30/08/2004
Silang
pendapat justru terjadi pada apa yang dimaksud dengan agama itu sendiri. Lebih
jelasnya: apakah yang dimaksud agama sebagaimana yang diusulkan dan difungsikan
secara ideologis dan oportunis --baik oleh mereka yang berhaluan Kanan ataupun
Kiri-- atau agama pascaanalisis, pemahaman, dan penakwilan yang ilmiah,
sehingga yang menonjol darinya adalah unsur penggerak kemajuan, keadilan, dan
kebebasan?
KEHADIRAN
Nasr Hamid Abu Zayd, lelaki kelahiran Tantra, Mesir, 7 Oktober 1943, dalam
konstelasi pemikiran Islam, khususnya di ranah Mesir, mengundang reaksi cukup
keras dari publik Mesir.
Abu
Zayd, begitu ia disapa, dalam batas-batas tertentu, mampu menghidupkan kembali
dinamika pemikiran Islam, yang sering kali terjebak pada mono tafsir, Abu Zayd,
datang dan membuka ruang-ruang tafsir baru dalam melihat dan mencermati Islam.
Tentu
saja, kondisi ini dipicu oleh dua kecenderungan utama wacana Islam yang
berkembang di Mesir. Yakni kecenderungan islamis (Islamiyyun), baik yang masuk
kubu radikal maupun kubu moderat, dan kecenderungan sekularis ('almaniyyun),
yang berdiri dari berbagai kelompok mulai yang sosialis hingga liberal. Dari
sinilah, Abu Zayd hadir, untuk membelah ruang-ruang tafsir lain ketika
berhadapan dengan teks-teks Islam.
Atas
dasar membuka ruang-ruang baru ketika berhadapan teks-teks Islam itulah,
Jaringan Islam Liberal (JIL) dan International Center for Islam dan Pluralism
(ICIP), menggelar Workshop Kritik Wacana Agama bersama Nasr Hamid Abu Zayd, di
Hotel Millenium, 28-29 Agustus.
JIL
yang ditukangi Ulil Abshar-Abdalla dan ICIP yang dikomandani M Syafi'i Anwar,
merasa perlu mengundang Abu Zayd untuk melihat kembali silang pendapat tentang
pentingnya peran agama --bukan hanya Islam-- dalam kehidupan umat beragama.
Untuk itu, bagi JIL dan ICIP, betapapun peliknya persoalan agama, dia tetap
harus menjadi unsur yang asasi dalam pelbagai proyek kebangkitan.
Silang
pendapat justru terjadi pada apa yang dimaksud dengan agama itu sendiri. Lebih
jelasnya: apakah yang dimaksud agama sebagaimana yang diusulkan dan difungsikan
secara ideologis dan oportunis --baik oleh mereka yang berhaluan Kanan ataupun
Kiri-- atau agama pascaanalisis, pemahaman, dan penakwilan yang ilmiah,
sehingga yang menonjol darinya adalah unsur penggerak kemajuan, keadilan, dan
kebebasan?
Bertolak
dari pelbagai pertanyaan seperti itulah kritik wacana agama kemudian
dimungkinkan. Artinya dalam perspektif kawan-kawan JIL dan ICIP, pelbagai
pertanyaan seputar titik tolak sebuah wacana, instrumen yang dipergunakan, dan
kemungkinan implikasi sosial-politik-keagamaannya, menjadi sangat penting dalam
proses kritik. Kepentingan-kepentingan yang bersembunyi di balik sebuah wacana
juga menjadi penting untuk ditelaah lebih jauh.
Dan
salah satu penggiat kegiatan kritik atas wacana agama, yang menulis buku Naqdul
al-Khitab Diny dan menjadikannya sebagai concern area pemikirannya, tak lain
adalah Nasr Hamid Abu Zayd. Dengan mengacu pada dinamika wacana agama yang
berkembang di negara asalnya, Mesir, Abu Zayd berusaha melakukan kajian kritis
dengan perangkat metodologi yang dia susun sendiri. Melalui salah satu bukunya,
Naqdul al-Khitab Diny (Kritik Wacana Agama), Abu Zayd merekam secara
metodologis dan apik pengalaman dirinya dalam melakukan kritik atas wacana
agama. Untuk itu, JIL dan ICIP merasa perlu, menggelar Workshop Kritik Wacana
Agama, untuk berdialog dengan Abu Zayd secara langsung seputar kritik atas
pelbagai wacana agama Islam kontemporer.
