agama, sekaligus memerankan diri sebagai pertahanan militer kerajaan
Islam. Namun usaha-usaha untuk menegakkan model penyatuan antara otoritas
politik dan negara menjadi tidak berguna, karena adanya beberapa peristiwa
tragis yang kemudian dikenal sebagai mihnah.
Implikasi Mihnah terhadap Otoritas dan Institusi Politik dan Agama
Ketidaksesuaian
antara cita ideal Islam untuk menyatukan kepemimpinan agama dan politik dengan
realitas empiris sejarah ummat Islam mulai jelas, bahkan sebelum pemberontakan
Khawarij dan Syi'ah. Masalah-masalah politik yang dihadapi oleh
Khulafaurrasyidun di Madinah merupakan bukti yang jelas bahwa struktur ideal
yang diperintahkan oleh Nabi tidak cocok untuk direplikasi. "Secara
implisit, keberadaan para pemberontak merupakan tanda kemunculan kelompok ummat
Islam yang memisahkan diri dari otoritas dan kepemimpinan khalifah."[15] Tumbuhnya sejumlah sekte
seperti Qadiriyah, Murjiah, dan lainnya menentang mitos tentang kesatuan Islam.
Apalagi, jika mempertimbangkan kemunculan peristiwa drastis yang lebih dikenal
sebagai mihnah melalui perspektif sejarah sosial. Konflik antara otoritas
khalifah dan ulama harus dilihat dalam konteks relasi sosial antara 3 kelompok
yaitu: elite Bangsa Arab yang mewakili Istana Khalifah dan aparat
administratifnya, para pemimpin agama, serta keturunan pemberontak Bangsa
Khurasan yang mengawali kesuksesan revolusi Abbasiyah.
Penting juga
untuk membedakan antara kekhalifahan ideal dengan realitasnya pada masa
Abbasiyah. Ia merupakan sebuah pencampuran hibrid antara Kerajaan Timur Tengah
(Sasanid dan Byzantium) Pra Islam dan universalisme Islam. Para khalifah
berusaha untuk mengkombinasikan otoritas keagamaan sebagai penerus Nabi dengan
bentuk kerajaan dan otoritas kelembagaan serta budaya ala Kerajaan Timur
Tengah. Kecendrungan ini terlihat jelas dalam patronase dinasti Umayyah
terhadap artistik, arsitektur dan perayaan ala Byzantium di Istana
kerajaan" dan dalam proyek kerajaan yang lain, serta gaya ekspansi mereka
yang kasar. Sementara itu, dinasti Abasiyyah meniru model Persia dengan
berpatron pada khazanah literature dinasti Pahlavi dan filsafat
Hellenistik."[16] Sebagai respon, para
ulama periode awal menunjukkan adanya keterputusan antara cita ideal dan
realitas, dan meragukan klaim otoritas para khalifah untuk menginterpretasikan
atau mengelaborasi syariah. Klaim ini merefleksikan fakta bahwa ulama memiliki
pengaruh yang lebih besar di kalangan ummat Islam daripada para khalifah.
"Dengan demikian, independensi otoritas keagamaan dari kekuasaan khalifah
berkembang bersamaan dengan munculnya kelompok-kelompok sektarian dalam ummat
Islam. Dari sudut pandang komunal keagamaan, kekhalifahan dan Islam tidak lagi
terintegrasikan."[17] Kemunculan otoritas
keagamaan yang independen dari khalifah dan aparat negara inilah, yang disebut
Lapidus sebagai pembedaan antara otoritas politik dan agama dalam sejarah
masyarakat Islam.
Apa yang
disebut mihnah adalah inkuisisi
teologis yang bertujuan untuk membuat anggota kelompok ulama, yang pada saat
itu merupakan sebuah kelompok yang bersatu tanpa tujuan tertentu, menyetujui
sikap yang diambil oleh kalangan Mu'tazilah bahwa al-Qur'an adalah ciptaan
Allah dan dengan demikian ia adalah atribut dan bukan kata-kata yang tidak
diciptakan oleh-Nya. Isu ini merupakan bagian dari debat yang berkelanjutan
antara kelompok yang lebih menyukai pendekatan yang lebih alegoris dan rasional
terhadap sumber-sumber Islam (Mu'tazilah) dengan kelompok lain (ahl-alhadits
dan Asy'ariah) yang menganut pendekatan tekstual terhadap teks. Dalam konteks
itulah, Khalifah al-Ma'mun melaksanakan inkuisisi pada tahun 833 M (218 H)
untuk memaksa ulama tertentu agar mengadopasi pandangan mu'tazilah. Walaupun
setelah al-Ma'mun wafat, inkuisisi masih berlanjut hingga masa tiga khalifah
setelahnya selama 16 tahun. Khalifah al-Mutawakkil mengakhiri hukuman itu
dengan melepaskan para ulama yang tidak tunduk pada kebijakan khalifah
sebelumnya dari penjara dan menempatkan beberapa orang diantaranya dalam
pemerintahannya.
Al-Ma'mun
berkuasa setelah memenangkan perang sipil dengan saudaranya al-Amin. Baik
al-Ma'mun maupun al-Amin merupakan anak dari Khalifah Harun al-Rasyid. Secara
mengejutkan, al-Ma'mun menunjuk Imam al-Rida, Imam kedelapan dalam rangkaian
imamah syi'ah dua belas, sebagai penggantinya. Ini merupakan upayanya untuk
menenangkan pemberontakan Syi'ah yang terus berlanjut pada saat itu, atau untuk
mengembalikan kekhalifahan pada formulasi orisinalnya sebagai lembaga keagamaan
dan politik. Ia juga mengadopsi warna hijau Syi'ah untuk atribut pasukannya.
Namun dua keputusan itu dibatalkan segera setelah al-Rida wafat secara
misterius. Saat al-Ma'mun kembali ke Baghdad yang saat itu sedang dilanda
kekacauan, ia berusaha untuk memaksakan teologi tertentu kepada masyarakat,
yang akhirnya bukan menambah kekuatannya, malah membuat habis otoritas
kekhalifahahannya. Kekacauan parah yang terjadi di Baghdad diakibatkan oleh
adanya kompetisi sejumlah kelompok untuk mendapatkan kekuasaan dan juga tentara
yang marah dan tidak puas. Situasi ini
diperparah dengan adanya geng kriminal dan penjahat. Kekacauan ini berakhir
dengan munculnya sejumlah gerakan yang semakin mengukuhkan fakta bahwa
penyatuan kepemimpinan agama dan politik tidak lagi relevan untuk dipraktikkan.
Sebagai
contoh, Sahl bin Salama al-Ansari, penduduk Baghdad "yang memakai salinan al-Qur'an di lehernya dan menyeru
orang-orang untuk melakukan 'amar ma'ruf
nahyi munkar', berhasil menarik sejumlah pengikut dari seluruh penjuru
kota yang berasal dari latar belakang
yang berbeda. Ia juga menyeru pengikutnya untuk tidak hanya mempertahankan
lingkungannya dengan menyediakan keamanan dan stabilitas bagi tempat tinggal
mereka, namun juga mengimplementasikan ajaran al-Qur'an dan Sunnah yang dibawa
oleh Nabi. Sahl menggambarkan kepatuhan pada prinsip yang lebih tinggi yang
memberikan justifikasi untuk melawan khalifah dan otoritas negara yang gagal
untuk menegakkan Islam. Ia menyeru bahwa kepatuhan kepada al-Qur'an dan Sunnah
harus mengalahkan ketaatan kepada otoritas yang gagal menegakkan Islam."[18] Ia mengadopsi slogan
'tidak ada ketaatan kepada makhluk bila untuk melakukan ma'siat kepada Allah' (la ta'ata li makhluq fi ma'siat al-khaliq).
Pengikutnya di berbagai penjuru kota membangun menara di depan rumah mereka
yang berfungsi membentengi mereka dalam kota."[19] Dengan demikian,
organisasi berbasis komunitas yang dibangun Sahl mewakili kemunculan spontan
sebuah pemerintahan bersifat keagamaan yang militan dan menolak otoritas
khalifah secara terbuka.
Dengan
menggunakan bahasa-bahasa keagamaan, gerakan tersebut berhasil "menarik
sentimen yang berada di luar batas-batas
pemerintahan khalifah menjadi konsepsi komunal tentang Islam. Dalam
konteks inilah, gerakan-gerakan di luar sistem seperti ini merepresentasikan
konsepsi yang revolusioner mengenai struktur masyarakat Islam."[20] Kewajiban untuk
melaksanakan 'amar ma'ruf nahyi munkar'
pada dasarnya merupakan kewajiban khalifah, namun gerakan Sahl yang didukung
oleh banyak ulama yang percaya bahwa kewajiban itu juga merupakan kewajiban
semua muslim. Gerakan ini, dengan demikian, menggunakan simbol otoritas
religius yang kuat dan alasan bahwa kewajiban itu dibiarkan kosong oleh
penguasa yang tidak kompeten. Salah satu ulama terkemuka yang terlibat dalam
gerakan itu adalah Ahmad bin Hanbal yang secara kebetulan adalah penduduk di
salah satu sudut kota Baghdad yang menyediakan keamanan dan stabilitasnya
sendiri.[21]
Dengan demikian, kekuatan sosial yang diwakili oleh Sahl dan lainnya muncul
bersamaan dengan kemerdekaan teologis para ulama seperti Ahmad bin Hanbal dan
pengikutnya seperti Ahmad bin Nasr bin Malik (keduanya adalah penduduk kota
Baghdad yang diwakili oleh Sahl dan penentang khalifah lainnya)[jd1].
Ahmad bin
Nasr lah yang memimpin gerakan oposisi terhadap kebijakan mihnah selama masa pemerintahan al-Watsiq dan yang menghidupkan
kembali gerakan Sahl yang meredup setelah al-Ma'mun memasuki Baghdad lagi. Pada
periode berikutnya, slogan yang sama, yang memproklamirkan oposisi otoritas
keagamaan terhadap khalifah, terus muncul dan berkembang dengan mengorganisasi
perekrutan masa untuk gerakan pemberontakan. Namun usaha-usaha seperti itu
terhenti karena buruknya perencanaan yang dilakukan oleh pengikut Ahmad bin
Nasr dan karena ia sendiri akhirnya ditangkap bersama sejumlah pengikutnya.
Penting untuk dicatat bahwa Ahmad bin Nasr dimejahijaukan karena pandangan
keagamaannya dan bukan karena tuduhan menghasut. Ia kemudian dieksekusi dan
kepalanya dipajang di hadapan publik untuk memperingatkan yang lain tentang
hukuman yang akan diterima jika membangkang kepada khalifah.[22]
Inkuisisi
yang berlarut-larut memperlihatkan adanya konfrontasi antara ulama dan khalifah
dalam mengklaim otoritas keagamaan. Penolakan Ahmad bin Hanbal untuk menerima
klaim keagamaan khalifah yang kemudian membuatnya dipenjara hingga akhir
hayatnya, membenarkan penolakan terhadap penyatuan otoritas negara dan agama.
seperti yang Lapidus ungkapkan:
"perdebatan
tentang status makhluk al-Qur'an menegaskan adanya pemisahan kelembagaan khalifah
dan komunitas, pemisahan otoritas di antara keduanya sekaligus memberikan peran
yang berbeda kepada masing-masing yang sebelumnya dimiliki oleh Nabi. Dengan
demikian, berbeda dengan bayangan ideal ummat Islam, kekhalifahan berkembang
menjadi institusi kerajaan dan militer yang disahkan dengan cara Byzantium dan
Sasanid, sementara para pemuka agama mengembangkan otoritas yang lebih lengkap
terhadap aspek komunal, personal, keagamaan dan doktrin dalam Islam."[23]
Isu yang akan
kita bicarakan dan sesuai dengan tujuan diskusi kita adalah mengenai hubungan
antara komunitas muslim dengan negara muslim. Bagaimana hubungan itu dibentuk
dalam rezim dan lokasi yang berbeda? Bagaimana ia berubah sepanjang waktu?
Seberapa besar pengaruh ulama terhadap perkembangan negara? Seberapa besar
kontrol negara terhadap ulama dan komunitas keagamaan?[24] Namun penting pula untuk
menekankan bahwa pembedaan antara lembaga keagamaan dan politik belum dikenal
oleh mayoritas ummat Islam saat itu. Meskipun, pemisahan kelembagaan ini ternyata
mendapat dukungan dari sejumlah ulama seperti al-Baqullani, al-Mawardi dan Ibnu
Taimiah. "Hasil terorisasi mereka adalah, negara bukanlah ekspresi
langsung Islam. Ia adalah institusi sekuler yang bertugas untuk menegakkan
Islam; komunitas ummat Islam yang sebenarnya adalah komunitas ulama dan orang
suci yang melaksanakan sunnah rasul dalam kehidupannya."[25] Pandangan ini selaras
dengan saran saya untuk menerapkan sekularisme sebagai sebuah prinsip yang
menjaga netralitas negara terhadap agama dengan tetap mempertahankan
keterhubungan antara Islam dan politik.
Nampaknya
kita perlu mempertimbangkan kembali dinamika sosial dan implikasi mihnah dalam kerangka teori Habermas
tentang "ruang publik" tempat ide-ide diperdebatkan dalam ruang
publik sehingga orang yang berbeda dapat mengakses dan berpartisipasi di
dalamnya. Dengan berpihak pada Mu'tazilah, al-Makmun telah mencabut legitimasi
atas kekuasaannya dengan menentang arus massa yang diwakili oleh Ahmad bin
Hanbal dan yang lainnya. Dari perspektif ini, jelas bahwa khalifah dan ulama
memperoleh ruang pengaruh yang berbeda dan kedua pihak memahami bahwa
artikulasi dogma keagamaan adalah wilayah ulama…mihnah dengan demikian merupakan akibat perseteruan antar tren
pemikiran ulama sekaligus konsekuensi kehendak khalifah yang ingin membentuk
doktrin."[26]
Relevansi pandangan ini untuk proposal kita adalah bahwa inkuisisi menandai
pentingnya otonomi "public reason"
dari otoritas negara, seperti yang nanti akan kita diskusikan dalam buku ini.
Pembedaan
antara Islam dan negara terkonsolidasikan dengan baik melalui kemunculan
kontrol militer terhadap kekhalifahan pada saat yang bersamaan. Kesulitan para
khalifah Abbasiyah dalam mengelola problem internal kekhalifahannya berakhir
dengan menurunnya loyalitas dan kesetiaan terhadap lembaga kekhalifahan di
Baghdad. Untuk merespon pemberontakan Syi'ah dan Khawarij di hampir seluruh wilayah kerajaan, khalifah Abbasiyah
mempekerjakan tentara budak untuk memperkuat kekuasaannya. Ketergantungan
terhadap Mamluk sebagai tentara dimulai pada masa pemerintahan al-Mu'tasim
(833-42), periode setelah pecahnya kekacauan pada masa al-Ma'mun berkuasa
sebagai khalifah.[27] Tentara non Arab dan para
komandan militer hanya memiliki sedikit kesetiaan kepada kekhalifahan sebagai
sebuah institusi, dan cenderung menganggap jabatannya sebagai sumber kekuatan
politik dan keuntungan ekonomi. Karena diharapkan menjadi mesin militer yang
efektif, Mamluk memang didorong untuk tidak berinteraksi dengan penduduk sipil
dan tetap diposisikan sebagai kekuatan asing.
