Meninjau
Ulang Waktu Pelaksanaan Haji
Oleh
Masdar F. Mas'udi*
1. Sejak kurang lebih 10 tahun terakhir, jumlah umat Islam yang
menunaikan ibadah haji di Makkah mencapai rata-rata 2,5 sampai 3 juta
orang/tahun. Konsentrasi jemaah yang demikian besar di satu pihak dan
keterbatasan tempat dan sarana di lain pihak, telah menimbulkan masalah bahkan
penyimpangan yang dapat menggangu kesempurnaan atau keabsahan ibadah haji itu
sendiri. Bagi jemaah haji setempat (Makkah dan sekitarnya), gangguan yang menimpa
ibadah hajinya boleh jadi tidak terlalu menjadi masalah, karena bisa diulang
dengan mudah kapan saja mereka mau. Tapi bagi jemaah yang datang dari jauh
dengan biaya mahal, hal itu akan menjadi beban mental yang sangat berat.
Penyimpangan yang dimaksud, antara lain sebagai berikut:
a. Dalam
pelaksanaan sai'y (lari kecil) dari bukit Shafa ke bukit Marwa. Tidak sedikit
di antara jemaah haji --bukan saja yang berusia lanjut dan udzur, tapi juga
yang masih sehat-- yang bersa'iy dengan kerata. Ternyata pelaksanaan sa'iy
mereka bukan lagi dari bukit Shafa ke bukit Marwa, melainkan hanya dari kaki
bukitnya belaka.
b. Pelaksanaan
mabit di Muzdalifah. Karena antrian kendaraan dalam kemacetan yang luar biasa,
tidak sedikit jemaah haji yang seharusnya mabit (singgah di malam hari) di
Muzdalifah untuk mengambil kerikil (jamarat), ternyata baru tiba di Muzdalifah
sesudah mata hari terbit, bahkan ada yang menjelang tengah hari.
c. Mabit di lembah
Mina. Disebabkan keterbatasan area lembah Mina untuk menapung jemaah haji yang
(baru) 2,5 juta orang, hampir 1 juta di antara mereka dalam beberapa tahun
belakangan, terpaksa harus diinapkan (mabit) di luar kawasan Mina.
d. Pelaksanaan
lempar batu (ramyul jamarat). Juga disebabkan ketidakmampuan kawasan jamarat
untuk menampung jemaah yang berjubel, maka ratusan ribu bahkan jutaan jemaah
terpaksa tidak dapat mengejar waktu afdlaliyat pelemparan, yakni ba'daz zawal.
2. Di samping masalah manasik di atas, secara teknis konsentrasi
massa jemaah yang besar dalam satu titik waktu & tempat yang sama juga
telah menimbulkan banyak permasalahan dan kesulitan (masyaqat) yang luar biasa
dalam pelaksanaan ibadah haji itu sendiri. Kesulitan-kesulitan itu antara lain:
a. Dalam
pelaksanaan lempar Jamarat, sekali lagi disebabkan penumpukan jemaah yang luar
biasa banyak pada satu titik waktu dan tempat yang sama, selalu saja terjadi
musibah yang fatal, yakni kematian jemaah karena terinjak atau terjatuh. Segala
sesuatu memang terjadi atas takdir Allah, akan tetapi merupakan perintah Allah
juga agar kita berikhtiar semaksimal mungkin untuk menghindari petaka. Allah
berfirman dalam QS. Al-Baqarah [2]: 195: "Walâ tulqû bi aidîkum ilat
tahlukah” (Jangan jerumuskan dirimu dalam petaka), dan juga dalam QS. AL-Hajj
ayat 78: "Mâ ja'alal-Lâh 'alaikum fid dîn min haraj” (Allah sekali-kali
tidak mau merepotkan kalian dalam beragama).
b. Telah terjadi
pemubadziran yang luar biasa atas berbagai fasilitas mabit di Mina (berupa
bangunan penginapan dan tenda-tenda permanen dengan alat pendinginnya, berikut
sarana jaringan air minum dan telekomunikasi), serta jaringan jalan tol
Makkah-Arafah-Mudzdalifah-Mina-Makkah. Kesemuanya itu terpakai maksimal hanya
dalam 4 hari selama 1 tahun. Bagaimanapun hal ini merupakan bentuk tabdzir yang
tidak diizinkan Allah SWT. Dalam QS. Al-Isrâ’ ayat 27 Allah berfirman:
"Innal mubadzzirîn kânû ikhwânas syayâthîn wa kânas syaithân li rabbihî
kafûra” (Sungguh orang-orang yang suka membuat kesia-siaan adalah
teman-temannya syetan... ).
