Zainal Abidin
Bagir, MA dan Fathi Aris Omar
Pertanyaanpun
muncul: bagaimana kelangsungan hidup embrio demokrasi dan nasib rezim otoriter
yang masih bercokol di sejumlah negara muslim itu? Apakah memang terdapat
ketidaksesuaian yang substansial antara Islam dan sistem demokrasi? Itulah
sebagian pertanyaan yang mengemuka pada seminar International Center for Islam
and Pluralism (ICIP) bertajuk The Future of Islam, Democracy, and Authoritarianism
in the Muslim World.
Rontoknya
sebagian rezim pemerintah otoriter dan kuatnya arus demokratisasi di berbagai
belahan dunia, ikut terasa auranya di sejumlah negara mayoritas berpenduduk
muslim. Pertanyaanpun muncul: bagaimana kelangsungan hidup embrio demokrasi dan
nasib rezim otoriter yang masih bercokol di sejumlah negara muslim itu? Apakah
memang terdapat ketidaksesuaian yang substansial antara Islam dan sistem
demokrasi? Itulah sebagian pertanyaan yang mengemuka pada seminar International
Center for Islam and Pluralism (ICIP) bertajuk The Future of Islam, Democracy,
and Authoritarianism in the Muslim World pada tanggal 6-7 Desember kemarin.
Guna
mereview hasil seminar tersebut, Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal
mewawancarai salah seorang perumus hasil seminar, Zainal Abidin Bagir, MA
(dosen Studi Agama dan Lintas Budaya UGM) dan seorang intelektual Malaysia,
Fathi Aris Omar (kolumnis Malaysiakini.com). Berikut petikan wawancara yang
berlangsung Kamis (16/12) tersebut.
NOVRIANTONI:
Bung Zainal, apa yang melatarbelakangi penyelenggaraan seminar The Future of
Islam, Democracy, and Authoritarianism in the Muslim World kemarin?
ZAINAL
ABIDIN BAGIR: Yang diperbincangkan selama dua hari itu adalah salah satu
masalah terpenting di dunia muslim saat ini, yaitu tentang Islam, demokrasi,
dan otoritarianisme. Di situ kita memperbincangkan pengalaman yang berbeda-beda
dari masing-masing wilayah negara muslim, baik dari Timur-Tengah maupun Asia.
Dari acara ini, kita dapat mendengarkan pengalaman yang berbeda-beda dari
berbagai wilayah tentang gagasan Islam dan demokrasi secara umum. Di situ
dipertanyakan apakah Islam compatible dengan demokrasi, dan
pertanyaan-pertanyaan lain.
NOVRIANTONI:
Apa yang bisa disimpulkan dari pertanyaan itu?
ZAB:
Sayang, yang bisa disimpulkan tidak terlalu tegas, tapi cukup bertanggung
jawab. Kalau bicara pada level teks tentang apakah Islam sesuai dengan
demokrasi atau tidak, akan banyak sekali tafsiran yang bisa dikemukakan dari
satu kitab yang sama. Dari Alquran, orang bisa menunjukkan kesesuaian antara
Islam dengan demokrasi. Dan dari sana juga, orang bisa menilai bahwa terdapat
sistem politik lain yang dianjurkan Islam.
Nah,
salah satu persoalan terbesar ketika bicara soal sistem pemerintahan Islam yang
ideal, yaitu soal apa yang kita jadikan acuan. Apakah kita mengacu pada teks
seperti Alquran, hadis, tafsir klasik, dan lain sebagainya, atau melihat sikap
pemeluk Islam, atau bentuk pemerintahan yang berkembang di mayoritas
negara-negara muslim. Kalau bicara pada level teks, saya kira jawabannya sangat
ambigu atau tidak bisa dipastikan. Jadi soal apakah Alquran mendukung demokrasi
atau tidak, akan tergantung pada kesimpulan umat Islam sendiri. Artinya, itu
bukan pertanyaan yang jawabannya tersedia begitu saja dalam Alquran.
NOVRIANTONI:
Artinya, masih tersedia ruang untuk kontestasi gagasan tentang sistem politik
apa yang paling ideal bagi dunia Islam?