Sebagai
contoh, para komandan dari suku Buwaihi yang berasal dari daerah Kaspia di Iran
memasuki Baghdad pada tahun 945. Walaupun Syi'ah, mereka mendukung dan berpihak
kepada khalifah al-Mustakfi. Suku Buwaihi berusaha mengelola perbedaan tren keagamaan
di Baghdad dengan melindungi minoritas Syi'ah. Mereka juga menggunakan otoritas
negara untuk mendukung prosesi peringatan syahidnya Imam Husain dan membuat
peringatan idul ghadir secara resmi,
peristiwa kontroversial dalam sejarah Islam yang dipercara syi'ah sebagai hari
ditunjuknya Ali sebagai pewaris kepemimpinan Nabi. Namun, suku ini juga
mempertahankan toleransi yang penuh terhadap golongan Sunni dengan mendukung
lembaga-lembaga utamanya, tidak mencampuri urusan-urusan ritualnya dan berusaha untuk tampil sebagai pemimpin
yang netral dalam suasana perpecahan. Yang paling penting adalah institusi
kekhalifahan tetap dipertahankan hingga karakter sunni yang melekat pada
kerajaan dan rezim pun tetap ada. Namun kurang dari satu abad kemudian, setelah
konflik internal di kalangan Buywaihi
mengganggu kemampuan mereka untuk memerintah, pasukan Seljuk dengan ambisi
mendirikan dinasti, menduduki Baghdad dan mendukung massa sunni dan ulamanya
untuk mengklaim diri sebagai penjaga ortodoksi.
Sejak saat itu, ulama menyerahkan otoritas
politik atau militer kepada rezim militer luar. Apakah itu Saljuk, Ayyubiyah,
Mamluk maupun Ottoman, namun tetap mempertahankan otoritasnya terhadap
institusi, doktrin dan praktik keagamaan. Yang saya sebut dengan model negosiasi
kemudian menguat dengan dua institusi besar yang bekerja dalam hubungan yang
saling menguntungkan; ulama mendukung negara militer sedangkan negara
melindungi daerah-daerah muslim. Pembesar-pembesar militer dan pejabat sipil
terkemuka mengamankan kerjasama mereka dengan komunitas keagamaan melalui wakaf
sekolah-sekolah agama, masjid, dan lembaga-lembaga komunitas muslim lainnya.
Model ini terus berlanjut hingga masa pra kolonial, dan sisa-sisanya masih
tetap ada hingga saat ini seperti
terlihat dalam dominannya kultur militer di negeri-negeri Muslim.
Sementara model seperti tadi berlaku di
Baghdad dan daerah-daerah sekitarnya, model pemerintahan lain berlaku di Afrika
Utara. Dinasti Fatimiah memulai kekuasaannya pada tahun 909 di Tunisia ketika
Ubaidillah al-Mahdi, seorang penganut Syi'ah Ismailiyah, mengklaim diri sebagai
satu-satunya pewaris sah Nabi dari keturunan Ali dan Fatimah (ahl
al-bayt). Gerakan itu, sebagaimana yang
nanti akan kita diskusikan, berusaha untuk menegakkan kembali penyatuan
kepemimpinan agama dan politik. Namun dinasti Fatimiah hanyalah salah satu
contoh kecendrungan yang berlaku umum di kawasan Afrika Utara saat itu karena
kawasan ini telah didominasi dengan model kepemimpinan seperti itu sejak
jatuhnya dinasti Umayyah. Penguasa muslim dari berbagai rezim di Afrika Utara
seperti dinasti Idrisiyah, Fatimiyah, al-Murabithun, dan al-Muwahhidun
mengklaim otoritas ketuhanan untuk berkuasa berdasarkan kualifikasi individu
dan keturunan Nabi. Dinasti Idrisiyah dan Fatimiyah adalah penganut syi'ah dan
sangat otoriter. Bahkan dinasti Fatimiyah mengklaim dirinya bebas dari dosa. Di
sisi lain, pemimpin gerakan al-Murabithun dan al-Muwahhidun, Syaikh Abdullah
Yasin dan Abdullah bin Tumart, hanya berusaha untuk menjalankan bentuk rigid
dari Islam.
Namun dalam
kasus Afrika Selatan itu, usaha untuk menegakkan model penyatuan antara
otoritas politik dan agama berakhir dengan kekerasan, ketidaktoleranan dalam
beragama, dan hilangnya stabilitas. Sebagai contoh, sarjana Yahudi terkemuka,
Maimonades, meninggalkan Afrika menuju Spanyol pada masa al-Muwahhidun
berkuasa. Masyarakat Islam di timur Iran dan Asia mengambil bentuk yang berbeda
sesuai dengan kondisi geografis dan demografis negerinya, dimana keluarga dan
suku merupakan faktor penting untuk organisasi sosial di tingkat lokal. Selain
itu, koalisi bersama yang disatukan oleh peninggalan sejarah dan budaya yang
sama nampaknya menjadi komponen yang fundamental bagi aparat negara di
daerah-daerah tersebut. Tetapi, mereka juga melindungi kelompok-kelompok
persaudaraan Sufi dan Syeikh daripada ulama profesional yang ada di pusat
kekuasaan Islam. Pola ini terus berlanjut sejak masa invasi Mongol sampai
periode pra-modern.
Sebagai
kesimpulan bagian ini, jelas bahwa model hubungan antara otoritas agama dan negara
beragam baik dari tingginya kontrol negara terhadap institusi-institusi sentral
keagamaan hingga hubungan yang lebih independen namun kooperatif, dan otonomi
penuh bahkan oposisi terbuka terhadap kebijakan negara".[28] Saya akan berusaha
mengklarifikasi dan mengilustrasikan pandangan ini dengan merujuk pada
pengalaman historis Mesir dari abad sembilan sampai empat belas masehi.
III.
Dinasti Fatimiyah
dan Mamluk di Mesir
Seperti yang sudah dicatat di bagian lalu,
saya tidak sedang berusaha untuk memaparkan sejarah dinasti Fatimiyah dan
Mamluk di Mesir secara umum. Tapi, saya akan memaparkan masing-masing periode
dan kemudian menandai aspek-aspek tertentu untuk memberikan ilustrasi mengenai
ketidakmungkinan penyatuan antara agama dan negara. Saya mengatakan demikian
bukan karena klaim penyatuan itu tidak pernah ada pada masa lalu karena dinasti
Fatimiyah jelas-jelas menyatakan bahwa mereka memiliki hak dari Tuhan untuk
berkuasa. Namun, jika pun demikian, tidak berarti bahwa klaim itu serta merta
menjadi sah atau realistis. Hal yang penting untuk kita catat adalah bahwa
klaim seperti itu tidak hanya gagal dalam tingkat praksis, tetapi juga tidak
mungkin berhasil karena adanya perbedaan fundamental antara otoritas agama dan
negara. Saya harap diskusi kita mengenai Imam-imam Syi'ah Ismailiyah pada
bagian awal bab ini (bagian yang membahas dinasti Fatimiyah) bisa menegaskan
hal yang saya sebut tadi. Bahaya negara yang berusaha untuk memaksakan otoritas
keagamaan, walaupun tidak membuat klaim eksplisit tentang itu, bisa menjadi
lebih jelas dalam diskusi kita tentang dinasti Mamluk berikut ini.
Selayang Pandang tentang Dinasti Fatimiyah di Mesir
Dinasti
Fatimiyah didirikan pertama kali pada tahun 909 di Afrika Utara (Tunisia
sekarang) oleh Ubaidillah yang dianggap sebagai Imam Mahdi oleh pengikut Syi'ah
Ismailiyah. Periode dinasti Fatimiyah di Mesir mulai ketika Jauhar, komandan
pasukan al-Mu'izz (Imam Syi'ah Dinasti Fatimiyah untuk periode 953-975)
menaklukkan negeri itu dan memasuki ibukotanya Fustat pada tahun 969. al-Mu'izz
sendiri baru memasuki Mesir 4 tahun berikutnya. Al-Aziz bin al-Mu'izz
memerintah dari tahun 975 sampai tahun 996, yang kemudian diikuti oleh al-Hakim
yang berkuasa selama 25 tahun (996-1021). Setelah al-Hakim dianggap menghilang,
atau menurut riwayat lain dibunuh oleh atas perintah saudara perempuannya, Sitt al-Mulk, anaknya al-Zahir
menggantikannya dan memerintah selama 15 tahun berikutnya (1021-1036). Masa
pemerintahan al-Mustansir yang cukup panjang (1036-1094) menyaksikan pecahnya
perang sipil yang berakhir dengan berkuasanya militer dalam pemerintahan. Sejak
saat itu, usaha-usaha yang dilakukan oleh para wazir, hakim, komandan militer,
dan gubernur adalah untuk meluaskan kekuasaan mereka melebihi kekuasaan
kekhalifahan Fatimiyah sendiri. 75 tahun berikutnya kita menyaksikan munculnya
6 imam yang berbeda, yang otoritasnya terus berkurang di tengah-tengah
perpecahan sekte, kup militer dan disintegrasi. Dinasti Fatimiyah berakhir
ketika Saladin, Komandan pasukan Bani Ayyub, menduduki kementrian dinasti
Fatimiyah dan mengumumkan kesetiaannya kepada Khalifah Abbasiyah di Baghdad
pada tahun 1171.
Pencitraan
diri dinasti Fatimiyah sebagai kekhalifahan dan institusi imamah yang sah
merupakan tanda untuk menegaskan keberlanjutan otoritas politik dan spiritual
yang dimiliki Nabi karena baik syi'ah Imamiyah maupun syi'ah Ismailiyah
mengidentifikasi bahwa kepala negara yang sah adalah wakil Tuhan di muka
bumi."[29]
Kualitas yang harus dicapai seorang imam agar bisa dianggap memiliki otoritas
ketuhanan tidak bisa dianggap remeh. Seorang Imam harus menjadi a'immat al-huda, imam keadilan yang bisa menjauhkan ummat
dari siksaan", "suar kebenaran dan pedoman… yang bersinar seperti
matahari dan bercahaya seperti bintang, dan menjadi pilar agama, rizki dan
kehidupan manusia."[30] Bagi orang awam, imam adalah sosok yang
sempurna dalam pelaksanaan shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan jihad,
mendapatkan bagian lebih dari ghanimah dan zakat, dan memutuskan pelaksanaan
hudud…pendek kata, ia lebih dari siapapun kecuali Nabi."[31] Karena imam juga dianggap
mendapatkan posisi istimewa dalam bidang keilmuan, maka seorang imam juga
dituntut untuk menjadi penjaga ilmu-ilmu keagamaan. Status ma'shumnya menjamin
ummat Islam untuk selalu mendapatkan bimbingan dari penguasa yang sangat adil
dan sempurna. Imam juga harus mempunyai kualitas mufahham artinya ia bisa dipahami oleh Tuhan, seperti Sulaiman yang
dideskripsikan dalam al-Qur'an.[32]
Namun dalam
praktiknya, upaya mewujudkan model kepemimpinan rasul itu tidak terreflesksikan
dalam sikap Imam-Imam Dinasti Fatimiyah cenderung menunjukkan sikap
materialitik di ruang publik. Mulai
tahun 990 M, penguasa selanjutnya yaitu, Khalifah al-Aziz, mengimplementasikan
prosesi festival ibadah (biasanya idul fitri) dimana khalifah berkeliling
dengan pasukannya dengan memakai pakaian berornamen brokat dan dilengkapi
dengan pedang dan sabuk emas. Para sedadu yang menunggangi gajah dan mengangkat
senjata berbaris di hadapannya. Khalifah sendiri berpawai dengan memakai tenda
yang dihiasi mutiara.”[33] Citra kemakmuran dan
kekuasaan yang diperlihatkan di hadapan publik yang kelaparan nampaknya memang
digunakan untuk menegakkan otoritas keagamaan khalifah.
Sebagai
contoh, dalam prosesi idul fitri, khalifah, para pejabat tinggi dan hakim yang
berpakaian mewah layaknya sedang melakukan peragaan busana, keluar dari istana
ke lapangan dimana shalat idul fitri yang diikuti oleh khalayak ramai
diselenggarakan. Sepanjang prosesi, takbir tak henti dikumandangkan hingga sang
Khalifah memasuki tempat shalat. Sebagaimana pengamatan para sejarawan saat
itu, karena panggilan untuk melaksanakan shalat id tidak membutuhkan adzan,
tapi cukup dengan takbir, “maka dapat kita katakan bahwa pelaksanaan shalat id
dimulai sejak datangnya khalifah dan bahkan prosesi kedatangan khalifah pun
menjadi bagian dari perayaan shalat id.”[34] Qadi al-Nu’manlah yang
pertama kali membuat Muslim mengasosiasikan pertunjukkan ini sebagai bagian
dari doktrin syi,ah Ismailiyah karena ia
mengklaim adanya hubungan yang mendalam antara shalat jum’at, idul fitri,
idul adha dan peran imam dalam seluruh missi Islam. Bisa saja kita menganggap
klaim seperti itu hanya terjadi pada Syi’ah Ismailiyah atau Syi’ah Fatimiyah
dan konteks historisnya. Namun seperti yang akan saya tekankan nanti, ciri-ciri
seperti itu ada dalam setiap usaha mengkombinasikan otoritas politik dan agama.
Apapun sebutannya: imam, khalifah ataupun presiden, penguasa yang mendasarkan
otoritas politiknya pada klaim keagamaan akan selalu mencari cara untuk
mengasosiasikan kekuasaan mereka dengan otoritas Islam yang suci.
Aspek lain
yang membuat asosiasi seperti ini berbahaya adalah karena asosiasi semacam itu
mengharuskan penguasa untuk mengakumulasi kekayaan dengan menggunakan
kekuasaannya untuk mendapatkan patronase politik atau untuk tujuan-tujuan
lainnya. Dalam kasus Dinasti Fatimiah, sumber-sumber keuangan dinasti ini
didapat dari hampir toko-toko yang disewakan bulanan di Kairo, tempat mandi,
gedung pernikahan, kebun buah-buahan, lebih dari 8.000 bangunan, tanah pedesaan
dan lain sebagainya. Sumber-sumber itu, tentu saja, hanya merupakan bagian dari
perdagangan milik pribadi imam yang meliputi seluruh pelabuhan dan armada laut.[35] Sebagai penentu semua urusan negara, “Imam
Fatimiyah juga bertanggung jawab terhadap perlengkapan dan peralatan tentara.”[36] Tanggung jawab ini tidak sejalan dengan
posisi Imam sebagai pemimpin spiritual karena sistem militer yang mempekerjakan
budak pada saat itu membutuhkan dana yang sedikit lebih tinggi daripada biaya
untuk mendapatkan perbekalan dan pembayaran honor tentara bayaran.[37] Selain membayar tentara, imam juga nampaknya harus membayar gaji
pegawai negara.[38] Namun, justru penyatuan fungsi penguasa
militer dengan simbol keagamaan yang tertinggi dalam negara inilah yang harus
kita perhatikan sebagai bahan pertimbangan untuk melihat karakter opresif
sebuah rezim militer. Permusuhan antara kelompok militer yang beranggotakan
budak pecah menjadi peristiwa penuh kekerasan karena adanya ketegangan rasial
dam perlakuan negara yang diskriminatif dan diperparah oleh terlibatnya
masyarakat umum.[39]
Sekedar
penjelasan singkat, institusi-institusi peradilan dinasti Fatimiyah terdiri
dari pengadilan umum(qada),
pengadilan privat (mazalim), pengadilan publik (hisbah),
dan polisi (shurta).* Semua institusi ini berada di bawah
pengawasan Hakim Agung (qadi al-qudat).