c. Telah terjadi
kesulitan serius di kalangan para penyelenggara Perjalanan Haji, baik di tanah
suci maupun di masing-masing negara asal, sejak mulai dari tahap pendaftaran,
pembayaran, persiapan keberangkatan, pengangkutan ke tanah suci, dalam
penyediaan akomodasi dan pelayanan-pelayanan lain.
3. Berbagai penyimpangan manasik dan kesulitan teknis pelaksaaan
ibadah haji tersebut di atas, pangkal mulanya terjadi karena ketidakmampuan
ruang/tempat (space) untuk menampung jemaah haji yang demikian besar. Sementara
itu, kita tahu bahwa manasik haji pada dasarnya adalah ibadah yang konsep
dasarnya adalah "napak tilas" atas jejak Nabiyullah Adam AS (sang
bapa makhluk manusia) dan Nabiyullah Ibrahim AS (sang bapak tauhid manusia)
dalam menemukan Tuhan Yang Maha Esa, Allah subhanahu wa ta'ala. Sebagai proses
napak tilas, maka dimensi ruang atau tempat kejadian menjadi sangat penting
untuk dijaga akurasinya, dibanding dengan dimensi yang lain termasuk dimensi
waktu.
4. Menghadapi kenyatan-kenyataan di atas, maka pertanyaan kita
adalah: Bagaimana mengantisipasi ledakan jumlah jemaah haji di masa mendatang,
yang dipastikan akan terus bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk bumi yang menganut agama Islam? Jika dengan jumlah sekarang (2,5,
sampai 3 juta) saja telah terjadi penyimpangan manasik dan kesulitan teknis
yang luar biasa, bagaimana jika jumlah itu melonjak sampai 1,5 kali lipat (4
juta orang) atau bahkan 2 kali lipat (5 juta orang), atau lebih banyak lagi, 7
juta? Tidak mustahil sama sekali hal ini akan terjadi!
Solusi Yang Tidak
Dapat Diterima
5. Untuk mengatasi hal tersebut, sejauh ini telah ditempuh dua
solusi: Pertama, solusi yang disengaja, yakni pembatasan jumlah jemaah haji
dengan sistem kuota. Kedua, solusi yang tidak disengaja atau yang terjadi
secara begitu saja, yakni dengan penjebolan batas-batas ruang manasik itu
sendiri. Kedua solusi ini pada dasarnya tidak bisa diterima, karena yang
pertama tidak realistik, sedang solusi yang kedua secara Syar'iy bermasalah.
6. Solusi kuota untuk masing-masing negara dipastikan tidak bisa
efektif, bahkan disana-sini telah menimbulkan masalah baru yang tidak kalah
rumitnya. Karena itu solusi ini harus diabaikan karena beberapa hal:
a. Secara teknis,
pembatasan kuota akan memicu terjadinya ketimpangan antara supply (ketersediaan
jatah/kuota) dengan demand (minat orang Islam untuk menunaikan ibadah haji)
yang sudah pasti akan diikuti oleh tingkat kemahalan biaya di atas kewajaran.
Akibatnya bisa memicu terjadinya praktek suap (risywah) sekedar untuk
mendapatkan jatah.
b. Dalam kenyataannya,
sistem kuota yang telah diberlakukan beberapa tahun belakangan ini, juga tidak
mampu mengurangi atau membatasi jumlah jemaah haji sampai ke tingkat yang
sepadan dengan daya tampung ruang dan waktu yang tersedia. Buktinya,
penyimpangan manasik dengan menjebol batas ruang dan kesulitan-kesulitan teknis
seperti tersebut di atas tetap utuh, kalau bukan malah semakin parah.
c. Jika harus
diterapkan sistim kuota untuk mencari keseimbangan antara jumlah jemaah haji
dan daya tampung tempat-tempat pelaksanaan (masyâ’ir), terutama lembah Mina,
tempat lempar batu (jamarat) dan jalur-jalur transportasi, maka diperkirakan
jumlah jemaah tidak boleh lebih banyak dari 1,5 sampai dengan 2 juta orang
saja. Artinya sekarang pun sebenarnya sudah terjadi kelebihan jemaah sebanyak
kurang lebih 1 juta.
d. Dari sudut
syari'y, pembatasan jumlah jemaah haji bagaimanapun masih mengandung masalah.