ZAB:
Saya kira, banyak sekali pemikir muslim kontemporer yang menganggap demokrasi
adalah sistem terbaik yang sulit dicarikan alternatifnya, sekalipun kita juga
melihat kekurangan-kekurangan sistem demokrasi. Mungkin inilah sistem yang
terbaik dari yang terburuk. Tapi di antara yang berkontestasi dalam soal sistem
politik paling ideal itu, juga terdapat mereka yang mendambakan sistem negara
Islam, sistem khilafah, dan juga model Iran, yaitu sistem Velayat-e-Faqih.
Semuanya berusaha mencari justifikasi Alquran, dan sumber-sumber Islam lainnya.
NOVRIANTONI:
Bung Zainal, dalam seminar itu terlontar juga statemen bahwa otoritarianisme
dan demokrasi, secara umum tidak bisa dinilai baik-buruknya. Dalam beberapa
hal, sejumlah negara otoriter dapat dikatakan baik. Apa maksudnya?
ZAB:
Itu adalah pandangan Dr. Patricia Martinez, seorang pemikir dari Malaysia.
Pandangan itu tidak bisa diartikan bahwa dia mendukung negara yang ototiter.
Dia hanya ingin menegaskan bahwa otoritarianisme dan demokrasi itu bukan
sesuatu yang dapat dinilai baik dalam segala hal, atau buruk secara total.
Menurutnya, dalam kasus-kasus tertentu, sebentuk otoritarianisme mungkin
diperlukan dalam sebuah negara yang secara umum menerapkan demokrasi.
NOVRIANTONI:
Seperti Singapura, Malaysia, atau Cina?
ZAB:
Mungkin. Memang agak sulit menentukan seperti apa bentuk otoritarianisme yang
diperlukan itu. Tapi satu hal yang tidak bisa dipungkiri, pembangunan ekonomi
tentunya membutuhkan lebih banyak stabilitas. Untuk itu, kadang-kadang
diperlukan sedikit otoritariasme. Tapi hal penting lain yang disampaikan Dr.
Martinez ketika itu juga, sekarang bukan saatnya lagi berharap pada
otoritarianisme. Artinya, sudah lewat masanya ketika beberapa derajat
otoritarianisme bisa diterima.
NOVRIANTONI:
Bung Fathi, apa yang bisa Anda komentari dari pernyataan seperti tadi itu?
FATHI
ARIS OMAR: Saya tidak paham mengapa persoalan ini dibicarakan orang. Mengapa
harus dikontradiksikan antara kebebasan demokrasi dengan kemajuan ekonomi,
seperti dalam kasus Singapura atau Malaysia. Saya kira, seharusnya antara
kebebasan demokrasi dan kemajuan ekonomi berjalan seiring dan tidak perlu
dipertentangkan. Memang pada waktu-waktu tertentu seperti dalam kondisi
darurat, kita menemukan periode-periode yang sering memerlukan otoritarianisme.
Tapi kita juga tahu, kejadian seperti itu pada akhirnya menjadi antitesis atas
perkembangan manusia yang saat ini mengandalkan kemajuan ekonomi yang
berasaskan pengetahuan. Di situlah kreativitas manusia dan inovasi-inovasi baru
menjadi unsur terpenting kemajuan dan kesejahteraan. Itu semua membutuhkan
lebih banyak kebebasan. Saya kira, demokrasi selalu memberi ruang untuk
kemajuan.
NOVRIANTONI:
Bung Fathi, apakah Anda melihat peran signifikan NU dan Muhammadiyah sebagai
dua elemen civil society terbesar di Indonesia dalam memuluskan langkah
demokrasi elektoral di Indonesia pada pemilu kemarin? Dan, apakah Malaysia punya
institusi civil society yang cukup kuat mengimbangi pemerintah berkuasa?