Hakim agung dinasti Fatimiyah bertanggung jawab atas seluruh lembaga-lembaga
yang sama di seluruh provinsi, walaupun berada di bawah kebijaksaan khalifah.
Namun ada beberapa daerah yang dikuasai oleh kekuatan politik lain seperti
Palestina yang saat itu berada di bawah kekuasaan al-namun tidak berada di
bawah pengawasan Hakim Agung Abi al-Awwam yang bermazhab Hanbali. Tentara juga
tidak harus tunduk kepada Hakim Agung, tetapi mereka menjadi pelindung
yurisdiksi mazalim, jika dianggap
akuntabel.[40]
“Tanggung jawab hakim agung juga bisa diperluas sampai ke persoalan agama
seperti menjadi imam shalat, pengurusan masjid dan jenazah, dan juga tanggung
jawab lain seperti mengepalai kantor percetakan uang (dar al-darb), mengawasi standar timbangan (mi'yar), dan mengurusi baitul mal.”[41] Penyatuan peran peradilan
dan tanggung jawab keuangan ini memberikan kesempatan kepada aparatur negara
untuk menyalahgunakan kekuasaan. Otoritas yang dimiliki mazalim memperlihatkan hak pregoratif khalifah untuk
menginvestigasi pengaduan-pengaduan individual tentang ketidakadilan,
kekeliruan administratif yang dilakukan oleh pejabat negara dan menyelesaikan
keluhan-keluhan seperti itu tanpa harus mengikuti prosedur yang biasa berlaku.
Perwakilan dari seluruh departemen hadir pada saat pengadilan mazalim, yang
juga menjadi tempat yang tepat untuk menyortir dan mendistribusikan keluhan
kepada pejabat negara terkait.[42]
Kepala
polisi, sahib al-shurta, diharapkan
untuk memperlakukan orang secara setara, menjaga hak-hak korban ketidakadilan,
mengeksekusi hukuman yang ditetapkan, dan menghadirkan pihak-pihak yang terkait
dengan kasus ke hadapan hakim jika diperlukan. Ia memegang fungsi-fungsi jaksa,
pengintegorasi, algojo (pelaksana hukuman) dan pengelola penjara.[43] Meskipun kepala polisi
seharusnya ada di bawah kendali Hakim Agung, sebetulnya ada ketegangan yang
cukup besar antara pejabat negara yang berada di dua departemen yang berbeda
itu menyangkut batas-batas otoritas mereka dalam penyelenggaraan hukuman hudud.[44]
Insitusi
kenegaraan lain yang terdapat pada masa Dinasti Fatimiah adalah al-muhtasib. Institusi ini muncul pada
masa Dinasti Fatimiah di Mesir dan terus berkembang di bagian negara lain.
Terlepas dari perbedaan pendapat yang menyatakan bahwa institusi ini berasal
dan berkembang dari masa pra-Islam, jelas bahwa peran al-muhtasib (orang yang mengeksekusi aturan hisbah) telah mapan
pada akhir abad ke 4 sebagai satu-satunya lembaga sensor, pengawas pasar, dan
juga penjaga moral publik berdasarkan aturan amar ma’ruf nahyi munkar.[45] Seorang pelaksana hukum
hisbah menjadi figur sentral di mata publik karena ia memegang otoritas yang
sangat besar baik sebagai pegawai pemerintahan maupun sebagai otoritas
keagamaan yang bertugas menjaga kepentingan dan moralitas publik. Pasar (suq) yang menjadi wilayah kekuasaan
muhtasib, menurut manual hisbah yang dibuat oleh Ibnu Abdun, dianggap mewakili
seluruh kehidupan sosial.[46]
Muhtasib
merupakan bagian dari pegawai lembaga peradilan karena penunjukkannya merupakan
tanggung jawab hakim agung (qadi al-qudat).
Dengan demikian, muhtasib juga merupakan institusi keagamaan (wadzifa diniyah). Ia ditempatkan di
Masjid Agung di Kairo dan Fustat untuk mendengarkan pengaduan dalam pengadilan
mazalim. Penempatan ini memperlihatkan penitngnya posisi muhtasib dalam sistem
peradilan dinasti ini.[47] Namun karena kekuasaan
muhtasib dianggap memiliki fungsi religius, maka orang yang ditunjuk sebagai
muhtasib harus memiliki kualitas moral yang tinggi.[48] Ia berkewajiban dan
diberi otoritas untuk menjatuhkan hukuman ta’zir, meskipun hudud tidak berada di bawah mandatnya secara langsung.[49] Begitu penting dan
besarnya jabatan ini tercermin dari terpilihnya wazir atau imam itu sendiri
untuk menduduki posisi ini. al-Hakim, Menteri Ibu Killis, dan hakim Ali bin
al-Nu’man misalnya pernah menduduki jabatan ini.[50] Namun fakta ini juga
mencerminkan bahwa otonomi dan indepensi jabatan ini terbatas dan bahwa
institusi ini mencoba menggabungkan otoritas keagamaan dan politik.
Dengan
demikian, peran muhtasib dalam sejarah Fatimiyah sebagai pengawas tidak hanya
terbatas pada pasar (suq) saja, namun
meliputi semua aspek yang berkaitan dengan produksi, distribusi, dan impor
produk makanan. Jabatan muhtasib menjadi
istimewa karena ia tidak hanya menjadi badan arbitrase perdagangan tetapi juga
agen pemerintah dan sekaligus pelaku yang aktif (karena bisa melakukan
monopoli) dalam aktivitas perdagangan masyarakat Mesir saat itu.[51] Pemerintah mendapatkan
gandum dengan membelinya dari pasar bebas, kemudian menanamnya di ladang-ladang
pribadi milik imam, dan kadang-kadang memonopoli komoditas sehingga harus
berhadapan dengan para pedagang yang menjualnya.[52] Karena hal itulah,
membedakan milik pribadi, kepentingan penguasa dan domain publik menjadi sulit.[53] Peran muhtasib sebagai agen negara bagi
publik dan simbol keagamaan merupakan hal yang problematik. Praktik penjualan
gandum oleh elite penguasa pada masa dinasti Fatimiyah lebih bertujuan untuk
mencari keuntungan sendiri dan mengabaikan permintaan rakyat miskin.[54]
Seperti yang
terlihat dalam fungsi muhtasib sebagai pengumpul pajak dan penjaga moralitas
publik, masalah yang potensial muncul dari penyatuan antara insitusi keagamaan
dan negara adalah ketidakjujuran dan korupsi. Ulama-ulama seperti al-Mawardi
dalam al-Ahkam al-Sultaniyyah,
menggambarkan tanggung jawab muhtasib meliputi
penyelenggaraan shalat, puasa, membayar zakat, termasuk pengaturan urusan
moralitas publik seperti pengaturan penyatuan laki-laki perempuan di ruang
publik, mabuk di muka umum, atau pengunaan alat-alat musik. Fungsi-fungsi itu
diselengarakan dengan cara paksa di jalan-jalan kota Kairo dan kota lainya.[55] Ada pula hukum resmi yang
berkaitan dengan warga dzimma seperti
larangan untuk menunggang kuda atau keledai dalam kota, atau kewajiban untuk
memakai baju yang berbeda dan mengalungkan lonceng di leher jika memasuki
tempat mandi umum (hammam).[56] Saya akan mengulang
penjelasan mengenai hal ini di bagian lain.
Pengaruh dinasti Fatimiyah terhadap Institusi Peradilan dan Keagamaan
Penjelasan mengenai dinasti Fatimiyah dan
institusi-institusinya diatas diharapkan bisa menjadi latar dan konteks untuk
penjelasan utama kita dalam bagian ini tentang konsekuensi penyatuan otoritas
agama dan politik. Walaupun dinasti Fatimiyah memerintah Mesir selama dua abad,
mazhab Syi'ah yang dianut oleh negara tidak pernah benar-benar tersebarkan
kepada masyarakat banyak, dan mayoritas masyarakat Mesir tetaplah penganut sunni. Jadi, apa
konsekuensi dari patronase rezim fatimiyah terhadap mazhab Syi'ah dan apa implikasinya terhadap model penyatuan
otoritas agama dan politik yang dipakainya?
Pada saat
penaklukkan Jawhar al-Mishriyyah, gubernur militer dinasti Fatimiyah,
menawarkan surat jaminan keamanan (aman)
kepada para bangsawan kota Fustat (kelak kota ini dijadikan ibu kota Dinasti
Fatimiyah) untuk memuluskan jalan bagi terlaksananya program-program politik
rezim baru, termasuk pengaturan kehidupan keagamaan masyarakat.[57] Referensinya kepada sunnah dan persatuan
Islam jelas sesuai dengan interpretasi khas Ismaili yang dirumuskan oleh
Jauhar. Pada hari pertama penaklukkan, nama khalifah Fatimiyah, al-Muizz, yang
saat itu masih berkuasa di Tunisia disebut-sebut dalam khutbah Jum'at di masjid
Agung Fustat. Ini juga dimaksudkan sebagai cara untuk memperlihatkan keinginan
rezim baru untuk menegakkan citra Islam dengan cara mengembalikan fungsi
kota-kota suci dan keadilan di negeri-negeri Islam.[58] Penyebutan nama khalifah
al-Mu'izz dan khalifah-khalifah setelahnya, walaupun bukan fenomena baru,
merupakan simbol yang amat kuat bagi dinasti Fatimiyah untuk mengklaim otoritas
keagamaan dan politik dan menentang
dinasti Abbasiyah. Klaim otoritas politik juga dilakukan dinasti ini dengan
membuat uang logam yang berpahatkan nama al-Mu'izz dan penguasaan keluarga
Jawhar atas pengadilan mazalim. Setelah kekuasaan di Fustat mulai stabil, Hakim
Agung membagikan infak kepada warga di
masid Agung Fustat sebagai cara untuk memperlihatkan keagungan dan
keberadaan rezim Fatimiyah baru.[59]
Selain model
ini, ada pula model penyatuan institusi agama dan politik yang lebih tingi
tingkatnya yaitu ketika 2 masjid agung mencampurkan fungsi keagamaan, sipil dan
administratif sementara pada saat yang sama istana khalifah atau imam dipandang
sebagai tempat yang tepat untuk proses diseminasi pengetahuan. "Hakim
agung Muhammad bin an-Nu'man mengajar ilmu ahlul bait disana. Begitupun para
da'i. Selain di Istana, mereka pun memberikan kuliah di al-Azhar.[60] Khalifah atau Imam sering
menjadi kurator dan patron bagi berbagai institusi dan aktivitas keagamaan
seperti wakaf masjid, perpustakaan dan sekolah disamping ia juga menjadi tuan
rumah penyelenggaraan kuliah umum atau debat seperti menteri-menteri sipilnya.[61]
Dalam proses
perdebatan dan perselisihan (munazarat), "para oposan dihadapkan pada
otoritas negara untuk diinterogasi, atau paling tidak, untuk menjawab sejumlah
pertanyaan mengenai masalah-masalah pemahaman dan interpretasi agama."[62] Prestise negara
dipertaruhkan dalam peristiwa semacam itu .[63] Adapula majlis keilmuan
(majlis al-ilm dan majlis alhikma) yang menjadi wahana untuk penumbuhan,
pengembangan dan pengajaran mazhab syi'ah ismailiyah. [64] Dar al-Hikmah, misalnya,
didirikan tahun 1005 dengan sebuah perpustakaan besar. Ia berfungsi sebagai
sekolah tempat berbagai cabang ilmu termasuk teologi, filsafat, kedokteran,
astronomi dan bahkan hukum sunni diajarkan. Dar al-hikmah juga berfungsi
sebagai pusat pelatihan bagi para da'I syi'ah Ismailiyah. Kuliah-kuliah yang
diselenggarakan di Dar al-Hikmah ditujukan tidak hanya bagi kalangan Syiah
Ismailiyah tetapi juga bagi kalangan non-Syi'ah Ismailiyah."[65] Lembaga ini kemudian
diwakafkan setelah berdiri selama lima tahun sebagai upaya pemberian otonomi
kepada para ulama sunni dan syi'ah. Satu abad kemudian, ketika dua orang ulama
mulai mengajarkan teologi asy'ariyah dan ajaran-ajaran yang terinspirasi oleh
al-Hallaj, "Wazir al-Afdal memerintahkan penahanan kedua orang itu dan Dar
al-Ilm pun ditutup."[66] Sejak saat itu, Dar al-ilm mulai dipimpin
oleh para da'I ismailiyah dan akhirnya dihancurkan oleh Salahuddin ketika ia mengakhiri
kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mesir.[67]
Dinasti
Fatimiyah mulai mengadakan penyesuaian praktik dan kepercayaan agama di Mesir
secara bertahap termasuk dengan cara memperkenalkan cara adzan Syi'ah.[68] Namun sejak awal,
nampaknya ada resistensi dan negosiasi dari kalangan sunni. Sebagai contoh,
dalam khutbah jum'at, imam shalat dari kalangan sunni menyebutkan nama Jawhar,
penguasa militer dinasti Fatimiyah, namun tidak menyebutkan nama al-Mu'izz,
Imam Syi'ah masa dinasti Fatimiyah. Dengan demikian, "ia berusaha untuk
menegosiasikan batas-batas antara politik dan agama yang tidak jelas itu, untuk
mengakui adanya pengaruh politik. Namun pada saat yang sama, ia pun menolak
otoritas spiritual."[69] Imam-lokal dengan
demikian mendeklarasikan kesetiaannya kepada penguasa militer Dinasti Fatimiyah
sebagai otoritas yang sah secara de fakto, namun menolak otoritas keagamaannya.
Kebiasaan
dinasti Fatimiyah yang lebih menyukai menggunakan hisab untuk menentukan akhir
Ramadhan daripada ru'yah langsung
dilembagakan walaupun masyarakat dan ulama sunni tidak ikut dalam tradisi itu sampai setahun
kemudian.[70]
Ada laporan yang menyebutkan bahwa Hakim Barqa dihukum mati pada tahun 953 oleh
al-Mu'izz karena melakukan observasi ru'yah untuk menentukan awal puasa
Ramadlan, daripada dengan menggunakan perhitungan astronomi yang biasa
dilakukan oleh Sang imam.[71] Seorang laki-laki juga
dihukum karena ia melakukan qunut, mungkin pada saat shalat Tarawih.[72] Namun hukuman-hukuman ini
nampaknya tidak pernah tercatat terjadi di Mesir, mungkin demi menjaga hubungan
politik dengan kalangan mayoritas sunni.
Ritual syi'ah
lain seperti perayaan Id al-Ghadir dan Ashura yang biasanya menjadi lebih
publik dan provokatif bagi kalangan sunni, juga menguat di bawah perlindungan
dinasti Fatimiyah. Nampaknya baru di tahun 973, perayaan Id al-Ghadir diakui
secara formal keabsahannya, seperti sebelumnya pernah terjadi pada masa Dinasti
Buwaihi di daerah Timur.[73] Perayaan Ashura mulai
diformalkan pada tahun 970 walaupun berakhir dengan terjadinya kekerasan dengan
komunitas sunni.[74] Selama perayaan ashura 1005, mereka yang
mengikuti perayaan berkumpul di Masjif al-Amr dan setelah melakukan shalat
juma't mereka memenuhi jalan dan meneriakkan kutukan kepada para sahabat Nabi.
