Kompas,
Sabtu, 23 Oktober 1999
Gus Dur, Presiden Santri
Oleh Sukidi
INILAH era baru kemenangan politik kaum santri. Bahkan, santri par excellence. Amien Rais adalah santri kaum modernis, terpilih sebagai Ketua MPR berkat restu politik Gus Dur; santri neomodernis yang atas prakarsa politik Amien Rais pula, terpilih sebagai "Presiden Santri" RI. Inilah track record baru kemenangan politik kaum santri, yang selama ini selain dikuyo-kuyo-maaf, meminjam istilah C Reksodikromo-"kaum abangan," juga telanjur dipandang sebelah mata-kampungan, tradisional, dan mengalami marjinalisasi secara ekonomi dan politik. Kaum santri telanjur dituduh oleh mantan tokoh PNI, Hadisoebono, sebagai "kaum sarungan", yang faktanya selama rezim Orde Baru, mengalami nasib tragis-dicampakkan dari arena politik. Akibatnya, energi kaum santri hanya terfokus di pesantren, pendidikan, dan urusan sosial-kemasyarakatan. Padahal, semua garapan itu, berada dibawah kendali (kebijakan) politik. Tragisnya lagi, kebijakan politik rezim abangan Orba, selalu memobilisasi massa santri demi kepentingan dan kekuasaan politik. Itulah intrik munafik rezim abangan Orba. Pesantren hanya digunakan lahan safari politik, kiai hanya dipakai sebagai vote getter dalam pemilu, sementara "kue politiknya" dilahap sendiri oleh penguasa bersama kroni-kroninya.
Tampilnya
Gus Dur sebagai Presiden keempat RI, Amien Rais sebagai Ketua MPR, adalah
megaprestasi kaum santri par excellence, yang meruntuhkan semua mitos dan fakta; bahwa
santri selalu berada di pinggir kekuasaan, dan karenanya tak boleh berkuasa.
Siapa bilang santri tak boleh berpolitik, dan karenanya menjadi makmum melulu.
Kini, Gus Dur-Amien Rais tampil; bukan saja sebagai simbol kemenangan politik
kaum santri, tetapi juga satu-satunya bukti, bahkan bukti awal bahwa lembaran
sejarah baru politik Indonesia dinakhodai oleh Presiden Santri KH Abdurrahman
"Gus Dur" Wahid.
Santri neomodernis
Gus
Dur adalah santri neomodernis. Jika santri modernis kehilangan akar tradisinya,
santri neomodernis justru tidak. Gus Dur, sang santri neomodernis itu, malah
berpijak pada akar asalnya (tradisi pesantren, ulama, hukum Islam, dan Al
Quran) sembari merumuskan visi kemodernan. Betul, ia berlatar belakang NU yang
"tradisional" itu. Tetapi jangan kaget jika ia pun pencetus ideologi
toleransi yang liberal dan pluralis. Ia adalah tokoh lintas agama, yang akrab
dalam tradisi pluralitas keagamaan.
Doa
bersama dan kerja sama antarumat beragama, merupakan tradisi spiritual Gus Dur
yang amat liberal. Ia, jika dipakai perspektif ilmu keagamaan mutakhir, sudah
akrab dengan tradisi "passing over" (perspektif "ziarah spiritual" yang
diperkenalkan John S Dunne), atau tradisi Petualangan Spiritual, "Spiritual
Adventure" gaya James Redfield, penulis novel spiritual yang bestselling di pasar Amerika, The Celestine Prophecy:
An Adventure (1993).
Wawasan
spiritual-keagamaan Gus Dur yang inklusif dan pluralis itu, menjadi jiwa dan
ruh dirinya dalam menatap hampir semua agenda besar. Agenda demokrasi dan
oposisi misalnya, yang menjadi keharusan dalam sistem politik modern, justru
berangkat dari wawasan keagamaan Gus Dur yang sudah mencapai tahap "al-hanifiyat
al-samhah".
Yakni, sikap keberagamaan yang inklusif, pluralis, dan kosmopolit. Ia dirikan
Forum Demokrasi, karena panggilan ayat suci Al Quran, perintah bermusyawarah
(syura). Sebagai demokrat, ia pun menjadi kiblat gerakan prodemokrasi, yang
untuk masanya, tampil sebagai figur oposisi-loyal terhadap jari-jemari
kekuasaan. Ia oposan terhadap penguasa yang korup dan otoriter, tetapi tetap
loyal terhadap cita-cita bersama. Yakni, mewujudkan persatuan dan kesatuan
bangsa di tengah kebhinnekaan.
