Demonisasi
Oleh
Luthfi Assyaukanie
20/06/2005
Demonisasi berasal
dari kata “demon” yang berarti “setan” atau “iblis.” Kata ini digunakan untuk
menunjukkan perilaku seseorang yang kerap menganggap orang lain seperti “setan”
atau “iblis.” Menurut para psikolog, orang seperti ini cenderung punya kelainan
jiwa (mental disorder), karena merasa dirinya paling benar dan paling bersih.
Demonisasi berasal
dari kata “demon” yang berarti “setan” atau “iblis.” Kata ini digunakan untuk
menunjukkan perilaku seseorang yang kerap menganggap orang lain seperti “setan”
atau “iblis.” Menurut para psikolog, orang seperti ini cenderung punya kelainan
jiwa (mental disorder), karena merasa dirinya paling benar dan paling bersih.
Para psikolog
menemukan kemiripan antara orang yang suka melakukan demonisasi dengan perilaku
intoleran, tertutup, dan antisemit (Perry and Schweitzer, Anti-Semitism, 2003).
Dalam konteks pemikiran keagamaan, orang-orang seperti ini tak mempercayai
pluralisme, dan cenderung berkeyakinan bahwa agama yang dipeluknya adalah yang
paling benar, dan pemahamannya adalah yang paling sah, sementara agama dan
pemahaman orang lain sesat dan salah.
Sikap demonisasi
kerap menghinggapi orang-orang yang merasa tidak nyaman (insecure), akibat
keterkejutannya berinteraksi dengan dunia di sekelilingnya. Perilaku ini tak
mengenal latar belakang sosiologi dan pendidikan. Siapa saja bisa terkena
gejala nurosis ini. Para penganut agama di antara yang paling sering ditemukan
mengidap perilaku demonisasi, khususnya jika mereka mengalami benturan
keyakinan yang hebat.
Dalam Islam,
perilaku demonisasi kerap dijumpai pada tokoh atau pemimpin yang merasa
memiliki missi suci untuk menyelamatkan dunia dari kebejatan dan kebobrokan
moral. Sayyid Qutb, salah satu tokoh penting pergerakan Islam, dalam
tulisan-tulisan dan ceramahnya, kerap melakukan demonisasi terhadap siapa saja
yang menurutnya bertentangan dengan ideologi dan keyakinan yang dianutnya.
Qutb dikenal
sebagai orang yang anti terhadap peradaban Barat dan anti terhadap modernnitas
secara umum. Barat, baginya adalah perwakilan iblis dan setan di muka bumi.
Seluruh sistem kehidupan yang dibentuk oleh orang-orang Barat modern adalah
sistem yang jahili (bodoh dan sesat).
Dalam
tulisan-tulisannya, seperti Ma’alim fi al-Tariq, Qutb tak hanya mencaci-maki
Barat dan modernitas, tapi siapa saja yang dianggap sesuai dengan Barat
disetankan dan diibliskan, termasuk orang-orang Muslim sendiri. Dia misalnya
menyamakan presiden Gamal Abd al-Naser, penguasa Mesir saat itu, sebagai Fir’aun,
tokoh antagonis yang dalam tradisi Islam kerap dilukiskan sebagai perwakilan
setan di dunia.
Penyakit
“mensetankan orang” juga menghinggapi sebagian kaum terpelajar Muslim di
Indonesia, yang merasa terkejut dan tak aman karena berhadapan dengan dunia di sekelilingnya
yang dianggap mengancam. Dalam sebuah artikel pendek, saya menemukan seorang
pelajar Muslim (yang sebetulnya tidak bodoh, karena terbukti telah menggondol
gelar PhD), yang membuat tulisan sangat provokatif, berjudul “Diabolisme
Intelektual” (Intelektual Pemuja Iblis).
Dalam tulisan itu,
ia mengerahkan seluruh energi amarahnya untuk mensetankan siapa saja yang
dianggapnya sesat. Dengan memilih potongan-potongan ayat Al-Qur’an (yang pasti
diseleksi dengan tidak jujur), dia menganggap para tokoh pembaru Islam seperti
Nurcholish Madjid, sebagai setan dan iblis. Tak sampai di sini, dia juga
mensetankan beberapa ulama besar Islam seperti Suhrawardi dan Hamzah Fansuri,
karena dianggap sebagai orang-orang yang menyimpang dari ajaran Islam.
Saya pernah
bertanya kepada seorang ahli psikologi tentang mengapa penyakit demonisasi
menghinggapi sebagian pelajar Islam. Sang psikolog menjawab bahwa sebagian
besar kasus-kasus demonisasi diakibatkan oleh ketidaknyamanan (insecure)
seseorang karena benturan yang begitu dahsyat dalam iman dan keyakinannya.
Ide-ide baru yang
datang dari luar Islam (terutama Barat) kerap mengganggu iman seorang Muslim.
Hal ini kemudian berakibat pada ketidakmampuannya dalam menerima
pandangan-pandangan berbeda, padahal pandangan-pandangan itu belum tentu
bertentangan dengan ajaran dasar Islam.
Orang cenderung
melakukan “penyetanan” bukan demi kebenaran, tapi karena ia berusaha membedakan
dirinya dari yang lain: “saya” dan “mereka.” Saya adalah kebenaran sedangkan
mereka adalah setan yang sesat. Dengan melakukan perbedaan yang ekstrim itu,
dia berusaha menghibur dirinya bahwa kebenaran selalu bersamanya sementara
kesesatan ada pada orang lain.
Dalam banyak kasus,
para pengidap demonisasi kerap tak sembuh, tapi bagi mereka yang cukup punya
matahati, terbuka, dan terus mau belajar, gejala nurosis itu sebetulnya bisa
dihilangkan. (Luthfi Assyaukanie).