Untuk meredam kericuhan, petugas menahan dan menghukum seorang laki-laki dan
mengumumkan kepada khalayak bahwa hukuman yang sama akan ditimpakan bagi
siapapun yang mengutuk Aisyah dan Abu Bakar lagi.[75] Walaupun perayaan Ashura
dilaksanakan di luar kota oleh qadi dinasti Fatimiyah, namun perayaan itu terus
menimbulkan kerusuhan di dalam kota.[76] In 1009, al-Hakim
melarang perayaan Ashura dan kemudian menunjuk seorang alim dari kalangan
Hanbali untuk menempati posisi Hakim Agung untuk meredam oposisi sunni. Namun,
beberapa perayaan syi'ah yang lain seperti malam rajab dan sya'ban, maulid nabi
dan maulid para Imam Syi'ah Ali, Hasan dan Husein tetap disponsori oleh negara.
Pembuatan kalender yang khas ini memang hanya mungkin dicapai dengan adanya
infrastruktur negara yang kuat yang mempergunakan sumberdaya untuk
mengimplementasikan dan memanipulasinya. Penggunaan kekuasaan seperti ini
biasanya ditentang dan dikritik keras oleh para ulama.
Dinasti
Fatimiyah perlahan namun pasti mulai memaksakan doktrin syi'ah Ismailiyah di
negeri itu melalui institusi peradilan. Seperti yang terlihat dalam kasus Abu
Tahir (Hakim agung Mazhab Maliki yang sudah ada di Mesir sebelum Dinasti
Fatimiah menaklukkan negeri ini). Walaupun Jawhar langsung berusaha untuk
menerapkan hukum syi'ah Ismailiyah dalam kasus perceraian dan warisan, namun
Abu Tahir, hakim agung mazhab Maliki, masih diperkenankan untuk menjabat
sebagai hakim di Fustat karena ia setia kepada Jawhar dan al-Mu'izz. Di samping
itu, abu Tahir juga bisa mempertahankan jabatannya sebagai Hakim Fustat meskipun
Qadi al-Nu'man datang dan bertanggung jawab atas tentara Dinasti Fatimiyah dan
kasus-kasus mazalim. Namun, qadi
berikutnya, Ali bin Nu'man, dengan bantuan khalifah yang berkuasa saat itu,
Al-Aziz, bisa menyingkirkan Abu Tahir hingga semua kewenangan yang
dimilikinya jatuh ke tangan Ali bin
Nu'man yang menjabat sebagai Qadi baru. Ali bin Nu'man kemudian menunjuk
saudaranya, Muhammad, sebagai deputi dan mereka bersama-sama menerapkan hukum
dinasti Fatimiyah di Kairo, Fustat dan di kota-kota lainnya. Muhammad bin
Nu'man mengangkat seorang ahli hukum Syi'ah Ismailiyah di Masjid Agung untuk
memberikan fatwa sesuai dengan ketentuan hukum dinasti Fatimiyah dan menekan
oposisi dari kalangan sunni.[77] Dengan demikian, pada
masa-masa awal, Dinasti Fatimiyah memang nampak enggan menentang elite-elite
agama yang sudah ada, namun mereka terus mengkonsolidasikan kekuasaannya ketika
mereka mulai lebih stabil. Untuk untuk tujuan diskusi kita pada bagian ini,
kita bisa katakan bahwa pendekatan Dinasti Fatimiyah terhadap isu ini murni
tindakan politis.
Watak
otoriter kekuasaan Imam dalam dinasti Fatimiyah Mesir berarti bahwa birokrat
sipil, bahkan yang berpangkat tinggi sekalipun, harus mencari dukungan dari
jaringan personal dan profesionalnya. Kebiassan ini akhirnya menyebabkan
terjadinya korupsi dan nepotisme.[78] Strategi yang umum
digunakan, seperti yang sudah disebutkan tadi, adalah melalui pemberian
dukungan kepada ulama-ulama dan ilmu-ilmu keagamaan. Cara ini misalnya
dilakukan oleh Ibnu Killis, menteri dinasti Fatimiyah yang awalnya Yahudi dan
baru masuk Islam, dengan mempekerjakan para sarjana dan intelektual yang
berpartisipasi dalam berbagai forum-forum munazharat.[79] Namun penting untuk
diperhatikan, posisi Ibnu Killis ketika melakukan tindakan itu tidak jelas,
apakah ia melakukannya sebagai bentuk kedermawanan personal atau dalam
posisinya sebagai menteri?[80] Para khalifah tentu saja
mengembil peran langsung dalam patronase semacam itu, seperti yang dilakukan
al-Hakim dengan dar al-ilminya, atau dengan mengalokasikan sejumlah besar uang
bagi dua masjid agung dan masjid lainnya walaupun masjid-masjid tersebut tidak
memberi pemasukan.[81] Al-Hakim juga membangun masjid al-Hakim yang
berisi sejumlah inskripsi yang menggambarkan keagungan Sang Imam dan dianggap
setara posisinya dengan masjid-masjid yang ada di Mekah, Madinah dan
Jerussalem.[82]
Inovasi keagamaan yang dilakukan oleh dinasti Fatimiyah Mesir ini berakar pada
struktur hirarkis syi'ah Ismailiyah yang sudah ada sebelumnya. Kadang-kadang
negara mencoba memaksakan pelaksanaan doktrin-doktrin Syiah Ismailiyah pada
rakyat banyak, seperti dengan menekan perkembangan mazhab-mazhab lain dan
mengharuskan setiap orang untuk menghapal isi buku-buku fiqih Syiah Ismailiyah.[83] Namun usaha-usaha semacam
itu ditentang oleh menteri-menteri dari kalangan sunni dan kristen seperti
dalam kasus pendirian sejumlah madrasah pada abad ke-12 oleh dua orang menteri
sunni yaitu Ridwan dan Sallar.[84]
Dinasti "Bahri" Mamluk di Mesir
Korps militer
Mamluk yang terdiri dari para budak mendapatkan prestise yang cukup besar pada
masa dinasti Fatimiyah dan Ayyubiyah meski mereka tak pernah mendapatkan
kekuasaan untuk diri mereka sendiri. prestise tertinggi dicapai pada tahun 1260
ketika mereka mengalahkan pasukan Mongol di Ain Jalut, selatan Damaskus.[85] Karena kekuasaan dan
status Mamluk tergantung pada penguasa atau ologarki dominan yang bertanggung
jawab atas pembelian, pelatihan dan pengurusan mereka, maka Mamluk merupakan
mesin militer yang efektif digunakan oleh sejumlah negara penjajah untuk
menekan pemberontakan maupun mempertahankan diri dari serangan luar. Namun
status mereka sebagai budak juga menimbulkan ketegangan sosial serta kerusakan
struktur politik dan ekonomi di negara-negara tempat mereka mengabdi.[86]
Pasukan
mamluk adalah pendukung setia ortodoksi sunni, bahkan mereka menyandang gelar
kesetiaan kepada Khalifah yang membuat mereka menjadi simbol kesatuan sunni
menjadi kekuatan politik independen. Mereka juga menyandang image sebagai
pelayan atau penjaga sunni Islam bahkan pada saat mereka menjadi penguasa.
Serdadu Turki misalnya digunakan oleh Dinasti Saljuk untuk mempertahankan Islam
sunni dari ancaman Syi'ah yang terus meningkat ketika berdirinya
dinasti-dinasti Buwaihi, Haman, Fatimiyah dan Qamaritiyah. Kombinasi kesetiaan
terhadap sunni dan kemampuan militer membuat mamluk menjadi penekan yang keras
bagi elemen-elemen non sunni dalam masyarakat Islam termasuk ahl al-dzimma dan
pengikut Syi'ah. Namun pada 1517, seluruh kesultanan Mamluk berakhir oleh
serangan militer Dinasti Utsmaniyah.[87] Dalam bagian ini, saya
akan mereview institusi kepemimpinan, administrasi dan keagamaan Dinasti Mamluk
Bahri di Mesir untuk menekankan adanya ketegangan hubungan antara otoritas dan
institusi politik dan agama dalam salah satu periode sejarah Islam.
Kesultanan
Mamluk dikuasai oleh beberapa komandan (amir) dengan oligarki yang esklusif dan
memiliki kekuasaan politik/militer berdasarkan kekuatan resimen militer Mamluk
yang dimilikinya. Tidak hanya kalangan elite, dalam hal ini Sultan, bahkan
semua elite militer berasal dari budak atau orang asing yang dibeli dan
dibesarkan sebagai budak kemudian dilatih sebagai tentara dan tenaga
administratif. Karena mereka tidak mempunyai keluarga atau hubungan apapun di
daerah tersebut, maka mereka sangat setia kepada tuannya dan mengabdi dengan
sangat baik di kemiliteran. Rezim mamluk mengandalkan sumber keuangannya dari
sistem iqta dimana mereka bisa
mendapatkan hasil tanah namun tidak mempunyai kekuasaan untuk mengaturnya.[88] Seperti Dinasti Ayyubi dan Seljuk, dinasti
Mamluk juga tidak mempunyai justifikasi lain untuk berkuasa selain kekuatan
militer yang mereka miliki. Dengan demikian legitimasi yang mereka dapatkan
untuk dinasti mereka berasal dari klaim mereka sebagai penjaga Islam.
Dominannya berbagai dinasti Mamluk sejak abad 10 di Baghdad dan di beberapa
daerah Islam lain diikuti dengan berkuasanya Turki Utsmani yang membuat
institusi negara menjadi institusi sekuler yang tersendiri.
Kampanye
militer terhadap tentara salib, wakaf bagi institusi keagamaan dan perlindungan
terhadap tanah-tanah ummat Islam merupakan simbol-simbol publik yang sengaja
ditampilkan untuk menekankan pengabdian Mamluk terhadap Islam. Ribuan ulama
dilatih, dihidupi, diajari di institusi-institusi tersebut dan dijamin
kehidupannya dari waqaf-waqaf yang dikelola oleh Dinasti Mamluk. Walaupun
Amir-amir itu memiliki tujuan-tujuan keagamaan, namun ada motivasi politik yang
jelas terlihat dalam wakaf-wakaf tersebut terutama untuk mendapatkan legitimasi
keagamaan bagi elite yang sedang berkuasa dan jajaran aparatnya.[89] Selain memberikan wakaf
kepada institusi pendidikan agama, para penguasa Mamluk juga menekankan
pentingnya kehadiran mereka di kota suci Mekah dan Madinah dengan
menyelenggarakan festival haji tahunan dan berperan sebagai pelindung utama Ka'bah.
Tahun 1281 misalnya, Sultan Qalawun melakukan perjanjian dengan suku Qatadah
yang saat itu bertanggung jawab atas pengurusan kota Mekah untuk memasangkan
kelambu khusus yang dikirim dari Mesir pada Ka'bah dan memasang lambang-lambang
kerajaan Mamluk di depan lambang-lambang penguasa Muslim lain.[90]
Karena Mamluk
tidak mempunyai klaim yang independen bagi kekuasaannya, mereka mengunakan
beberapa tokoh pemimpin untuk mengontrol negara. Tahun 1261 setelah Baghdad
jatuh ke tangan Mongol pada tahun 1258, Sultan al-Zahir Baybars mendukung klaim
al-Mustansir atas dinasti Abbasiyah. Ia mengundang al-Mustansir ke Mesir dan
melantiknya sebagai Khalifah. Sebagai imbalan, Khalifah al-Mustansir mengakui
Baybars sebagai sultan.[91] Sultan kemudian mengirim
khalifah ke Baghdad untuk menghadapi kehadiran Mongol di Ibukota Islam
tersebut. Ketika al-Mustansir terbunuh dalam ekspedisi mematikan itu, sultan
kemudian menggantinya dengan melantik al-Hakim sebagai khalifah pada tahun
tersebut. Namun kekhalifahan al-Hakim memang hanya merupakan kegiatan
seremonial dan lebih banyak diwarnai dengan penahanan rumah. Walaupun
sultan-sultan Mamluk umumnya melakukan pengawasan yang ketat terhadap para
Khalifah yang mereka angkat dan memperlakukan mereka hanya sebagai pelengkap
acara-acara publik, mereka tetap sadar akan potensi kekuasaan politik dan
ancaman yang mungkin muncul dari khalifah-khalifah tersebut. Karena mereka
tidak memiliki gelar untuk berkuasa kecuali kekuatan pemaksa, dinasti Mamluk
menggunakan simbol keagamaan Khalifah untuk maksud-maksud politik mereka
melalui menampilkan khalifah-khalifah rekaan mereka.[92]
Perkembangan
hubungan antara institusi politik dan agama yang cukup signifikan terjadi pada
saat transformasi lembaga peradilan yang
dilakukan oleh Sultan al-Zahir Baybars (1260-77). Baybars melakukan perubahan
tersebut pada periode 1262-1265 dengan merubah komposisi majelis hakim yang
biasanya diisi hanya oleh seorang hakim agung yang bermazhab syafi'I dengan
memberikan tempat yang sama kepada hakim dari tiga mazhab lain, dengan demikian
majelis hakim terdiri dari 4 orang hakim dari empat mazhab sunni. Keputusan ini
nampaknya disebabkan beberapa hal termasuk keinginan Baybars untuk mendapatkan
dukungan dari kalangan sunni yang bermazhab Maliki, Hanafi dan Hanbali yang memang
menjadi mayoritas pada saat ia naik tahta. Dengan melakukan hal itu, ia juga
bermaksud untuk mengarahkan mereka untuk berkonfrontasi dengan hakim bermazhab
Syafi'i yang saat itu sangat berkuasa yaitu Taj al-Din bin Bint al-A'zz.[93] Episode ini sengaja saya
ungkapkan untuk memperlihatkan peran negara untuk menegosiasikan kekuasaannya
dengan institusi keagamaan dalam rangka mendapat legitimasi dan juga peran
negara untuk memediasi sejumlah institusi keagamaan dalam tradisi sunni.[94]
Kompetisi
antara para ulama untuk mendapatkan atau menarik dukungan terhadap negara
memperlihatkan betapa kompleksnya hubungan antara institusi agama dan negara.