Abu
Zayd, lelaki yang pada 16 Desember 1993, dibatalkan pengangkatan sebagai Guru
Besar Universitas Kairo, karena dianggap telah keluar dari mainstream pemikiran
Islam, dan terutama, karena ia dianggap menghina Imam Syafi'i. Waktu itu, Abu
Zayd membawa dua buku karangannya, al-Imam as-Syafi'i wa Ta'sis al-Aidulujiyat
(Imam Syafi'i, Kemodernan, dan Ekletisisme
dan
Naqdul al-Khitab Diny (Kritik Wacana Agama).
Abu
Zayd menilai Imam Sayfi'i telah menempatkan secara sepihak budaya Quraisy
sebagai sentral pemikiran terhadap Alquran. Ia menilai Imam Syafi'i telah
membakukan model pemaknaan Alquran, teorisasi sunnah sebagai tasyri' yang
otoritatif dan memperluas sunnah sampai dengan ijma, tapi menolak qiyas.
"Akibatnya, tak bisa lagi dibedakan mana teks
yang primer dan sekunder. Ini memperlihatkan watak moderat Syafi'i hanya semu,
karena argumentasinya hanya mengutip sosiologis Quraisy," ungkap Abu Zayd
kepada Media, kemarin.
Sebenarnya
Abu Zayd mencoba berpijak pada dua sasaran utama ketika berhadapan dengan
teks-teks Quran. Pertama, ia mencoba meletakkan status tekstualitas Alquran.
Kedua, untuk menentukan suatu pemahaman yang objektif terhadap pemahaman teks
tersebut. Abu Zayd memandang dua sasaran itu, merupakan satu kesatuan yang tak
terpisahkan; satu sisi dari sekeping dua mata uang.
Di
sisi lain, dalam pandangan Zuhairi Misrawi, dari JIL, upaya pembaruan Islam
dikerjakan para pembaru muslim, yang berani menyentuh wilayah Alquran. Artinya,
para pembaru itu, ketika berhadapan dengan teks yang disucikan tidak ada
pilihan lain: menerima dan mengamininya. Dan pandangan seperti ini mendominasi
kalangan Asy'ariyyah. Pandangan seperti itu, menurut Abu Zayd, urai Misrawi,
adalah pandangan terbelakang, konservatif, Karenanya perlu ditentang
habis-habisan.
Bagi
Abu Zayd, lanjut Misrawi, teks Quran adalah menjadi wahyu yang harus disentuh
dengan pelbagai pembacaan. Salah satunya yaitu memahami Alquran sebagai teks
yang disampaikan dalam bentuk bahasa. Bila Alquran sebagai bahasa, semestinya
terdapat dimensi budaya, sehingga memungkinkan dialektika antara teks dan konteks.
Antarteks
dan konteks inilah yang dipersoalkan Amin Abdullah, Rektor IAIN Sunan Kalijaga,
Yogyakarta, yang hadir sebagai komentator Abu Zayd. Bagi Amin, pembaruan
pemikiran Islam harus melihat teks dan konteks, agar mampu memberi kontribusi
positif dan memiliki aktualisasi dengan persoalan kekinian. Dalam arus sejarah
Islam, teologi tidak pernah bersentuhan dan memikirkan konteks, sehingga
terjadi distorsi di sana sini. Itulah sebabnya, lanjut Amin, untuk melawan
sakralisasi keagamaan, harus dikembangkan al-qiraah al muntijah (reading
productively) terhadap Alquran dan wacana Islam. "Untuk itu, harus ada
penjelajahan kembali, antara teks dan konteks dalam perspektif penafsiran dari
aspek bahasa (hermeunetik)," ungkap Amin.
Baik
Goenawan Mohamad, Haidar Bagir, Amin Abdullah, yang hadir sebagai komentator
pemikiran Abu Zayd, secara tidak langsung sepakat dengan kerja yang digulirkan
Abu Zayd ketika berhadapan dengan kritik teks. Tentu saja, mereka sepakat
dengan Abu Zayd, lelaki penyuka bacaan-bacaan sastra ini, bahwa perlu
pendekatan hermeneutik sebagai metoda kritik kebenaran agama yang paling tepat.
* Edy A Effendi/B-5