Oleh Daniel S. Lev
24/01/2002
Judul : Wajah Liberal Islam Di Indonesia
Penyunting : Luthfi Assyaukanie Penerbit : Teater Utan Kayu dan Jaringan Islam
Liberal Cetakan : 2002 Tebal : xx + 300 halaman
Pengantar, Daniel S. Lev
Orang yang tak suka dengan tantangan intelektual
yang serius, atau malas memikirkan gagasan-gagasan yang tak biasa, atau sudah
merasa nyaman dengan apa yang ada, sebaiknya menjauhkan diri dari buku ini.
Isinya lain dari yang lain. Membaca kembali diskusi, perdebatan, analisis,
argumentasi, tafsiran, dan pertukaran pendapat yang terkandung dalam buku ini
bukan hanya tak membosankan, malah semakin menggairahkan pikiran (dan
kadang-kadang mengejutkan), seperti pertama kali saya membacanya dalam bentuk
e-mail pagi hari setelah menghidupkan komputer.
Setahun lalu, ketika wacana Islam liberal pertama
kali muncul dalam bentuk mailing list (islamliberal@yahoogroups.com), banyak
orang yang menyangsikan masa depannya. Kini, terbukti mailing list itu telah
menjadi sebuah wadah intelektual yang menarik, berbobot, dan berpengaruh, baik
atas pengertian agama Islam maupun (mudah-mudahan) atas penciptaan kembali
negara Indonesia.
Dari satu sisi, dapat diduga bahwa gerakan Islam
liberal menjadi begitu cepat berkembang karena fenomena hipermodern
komputerisasi dan e-mail, yang berimplikasi hanya pada kaum terdidik dan
pengguna komputer (terutama dari generasi muda) yang tak takut dengan dunia
“modern,” yang bisa ikut dalam wacana Islam liberal. Hal ini, sebagian mungkin
betul. Tapi pandangan ini terlalu gampang dan kurang mendalam, karena kini
Islam liberal sudah masuk koran dan radio, yang berindikasi pada kalangan
peminat yang lebih luas dan kompleks. E-mail menolong perluasan pandangan Islam
liberal, tapi tanpa landasan intelektual yang serius dan kuat serta audiensi
besar yang haus terhadap pengertian baru, gerakan semacam ini tidak mungkin
bertahan lama.
Dapat dimengerti jika di antara para pembaca buku
ini akan ada yang merasa terkejut atau kagum atau bahkan marah dan jengkel.
Kemarahan dan kejengkelan akan terlihat di dalam buku ini antara yang berdebat
keras tentang satu atau lain isu. Ketegangan kelas tinggi sama sekali bukan hal
baru dan tidak mengherankan dalam perdebatan tentang soal-soal agama mana pun
juga. Malah dapat dikatakan bahwa dalam urusan agama (seperti juga dalam
filsafat dan apalagi politik) yang sangat berbahaya adalah ketenangan yang
keterlaluan.
Persoalan pokok adalah bahwa yang menafsirkan
prinsip-prinsip agama, pada akhirnya, adalah manusia, dan kalau manusia itu
tidak lagi berdebat tentang isi kepercayaannya, atau menyerahkan tugas itu pada
kalangan pimpinan agama yang terlalu terbatas, akibatnya pembekuan agama
terjadi. Justru ketegangan itu mengisyaratkan bahwa satu agama (atau filsafat,
atau politik) belum mati, masih hidup dan masih melayani keperluan
komunitasnya.
Sejak lama, setiap agama besar, yang mencoba
memonopoli satu ajaran, pada suatu waktu pasti akan ditentang. Dengan kata
lain, pertentangan itu adalah evolusi, perubahan, adaptasi, yang pelan atau
cepat, pada keperluan manusia dalam sejarah yang terus-menerus mengalami
perubahan. Tentunya, proses itu tidak gampang dan tak jarang menyebabkan
perang, pembunuhan, siksaan, dan lain-lain sebagainya— sering atas nama Tuhan—yang
bertujuan mencegah transformasi. Agama yang berhasil mengelak ketegangan itu,
seperti juga negara yang berhasil menindas perdebatan politik, makin lama makin
statis dan berorientasi pada kalangan pemuka (dan kepentingan) yang sangat
sempit. Mendobrak keadaan semacam itu tak mungkin tanpa perdebatan, ketegangan
intelektual, ideologis, dan juga politik. Dan untuk itu kadang-kadang perlu
mempertanyakan ide dan prinsip yang paling mendasar, termasuk hingga pada akar
eksistensi agama. Tanpa itu, sulit mengharapkan rekonstruksi.
Hanya saja, untuk menantang pemahaman agama
tertentu demi menuju pemahaman lain (menyangkut nilai dan norma agama),
menuntut keberanian yang luar biasa, kepercayaan diri yang cukup mendalam, rasa
bertanggung jawab yang besar, selain imajinasi baru dan pengetahuan agama yang
tebal. Dan perlu juga semacam sensitivitas pada titik sejarah yang mungkin
terbuka pada pandangan baru. Semua itu—keberanian intelektual, rasa tanggung
jawab, imajinasi, pengetahuan—terlihat jelas dalam kumpulan diskusi dan
perdebatan dalam buku ini. Buku ini bakal memaksa siapa saja yang suka membaca
akan terus membacanya hingga lupa makan dan tidur.