Walaupun berbagai mazhab memiliki ketentuan-ketentuan khusus dalam
menyelesaikan masalah-masalah fiqih, mereka membutuhkan dukungan sukarela atau
kekuasaan negara untuk mengimplementasikannya. Sifat hirarkis lembaga peradilan
membagi hakim ke dalam dua kategori yaitu hakim ketua dan hakim deputi. Hakim
ketua memberikan otorisasi terhadap keputusan para deputi agar putusan tersebut
bisa dicatat dalam daftar hukum pengadilan (diwan
al-hukum) dan dengan demikian bisa dilaksanakan oleh negara.[95] namun bila deputi yang
mengeluarkan keputusan tidak menganut mazhab yang sama dengan hakim ketua, maka
hakim ketua tetap berkewajiban untuk melaksanakan keputusan itu. Namun
minoritas hakim bermazhab syafi'I tidak mengizinkan hal tersebut karena itu
berarti melanggar aturan mazhab orang lain. Dengan demikian, bila seorang hakim
bermazhab syafi'i menduduki jabatan tertinggi daalam struktur pengadilan, dia
tidak akan mengeimplementasikan keputusan yang dihasilkan oleh hakim dari
mazhab lain. Karena pada saat Baybar naik tahta, jabatan hakim ketua dipegang
oleh hakim bermazhab syafi'i yang memiliki pandangan seperti yang tersebut di
atas, maka ia mulai memutuskan untuk menunjuk hakim agung lain yang mewakili
kelompok-kelompok sunni yang bisa menerima keputusannya.[96] Kebijakan ini memberikan
keuntungan politis yang sangat jelas bagi penguasa-penguasa Mamluk. Mereka tidak hanya menerima ucapan terimakasih dan
kesetiaan dari kelompok-kelompok mazhab baru di lembaga peradilan yang tentu
bisa membuat keputusan yang sesuai dengan kepentingan mereka, tetapi juga
mereka bisa mempengaruhi khalayak banyak untuk menerima keberadaan mereka
sebagai penguasa yang berasal dari tentara budak asing.[97] Pada saat perang, rezim
Mamluk mengandalkan dukungan ulama untuk memberikan mereka izin untuk memungut
pajak baru dan mengalihkan dana wakaf untuk kepentingan perang.[98]
Mari berbalik
sejenak untuk melihat kewenangan muhtasib dalam periode Fatimiyah, posisi ini
tetap memiliki fungsi yang sama di bawah kekuasaan Mamluk yaitu menjadi penjaga
moral publik, pengawas pasar dan sekaligus pengumpul pajak. Pada masa ini,
posisi muhtasib juga memperlihatkan
adanya negosiasi yang sama antara institusi politik dan agama seperti yang
terjadi pada masa sebelumnya. Awalnya, pada saat berdirinya dinasti Mamluk
jabatan muhtasib lebih dikenal sebagai jabatan keagamaan (wadzifa diniyyah) yang biasanya dipegang oleh para fuqaha, ulama,
pengajar madrasah, dan praktisi ilmu-ilmu keislaman selama hampir 150 tahun.
Namun akhirnya rezim-rezim Mamluk yang saling bermusuhan menguasai jabatan ini
untuk kepentingan kelompok dan diri mereka sendiri, dan berakhir dengan
konsekuensi ekonomi yang buruk. Perubahan posisi jabatan ini juga
terrefleksikan dalam perubahan hubungannya dengan negara dan persepsi
masyarakat umum.[99]
Kasus Ibnu
Taimiyah bisa menjadi contoh intervensi rezim Mamluk dalam masalah diskursus
kegamaan. Sebagaimana mafhum, Ibnu Taimiyah dipenjarakan tidak kurang lima kali
selama hidupnya pada zaman kekuasaan Mamluk karena kepercayaannya dianggap
tidak mendapat dukungan dari kalangan salaf dan bertentangan dengan konsensus
para ulama dan para pembuat hukum (hakkam)
yang hidup pada zamannya. Fatwa ibnu Taimiyah juga dianggap membuat
kekhawatiran di kalangan masyarakat awam".[100] Pendapat Ibnu Taimiyah
yang kontroversi itu diantaranya adalah pemisahan antara kelompok masyarakat ahl al-dzimma dengan muslim dan
penggunaan kekuasaan negara untuk melawan musuh dari dalam seperti komunitas
syiah yang termasuk dalam kekuasaan rezim Mamluk. Tanpa melihat kebijakan
aparat negara terhadap Ibnu Taimiyah, kita bisa melihat bahwa dinasti Mamluk
memperlakukan Ibnu Taimiyah dengan sikap politik yang cukup keras karena Ibnu
Taimiyah memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan masyarakat Islam dan
amir-amir Syiria. Namun Ibnu Taimiyah sendiri bekerja sama dan melayani
pejabat-pejabat negara, atau melemahkan dam mengancam mereka tergantung apakah
ia setuju dengan pandangan dan kebijakan mereka atau tidak.
Sebaliknya,
para ulama, terutama ulama Damaskus, cenderung segera mendeklarasikan kesetiaan
mereka kepada rezim militer manapun yang memasuki kota tersebut agar ketertiban
segera bisa dikembalikan secepat mungkin. Sikap seperti ini berdasarkan pada
pendapat bahwa negara, seperti apapun bentuknya, lebih baik daripada perang dan
pentingnya penyerahan diri. Ironisnya, janji perdamaian dan pengampunan yang
diharapkan para ulama itu tidak mereka dapatkan ketika pasukan Mongol menyerang
kota itu pada tahun 1299-1300.[101] Bahkan hal yang sama terjadi pada saat Timur Lenk
menginvasi kota itu satu abad setelahnya pada tahun 1400. Sementara ulama-ulama
lain bersedia untuk bertahan dan melawan dengan mempersiapkan blokade atau
perang gerilya, ahli fiqih Hanbali yang terkemuka, Ibnu Muflih, malah
memperingatkan masa untuk menyerah dan mempercayakan keselamatan kota kepada
penjajah. Timur Lenk menproklamirkan diri menjadi Sultan setelah berhasil
memblokade kota selama 2 hari. Ia mengangkat Ibnu Muftih menjadi qadi dan agen
Timur Lenk, namun kota tetap saja dihancurkan.
Peran para
Qadi dalam kekuasaan Mamluk terintegarasi dan terpenetrasi oleh aparat negara.
ada 4 jabatan qadi di setiap kota-kota Dinasti Mamluk, masing-masing qadi
memiliki jaringan deputi yang memiliki
kekuasaan politik yang setara dengan menempatkan diri mereka sebagai penengah
antara ulama dan rezim Mamluk yang menuntut pajak yang tinggi untuk membiayai
kebutuhan militernya.[102] Memang sulit untuk mengetahui parameter
otoritas dan wilayah kewenangan peradilan ketika tidak ada satupun prinsip
pemisahan kekuasaan diketahui, meskipun pada saat itu telah ada pembedaan
institusi dan pejabat peradilan seperti qada, mazalim, hisba, dan lain
sebagainya. Pengadilan Mazalim misalnya menjadi tempat bagi masyarakat untuk
mengadukan penindasan atau ketidakpedulian yang dilakukan oleh aparat negara,
sekaligus menjadi tempat bagi para pejabat negara dan orang-orang berpengaruh
untuk memenangkan kepentingannya atau menghentikan lawan-lawannya.[103] Kasus-kasus wakaf dan
properti individu sering menjadi kasus dalam pengadilan mazalim karena semasa
rezim Mamluk beberapa amir dengan pengawal miiternya biasa merampas tanah milik
orang lain.
Ahl al-Dzimma di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah dan Mamluk
Dinasti Fatimiya sangat menekankan peran
pemimpin dalam membangun masyarakat Islam yang adil. Bahkan keadilan nampaknya
menjadi platform dasar bagi setiap gerakan syi'ah untuk mendapatkan legitimasi.
Secara teoritis, semua urusan negara, masyarakat, dan agama harus berada di
bawah pengawasan imam yang maksum yang mengatur masyarakat berdasarkan otoritas
ketuhanan yang komprehensif. Berbeda dengan Dinasti Fatimiyah, dinasti Mamluk
tidak mempunyai klaim ideologis dari ajaran lama. Mereka mendasarkan diri pada
klaim yang mereka buat sendiri untuk mempertahankan dan mendukung ajaran Islam.
Selama pejabat dinasti Mamluk tidak menyalahi tatanan Islam di depan publik,
kekuasaan mereka akan selalu dilegitimasi oleh mayoritas ulama.
Status dan
peran ahl al-dzimmah dalam masyarakat Islam selalu menjadi bahan perdebatan dan
ketegangan. Sementara teks-teks dasar Islam lebih banyak dipahami untuk
merefleksikan sikap toleransi kepada ahl al-kitab dan penganut agama lain, data
historis menunjukkan bahwa permusuhan lebih banyak mewarnai hubungan antara
muslim dan non muslim daripada hubungan simpatik. Dalam kasus Mesir misalnya
yang merupakan negara yang mayoritas penduduknya beragama Kristen Koptik, umat
islam berhutang budi kepada masyarakat Mesir koptik atas keahlian yang mereka
miliki untuk mengelola ekonomi pertanian Sungai Nil dan aspek lain dalam
kehidupan masyarakat Mesir. Kelebihan kemampuan teknik yang dimiliki oleh komunitas Koptik dalam kegiatan ekonomi lokal
sering menyebabkan terjadinya kecemburuan sosial di kalangan penduduk yang
beragama Islam yang walaupun menjadi elite penguasa namun tetap tergantung pada
minoritas luar. Cara bagaimana ketegangan seperti ini dinegosiasikan dalam
kasus-kasus yang akan saya paparkan nanti memperlihatkan adanya pola perlakuan
yang berbeda terhadap ahl al-dzimmah dalam masyarakat muslim.
Selama
periode Fatimiyah, kita bisa melihat adanya pola yang toleran dimana tidak
adanya pembatasan bagi penduduk beragama Kristen atau Yahudi untuk mendapatkan
kesempatan bekerja atau kemungkinan untuk melakukan mobilitas sosial. Bahkan
orang-orang Kristen dan Yahudi berkerja di pemerintahan selama masa dinasti
Fatimiyah dan awal masa Dinasti Ayyubi, meskipun pada dinasti Ayyubi, beberapa
pelarangan sempat terjadi.[104] Namun praktik ini tidak
boleh kita besar-besarkan juga, Dinasti Fatimiyah yang berada di Mesir tidak
memiliki sistem yang bisa menyeimbangkan sejumlah kelompok dalam masyarakat
yang bersaing untuk mendapatkan kekuasaan. Yang ia miliki hanyalah seorang imam
yang memiliki otoritas yang tinggi. Rezim Fatimiyah yang bermazhab Ismailiyah
sendiri juga merupakan kelompok minoritas di Mesir yang mengelola kelompok
minoritas muslim lain yang mengklaim dirinya memiliki otoritas keagamaan atas
mayoritas orang Koptik. Dengan demikian semua segmen masyarakat Fatimiyah dan
Mamluk di Mesir sangat rentan mengalami ketegangan yang sama dan penggunaan
kekuasaan secara sewenang-wenang dan kekuatan yang tak terdeteksi oleh negara.
Walaupun
rezim dinasti Fatimiyah nampaknya agak sedikit lebih toleran dan mendukung
institusi ahl-al-dzimmah (terutama kristen Koptik) karena berbagai alasan,
penduduknya yang mayoritas sunni sangat anti-dzimmi dan mereka marah kepada
rezim Fatimiyah karena mendukung ahl-dzimmah. Masyarakat sunni memandang
keberadaan kristen Koptik dan yahudi dalam pemerintahan dinasti Fatimiyah Mesir
mewakili sistem pemerintah yang tidak sah dan tidak bisa diterima dalam
masyarakat Islam. dengan demikian, tekanan negara kepada kelompok dzimmi harus
dilihat sebagai konsesi terhadap kemarahan dan permusuhan kalangan sunni kepada
kelompok ini dan sebagai sikap politik yang layak diambil untuk mencegah
konfrontasi serius antara kelompok ini dengan masyarakat muslim. Dengan
demikian,
Posisi orang kristen dan Yahudi di
negara Islam (selama dinasti fatimiyah berkuasa) dilindungi namun tidak cukup
aman. Hukum Islam melindungi hidup, hak milik, serta kebebasan mereka, meskipun
dengan beberapa pembatasan, untuk melaksanakan ajaran agamanya. tetapi, hukum
Islam juga menuntut mereka untuk dipisahkan dari masyarakat lain dan
mengharuskan mereka untuk tunduk pada aturan. Jika aturan-aturan itu dijalankan
di bawah pemerintahan yang lemah atau buruk`,maka kondisi ini dapat dan pasti
mengarah pada absennya hukum dan perlakuan buruk. Kebijakan yang diambil rezim
Fatimiyah ini selaras dengan karakter umum periode saat itu dimana… perdagangan
internasional yang cepat dibuat untuk interaksi bebas antara kelompok yang
berbeda dalam masyarakat disamping karena perilaku tertentu yang dianggap masuk
akal.[105]
Debat
akademis mengenai status dzimmah di kalangan ummat Islam sering merujuk pada
apa yang disebut "perjanjian Umar", sebuah teks yang berasal dari
perjanjian antara Umar bin Khatab dengan ahl al-dzimmah di Syiria, namun
dianggap oleh sebagian sarjana baru muncul pada beberapa masa berikutnya.[106] Kondisi yang nampaknya
telah diatur oleh perjanjian itu adalah perbedaan gaya berpakaian (ghiyar),
larangan untuk mendirikan gereja atau sinagog, pembatasan kegiatan ibadah yang
dilakukan di ruang publikm dan aturan-aturan mengenai kemungkinan ahl-dzimmah
bekerja dalam pemerintahan Islam. Aturan-aturan ini tentu saja merupakan
tambahan atas kewajiban membayar pajak (jizyah).
Aturan-aturan tersebut nampaknya tidak pernah dikodifikasikan di Mesir baik
sebelum ataupun semasa dinasti Fatimiyah berkuasa, namun implikasi dan
pengaruhnya masih terlihat dalam berbagai kasus.
Praktiknya,
memang, beragam tergantung faktor politik dan faktor-faktor lainnya. Negara
bisa saja mengizinkan pendirian gereja dan sinagog baru atau merehabilitasi
bangunan lama, tetapi ia juga bisa saja menyerah pada tuntutan ulama dan
masyarakat untuk menolak permintaan komunitas dzimmi. Khalifah/Imam al-Mu'izz
mengizinkan pembangunan gereja baru walaupun perasaan anti-kristen sangat umum
di masyarakat Islam Fustat saat itu, dan Khalifah Abdul Aziz mengizinkan
rehabilitasi sebuah gereja. Imam-imam dinasti Fatimiyah memperluas pengaruh
mereka kepada masyarakat non-muslim dengan mewakafkan tanah untuk gereja,
melindungi hak-hak lembaga biarawan St. Catherine, bahkan mendukung pendirian
seminari Yahudi di Yerussalem. Namun kompleksitas masalah ini bisa dilihat dari
kasus Muhammad bin Tughj, penguasa dinasti Ikhsid (dinasti sebelum Fatimiyah),
yang menghadapi tekanan yang sangat besar dari masyarakat muslim yang sangat
marah untuk melarang perbaikan gereja Abu Shenuda yang sebagian bangunannya
mulai rusak. Dua dari tiga ahli hukum yang ditunjuk untuk memeriksa legalitas
perbaikan gereja itu menyimpulkan bahwa upaya tersebut memang dilarang, tetapi
Ibnu Tughj lebih suka mengambil pendapat hakim ketiga yang menyatakan legalitas
perbaikan tersebut. Namun setelah ahli hukum ketiga ini diserang oleh kerumunan
massa di jalanan dan bahkan menimbulkan kerusuhan yang melibatkan pasukan
bersenjata, jelaslah bagi Ibnu Tughj bahwa ia tidak bisa mengimplementasikan
kebijakannya itu karena akan menimbulkan ketidakstabilan yang berkelanjutan.