Bagaimana bisa orang dilarang pergi haji? Lagi pula kemaslahatan yang akan
dikejar dengan penetapan kuota (seperti tersebut pada point a dan b) sejauh ini
belum pernah tercapai dan hampir pasti tidak akan pernah tercapai. Sebaliknya,
yang terjadi justru kemudaratan dalam ekses-ekses yang secara syr'iy
jelas-jelas dilarang.
7. Solusi untuk mencapai keseimbangan antara jumlah jemaah
dengan keterbatasan ruang/tempat dengan cara menjebol batas-batas ruang/tempat
itu sendiri, seperti yang selama ini dibiarkan terjadi, jelas harus diakhiri
karena justru bertentangan dengan konsep dasar ibadah haji sebagai "napak
tilas". Sebagai ibadah napak tilas, maka ketepatan atau kepersisan dimensi
ruang menjadi hal yang sangat fundamental dibanding dengan dimensi lain,
termasuk waktu.
Meninjau Ulang Soal
Waktu (Hari-hari) Haji
8. Untuk mengatasi problem di atas, baik penyimpangan manasik
maupun kemusykilan teknis pelaksanaan haji, maka satu-satunya jalan yang
tersedia adalah dengan mengakhiri kekeliruan kita dalam memahami konsep waktu
(baca: hari-hari) pelaksanaan ibadah haji. Dengan memperkirakan jumlah jemaah
haji yang tidak lama lagi pasti bisa mencapai angka 2 kali lipat dari sekarang,
yakni sekitar 4,5 juta atau bahkan 5 juta, maka mau tidak mau kita harus
kembali kepada petunjuk Al-Qur'an tentang waktu pelaksanaan ibadah haji. Dalam
surat Al-Baqarah ayat 197 jelas-jelas dinyatakan, bahwa, "Al-hajj asyhurun
ma'lûmât (Waktu haji adalah beberapa (3) bulan yang sudah maklum).
9. Ayat Al-Qur'an ini secara terang benderang (sharih)
menegaskan bahwa waktu pelaksanaan ibadah haji adalah beberapa bulan yang sudah
maklum (asyhurun maklumat). Para mufassir dan para ulama mengatakan bahwa yang
dimaksud adalah bulan Syawwal, Dzulqa'dah, dan Dzulhijjah. Menurut ulama
Hanabilah, waktu haji yang dimaksud adalah keseluruhan hari selama tiga bulan
tesebut. Menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi'iyah yang dimaksud adalah
seluruh hari-hari bulan Syawwal dan Dzulqa'dah ditambah 10 hari pertama bulan
Dzulhijjah.
10. Artinya, waktu pelaksanaan ibadah haji sesungguhnya tidaklah
sesempit yang kita pahami selama ini, seolah-olah hanya sekitar 6 hari saja,
yakni hari-hari ke 8, 9, 10, 11, 12, 13 dari bulan Dzulhijjah. Berdasarkan nash
Al-Qur'an tersebut, kita diberitahu bahwa seluruh prosesi (manasik) haji mulai
dari pengenaan pakaian ihram, thawaf, sa-'iy, wuquf di Arafah, wuquf di
Muzdalifah, mabit di Mina, melempar batu, dan potong rambut, sebagai satu paket
peribadatan, dapat (baca: sah) dilaksanakan secara berurut (tertib) pada
hari-hari mana saja selama asyhurun ma'lûmât (3 bulan) tersebut.
11. Ini tidak bedanya dengan shalat, sebutlah shalat Isya. Untuk
menunaikan salat 'Isya, waktu yang dibutuhkan lebih kurang 10 s/d 20 menit
saja, sementara waktu yang disediakan membentang selama kurang lebih 9 jam
sejak katakanlah pukul 19.00 sampai pukul 04.00 WIB. Bahwa Rasulullah SAW
sering melaksanakan shalat Isya dan shalat wajib yang lain pada beberapa menit
di awal waktu, adalah benar. Akan tetapi sunnah Rasul yang demikian itu sama
sekali tidak berarti bahwa hanya pada menit-menit pertama di awal waktu sajalah
shalat sah dilaksanakan, sementara di luar itu tidak sah.
