Fahmi
Huwaidi dan Konsep "Dzimmah"
Oleh
Ulil Abshar-Abdalla
01/06/2003
Apakah
kita masih bisa mempertahankan konsep klasik tentang dzimmiatau ahludz dzimmah?
Dalam konspek politik Islam klasik, orang-orang non-Muslim yang tidak memusuhi
orang Islam (kafir dzimmi), diberikan perlindungan dan proteksi politik, tetapi
dengan status kewaganegaraan kelas dua. Dalam debat mutakhir tentang syariat
Islam, ada sejumlah kelompok Islam yang mengatakan bahwa imperatif pelaksanaan
Islam mencakup seluruh konsep yang ada dalam warisan klasik, termasuk konsep
dzimmah.
Ada
sebuah buku yang saya baca baru-baru ini,
karangan Fahmi Huwaidy, penulis Mesir yang mewakili kalangan enlightened
Islamist, berjudul "Muwathinun La Dzimmiyyun" (Warga Negara, Bukan
Orang-Orang Dzimmi). Bagi saya, ini adalah ijtihad mutakhir tentang pokok
masalah yang amat penting dalam konsep politik modern, yaitu soal
kewarganegaraan (dalam Islam, tidak ada padanan yang baik bagi istilah
citizenship sebagaimana dikenal dalam pengertian modern).
Buku
itu memberikan interpretasi yang sangat baik dan kritis mengenai hubungan
antara warga negara Muslim dan warga negara non-Muslim. Dengan sangat jelas dan
tanpa tedeng aling-aling, Huwaidy mengatakan bahwa konsep klasik tentang dzimmy
(warga negara non-muslim yang dilindungi), meskipun workable pada zamannya,
sudah tidak bisa lagi dipakai sekarang ini.
Umat
Islam tidak bisa menghindar dari kenyataan baru yang sama sekali berbeda di
mana dasar "keanggotaan dalam sebuah negara" ditentukan bukan oleh
agama, tetapi oleh prinsip muwathanah, atau nasionalitas. Yang menghubungkan
antara satu dan lain orang dalam sebuah negara bukan karena mereka satu agama,
tetapi karena kesatuan nasionalitas.
Huwaidy,
menurut saya, dengan sangat baik menggabungkan antara cara pandang ulama dan
cara pandang kaum cendekiawan modern. Karena kefasihannya dan kepiawaiannya
menulis, bagi saya Huwaidy tidak kalah memikat dibanding penulis Mesir lain
yang sangat tajam, artikulatif, dan prolifik, Muhammad Al Ghazali (almarhum).
Kita
perlu cendekiawan Muslim semacam itu: seseorang yang bisa memperlihatkan
kombinasi yang pas antara penguasaan tradisi dan peralatan analisa yang
berkembang dalam ilmu-ilmu modern. Kita tidak butuh orang-orang yang sekedar
bersikap apologetik, sikap yang menganggap bahwa dalam Islam segala hal sudah
tersedia lengkap, sehingga tak perlu usaha belajar dari peradaban lain.
Tetapi,
kita juga menolak sikap “pembebekan intelektual” yang tak kritis terhadap
apa-apa yang datang dari “luar”; entah “luar” itu diartikan “barat” atau
“timur”. Dari cendekiawan semacam itulh kita bisa berharap bahwa ideal Islam
bias diterjemahkan secara relatif tepat dan kongruen dengan perkembangan dan
pengalaman manusia modern, termasuk pengalaman “bernegara” yang jelas sudah
jauh berbeda dengan zaman Rasul, sahabat, tabi’in atau para sultan di zaman
klasik.