Ibnu Tughj akhirnya menyerah pada tuntutan masa dan usaha perbaikan gereja
tidak diizinkan untuk diteruskan.[107]
Pada tingkat
lokal, wazir, amir dan ulama berusaha menggunakan kekuasaan mereka untuk
mengeksploitasi, memeras dan menekan rekan non-muslimnya. Sebagai contoh, ummat
Yahudi di Yerussalem kadang-kadang harus membayar untuk mendapatkan izin
penyelenggaraan kegiatan agama. Pada masa
wazir al-Yazuri berkuasa (1055-1056), qadi lokal mengajukan keberatan
atas pembangunan dan perbaikan sejumlah gereja di wilayah mereka. Namun kasus
ini akhirnya bisa diselesaikan setelah komunitas Kristen koptik di wilayah itu
membayar sejumlah besar uang kepada pimpinan militer wilayahnya, Nasir
al-Daulah bin Hamdan. Peristiwa ini terjadi meskipun ada resiko terjadinya
ketegangan antara rezim dinasti Fatimiyah dengan Pimpinan Kristen koptik dan
akan mengganggu peran komunitas koptik yang cukup besar dalam mengelola
pertanian Mesir. Pendukung Nasir al-daulah memang yang harus bertanggung jawab
atas perusakan terhadap sejumlah gereja dan pembunuhan sejumlah pendeta yang
terjadi sepuluh tahun berikutnya pada perang sipil di masa al-Mustansir.[108] Meskipun ada banyak contoh perlakukan buruk
terhadap ahl al-dzimmah seperti yang sudah saya kemukakan tadi dan adanya
kebijakan resmi pemerintah untuk melindungi dan memberikan toleransi kepada
kalangan minoritas, kita akan lebih menekankan perhatian pada kasus diskriminasi
yang dilakukan atas perintah khalifah, seperti yang terjadi pada masa Khalifah
al-Hakim.
Sejarawan
periode ini umumnya setuju bahwa karakter dinasti ini cukup bagus karena mereka
memperlakukan kelompok non-muslim dan non-syiah Ismailiyah dengan baik. Namun,
pada masa al-Hakim bi Amr Allh (996-1021) sebetulnya terjadi penganiayaan atas
nama agama, terror yang disponsori negara dan tumbuhnya semangat keagamaan yang
tidak terkontrol. Selain memberlakukan aturan pembedaan gaya berpakaian (ghiyar) dan memerintahkan penghancuran gereja, al-Hakim
juga melakukan kampanye sistematis untuk menganiaya dan melakukan tindakan
kekerasan kepada non-Muslim. Pada masa terburuk pemerintahannya, 1004-1012, gereja dan biara di Kairo dan seluruh
kota-kota Dinasti Fatimiyah dihancurkan termasuk Gereja Suci Sepulchure di
Yerussalem, bangunan-bangunan non Muslim diubah peruntukkannya menjadi masjid,
kas-kas gereja dirampas, dan tanah pemakaman gereja dihancurkan. Al-Hakim juga
merampas wakaf sejumlah gereja dan biara, dan kebijakannya ini berimplikasi
sangat buruk bagi kehidupan sosial dan ekonomi komunitas dzimmi pada masa itu.[109] Walaupun al-Hakim membatalkan beberapa
kebijakannya setahun sebelum ia meninggal (menghilang), kerusakan, terutama
yang disebabkan oleh hilangnya wakaf dan perubahan bangunan gereja menjadi
masjid, bisa dikatakan permanen. Namun pada pemerintahan khalifah Fatimiyah
berikutnya, sejumlah orang kristen dan Yahudi yang beremigrasi ke Byzantium
pada masa al-Hakim, mulai kembali ke Mesir dan melakukan rehabilitasi, hingga
hubungan antar agama mulai kembali membaik.
Tidak seperti
rezim Fatimiyah, rezim Mamluk tidak memandang dirinya sebagai pemimpin agama
atau berusaha menempatkan diri mereka dalam urusan-urusan yang dianggap urusan
ulama. Malah, mereka tergantung pada ulama dan pemimpin agama lainnya untuk
melegitimasi otoritas politiknya. Ironisnya, sikap ini membuat posisi ahl al-dzimmah di masa Dinasti Mamluk
lebih buruk daripada di masa Dinasti Fatimiyah. Meskipun para penguasa Mamluk
tidak berniat untuk menyulut permusuhan dengan komunitas ahl-dzimmah tertentu, namun mereka cenderung menyerah pada
permintaan para pemimpin agama yang menekan mereka untuk memperlakukan ahl
al-dzimmah dengan buruk.
Hampir di
seluruh negeri-negeri Muslim, ahl al-dzimmah
sering dipekerjakan oleh Mamluk sebagai pengontrol atau penjaga badan-badan
negara, konsultan kesehatan para sultan, akuntan, staf keuangan pejabat-pejabat
tinggi atau juru tulis bagi kalangan militer dan amir-amir lokal. Posisi yang
cukup berpengaruh itu jelas memancing permusuhan dan kecurigaan komunitas
muslim. Sentimen ini nampaknya semakin meningkat ketika mayoritas sunni yang
tinggal di Mesir menghadapi tantangan hegemoni kalangan syi'ah selama dua abad
berikutnya dan menghadapi perang salib. Dalam suasana seperti itu, kejadian
kecil saja bisa menyebabkan terjadinya kekacauan dan protes terhadap ahl
al-dzimmah, dan biasanya sultan-sultan dinasti Mamluk meresponnya dengan cara
menekan kalangan dzimmi untuk menenangkan para pemrotes. Sikap pemerintah ini
membuat masyarakat semakin menuntut adanya tindakan yang lebih keras kepada
kalangan Kristen Koptik hingga menyebabkan terjadinya penjarahan dan
pembunuhan. Namun ketika Mamluk berusaha untuk menegakkan otoritas mereka dan
mengembalikan perdamaian, mereka juga berusaha untuk tidak terlihat mendukung
Kristen Koptik, hingga Mamluk terpaksa menjatuhkan hukuman ekstra judicial
kepada mereka dan memecat mereka dari pekerjaan.[110] Namun perlakuan buruk
ini tidak terjadi pada kristen Koptik yang menjadi pejabat tinggi negara.
Mereka biasanya ditawari untuk masuk Islam, namun hanya beberapa orang di
antara mereka yang merespon tawaran itu dengan serius.
Kadang-kadang
tuntutan untuk memperlakukan ahl-dzimmah dengan buruk itu datang dari luar.
Misalnya ketika seorang menteri Dinasti Hafasid Algeria Timur dayang berkunjung
ke Mesir pada tahun 1301. Ia mengungkapkan ketidak sukaannya terhadap sikap
baik dinasti Mamluk terhadap orang-orang kristen dan Yahudi yang ada di Mesir
karena di negerinya orang-orang ini diperlakukan dengan sangat buruk.
Akibatnya, beberapa Amir mamluk yang oportunis berusaha untuk melaksanakan
tuntutan umum masyarakat ini dan mereka memberlakukan tindakan keras kepada ahl
al-dzimmah dengan menutup atau merubuhkan gereja-gereja di daerah kekuasaan
Mamluk bahkan hingga mencapai Damaskus. Namun tindakan represif ini hanya
berlangsung selama satu tahun, setelahnya sejumlah gereja kembali dibuka.
Protes massa Muslim terhadap peningkatan status dan perlakuan kepada ahl
al-dzimmah cenderung menyebabkan negara bertindak keras kepada mereka hingga
banyak di antara mereka yang masuk Islam. Nampaknya ada hasutan dan sejenis
koordinasi antara kerusuhan yang melibatkan orang Islam dan ditujukan kepada
Kristen Koptik di seluruh wilayah Mamluk. Tahun 1321 misalnya ada 11 gereja
yang dihancurkan oleh massa di Kairo dan pada hari yang sama, sekitar 60 gereja
di daerah lainnya juga dihancurkan. Kristen Koptik melakukan pembalasan dengan
membakar sejumlah masjid di Kairo. Akhirnya, Sultan Mamluk menggunakan tindakan
kekerasan untuk mengamankan suasana.[111]
Pada tahun
1354, Negara beberapa kali menggunakan kekerasan untuk meredam perlawanan
kalangan Kristen Koptik yang disebabkan oleh kejadian-kejadian kecil. Seperti
pada masa sebelunya, pembatasan ketat yang berdasarkan Perjanjian Umar kembali
diberlakukan. Kalangan Kristen Koptik dan Yahudi yang menjadi pejabat tinggi
dipecat dari jabatannya, dipaksa masuk Islam dengan ancaman akan dibunuh di
jalanan kota Kairo. Pada tahun itu pula, semua tanah wakaf yang diberikan
kepada gereja-gereja dan biara-biara Kristen diambil alih dan didistribusikan
kepada para amir dan beberapa ulama, hingga lembaga-lembaga kristen kehilangan
sumber utama keuangannya. Tekanan dan pengambil alihan sumber-sumber keuangan
lembaga itu dimaksudkan untuk menarik ahl al-dzimmah agar masuk Islam dalam
jumlah besar.[112]
IV. Negosiasi
AntarLembaga
Pengalaman
sejarah yang saya ungkapkan tadi hanya merupakan contoh pendekatan Islam
terhadap sekularisme sebagai negosiasi konstan antara institusi negara dan
politik. Seperti yang sudah saya tekankan di awal bab ini, sejarah selalu
diperdebatkan dan diinterpretasikan dengan cara yang berbeda untuk mendukung
pandangan yang berbeda bahkan yang saling bertentangan. Karena itulah saya
sadar bahwa cara pembacaan terhadap sejarah yang saya lakukan di sini bukanlah
satu-satunya cara. Namun bukan berarti
interpretasi sejarah dan penjelasan mengenai implikasinya yang saya lakukan di
sini harus ditolak atau diterima sepenuhnya. Yang saya inginkan adalah
mudah-mudahan cara pembacaan sejarah yang saya lakukan bisa masuk akal dan
berguna bagi ummat Islam sekarang yang sedang berusaha merekonsiliasikan
komitmen mereka untuk tetap berpegang teguh kepada syariat dalam konteks mereka
saat ini baik dalam konteks lokal maupun global. Melalui perspektif ini, saya
akan menyusun beberapa implikasi tentatif yang saya dapat dari kilas balik
sejarah yang saya lakukan tadi dan mengaitkannya dengan proposisi utama yang
saya ajukan dalam buku ini, tanpa membuat kesimpulan apapun.
Bab ini saya
mulai dengan menyatakan bahwa saya setuju dengan padangan Ira Lapidus
tentang adanya pembedaan antara
institusi agama dan negara dalam sejarah masyarakat Islam. Dalam bagian
selanjutnya, saya berusaha untuk mendukung dan menjelaskan validitas pandangan
ini dan menghubungkannya dengan ide mengenai pemisahan antara lembaga keagamaan
dan negara dengan tetap mengakui keterhubungan antara agama dan politik dalam
masyarakat Islam saat ini. Dengan kata lain, pentingnya pembedaan otoritas
negara dan agama bisa dilakukan melalui teori dan dibuktikan dengan analisis
sejarah seperti berikut ini.
Pembedaan
instituisonal ini bisa didukung secara teoritis dengan memperlihatkan perbedaan
karakter otoritas politik dan agama seperti yang sudah saya jelaskan dalam bab
I. Hal terpenting yang perlu saya ungkapkan di sini adalah bahwa negara memang
harus sekuler dan politis karena kekuasaan dan institusinya membutuhkan tingkat
dan bentuk kontinuitas dan prediktabilitas tertentu yang tidak dimiliki oleh
otoritas keagamaan. Secara teoritis, pemimpin agama memang harus memperjuangkan
keadilan dan kesetiaan terhadap Syari'ah, namun mereka tidak punya kekuasaan
maupun kewajiban untuk bertanggung jawab atas ketertiban kekomunitas lokal,
pengaturan relasi ekonomi dan sosial, atau pertahanan terhadap ancaman luar.
Fungsi-fungsi ini membutuhkan adanya kontrol yang efektif atas wilayah dan
penduduk, serta kemampuan untuk menggunakan kekuatan pemaksa. Kualitas ini
memang harus dimiliki oleh pejabat negara, namun tidak oleh pemimpin agama.
Seperti yang
sudah disebutkan di awal, beberapa pemuka agama mungkin memiliki otoritas
politik atas pengikutnya, dan beberapa pemimpin politik mungkin mendapatkan
legitimasi keagamaan dari kelompok tertentu dalam masyarakat. Namun yang perlu
kita perhatikan di sini adalah ada dua tipe otoritas yang berbeda, bahkan
meskipun keduanya dipegang oleh yang sama. Keduanya memiliki kriteria yang
berbeda dan mendapatkan perlakuan yang berbeda dari orang lain. Otoritas agama
didasarkan pada tingkat pengetahuan dan kesalehan seorang ilmuwan dan dinilai
oleh yang menerima otoritasnya berdasarkan penilaian pribadinya yang subjektif
di luar interaksi personal rutinnya dengan
orang itu. Sementara otoritas politik pejabat negara berdasarkan
kualitas yang bisa dinilai secara lebih objektif seperti kemampuannya untuk
menggunakan kekuasaan dan mengelola administrasi yang efektif untuk
kemaslahatan ummat. Bahwa ada seseorang yang bisa mengkombinasikan otoritas
politik dan keagamaan, tidak berarti bahwa kedua otoritas ini sama atau
kemampuan tersebut harus dimiliki oleh orang lain yang akan melakukan
fungsi-fungsi politik dan keagamaan.
Pentingnya
pembedaan otoritas ini juga bisa dilihat dari konsekuensi-konsekuensi yang
ditimbulkan oleh keinginan untuk memaksakan penyatuan antara Islam dan negara
seperti pecahnya perang terhadap orang-orang murtad di masa Khalifah Abu Bakar
(632-634). Kesimpulan yang saya tarik
dari terjadinya perang terhadap orang-orang murtad ini adalah apapun alasannya,
Abu Bakar tetap bisa melaksanakan kebijakannya ini walaupun ditentang oleh para
sahabat utama karena ia adalah seorang khalifah dan bukan karena ia mengambil
keputusan yang benar dan tepat menurut pandangan Islam. Ini bukan berarti Abu
Bakar benar atau sah. Ummat Islam memang
akan terus berbeda pendapat mengenai hal ini tanpa adanya kemungkinan
untuk mendapatkan kepastian yang independen dan bisa diterima oleh semua pihak.
Namun menurut saya, akan lebih konstruktif bila kita membedakan antara
pandangan keagamaan Abu Bakar dengan kebijakan dan tindakan politiknya sebagai
khalifah. Seperti Umar dan Ali yang berbeda pendapat dengannya, Abu Bakar juga
seorang sahabat yang memiliki justifikasi religius untuk posisi mereka. Namun
ini tidak berarti keputusannya untuk menyerang suku-suku Arab yang memberontak
adalah keputusan agama dan bukan keputusan politik. Arti sebuah tindakan tidak
boleh ditentukan oleh motivasi pelakunya. Pembedaan ini mungkin terasa masih
sulit bagi ummat Islam untuk melihat periode Madinah karena otoritas politik
pada masa itu masih sangat personal dimana negara bukanlah institusi politik.
