Pengantar
Apa yang anda pikirkan manakala disodori
tulisan "Wanita dan Mal"? Mungkin, yang muncul adalah serangkai
pertanyaan. Mengapa wanita? Mengapa mal? Bagaimana kedua hal tersebut dikaitkan
secara filosofis manusiawi? Dapatkah subjek wanita menjadi representasi dari
seluruh manusia? Akankah hal ini akan mengganggu dunia feminitas secara luas
karena dengan ini seolah wanita dipadankan dengan sebuah objek buatan manusia
yang dipergunakan untuk memenuhi kepuasan manusia sekarang?
Paparan tentang tubuh pada masa kini
dilakukan secara luar biasa dan mengagumkan. Luar biasa, sebab di satu sisi
tubuh benar-benar dihadirkan maksimal antara lain: di televisi, papan reklame,
aneka video (termasuk VCD), dan media massa. Singkatnya, di segala saat dan
tempat kita akan bertemu dengan citra tubuh, dikurung oleh tubuh, seolah hanya
tubuhlah yang menjadi body
language paling efektif untuk dipahami. Mengagumkan, karena
penggalian dimensi tubuh menjadi begitu marak pada beberapa tahun belakangan
ini meski tidak dipungkiri bahwa refleksi mengenai tubuh, secara filosofis,
telah dilakukan sejak masa Yunani klasik dengan munculnya para filsuf yang
menjadikan tubuh sebagai subyek utama dalam permenungan mereka. Namun tidak
dipungkiri pula bila tubuh makin menjadi fokus dalam segala bidang kehidupan
dewasa ini.
Pemusatan pada tubuh, selanjutnya, menjadikan
tubuh itu sendiri sebagai bahan eksplorasi manusia. Tubuh ditelaah secara ilmu,
diatur dan dilatih dengan pelbagai bentuk senam kebugaran dan fitness centre, atau pula
disehatkan dengan macam-macam diet. Bahkan secara sinis, tubuh dijual untuk
memenuhi tuntutan hidup dan dijadikan sarana mendapatkan segala kebutuhan
manusia. Sepertinya tubuh dapat digunakan sebagai senjata pamungkas bila secara
manusiawi manusia telah berada di ambang batas kemampuan dirinya. Tubuh juga
menjadi sarana termudah untuk mendapatkan kesuksesan dan kemegahan di
tengah-tengah kerasnya kehidupan di dunia. Manusia berlomba-lomba untuk
mendapatkan segala yang diinginkan dengan tubuhnya. Sebaliknya, manusia juga
dihantui oleh iming-iming
kebahagiaan bila mampu menghadirkan tubuhnya seperti yang dipesankan iklan atau
dalam televisi. Manusia ditakutkan oleh keberadaan tubuhnya.
Kehadiran tulisan ini dimaksudkan untuk
sedikit melihat fenomena bagaimana tubuh itu diberi tempatnya dalam kehidupan.
Dan metode yang dipergunakan dalam penyusunan makalah ini adalah dengan
mengadakan riset-riset buku dan surat kabar.
Pada bagian awal pembahasan tubuh akan diletakkan
dalam konteks historisitas. Di sini akan disampaikan pemikiran-pemikiran para
filsuf mengenai sejauh mana tubuh tersebut mendapat perhatian. Adapun rentang
waktu yang disajikan adalah mulai sejak masa klasik hingga masa moderen.
Dari pemikiran-pemikiran yang disampaikan
para filsuf pembahasan tubuh akan makin diperdalam dengan mencoba menggali
makna tubuh lebih jauh. Dan secara khusus, kemudian, tubuh akan diletakkan
dalam budaya "mal"-isme yang sedang merebak dan menjadi "alam
baru" manusia. Adalah menarik bila mengamati bagaimana para pengunjung
bertindak dalam kegiatan yang disepakati dengan nama "berbelanja".
Kehadiran mereka, secara persepsi, dapat disebut dengan "tubuh".
Menguak Tubuh dalam Historisitas Filosofis
Periode Klasik
Bila manusia bertanya, "Apakah tubuh
itu?" maka sebenarnya ia berhadapan dengan realita kediriannya sendiri.
