Kritik
Atas Humanisme Eksistensialis
Tuesday, August 09 2005
Oleh: Mukhtar Luthfi
Islam sebagai agama fitrah beranggapan bahwa ketergantungan manusia terhadap
Tuhan pada hakikatnya ketergantungan manusia pada puncak kesempurnaan. Justru
ketergantunganya pada Tuhanlah yang menyebabkan ia menemukan hakikat dan jati
dirinya, bukan malah lalai pada dirinya sebagaimana anggapan kaum
eksistensialis.
John Paul Sartre (1905-1980), dalam bukunya "Asas Filsafat
Eksistensialisme" menjelaskan humanisme eksistensialis memiliki
kekhusussan-kekhususan pada prioritas eksistensi manusia dari quiditasnya dan
prinsip liberitas manusia sebagai sebuah kesempurnaan.
Humanisme eksistensialis berpendapat bahwa manusia sebelum eksis di alam
realita maka ia belum memiliki quiditas (mahiah) sehingga tidak mungkin untuk
didefinisikan. Akan tetapi setelah ia eksis di alam nyata, maka dengan
kebebasan memilih (ihktiar) yang ia miliki ia mampu untuk menentukan quiditas
dirinya sehingga dari situ ia bisa dikenali.
Adapun hal-hal lain selain manusia, walaupun mereka belum eksis di alam
realita, akan tetapi dikarenakan mereka telah memiliki quiditas sebelumnya maka
sebelum keberadaannya pun kita mampu untuk medefinisikannya. Namun disini ada
perpedaan pendapat antara kaum eksistensialis yang berlatar agamis dengan
mereka yang berlatar belakang atheis. Para eksistensialis agamis beranggapan
bahwa segala fenomena yang ada memiliki eksistensi, akan tetapi hal tersebut
ada pada Tuhan. Sedang mereka yang berpihak atheis meyakini bahwa hal tersebut
ada pada hukum determinasi alam.
Oleh karena itu John Paul Sartre berkata "Sebelum terwujud sesuatu yang
disebut manusia, maka tidak ada yang disebut sebagai peran pada manusia
tersebut". Dengan kata lain ia ingin mengetakan bahwa "Manusia adalah
sesuatu yang dihasilkan dari kebebasan memilih (free will)". Jadi
pandangan kaum humanisme eksistensialis tentang manusia ialah manusia pada
awalnya belum memiliki quiditas (mahiah), sedang quiditas yang ada muncul atas
dasar kehendak dan kebebasan memilih yang dimilikinya, hal ini yang membedakan
manusia dengan segalam fenomena yang ada di alam semesta ini.
Kekhususan yang kedua adalah liberitas manusia. Humanisme eksistensialis
berpendapat bahwa kesempurnaan manusia terletak pada ikhtiar (choice) dan
liberalitas yang ada pada dirinya. Dari sini akhirnya mereka beranggapan bahwa
"Semakin luas wilayah kebebasan pada diri manusia maka semakin sempurnalah
ia". Kemudian muncul pemikiran bahwa dikarenakan meyakini keberadaan Tuhan
memiliki kensekuensi-konsekuensi seperti; menerima syariat-syariat Nya,
penghambaan, begitu juga halnya dengan doktrin-doktrin agama seperti;
keberadaan fitrah ataupun keyakinan tentang penentuan quiditas manusia sebelum
keberadaannya dan kenabian, semua itu bertentangan dengan konsep liberalitas
manusia. Oleh karenanya kaum humanis khususnya yang berpikiran eksistensialis,
mereka sangat menentang semua itu karena mereka menganggap bahwa itu semua
ibarat tembok pembatas kebebasan manusia.
Yang lebih ekstrim lagi, para eksistensialis, masih merujuk pada karya Jhon
Paul Sartre, meyakini bahwa karena hanya manusia yang memiliki kebebasan dari
semua fenomena alam yang ada, oleh karenanya tidak ada yang berhak membatasi
keabsolutan kebebasan yang dimilikinya. Walaupun hal tersebut bernama
"hukum kausalitas". Karena hanya dengan kebebasan manusia, maka ia
sendiri yang akan menentukan quiditas eksistensinya.
Kritik atas Eksistensialisme
Ada dua kemungkinan dari ungkapan mereka tentang "manusia tidak memiliki
quiditas sebelumnya". Pertama, jika yang mereka maksud dengan quiditas
tadi adalah yang sering kita temukan dalam pembahasan filsafat maka hal
tersebut adalah mustahil. Karena telah jelas bahwa segala sesuatu selain
wajibul wujud (necessary being) yaitu Tuhan swt, memiliki quiditas yang
berfungsi sebagai pembatas. Dikarenakan setiap wujud yang terbatas harus
memiliki pembatas, maka quiditas yang berfungsi sebagai pembatas tadi pasti ada
pada setiap dzat yang terbatas tersebut.
Kedua, jika yang mereka maksud dengan quiditas adalah rupa atau bentuk manusia
itu sendiri, maka hal tersebut sedikit banyak kita bisa bertoleransi untuk
menerimanya. Karena hal tersebut masih bisa diterima dan disesuaikan dengan
konteks-konteks agama yang ada ataupun argumen-argumen dalam filsafat Islam.