Kondisi ini terjadi karena berbagai
faktor diantaranya contoh yang diberikan Rasul, tiadanya pembentukan negara di
wilayah Arabia sebelumnya dan cara 4 khalifah pertama dipilih dan menjalankan
kekuasaannya. Masalahnya adalah apapun pandangan yang digunakan untuk melihat
peristiwa-peristiwa sejarah itu, kebingungan seperti ini tidak bisa
dijustifikasi dan diterima dalam konteks negara post kolonial model eropa saat
ini.
Pentingnya
pemisahan otoritas agama dan negara dalam masyarakat Islam juga bisa dipahami
dengan melihat konsekuensi kebijakan mihnah
yang dikeluarkan oleh Khalifah Abbasiyah, al-Ma'mun pada tahun 833, persis
200 tahun setelah perang terhadap orang-orang murtad terjadi. Episode tragis
yang terjadi dalam sejarah Ummat Islam ini penting bagi diskusi kita kali ini
karena peristiwa mihnah jelas
memperlihatkan bahayanya penyatuan otoritas agama dan negara sekaligus menandai
runtuhnya dominasi model ini karena ulama bisa menegaskan otonomi mereka dari
negara dengan sukses walaupun beberapa di antara mereka harus membayar mahal.
Pengalaman ini juga menegaskan pentingnya melindungi otonomi aktor-aktor
masyarakat sipil, termasuk otoritas keagamaan karena perlindungan ini merupakan
hal penting bagi suksesnya pemisahan antara Islam dan negara dengan tetap
mengatur keterhubungan antara Islam dan politik. Agar proses negosiasi antara
pemimpin agama dan negara berlangsung mulus, perlu adanya dasar kelembagaan dan
sumber keuangan yang mendukung mereka. Dari perspektif inilah, saya akan secara
singkat membahas pentingnya peran waqaf dalam konteks historis tersebut.
Sejak periode
awal sejarah Islam, ummat Islam yang mampu telah berusaha untuk mewakafkan
tanah atau harta milik mereka yang lain untuk mendukung masjid, madrasah dan
apapun yang bisa bermanfaat bagi komunitas. Alasan mereka melakukannya adalah
layanan publik yang disediakan oleh waqaf terus mengalir manfaatnya dan mungkin
akan menjadi rahmat bagi wakif saat dia hidup mauopun setelah mati. Waqaf
memang telah memainkan peran yang sangat besar dan cukup kompleks dalam
masyarakat Islam, lebih dari pernah diperkirakan. Regulasi mengenai wakaf
menjadi bidang yang sangat komplek dalam hukum Islam karena ia berkaitan dengan
hal-hal yang juga penting seperti warisan termasuk di dalamnya kehendak waris,
pernyataan waris, dan penunjukkan penerima waris, dan etika pertanggung jawaban
keuangan. Para fuqaha juga memperhatikan aturan mengenai wakif karena institusi
waqaf sangat rentan dimanipulasi oleh orang-orang yang menghindari aturan zakat
dan waris. Namun, karena wakaf sangat penting dari segi praksis maupun
keagamaan, memiliki konsekuensi sosial dan politik serta kompleksitas teknis,
ia menjadi rentan terhadap manipulasi yang dilakukan oleh penguasa atau pejabat
negara. dan ini bisa menjadi indikasi
bahayanya penyatuan otoritas politik dan keagamaan dalam masyarakt Islam.
Selain
memiliki implikasi hukum, wakaf atau donasi semacamnya yang ditujukan untuk
kepentingan publik atau kelompok tertentu, juga memiliki implikasi sosial dan
politik. Wakaf memang telah menjadi bagian yang penting dalam ruang publik
masyarakat Islam karena wakaf menyediakan tempat bagi penumbuhan norma-norma
dan etika Islam dalam bentuk institusi pendidikan, institusi peribadatan dan
penyediaan layanan sosial. "meskipun tindakan mewakafkan merupakan urusan
individu, namun pengguna wakaf selalu berada di ruang publik". karena
itulah, "dengan mewakafkan hak miliknya… pewakaf telah mengekspresikan rasa
keterikatanya dengan komunitas kaum beriman dan identifikasi dirinya dengan
nilai-nilai yang dianut komunitas itu."[113]
Ulama-ulama
Syafi'I mendefinisikan wakaf sebagai, "Penggunaan hasil yang didapat dari
benda hak milik untuk tujuan-tujuan kebaikan dengan tetap mempertahankan wujud
bendanya".[114] Namun insitusi atau
bagian—bagian wakaf yang tidak ditujukan untuk mencari penghasilan seperti
sekolah agama, madrasah, masjid, tempat-tempat para sufi, dan
institusi-institusi keagamaan lainnya biasanya didanai dari hasil aset wakaf
yang produktif seperti tanah pertanian, apartemen atau bisnis lainnya. Sebagai
balasannya, para pewakaf akan terus didoakan oleh orang-orang yang memanfaatkan
institusi-institusi yang didirikan di atas properti yang mereka wakafkan baik
dengan belajar, beribadah atau menerima santunan. Doa-doa para donatur itu
biasanya dilakukan dalam acara publik. Sudah barang tentu, pejabat, sultan,
pedagang dan pemuka masyarakat berusaha untuk mewakafkan harta mereka
sebanyak-banyaknya untuk memperkuat bahwa kesan mereka adalah pemimpin yang
soleh di mata masyarakat. Namun bisa saja sikap itu didorong oleh tujuan untuk
mendapatkan pahala. Wakaf sebenarnya merupakan wahana bagi pewakaf untuk terus
diingat dan didoakan oleh orang-orang di sekelilingnya. Namun di samping itu,
tak kalah pentingnya, wakaf juga berfungsi untuk melayani masyarakat.[115]
Besarnya
fungsi sosial dan keagamaan yang dimiliki oleh wakaf jelas mempunyai implikasi
politik tertentu. Wakif bisa menjamin kesetiaan orang-orang yang memanfaatkan
wakafnya, dan sekaligus menjamin lingkaran jaringan dan hubungan sosialnya. Tak
heran bila wakaf yang ditujukan untuk keperluan kegiatan keagamaan seperti
untuk madrasah dan masjid banyak bermunculan pada saat taruhan politik sedang
meninggi.[116]
Sebagai contoh, Sekolah agama Dar al-Ilmi merupakan wakaf yang diberikan oleh
khalifah dinasti Fatimiyah al-Hakim untuk memenuhi kebutuhan kalangan sunni
pada saat terjadinya kekerasan publik yang diakibatkan politik sektarian
kalangan Syi'ah Fatimiyah di Kairo. Begitupun Nizam al-Muluk, ia mewakafkan
sekolah pada saat Baghdad sedang dalam suasana tidak menentu.
Akhirnya,
wakaf menjadi tempat bagi penguasa dan ulama untuk menegosiasikan dan memediasi
hubungan antara keduanya. Penguasa tidak bisa berfungsi tanpa restu dari rakyatnya
yang menginginkan mereka untuk memegang teguh dan mengimplementasikan ajaran
Islam seperti yang sudah dijelaskan oleh para ulama. pada saat yang sama, ulama
dan institusi keagamaan juga tidak berfungsi tanpa dukungan penguasa yang tidak
hanya melindungi batas-batas negara Islam dan
menjaga stabilitas dan perdamaian domestik, tetapi juga memberikan wakaf
kepada institusi-institusi keagamaan dan menegakkan aturan-aturan wakaf.
Namun,
seperti yang sudah saya jelaskan, penguasa perlu menghormati otonomi para ulama
karena para ulama mempunyai kredibilitas untuk memberikan legitimasi keagamaan
bagi negara. Dengan kata lain, independensi kelembagaan dan keuangan ulama
sangat bermanfaat tidak hanya bagi mereka, tetapi juga bagi pengikut mereka dan
negara. Wakaf menyediakan mekanisme hukum dan sosial untuk menjaga keseimbangan
antara otonomi dan ketergantungan ulama terhadap negara. Sebagai wahana bagi para pemimpin untuk
mendoakan pemberi wakaf secara publik maupun privat, wakaf menjadi representasi
hubungan yang tersembunyi namun konstan antara yang berkuasa dan yang diatur.
Namun dinamika dan peran wakaf di satu daerah bisa berbeda dengan daerah lain
dan berimplikasi pada penyebaran mazhab.
Aturan
mengenai wakaf memberikan perhatian khusus pada posisi wakif, yang sering
memiliki hak untuk menunjuk dirinya sendiri atau orang pilihannya untuk
mengurus aset wakaf. Ia juga mempunyai hak untuk mendapapatkan manfaat meskipun
tidak ekslusif dari hasil pengelolaa aset wakaf. Aturan ini nampaknya merupakan
konsekuensi dari prinsip bahwa wakfi tetap memiliki hak kepemilikan tertentu
terhadap aset wakaf dan bisa terus mendapatkan keuntungan dari pengelolaan
wakaf tersebut. Sebagai prinsip umum, wakif memiliki kekuasaan untuk menentukan
aturan-aturan tertentu terhadap harta yang diwakafkannya. Aturan ini sudah
sangat sering diulang-ulang dalam fatwa dan kajian mengenai wakaf bahwa "nash al-waqif ka nash al-syar'I
(keputusan pemberi wakaf sama kuatnya dengan keputusan syariat).[117]
Prinsip
tetapnya hak kepemilikan wakif terhadap harta yang diwakafkannya dianut oleh
semua mazhab fiqih sunni kecuali oleh mazhab Maliki yang menyatakan bahwa
pemberi wakaf harus melepaskan hak kepemilikan atas harta yang diwakafkannya.
Karakter mazhab Maliki ini menurunkan minat penganut mazhab ini untuk
mewakafkan hartanya hingga popularitas mazhab ini di Baghdad menurun pada Abad
Pertengahan, sementara mazhab lainnya mengail keuntungan pada saat itu. Bahkan
mazhab Maliki nampaknya tidak pernah memiliki madrasah di Baghdad maupun di
negeri Islam lainnya."[118] Meski demikian, karakter
ini menyebabkan lembaga-lembaga mazhab Maliki memiliki otonomi yang sangat
tinggi. Dengan tidak mengizinkan pemberi wakaf ikut campur dalam urusan
penggunaan wakaf (sekolah dan masjid), lembaga-lembaga mazhab Maliki hendak
mengurangi kemungkinan terjadinya ekploitasi sistem terhadap
institusi-institusi keagamaan untuk tujuan-tujuan politik.
Pemberi wakaf
bisa saja memiliki motif berbeda ketika mewakafkan hartanya kepada satu atau
beberapa mazhab. Salahuddin misalnya mewakafkan hartanya kepada
madrasah-madrasah syafi'I dan Maliki ketika hendak menaklukkan Mesir walaupun
ia sendiri penganut mazhab hanafi.[119] Nampaknya pemberian
wakaf kepada mazhab Maliki bertujuan untuk menenangkan penduduk lokal yang
telah menderita di bahwa pemerintahan dinasti Fatimiyah. Sementara mazhab
syafii didirikan untuk menunaikan ambisi mereka untuk mengikatkan dirinya dan
kekuasaannya kepada istana khalifah di Baghdad yang menganut mazhab ini.
Salahuddin juga membangun madrasah di lokasi-lokasi yang bagus yang dulunya
digunakan dinasti Fatimiyah untuk mensimbolisasikan kekuasaannya, seperti
istana dan stasiun polisi.[120]
Tingkat
otonomi wakaf kemudian memainkan peranan penting dalam menegosiasikan hubungan
antara ulama dan penguasa. Karena ditujukan untuk untuk tujuan atau komunitas
tertentu, wakaf boleh diberikan kepada kelompok otonom yang memiliki tingkat
pengaruh dan partisipasi tertentu dalam ruang publik. Lembaga-lembaga yang
memainkan peran dan sosial keagamaan seperti mengundang para sufi,
mengembangkan dan mempertahankan fasilitas-fasilitas peribadatan, atau
mempromosikan mazhab lokal membuat para pemberi wakaf dan penerimanya
penghormatan yang cukup tinggi dari masyarakat. Wakaf merupakan alat penting
bagi keluarga terkemuka untuk mengamankan kekuasaan mereka dari otoritas
penguasa, dan mempertahankan posisi mereka di tengah-tengah masyarakat. Wakaf
juga merupakan alat pendukung yang penting jika mereka hendak melindungi
kepentingan masyarakat dengan menentang kebijakan pemerintah."[121]
Namun,
otonomi penuh tidak bisa diraih melalui wakaf dan malah bisa dikompromikan
karena berbagai faktor. Misalnya, jika pemberi wakaf adalah pejabat terkemuka,
kita tidak akan menemukan resistensi terhadap kebijakan pemerintah, seperti
yang bisa kita temukan dari institusi yang diwakafkan oleh pedagang atau pemuka
masyarakat sipil, dari institusi wakafnya. Otonomi sebuah institusi wakaf
mungkin bisa meningkatkan kredibilitasnya, namun bisa juga menurunkan tingkat
ketertarikan masyarakat terhadapnya. Mazhab Hanbali (yang dinisbatkan kepada
nama pendirinya, Ibnu Hanbal, yang sukses menolak permintaan khalifah Abbasiyah
selama masa inkuisisi) dikenal enggan menerima pemberian dari
institusi-institusi negara atau terlibat dalam masalah-masalahitu dengan
negara. posisi seperti ini mungkin bisa membuat satu mazhab atau seorang ulama
memiliki otonomi yang lebih tinggi dan pengaruh yang lebih besar pada
lembaga-lembaga negara daripada mazhab atau ulama yang bersikap lebih
kompromis. Namun sikap seperti ini tidak selalu menghasilan kebijakan yang
lebih plural dan toleran. Mazhab Hanbali
misalnya malah cenderung memberikan pengaruh konservatif atau ortodoks.
Dengan
demikian, madrasah-madrasah yang ada di Baghdad pada abad ke-11 adalah wakaf
dari para menteri dan sultan dinasti Saljuk yang juga "membayar gaji para
guru dan memberikan biaya kepada para siswa."[122] Setelah itu Baghdad
dikuasai oleh Dinasti Buwaihi yang penguasanya berhaluan syi'ah dan mendukung
penyelengaraan ritual-ritual syi'ah di ruang publik. Sikap ini kemudian
memprovokasi massa sunni di Baghdad dan di daerah lainnya. Dengan kata lain,
munculnya sistem patronase dinasti Seljuk, tekanan mereka terhadap ulama-ulama
Syi'ah, dan penghancuran sejumlah kuil Syi'ah menunjukkan adanya dimensi lain
dalam hubungan antara institusi negara dan agama yaitu peran sektarianisme.
Pola patronase ini tidak hanya terjadi di antara dua jenis institusi ini secara
ekslusif, tetapi di dalam kedua institusi ini. Jadi, patronase terjadi antara
aktor-aktor negara yang mempunyai kepentingan berbeda dan bersaing satu sama
lain dengan institusi agama yang terdiri dari berbagai kelompok yang bersaing
dan bertentangan satu sama lain. Selama peristiwa mihnah, kalangan Syi'ah
adalah korban dominasi Sunni yang mendapatkan keuntungan dari sistem patronase
yang berlaku saat itu.