12. Dalam teori Fiqih, berkaitan dengan dimensi waktu,
pelaksanaan ibadah bisa dikelompokkan pada dua kategori. Pertama kewajiban
ibadah yang waktunya terbatas (mudlayyaq), artinya waktu yang diperlukan untuk
pelaksanaan ibadah itu sendiri sama panjang/pendek dengan waktu yang disediakan
oleh Syara'. Misalnya puasa Ramadlan. Ibadah ini hari-hari pelaksanaannya tidak
lain adalah hari-hari bulan Ramadlan itu saja (kecuali qadla), dan waktunya
(jam-jamannya) juga terbatas sejak terbit fajar sampai terbenam matahari.
13. Kedua adalah ibadah yang waktunya longgar (muwassa').
Artinya waktu yang disediakan Syara' dan sah untuk pelaksanaan ibadah yang
dimaksud, lebih panjang dibanding dengan waktu yang secara riil dibutuhkan.
Masuk katagori ini adalah ibadah salat, zakat dan haji. Kita tahu untuk
menunaikan shalat cukup beberapa menit, tapi waktu yang disediakan berjam-jam.
Pembayaran zakat juga cukup beberapa menit, tapi waktu yang tersedia sepanjang
bulan Ramadlan (untuk zakat Fitrah) atau sepanjang tahun untuk zakat mal.
Demikian pula haji. Untuk pelaksanaan haji cukup beberapa (4-5 hari), tapi
waktu yang disediakan dan sah untuk menunaikannya beberapa (3) bulan.
14. Maka berbeda dengan puasa dengan konsep waktunya yang
terbatas (mudlayyaq), maka yang ada adalah waqtul wujûb (waktu wajib
pelaksanaan) dan sekaligus waqtus shihhah (waktu keabsahan), Tapi ibadah salat,
zakat dan haji, mengenal waqtus shihhat (waktu kebolehan dan keabsahan untuk
menjalankan) dan waktu afdlaliyyat atau prime time (waktu keutamaan). Waktu
afdlaliyah salat adalah menit-menit pertama di awal waktu, sementara waktu
afdlaliyah (prime time) untuk haji rupanya adalah pada hari-hari akhir di
penghujung waktu Sekali lagi, ini bukan berarti pelaksanaan salat di luar
menit-menit pertama atau ibadah haji di luar har-hari terakhir tidak sah. Tapi
afdlaliyat-nya atau keutamaannya kurang.
15. Pemahaman yang berlaku selama ini bahwa pelaksanaan haji
seolah-olah hanya sah pada beberapa hari saja di bulan Dzulhijjah, persisnya
tanggal 8, 9, 10 ditambah 11, 12, 13, pada dasarnya lahir dari pemahaman yang
tidak tepat terhadap sunnah Rasululah SAW perihal pelaksanaan ibadah haji
beliau, yang memang terjadi hanya satu kali sepanjang hidup beliau. Memang
benar bahwa Rasulullah dan sejumlah sahabat melaksanakan manasik haji pada
hari-hari tersebut. Akan tetapi bahwa kemudian disimpulkan seolah-olah di luar
hari-hari tersebut tidak sah untuk melaksanakan manasik haji adalah kesimpulan
yang berlebihan dan sama sekali tidak berdasar.
16. Harus ditegaskan bahwa, tidak ada satu nash pun, baik ayat
Al-Qur'an maupun hadits Nabi, bahkan yang dla’îf sekalipun, yang menyatakan
dengan tegas bahwa di luar hari-hari ke 8 sampai dengan ke 13 Dzulhijjah tidak
sah untuk menunaikan manasik haji. Kalau saja ada hadis yang menyatakan
demikian, dan kenyataannya tidak ada, maka hadits itu harus ditolak, di samping
karena jelas-jelas tidak sesuai dengan kebutuhan yang sangat nyata (hajjah
maassah) sekaligus hal itu juga berarti pengabaian terhadap nash Al-Qur'an yang
demikian terang benderang perihal waktu haji yang beberapa (3) bulan itu.