Khususnya filsafat Mulla Shadra yang mengatakan bahwa penentu quiditas (baca;
hakekat) manusia adalah manusia itu sendiri. Oleh karenanya sering kita dapati
dalam pembahasan-pembahasan yang berkenaan dengan perubahan wujud umat
terdahulu yang dikutuk menjadi hewan (baca kisah nabi Musa as dalam al-Quran)
atau pun pembangkita-pembangkitan manusia-manusia di hari kiamat kelak menjadi
berbagai bentuk hewan dan seterusnya.
Sehubungan dengan azaz "liberalitas manusia" yang mereka yakini, jika
yang mereka yakini sebatas bahwa tidak ada bentuk determinisi apapun yang
menguasai manusia yang menyebabkan menusia terlepas dari ikhtiar yang ia
miliki, hal ini bisa kita terima. Akan tetapi kenyataannya kaum eksistensialis
lebih cenderung pada "otoritas mutlak manusia" yang pemikiran
tersebut lebih mirip dengan pemikiran penyerahan mutlak (tafwidh) yang diyakini
kaum mu'tazilah.
Kaum eksistensialis beranggapan bahwa manusia disaat terdapat dalam dirinya rasa
tergantung dengan sesuatu yang lalu akan menyebabkan; pertama, manusia akan
lalai pada dirinnya sendiri akibat konsentrasi pada sesuatu yang lain tersebut.
Kedua, manusia akan melupakan norma-norma kemanusiaan yang ada pada dirinya.
Ketiga, manusia akan terkekang dan terpenjara dengan apa yang ia gantunngkan
selama ini, hal tersebut berakhir pada tidak terwujudnya gerakan menuju
kesempurnaan dirinya. Yang berakibat hilangnya jiwa kemanusiaan (kebebasan)
oleh karena tiga hal tersebut diatas. Untuk itu maka manusia harus bebas mutlak
dari segala kaitan-kaitan yang ada termasuk keterkaitan pada Tuhan.
Islam meyakini bahwa dikarenakan setiap insan memiliki fitrah, yang fitrah
tersebut memiliki banyak kekhususan. Dan dari setiap kekhususan yang ada
tersebut terdapat sisi kesamaannya yaitu mencintai dan mencari kesempurnaan.
Oleh karena kesempurnaan absolut hanya ada pada dzat Tuhan swt, maka setiap
insan disadari atau tidak dengan fitrahnya ia mencintai dan mencari Tuhan. Maka
Tuhan adalah tujuan dan kesempurnaan akhir manusia.
Islam sebagai agama fitrah beranggapan bahwa ketergantungan manusia terhadap
Tuhan pada hakikatnya ketergantungan manusia pada puncak kesempurnaan. Justru
ketergantunganya pada Tuhanlah yang menyebabkan ia menemukan hakikat dan jati dirinya,
bukan malah lalai pada dirinya sebagaimana anggapan kaum eksistensialis. Dengan
ucapan yang lebih ringkas bahwa sewaktu manusia meyakini ketergantungannya pada
Tuhan berarti munculnya ketergantungan dan keterkaitan antara diri
(baca:pribadi) yang serba kekurangan kepada kepada diri yang sempurna. Sehingga
kekurangan tadi bisa ditutupi dengan kesempurnaan tersebut.
Dalam ajaran filsafat, khususnya filsafat Mulla Shadra, sering disinggung bahwa
pemprakarsa (efficient cause) satu ciptaan hubungannya lebih dekat terhadap
citaannya dibanding hubungan antara hasil ciptaan tersebut dengan dirinya
sendiri. Sebagaimana disinggung oleh Allah swt:
"Dan kami lebih dekat kepadanya daripada kamu"(al-Waqiah, 85).
Dalam ayat lain disebutkan bahwa lalai atas Allah sama halnya dengan lalai pada
dirinya sendiri:
"Dan janganlah kalian menjadi seperti mereka yang melupakan Allah maka
mereka melupakan diri mereka sendiri"
Dari sinilah dapat kita ketahui bahwa keterikatan manusia pada Tuhan merupakan
perwujudan dari keterkaitan pada diri atau pribadi yang sempurna. Oleh
karenanya tidak bisa dikatakan bahwa hal tersebut bertentangan dengan kebebasan
manusia ataupun menyebabkan lupa dan lalai pada jatidirinya.
Keterkaitan manusia pada esensi diri dan kesempurnaannya justru memberikan
reaksi besar dalam usaha untuk menghidupkan norma-norma kemanusiaannya. Untuk
itu siapapun yang penghambaanyya pada Tuhan semakin kokoh maka semakin kokoh
pulalah norma-norma kemanusiaannya. Hal tersebut yang menjadi penekanan dalam
pembahasan filsafat ibadah dalam Islam.
Kesalahan fatal para eksistensialis adalah mereka telah mencampuradukkan antara
tujuan dan sarana mencapai tujuan. Diakui bahwa kebebasan yang dimiliki oleh
mannusia adalah satu bentuk kesempurnaan bagi dirnya, tapi kesempurnaan dalam
wacana, sarana dan prasarana dan bukan tujuan. Sehingga dengan kesempurnaan
sarana manusia bisa mampu menggapai kesempurnaan tujuan. Tapi para
eksistensialis menganggap bahwa kebebasan itu sendiri adalah kesempurnaan
mutlak bagi manusia, sehingga ketika manusia berhasil melawan dan menentang
kekuatan yang ingin menguasai dan membatasi ruang lingkup gerak dirinya,
termasuk melawan kewajiban ilahiyah, mereka menganggap hal itu merupakan bentuk
kesempurnaan dan norma-norma kemanusiaan.[]
Pasca Sarjana Jurusan Perbandingan Mazhab