Tubuh yang dipertanyakan sesungguhnya adalah tubuh "yang selalu sama; yang
itu-itu saja" dari waktu ke waktu. Sedang yang berubah itu ialah semata
cara memahaminya. Adanya proses memahami ketubuhan itulah yang membuat kita
senantiasa berubah.
Istilah tubuh dalam panggung filosofis tak
terlepas dari sejarah. Pada awalnya, pada jaman pra-sokratik, tubuh tidak
mendapat (bukanlah) perhatian. Hal ini disebabkan oleh karena para filsuf waktu
itu masih meletakkan seluruh perhatian mereka kepada fenomena alam.
"Apakah yang menjadi asal mula dari seluruh penampakan di dunia ini,"
menjadi pertanyaan mendasar waktu itu. Lagi, "Adakah sesuatu yang dapat
dikatakan sumber, zat tunggal dari seluruh jagad raya yang terbentang luas dan
melampaui seluruh rasionalitas manusia?"
"Pada mulanya adalah air," demikian
Thales
mengawali penguakan misteri alam semesta. Lalu pendapat ini segera diikuti
Anaximandros dengan apeiron
sebagai ganti air (dari Thales). Tak lama kemudian, Anaximenes menutup lembaran
para filsuf Miletos dengan meletakkan udara sebagai mula dari segalanya.
"Pantha rei." Herakleitos melanjutkan pemikiran para Miletosian dengan
menempatkan indera sebagai yang dapat dipercaya. Segalanya berubah maka tidak
ada sesuatu yang mutlak ada sebab yang ada sebenarnya merupakan rangkaian
proses menjadi. Ungkapan ini, kemudian, mendapat kritik dari Parmenides dengan
"what is is"-nya
(apa yang ada adalah ada sehingga yang tidak ada juga tidak ada). Segala
sesuatu tidak dapat berubah. Dengan demikian, "Yang ada adalah ada dan
yang tidak ada adalah tidak ada." Maka yang tidak ada tidak dapat dipikir
atau dibicarakan. Singkat kata, ternyata usaha untuk menyibak rahasia alam yang
"satu" menghasilkan dualisme pemahaman yakni yang empiris dan rasio.
Alam tetaplah misteri bagi manusia.
Para tokoh Miletos, Heracleitos, Permenides, tambah lagi Empedokles dan Anaxagoras oleh para ahli di
masa kini diberi sebutan pemikir-pemikir pra sokratik. Dan jelas, seperti yang
telah disebut di atas, bahwa mereka berkutat secara total di antara pernyataan
dan pertanyaan alam semesta. Kecuali Demokritos yang meski terbilang di antara
pemikir pra sokratik tetapi ternyata sudah memulai pemikirannya tentang
manusia. "Manusia terdiri dari gugusan atom halus," katanya.
Selanjutnya, dunia pemikiran filsafat mulai
bergerak mendekati manusia. Kehadiran para tokoh waktu itu lebih dikenal dengan
filsuf Sokratik. Dari sebutannya, dapat dipastikan bila Sokrates pun turut ambil bagian
di dalamnya. Sokrates, demikian juga kelompok para sofis, memfokuskan diri
kepada manusia sebagai obyek penelitian dengan dialektika antar subyek sebagai
unsur utama. Di sinilah eksplorasi terhadap kenyataan sebagai manusia mulai
dilakukan.
Sebagai seorang Sokrates ternyata
kehadirannya banyak mengilhami Plato
(murid Sokrates) sehingga kemudian ajarannya dikenal bersifat sokratik yang
menekankan pada dialog lisan. Plato juga dikenal sebagai tokoh dualis yang
meletakkan tubuh dan jiwa sebagai dua hal berbeda dalam manusia. Tubuh
dipandang sebagai yang memenjarakan jiwa (sôma
sêma) sehingga ketika tiba kematian tubuh akan hancur dan musnah.
Sedangkan jiwa adalah abadi dan ia akan kembali kepada kerajaan Idea. Demikian
pula Plotinos yang memahami badan sebagai materi yang jahat. Maka usaha yang
kini dapat dilakukan adalah dengan praktek asket, tidak menikah, dan
seterusnya.