17. Diakui bahwa ada hadits sahih yang berbunyi, "Khudzû
'annî manâsikakum (Ambil atau contohkah dariku manasik kalian). Hadis ini harus
kita ikuti sebatas menyangkut prosesi (manasik) ibadah haji (baik syarat,
rukun, kewajiban dan kesunatan haji, serta tertib atau urut-urutannya), juga
menyangkut waktu (siang, malam, qabla atau ba'da fajr atau zawal). Tapi bukan
menyangkut waktu dalam arti tanggal atau hari-harinya. Karena perihal yang tersebut
terakhir (hari-hari atau tanggal), sekali lagi Al-Qur'an telah menegaskan,
asyhurun maklumat atau beberapa (3) bulan yang sudah maklum.
18. Dengan pendekatan ini pulalah kita seharusnya memahami hadis
lain dari Rasulullah yang menyatakan, Al-hajju 'arafah (Haji adalah Arafah).
Hadis ini, selama ini juga dipahami secara berlebihan. Yakni bahwa puncak
ibadah haji adalah wuquf DI padang Arafah dan DI HARI Arafah tanggal 9
Dzulhijjah. Karena dipahami demikian, maka nash Al-Qur'an yang sharih tentang waktu
haji yang beberapa (3 ) bulan itu pun akhirnya dikorbankan (diilgho’-kan). Yang
adil bahwa hadis al-hajj arafah, cukup dipahami bahwa "puncak ibadah haji
adalah wuquf di Arafah. Sementara pada hari mana atau tanggal berapa haji
dengan puncaknya berupa wuquf di Arafah itu dilaksanakan adalah "selama
beberapa (3) bulan” musim haji itu sendiri.
19. Ada yang berpendapat bahwa penegasan Al-Qur'an tentang
bulan-bulan haji tidak dimaksudkan untuk keabsahan ibadah haji selama
bulan-bulan itu, melainkan untuk persiapan. Pendapat ini tidak bisa diterima,
bahkan terasa mengada-ada. Pertama, tidak pernah ada nash hadis maupun pandapat
ulama/mufassir mu'tabar yang menyatakan demikian Kedua, yang dimaksud persiapan
ini tidak jelas batasannya, apakah dimulai dari mencari uang dan menabungnya,
atau dari saat mengurus paspor, atau saat keluar rumah untuk melakukan
perjalanan ke tanah suci. Tapi apa pun batasannya, bagi penduduk Tanah Suci
memahami ayat Al-Baqarah 197 untuk persiapan, terasa mengada-ada. Bagi mereka,
sekedar persiapan berhaji harus disediakan waktu behitung bulan sama sekali
tidak masuk akal. Karena pada saat ini mereka niat haji, pada saat itu pula
mereka bisa melaksanakannya.
20. Peninjauan kembali waktu haji dengan merujuk kepada surat
Al-Baqarah ayat 197 terasa lebih adil terhadap nash. Karena prinsip yang
dipakai adalah al-jam'u bainan nashhain (menggabungkan) kedua nash yang
dipahami bertentangan padahal sebenarnya tidak. Yakni antara nash hadis
(al-hajju arafah dengan khudzû 'annî manâsikakum) di satu pihak dan nash
Al-Qur'an (al-hajj asyhurun ma'lûmât) di lain pihak. Karena nash pertama
berbicara perihal aktivitas (manasik atau prosesi ibadah) haji dan tempatnya,
sedang nash kedua yakni nash Al-Qur'an bicara soal waktu dalam arti hari-hari
atau tanggalnya. Lagi pula, seluruh ulama usul sepakat bahwa, bagaimana pun
memungsikan nash harus menjadi pilihan utama dibanding menganggurkannya
(I'mâlun nash afdlal min ihmâlih).