Orang mungkin akan bertanya: mengapa pandangan
Islam Liberal begitu menonjol justru di Indonesia, dan justru sekarang? Tentu
saja, seperti dapat tergambar buku ini, pandangan itu juga terdapat di Timur
Tengah dan India-Pakistan sejak dulu, tapi jarang sebegitu terang dan terbuka
seperti di Indonesia dalam setahun terakhir ini. Pertanyaan ini sulit dijawab.
Tapi saya kira, perubahan mendalam memang lebih gampang di “pinggir” daripada
di “pusat,” justru karena di “pusat” konstelasi agama (dan politik juga) lebih
gampang diawasi supaya tetap terjaga “kemurniannya.” Dalam sejarah agama
Katolik, misalnya, pergolakan dan pembaruan mulai dari luar Italia. Atau
mungkin juga Indonesia agak lain dari yang lain karena ukurannya, karena sejak
dulu agama Islam di Indonesia jauh lebih kompleks dan telah cukup lama terbiasa
dengan konflik tentang isu-isu agama.
Pertanyaan kedua, kenapa sekarang?—lebih sulit
lagi. Mungkin ada beberapa sebab, termasuk kebetulan sejarah yang terbuka untuk
perubahan besar, karena negara sedang lemah, suasana politik dan sosial serta
intelektual sangat labil, dan masyarakat mengharapkan perubahan. Selain itu,
selama hampir empat puluh tahun sedang dibentuk dan dipersiapkan generasi baru
pemikir agama yang terdidik, yang tidak merasa diri terisolasi dari kalangan
intelektual lain, yang bisa membaca tentang agama lain, yang juga tidak malu
memikirkan kembali sejarah agamanya (dan negaranya), dan malah tidak terlalu
banyak mempersoalkan asal-usulnya (misalnya apakah ia dari Muhammadiyyah atau
Nahdlatul Ulama).
Momen istimewa ini cukup penting. Seperti
diterangkan dalam buku ini, pandangan liberal bukan hal baru dalam sejarah
Islam, apakah di Timur Tengah atau di Indonesia sendiri. Pada tahun 1950-an
para pemimpin partai Islam pernah melontarkan isu-isu pokok agama, tetapi
jarang sekali secara terbuka. Pertentangan politik pada zaman itu menjadi
hambatan pembicaraan, seolah-olah perdebatan tentang dasar agama merupakan
pengakuan kelemahan prinsip partai yang berlandasan Islam (hal sama juga
dialami Partai Katolik dan Parkindo). Hanya orang yang terbebas dari tuntutan
politik sehari-hari, seperti Pak Hazairin, yang rela mengajukan pandangan baru
secara blak-blakan.
Pimpinan Orde Baru, yang meminggirkan kepartaian
agama, agak membebaskan umat Islam untuk memikirkan agamanya, lepas dari
implikasi atau konsekuensi politik. Pada permulaan tahun 1970-an orang yang
sebelumnya menjauhkan diri dari simbol-simbol agama tampak mulai bersembahyang
lagi, ikut ke masjid, dan turut aktif dalam grup diskusi Islam—Islam sebagai
agama, bukan Islam sebagai landasan politik. Dalam suasana itu, Nurcholish
Madjid mencetuskan pandangan barunya (sebetulnya tidak sama sekali baru) yang
merupakan salah satu langkah pertama dalam perjuangan Islam liberal. Dalam
ceramah dan karangannya, dia berani memisahkan Islam sebagai sumber pandangan
etika dan moralitas di satu sisi dari agama sebagai landasan politik di sisi
lain, dan menekan pada yang pertama sebagai tujuan terpenting dan menolak yang
kedua. Hanya saja, pada waktu itu tampaknya belum ada cukup banyak pemikir yang
rela menerima anjuran Nurcholish sebagai pembukaan suatu debat baru yang sangat
perlu. Saat itu keadaan belum matang.
Zaman sekarang lain, dan suasana juga lain. Islam
liberal, yang berlandasan jiwa intelektual yang berani, terbuka, jujur, dan
rela berisiko, memiliki akar yang kokoh dan karenanya hampir tak mungkin jika tak
memiliki pengaruh. Dalam buku ini, yang menarik, isu-isu yang sangat peka dan
“sensitif” dihadapi dengan santai. Setuju atau tidak setuju tidak jadi soal
buat yang menyumbang pandangannya, dan semestinya tidak jadi soal juga buat
pembaca. Sesudah diskusi pertama tentang Islam liberal di Timur Tengah,
perdebatan makin hangat tentang agenda Islam liberal di masa depan, soal
sekularisasi, rekonstruksi sejarah Alquran, dan teologi untuk negara modern.
Dengan semua daya tariknya, buku ini bakal menarik perhatian orang (yang
beragama Islam atau bukan), semoga semakin banyak yang mau membacanya, dan
semoga buku-buku sejenis lainnya akan terbit sesudahnya (dan mudah-mudahan juga
akan diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain).
Satu hal lagi sebelum kata pengantar ini saya
akhiri. Persoalan agama jarang terbatas maknanya pada agama saja. Sejak
munculnya negara modern pada abad ke-17, ketegangan antara negara dan agama
hampir tak pernah lenyap, dan harus diakui agama merupakan salah satu penjaga
negara yang sangat penting. Pembaruan agama mau tak mau akan mempengaruhi juga
pembaharuan negara. Yang menarik dalam gerakan Islam liberal adalah
kehadiran—malah dapat dikatakan dominasi-- generasi muda, seperti juga terlihat
pada gerakan reformasi lain sejak tahun 1998. Buku ini, meski secara eksplisit
berbicara tentang agama, secara implisit juga mencakup nasib negara Indonesia.
Seattle, 24 Januari 2002