Gagasan dualisme Plato ternyata dipandang berbeda oleh Aristoteles. Sebaliknya, Aristoteles memandang tubuh dan jiwa manusia justru sebagai
satu kesatuan. Keduanya menyatu sedemikan sehingga jiwa mau tidak mau pasti
akan mengalami kerusakan dan kematian sesaat badan mengalami kematian.
Periode Pertengahan
Baik ajaran dualisme Plato ataupun kebersatuan Aristoteles didamaikan oleh Thomas Aquinas sebagai filsuf abad pertengahan yang dikatakan sebagai filsuf yang makan
dari "2 piring sekaligus". Apakah itu? Pertama, manusia terdiri atas
jiwa dan badan dalam satu kesatuan. Kedua, jiwa ialah abadi yang memiliki
'ada'nya sendiri. Maka, ketiga, bila tubuh (yang hanya ambil bagian dari jiwa)
binasa maka kebinasaan itu tentu tak akan dapat menyentuh jiwa.
Masalah tubuh tetaplah relevan untuk menjadi bahan wacana. Ternyata menguak
tubuh pun identik dengan menyingkap tabir semesta yang maha luas. Tubuh
dimengerti sejauh manusia mengenal tubuhnya. Aku tidak dapat memahami tubuh
orang lain karena itu bukanlah tubuhku. Sebaliknya hanya aku yang mampu
mengetahui tubuhku. Van Peursen dalam Tubuh Jiwa Roh mengungkapkan dimensi aku dan
tubuhku sebagai berikut :
Apakah aku adalah tubuh dan jiwa? Ataukah aku
adalah jiwa yang mempunyai suatu tubuh? Ataukah aku adalah "roh" yang
memiliki jiwa dan tubuh? "Aku" adalah sudut yang tak terhibahkan yang
tak mungkin ditukar dengan orang lain. "Aku" berarti bahwa dunia seluruhnya
secara langsung dihayati oleh saya.[1]
Periode Moderen
Memasuki era moderen, topik tubuh dan jiwa terus berlanjut. Pertanyaan yang
muncul adalah Apakah tubuh manusia itu? Apakah jiwa itu? Adakah pemisah yang
dapat membedakan dengan pasti antara tubuh dan jiwa di dalam diri manusia?
Kehadiran René
Descartes dalam panggung filsafat dikenal sebagai
filsuf terpenting dalam hal dualisme tubuh dan jiwa. Mengenai tubuh, secara
khusus Descartes mengungkapkan demikian:
Bagaimana pendapatku mengenai diriku sendiri?
Aku berpikir bahwa aku adalah seorang manusia. Tetapi apakah manusia itu? ...
Manusia dibandingkannya dengan seekor binatang berbudi. Tentu tidak,
jawabnya... da awalnya Descartes memahami manusia dengan telaah struktural
yakni kesadaran manusiawi sebagai subyek yang memiliki tangan, wajah, lengan,
dan seluruh fungsi mekanis dari daging dan tulang seperti yang nampak pada
seonggok mayat. Tubuh, saat ini, hanya dapat dimengerti melalui pengeritian dan
bukan oleh imajinasi atau pula indera. Dengan kata lain, tubuh tidak dapat
dipahami hanya dari sekedar melihat atau merabanya.
Dualisme Descartes pada akhirnya bukanlah semata sebagai yang mutlak.
"Tidak benar bahwa setiap dualisme dalam filsafat kemudian dapat
dikembalikan kepada Descartes. Lebih tepat bila dikatakan bahwa ia merumuskan
sesuatu yang sudah lama terpendam dalam iklim filsafat barat dan masih tetap
hidup terus yaitu dualitas, keduaan tubuh dan jiwa ... Perkaitan erat antara
tubuh dan jiwa tampak di banyak tempat dalam sistem filosofisnya. Terutama di
mana dibicarakan tentang manusia dalam kiblat kehidupan yang praktis di
tengah-tengah dunia dan di dalam jaringan-jaringan kehidupan, tampaklah pula
sekedar pertautan antara tubuh dan jiwa ... yang tetap diakui tetapi hanya
sebagai suatu data faktual yang tidak mungkin ditangkap secara filosofis."