21. Dengan memungsikan kembali nash Al-Qur'an al-hajj asyhurun
ma'lû,ât (waktu pelaksanaan ibadah haji adalah beberapa (3) bulan yang sudah
maklum), maka dapat kita hindarkan mafasid dan kita dapatkan masalih sebagai
berikut:
a. Kemungkinan
penambahan jemaah haji seberapa pun banyaknya, bahkan sampai dengan 10 atau 15
juta pertahun pun seperti yang sangat mungkin terjadi sejalan dengan semakin
berbondong-bondongnya umat manusia di dunia yang memeluk agama Islam, tidak
perlu menjadi masalah.
b. Jumlah jemaah
haji yang sebesar apa pun dijamin dapat melaksanakan ibadah haji dengan tertib
melalui pengaturan waktu, katakanlah secara bergilir berdasarkan zona atau
kawasan/negara selama bulan-bulan haji yang ditentukan tadi (yakni sekitar 10
pekan, sejak tanggal 1 Syawwal sampai dengan tanggal 13 bulan Dzulhijjah).
c. Musibah yang
selama ini banyak menimpa jemaah calon haji wanita yang sudah di Makkah, tapi
tiba-tiba tidak boleh menunaikan rukun-rukun haji karena datang bulan, bisa
dihindari. Bagi mereka, boleh memilih hari-hari aman (tidak mens) kapan saja
(di luar hari-hari 8-13 Dzulhijjah) untuk menunaikan ibadah hajinya asal dalam
rentang waktu 3 bulan yang dimaksud.
d. Ketidakmampuan
masyâ’ir (tempat-tempat untuk pelaksanaan sa'iy, thawaf, wuquf di Arafah, di
Mudzdalifah dan mabit di Mina, serta tempat melempar jamarat) dengan otomatis
bisa diatasi. Pelanggaran batas-batas masya'ir yang selama ini terjadi dengan
sendirinya dapat dihindari.
e. Keterbatasan
alat angkut dan jalur transportasi yang selama ini dirasakan sangat sulit oleh
jemaah haji dan para pengorganisirnya juga dengan pasti dapat dipecahkan.
f. Demikian pula
pemubadziran sarana-sarana infrastruktur untuk pelaksanan ibadah haji, seperti
alat dan jalur transportasi, tempat-tempat penginapan, pemondokan dan akomodasi
baik di kota Makkah sendri, di padang Arafah, di lembah Mina dan di Jamarat
juga akan dapat diminimalisir.
g. Pengorganisasian
penyelenggaraan ibadah haji yang menjadi tanggungjawab pemerintah negara-negara
asal, dan khususnya di Tanah Suci juga dengan sendirinya akan lebih dapat
manageable.
h. Di atas segalanya,
kita umat Islam bisa terhindar dari kekhilafan turun temurun yang kita warisi
selama ini, berupa pengabaian ayat Al-Qur'an yang demikian sharih, yang semakin
terbukti merepotkan kita semua, khususnya jemaah haji yang semakin hari akan
terus semakin bertambah.
22. Sebagai penutup ayat-ayat Al-Qur'an dan hadis-hadis berikut
sebaiknya kita renungkan kembali:
* Lâ yukallifulLah nafsan illâ wus'aha (Allah tidak akan
membebani manusia kecuali seukur kemampuannya) (QS. Al-Baqarah [2]: 286).
* Lâ nukallifu nafsan illâ wus'aha (Kami tidak akan membebani
manusia kecuali seukur kemampuannya). (QS. Al-A'raf: 41)
* Wamâ ana minal mutakallifin (Aku bukanlah termasuk yang suka
memikulkan beban di atas kemampuan). (QS. Shad: 86).
* Mâ ja'alalLah 'alaikum fid dîni min haraj (Allah tidak
menjadikan agama suatu beban yang merepotkan kalian) (QS. Al-Hajj: 78).
* Mâ yurîdulLâh liyaj'ala 'alaikum min haraj (Allah tidak
menghendaki satu kesulitan atas kalian) (QS. Al-Maidah [5]: 6)
* YurîdulLâh bikumul yusra wa lâ yurîdu bikumul 'usr (Allah
menginginkan yang mudah bukan yang sulit-sulit atas kalian) (QS. Al-Baqarah:
185).
* Bu'itstu bilhanafiyatis samhah (Aku diutus Allah dengan agama
yang hanif dan mudah (Al-Hadis).
* Yassir wa lâ tu'assir (Permudahlah dan jangan mempersulit
(Al-Hadis).
* Al-masyaqqah tajlibut taisîr (Setiap kesulitan dapat
mendatangkan kemudahan (Qaidah Fiqhiyah).
* Al-drarar yuzâl (Kemudaratan harus dihilangkan) (Al-Hadis).
* Katib Syuriyah PBNU & Anggota Dewan Fatwa MUI.