FAO:
Saya kira Malaysia jauh lebih mundur dalam soal ini. Dalam tempo 6 tahun
terakhir, Indonesia jauh lebih maju. Malahan, ketika Orde Baru masih berjaya,
sebenarnya elemen-elemen civil society Islam di Indonesia sudah mengeluarkan
wacana-wacana yang manarik dan baru. Dan itu sebenarnya modal sosial yang
sangat berharga bagi Indonesia untuk melangkah ke depan. Di Malaysia, faktor
yang paling serius menghambat perkembangan masyarakat sipil atau civil society
adalah suasana yang tidak demokratis.
Suasana
yang tidak demokratis itu ikut menghambat perkembangan wacana-wacana Islam yang
lebih plural sifatnya. Kesulitan lain, wacana Islam yang cenderung
fundamentalis tidak pernah mendukung demokrasi. Tulang punggung gerakan oposisi
di Malaysia, yaitu Partai Islam se-Malaysia (PAS), sama sekali tidak
demokratis. Mereka tidak memunculkan wacana baru soal HAM, demokrasi,
feminisme, dan multikulturalisme. Semua itu belum dibicarakan secara mendalam,
baik oleh pihak oposisi, apalagi pemerintah.
NOVRIANTONI:
Bung Zainal, bagaimana Anda melihat peran NU dan Muhammadiyah sebagai dua
elemen civil society terbesar di Indonesia dalam menopang proses demokratisasi?
ZAB:
Peran keduanya sangat besar dalam menyebarkan pemahaman Islam yang bisa
menerima demokrasi, konsep HAM, keseteraan gender dan lainnya. Tapi selain
keduanya, yang tidak kalah penting adalah peran LSM-LSM yang lebih kecil, yang
bermunculan setelah zaman reformasi. Mereka inilah elemen-elemen masyarakat
sipil yang bisa masuk hingga ke level grassroot dan menyampaikan pemahaman
tentang konsep-konsep tersebut. Selain mereka, pemikiran-pemikiran para
intelektual muslim mutakhir, juga mampu menunjukkan bahwa demokrasi adalah
salah satu pilihan sistem politik terbaik untuk umat Islam saat ini. Salah satu
contohnya adalah salah seorang pembicara seminar ICIP kemarin, Prof. Dr. Khaled
Abou El Fadl. Meskipun dia tidak hadir secara fisik di tengah-tengah kita,
tulisan-tulisannya telah mengilhami banyak orang di Indonesia untuk memahami
kaitan antara Islam dan demokrasi secara lebih baik.
NOVRIANTONI:
Salah satu kesalahpahaman masyarakat Islam akan demokrasi adalah kekhawatiran
terseretnya ketentuan-ketentuan syariat yang sudah qath’i ke ranah mekanisme
voting. Apakah kehkawatiran ini cukup beralasan?
ZAB:
Saya kira harus diakui, dalam setiap agama terdapat hal-hal yang tidak bisa
diganggu gugat atau mutlak, dan itu tidak bisa didemokratikkan. Tapi perlu
diingat, kalau bicara demokrasi, kita sesungguhnya bicara soal sistem politik;
tentang sebuah sistem kemasyarakatan. Pembicaraan soal itu saya kira sangat
terbuka sesuai dengan apa yang dianggap ideal oleh masyarakat Islam. Ini juga
persoalan yang bersifat epistemologis, menyangkut bagaimana cara kita membaca
atau mendekati Alquran. Kita harus menetapkan Alquran sebagai apa? Kalau kita
menganggap Alquran adalah kitab moral, berisi ajaran tentang nilai-nilai, maka
kita mesti mencari nilai-nilai dari situ. Lalu dari situlah kita wajib
menggunakan akal untuk menerjemahkan nilai-nilai esensial tersebut ke dalam
sistem yang tepat untuk situasi saat ini. Hanya dengan cara itulah Islam akan
menjadi rahmat bagi semesta alam.
Jadi
ketika bicara soal Islam dan demokrasi, tidak berarti kita hendak merelatifkan
hal-hal yang mutlak di dalam Islam, tapi lebih pada soal penerjemahan Islam itu
sendiri. Untuk bisa kreatif, di situ kita dituntut mengoptimalkan penggunaan
akal. Inilah yang mungkin bisa juga disebut jihad; menggunakan akal untuk
menentukan sistem apa yang terbaik sebagai penerjemahan nilai-nilai Alquran.