Itulah
hakikat demokrasi yang dicintai Gus Dur. Bahkan, "saya tetap maju, bukan
karena apa-apa, tetapi karena cinta saya kepada demokrasi," sergah Gus Dur
yang mengesankan itu.
Tuntutan publik
Santri
demokrat memang langka. Tetapi, lebih langka lagi adalah santri demokrat yang
sukses tampil sebagai presiden. Itulah Gus Dur. Sewaktu berziarah ke makam
orangtuanya, "Ibu saya tampak sumringah (berseri-seri)," cerita mistik Gus
Dur, seraya menambahkan bahwa ziarah ke makam ayahnya merupakan awal
perpindahan fase; dari perjuangan dengan kekuatan rakyat ke arah perjuangan
pemerintahan. Dan terbukti benar, ia duduk sebagai Presiden Santri, santri par excellence, yang sekarang berjuang
di jalur politik praktis (pemerintahan).
Dalam
lika-liku politik praktis, watak demokrat Gus Dur betul-betul dimonitor publik.
Pada level elite politik, misalnya ia harus tampil bijak, adil dan akomodatif
dalam penyusunan komposisi kabinet pemerintahan baru. Komposisi personelnya,
sudah barang tentu didasarkan pada asas keadilan dan proporsionalitas, di
samping kualitas SDM yang menjadi kemestian. Pada proses ini, artikulasi watak
demokratis Gus Dur betul-betul diuji; sesuai harapan publik atau justru
mengecewakan.
Perlu
diingat, itu pun sebatas komposisi personel kabinet. Belum lagi menyentuh
tuntutan arus reformasi; mulai diadilinya Soeharto plus kroni-kroninya,
mencabut dwifungsi TNI, memberantas korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), sampai
muncul lagi sederetan agenda reformasi baru yakni adili Habibie dan tuntaskan
skandal Bank Bali.
Di
sisi lain, Gus Dur pun dihadapkan pada realitas massa bawah. Tercabik-cabiknya
kawasan Ambon, Irian, Riau, Sambas, Jakarta, sampai pulau Jawa, adalah potensi
aktual ledakan politik yang sewaktu-waktu bisa benar-benar me-ledak.
Dalam
kondisi inilah, Gus Dur dituntut arif, bijak, akomodatif, dan responsif
terhadap pergolakan politik arus bawah. Gus Dur, yang dulu berulang kali
menasihati Habibie agar peka politik, sekarang perlu membuktikan sendiri; sense of politics-nya, terutama, untuk
mendeteksi denyut nadi politik rakyat. Ketika rakyat bergolak, protes, dan
mengakibatkan kerusuhan, tentu sudah bukan zamannya lagi seorang "Presiden
Santri" menuding AS, ES, provokator di balik kerusuhan ini sampai
kerusuhan itu.
Perlu
sikap kenegarawanan sejati dalam mengelola konflik, termasuk mengelola konflik
secara bijak massa PDI-P dan massa Habibie.
Itulah
harapan utama pada figur Gus Dur, yang diharapkan tampil sebagai solidarity maker di tengah beragam
kelompok etnis, suku, agama, politik dan ideologis yang sedang bertikai. Gus
Dur, Insya Allah diharapkan bisa mengayomi semua kelompok dengan beragam
kepentingan. Jika ini berhasil, ia akan tercatat sebagai "Presiden
Santri" yang akomodatif dan inklusif di tengah pluralitas ide dan sarat
kepentingan politik. Perbaikan ekonomi pun, Insya Allah (kata santri) lambat
laun akan membaik. Tinggal, tugas Gus Dur yang paling demokratis adalah
mengantarkan pemilu yang akan datang secara luber dan demokratis, dengan sistem
politik, "presiden, wapres, dan wakil rakyat dipilih langsung oleh
rakyat." Inilah hakikat sejati demokrasi, yang Insya Allah diimpikan semua
orang.
(* Sukidi, staf Duta Besar RI di
Oslo, Norwegia, dan Alumnus Fak Syari'ah IAIN Ciputat.)