[2]
Artinya, dalam filsafat oleh pemikiran yang
jelas dan nyata dualitas semacam itu disahkan. Sedang dalam hidup real sebagai
manusia nampaknya orang lebih menghayatinya sebagai satu kesatuan utuh.
Identitas manusia di dunia adalah tubuhnya.
Tubuh menjadi pengada, perekat, serta menduniakan manusia. Tanpa tubuh manusia
tidak mampu meng-'ada'-kan dirinya. Belajar, makan, berpikir, dan aktivitas
lain tidak dapat dilakukan bila manusia tidak bertubuh. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa tubuh adalah sentralitas dari manusia di dunia. Segala sesuatu
berawal dan berakhir pada tubuh.
Di lain pihak, manusia bukanlah tubuhnya.
Sebab, manusia bagaimanapun akan selalu melampaui tubuhnya. Kehilangan sebagian
tubuh tidak menjadikan dirinya kehilangan kemanusiaannya. Ia masihlah sama
seperti sediakala. Dengan demikian mayat bukanlah manusia lagi karena
kemanusiaannya tidak lagi melebihi ketubuhannya. Aku adalah tubuhku dan
sekaligus bukanlah tubuhku.
Prinsip identitas di satu sisi dan prinsip
kontradiksi di sisi lain menjadikan manusia mampu bersembunyi di balik
ambiguitas tubuhnya. Manusia dapat berpura-pura dan memainkan sejuta peran
dalam kehidupan yang berbeda dengan jati dirinya.
Perkembangan pemikiran moderen menghasilkan
sikap terhadap tubuh yang "lebih" dibanding masa sebelumnya. Memang,
tidak ada batasan pasti mengenai waktu awal dimulainya babak moderen. Yang
jelas, masa moderen ditandai dengan adanya perkembangan-perkembangan baru dan
pesat dalam pelbagai bidang kehidupan manusia Barat, antara lain dalam bidang
budaya dan ilmu pengetahuan. Masa ini masih ditandai dengan munculnya
pemikiran-pemikiran filosofis. Masing-masing tokoh hadir dengan gayanya yang
spesifik.
Zaman Renaissance
atau zaman kelahiran kembali budaya Yunani-Romawi menempatkan manusia sebagai
yang mulia dalam segalanya. Manusia ditampilkan secara utuh (telanjang) sebagai
simbol kesempurnaan ciptaan. Demikian juga pertumbuhan ilmu pengetahuan alam
yang mendasarkan diri pada metode empiris-eksperimental. Pendasaran ini
menghasilkan gerakan positifisme yang menghargai keutamaan ilmu-ilmu positif
dan sebaliknya menolak metafisika yang semata, menurut kaum positif, hanya
mencari hakekat kenyataan yang sebenarnya tidak lebih dari spekulasi pemikiran
kosong dan tidak didasarkan atas fakta yang teruji kebenarannya secara
positif-ilmiah. Selanjutnya, gerakan ini diikuti dengan munculnya kelompok
materialisme yang melihat materi sebagai asal muasal pembentukan dunia.
Akal budi, sebagai imbas era Aufklärung,
mendapat porsi utama. Dan tentulah tak akan dilewatkan teori evolusi yang
menggebrak dan memecahkan tabir teologis bahwa manusia berasal dari Firdaus.
Namun demikian apa yang telah ditanamkan mengenai terjadinya manusia dalam
Kitab Suci juga bukan berarti salah. Mengapa? Karena sebenarnya perkembangan
ilmu pengetahuan mau mengatakan bahwa bukanlah tempatnya bila mencari
keterangan ilmiah tentang terjadinya kehidupan dalam Kitab Suci. Kitab Suci
bukan buku ilmu alam dan bukan buku ilmu sejarah.
Rangkaian perkembangan pemikiran manusia
sedikit demi sedikit menggeser sakralisme Gereja dan mengembalikan status awami
kehidupan manusia. Kekudusan mengalami pemurnian sehingga agama tidak lagi
menguasai hajat hidup orang banyak. Dan selanjutnya, agama menjadi
"lingkaran khusus pemaknaan hidup" manusia. Pengetahuan
mensekularisasikan dunia agar makin menjadi dunia.
Oleh: V. Haryanto S.
(Sumber :http://www./filsafatkita.f2g.net)