Jelaslah
bahwa ada banyak pelajaran dan hikmah
yang bisa ditarik dari beberapa penggal sejarah Islam. aspek-aspek yang telah
saya terangkan dan diskusikan, yang mungkin kadang-kadang terlalu mendetil,
ditujukan untuk memperlihatkan adanya beberapa peristiwa dalam sejarah yang
bisa mendukung argumen utama yang saya bangun dalam buku ini. selain elemen dan
implikasi yang disebutkan di bagian akhir, saya juga telah menekankan posisi
kritis ahl al-dzimmah, yang seharusnya
dilindungi oleh syari'at. Bagian tersebut ditujukan untuk menunjukkan bahwa
aspek normatif Syari'ah bisa menjadi lemah karena faktor-faktor ekonomi, sosial
dan politik dan tidak mungkin dilaksanakan tanpa adanya mekanisme kelembagaan
yang tepat. Karena itulah konstitusionalisme menjadi penting untuk memberikan
landasan yang kuat bagi berjalannya mekanisme tersebut dalam masyarakat Islam
saat ini. Saya juga berharap bahwa bagian yang menerangkan tentang ahl al-dzimmah di masa Fatimiyah dan
Mamluk bisa memberikan landasan historis untuk menjawab pertanyaan ini terutama
dalam hubungannya dengan pentingnya prinsip-prinsip konstitusionalisme, hak
asasi manusia dan kewarganegaraan yang akan kita diskusikan dalam bab
selanjutnya.
Akhirnya,
nampaknya masih terlalu dini untuk menyimpulkan argumen saya dalam bab ini
karena kita tidak mungkin mengaitkan analisis historis dengan proposisi utama
yang saya bangun mengenai Islam, negara dan politik sebelum mengklarifikasi
karakter negara pasca kolonial. Kemungkinan yang dihasilkan dari dimensi
historis dan tantangan masa depan syariah dalam masyarakat Islam hanya bisa
dipahami lebih baik dengan membaca bab-bab berikutnya dalam buku ini.
[1] [1]
Ira M. Lapidus, “State and Religion in Islamic Socieites,” Past and Present, No. 151 (May, 1996), p. 4.
[2] Untuk review terhadap sejarah masa awal yang otoritatif dan
mengutip sumber-sumber Arab lihat Marshall G. S. Hodgson, The Venture of Islam: Conscience and History in a World Civilization,
vol. 1, The Classical Age of Islam, Chicago: University of Chicago Press
1974, pp. 187-230; Wilfred Madelung, The Succession of Muhammad: A Study of the
early Caliphate, Cambridge: Cambridge University Press, 1997; and Ira M.
Lapidus, A History of Islamic Societies,
2nd edition, Cambridge: Cambridge University Press 2002.
[3] Madelung, The Succession to
Muhammad, 46- 47.
[4] Madelung, The Succession to
Muhammad, 48, note 55.
[5] Fred M. Donner, The Early
Islamic Conquests, Princeton: Princeton University Press, 1981, 86-87
[6] Madelung, The Succession to Muhammad, 47.
[7] M. J. Kister, “…illa
bi-haqqihi” Jerusalem Studies in
Arabic and Islam, no. 8, pp. 61-96, 1986, p. 35, n. 8 mengutip al-Shafi’i
“…wa-qalu li-abi bakrin ba’da l-isari: ma
kafarna ba’da imanina wa-lakin shahana ‘ala amwalina…”
[8] Untuk beberapa versi kisah ini, lihat EI (Encyclopedia of Islam): Malik b. Nuwayra and Khalid b. Walid.
[9] Madelung, Succession to
Muhammad, 50, Catatan Kaki 60, mengatakan bahwa penyebutan Malik b. Nuwayra
sebagai pengikut nabi palsu dari Najd, Sajah, adalah rekayasa. Ia juga mencatat
bahwa Umar pasti tindakan menyatakan keberatan atas perilaku Khalid, jika ia
menganggap Malik sudah murtad.
[10] Syed H.M. Jafri, The Origins
and Early Development of Shi’a Islam, Oxford: University
Press, 2000, 58-79.
[11] Kister, “…illa bi-haqqihi”,
36-37.
[12] P. Crone and M. Hinds, God’s
Caliph: Religious Authority in the First Centuries of Islam, London: Cambridge
University Press, 1986. 12.
[13] Lapidus, A History of Islamic Societies, 58-66.
[14] Muhammad Qasim Zaman, Religion
and Politics under the Early ‘Abbasids: The Emergence of the Proto-Sunni Elite,
Leiden: Brill, 1997, 129-166.
[15] Ira Lapidus, “The Separation of State and Religion in the
Development of Early Islamic Society”, International
Journal of Middle East Studies, vol. 6, 1975,
366.
[16] Lapidus, “State and Religion”, 9-10.
[17] Lapidus, “The Separation” 369.
[18] Lapidus, “The Separation”, p. 372.
[19] Lapidus, “The Separation”, p 373.
[20] Lapidus, “The Separation”, p. 376.
[21] Lapidus, “The Separation”, p. 375-77
[22] Lapidus, “The Separation”, pp. 381-2.
[23] Lapidus, “State and Religion”, 12.
[24] Lapidus, “Separation”, p. 385.
[25] Lapidus, “State and Religion”, p. 19.
[26] Nimrod Hurvitz, “The Mihna (Inquisition) and the Public Sphere” in The Public Sphere in Muslim Societies,
M. Hoexter, S. Eisenstadt, and N. Levitzion, eds. Albany NY: State University
of New York Press, 2002, 27
[27] Carl Petry, The Civilian
Elite of Cairo in the Later Middle Ages,
Princeton: Princeton University Press, 1981, 15.
[28] Lapidus, “State and Religion”, 24
[29] Crone and Hinds, God’s Caliph,
p. 99.
[30] Crone and Hinds, God’s Caliph,
pp. 100-101. Pengarang buku ini mengutip
ulama-ulama Syi'ah seperti Kulayni and Nu’man.
[31] Crone and Hinds, God’s Caliph,
p. 102.
[32] Crone and Hinds, God’s Caliph,
p. 103.
[33] Paula Sanders, Ritual,
Politics, and the City in Fatimid Cairo, Albany: State University of New York Press,
1994, 49.
[34] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo, pp. 49-50.
[35] Lev, State and Society in
Fatimid Egypt, Leiden: Brill, 65-66.
[36] Yacoy Lev, “Army, Regime and Society in Fatimid Egypt,
358-487/968-1094”, International Journal of Middle Eastern Studies, Vol. 19:3,
354
[37] Lev, “Army, Regime and Society”, 355.
[38] Lev, State and Society,
p. 70.
[39] Lev, “Army, Regime and Society”, 340, 341; M. Conrad, “Fatimids”,
in The Encyclopaedia of Islam, volume 2.
* Mazalim nampaknya seperti PTUN karena ia
adalah lembaga peradilan yang menangani masalah kelaliman penguasa beserta
keluarganya terhadap rakyat, namun kadang-kdang fungsinya lebih dari itu.
Sedangkan peradilan hisbah nampaknya seperti pengadilan syari'at yang seperti
diberlakukan di Aceh karena pengadilan ini menangani pelanggaran terhadap
prinsip amar ma'ruf
nahi munkar. (catatan penerjemah)
[40] Amin Haji, “Institutions of Justice in Fatimid Egypt
(358-567/969-1171)”, Aziz Al-Azmeh, ed. Islamic
Law: Social and Historical Contexts, Routledge, 1988, 198-200.
[41] Haji, “Institutions of Justice”, 200. See also Lev, State and Society, 135.
[42] Haji, “Institutions of Justice”, 203
[43] Haji, “Institutions of Justice”, 208, 209.
[44] Lev, State and Society,
153-157.
[45] See, for example, Lev State and Societ, 160-176; Jonathan Berkey, “The Muhtasibs of Cairo Under the
Mamluks: Toward an Understanding of an Islamic Institution”, Michael Winter and
Amalia Levanoni, eds., The Mamluks in
Egyptian and Syrian Politics and Society Leiden: Brill NV,
2004.
[46] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 247, note 14.
[47] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 251.
[48] Lev, State and Society,
161; Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 249, note 28.
[49] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 248.
[50] Boaz Shoshan, “Fatimid Grain
Policy and the Post of the Muhtasib”,
International Journal of Middle East Studies, vol. 13, 1981, 185 and
Lev, State and Society, 161
[51] Lev, State and Society,
162.
[52] Shoshan, “Fatimid Grain
Policy”, 182
[53] Lev, State and Society,
162-63
[54] Lev, State and Society,
176.
[55] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 261- 64
[56] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo”, 262-63
[57] Yaacov Lev, “The Fatimid Imposition of Isma`ilism on Egypt
(358-386/969-996)”, Zeitschrift der
Deutschen Morgenandischen Gesellschaft, vol. 138, 1988, 315.
[58] Mekah diobrak-abrik oleh Penganut Karmatiyah yang berusaha mencuri
hajar aswad dari Ka'bah. Perlu dicatat bahwa Karmatiyah adalah salah satu sekte
Syi'ah Ismailiyah yang tidak menyatakan kesetiannya kepada dinasti Fatimiyah,
dan malah dipergunakan oleh komandan-komandan dinasti Buwaihi untuk menyerang
dinasti Fatimiyah, walaupun kedua kelompok ini sebetulnya adalah Syi'ah. Farhad
Daftary, The Ismai`ilis: Their History
and Doctrines, Cambridge: Cambridge University Press, 1990, 161-165.
[59] Lev, “The Fatimid Imposition of Isma’ilism on Egypt”,
315-316.
[60] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo, 43-44.
[61] Lev, State and Society,
71
[62] Paul Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, Journal of the American Research Center in Egypt, vol. 34, 1997, 180, 181.
[63] Walker, “Fatimid Institutions of Learning, 181.
[64] Walker, “Fatimid Institutions of Learning,
184-5.
[65] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo, p. 56
[66] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, 192
[67] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, 193.
[68] Lev, “The Fatimid Imposition”,
317
[69] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo, 45-46.
[70] Lev, “The Fatimid Imposition” p. 316 and Sanders, Ritual, Politics, and the City in Fatimid Cairo, p. 45.
[71] Michel Brett, “The Realm of the Imam: The Fatimids in the Tenth
Century”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies, vol. 59:3, 1996, 437-38.
[72] Lev, State and Society,
143 note 48
[73] Lev, “The Fatimid Imposition” 317 and Sanders, 124-5.
[74] Lev, “Fatimid Imposition”, 318.
[75] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo, 125-26.
[76] Lev, “Fatimid Imposition”, 318.
[77] Lev, “Fatimid Imposition”, pp. 320-23.
[78] Lev, “State and Society” 73-4.
[79] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 181.
[80] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 188.
[81] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo, p. 62.
[82] Sanders, Ritual, Politics,
and the City in Fatimid Cairo, pp. 56-57.
[83] Walker, “Fatimid Institutions of Learning”, p. 185.
[84] Lev, State and Society,
140
[85] Marshall Hodgson, The Venture
of Islam: Conscience and History in a World Civilization, Vol. II, 467;
Lapidus, A History of Islamic Societies,
292.
[86] Carl Petry, “The Civilian Elite” 16.
[87] Hodgson, The Venture of Islam, Vol. II, p. 419.
[88] Lapidus, A History of Islamic
Societies, 287, 291-92.
[89] Donald Little, “Religion Under the Mamluks”, The Muslim World, 1983, 73; reprinted in History and Historiography of the Mamluks, Variorum Reprints, 1986.
169 - 172.
[90] Little, “Religion under the Mamluks”, 171
[91] Robert Irwin, The Middle East in the Middle Ages: The
early Mamluk Sultanate 1250-1382, London: Croom Helm,
1986, 43.
[92] Little, “Religion Under the Mamluks”, 173-74.
[93] Sherman Jackson, “The Primacy of Domestic Politics: Ibn Bint
al-Aazz and the Establishment of Four Chief Judgeships in Mamluk Egypt”, Journal
of the American Oriental Society, vol.
115:1, 52-65.
[94] Jackson, “The Primacy of Domestic Politics”, 53.
[95] Jackson, “The Primacy of Domestic Politics”, p. 61, note 91
[96] Jackson, “The Primacy of Domestic Politics”, p. 54.
[97] Little, “Religion under the Mamluks”, 174.
[98] Lapidus, “Muslim Cities in the Later Middle Ages”, p. 135
[99] Berkey, “The Muhtasibs of Cairo Under the
Mamluks”, 252, 253
[100] Little, “The Detention of Ibn Taymiyya” 321.
[101] Ira Lapidus, Muslim Cities in the Later Middle Ages, Cambridge, MA: Harvard University Press, 1967, 131-34.
[102] Lapidus, Muslims Cities, 135.
[103] J. Nielson, “Secular Justice
in an Islamic State: Mazalim under the Bahri Mamluks 662/1264-789/1387”, Leiden: Nederlands
Historisch-Archaeologisch Istituut te Istanbul, 1985, 123
[104] S.D. Goitein, A Mediterranean
Society: The Jewish Communities of the Arab World as Portrayed in the Documents
of the Cairo Geniza, 6 volumes, Berkeley:
University of California, 1967-94, vol. II, 1971, 288
[105] Goitein, A Mediterranean
Society, 289
[106] Lev, State and Society,
180-81
[107] Lev, State and Society,
185-89.
[108] Lev, State and Society,
188.
[109] Lev, “Persecutions and Conversion to Islam in Eleventh-Century Egypt”, The Medieval Levant. Studies in Memory of Eliyahu Ashtor, Asian and African Studies, 22 (1988) pp. 77 - 84.
[110] Donald P. Little, “Coptic Conversion to Islam under the Bahri
Mamluks, 692-755/1293-1354”, Bulletin of
the School of Oriental and African Studies, vol. 39 (1976),
553-54.
[111] Little, “Coptic Conversion to Islam”, 556-64.
[112] Little, “Coptic Conversion to Islam”, 567-68
[113] Miriam Hoexter, “The Waqf and The Public Sphere”, The Public Sphere in Muslim Societies,
M. Hoexter, S. Eisenstadt, and N. Levitzion, eds., Albany NY: State University
of New York Press, 2002, 121
[114] Adam Sabra, Poverty and
Charity in Medieval Islam: Mamluk Egypt, 1250-1517, (Cambridge: Cambridge University Press, 2000, 70.
[115] Sabra, Poverty and Charity,
95-100
[116] Leonor Fernandes, “Mamluk Politics and Education: The Evidence
FromTwo Fourteenth Century Waqfiyya” Annals
Islamoques, vol. 23, 1987, 87-98.
[117] George Makdisi, The Rise of
Colleges: Institutions of Learning in Islam and the West, Edinburgh: Edinburgh University
Press, 1981, 35
[118] Makdisi, The Rise of Colleges,
38.
[119] Yehoshua Frenkel, “Political and Social Aspects of Islamic
Religious Endowments (“awqaf”): Saladin in Cairo (1169-73) and
Jerusalem (1187-93)”, Bulletin of the School of Oriental and African Studies,
University of London, vol. 62, 1999, 1-20.
[120] Leonor Fernandez, “Mamluk Politics and Education: The Evidence From
Two Fourteenth Century Waqfiyya” Annals
Islamoques, v. 24, 1987, p. 87. See
also Yacov Lev, Yacov, State and Society,
153, n.5;
[121] Hoexter, “The Waqf and The Public Sphere”, 129.
[122] Daphna Ephrat, “Religious Leadership and Associations in the Public
Sphere of Seljuk Baghdad” in Hoexter, Eisenstadt, and Levitzion, eds., The Public Sphere in Muslim Societies,
eds. State University of New York Press, Albany, NY, p. 32-3.
[jd1]See Engish version of these two sentences