Prof. Dr. Dawam Rahardjo:
Cak Nur Menyelamatkan Citra Islam
28/03/2005
Proses pembaruan pemahaman keislaman di Indonesia
pada era 1970 dan 1980-an tidak pernah lepas dari peran Cak Nur (sapaan akrab
Prof. Dr. Nurcholish Madjid). Gagasan-gagasan segar Cak Nur tentang keislaman,
kemodernan, dan keindonesiaan, sampai kini masih menginspirasi dan mewarnai
corak pemikiran beberapa generasi muda Indonesia. Hanya saja, seberapa jauh
relevansi gagasan-gagasan tersebut untuk konteks kekinian masih harus terus diuji.
Sebab, setiap gagasan tidak pernah terlepas dari konteks dan iklim yang
dihadapi oleh seorang pemikir atau penggagas ide.
Proses pembaruan pemahaman keislaman di Indonesia
pada era 1970 dan 1980-an tidak pernah lepas dari peran Cak Nur (sapaan akrab
Prof. Dr. Nurcholish Madjid). Gagasan-gagasan segar Cak Nur tentang keislaman,
kemodernan, dan keindonesiaan, sampai kini masih menginspirasi dan mewarnai
corak pemikiran beberapa generasi muda Indonesia. Hanya saja, seberapa jauh
relevansi gagasan-gagasan tersebut untuk konteks kekinian masih harus terus
diuji. Sebab, setiap gagasan tidak pernah terlepas dari konteks dan iklim yang
dihadapi oleh seorang pemikir atau penggagas ide.
Jargon “Islam, Yes! Partai Islam, No!” yang pernah
dilontarkan Cak Nur pada tahun 1971, misalnya, sangat terkait dengan problem
keislaman dan afiliasi politik umat Islam ketika itu. Kritikan-kritikan
beberapa tokoh Islam seperti Prof. Dr. H. M. Rasjidi atas ide-ide Cak Nur, juga
tidak dapat dilepaskan dari prasangka-prasangka politik yang berkembang di
masanya. Demikian intisari perbincangan Ulil Abshar-Abdalla dari JIL dengan
Prof. Dr. Dawam Rahardjo, cendekiawan muslim yang juga teman seangkatan Cak
Nur. Perbincangan berlangsung Kamis (17/3) lalu, bertepatan dengan simposium
tiga hari (17-19/3) tentang pemikiran Cak Nur yang diselenggarakan Universitas
Paramadina.
Mas Dawam, bagaimana hubungan Anda dengan Cak Nur?
Saat ini saya sudah berumur 62 tahun, sementara
Cak Nur 66. Tapi dalam organisasi dulunya, saya satu angkatan dengan dia. Dari
segi umur, Cak Nur itu sedikit kakak bagi saya. Tapi dalam organisasi, dia
sahabat saya.
Apa reaksi Anda ketika tahun 1971 Cak Nur
melontarkan gagasan “Islam, yes! Partai Islam, No!"?
Waktu itu, saya dengan cepat menangkap maksud Cak
Nur. Cak Nur pernah memberi penjelasan bahwa banyak sekali orang yang
menganggap partai Islam ketika itu telah banyak membuat kesalahan. Karena itu,
dia pantas ditolak. Tapi masyarakat yang menolak partai Islam tidak serta merta
bisa diartikan sedang menolak Islam. Mereka tetap setuju Islam, tapi tidak suka
dengan penampilan partai Islam ketika zaman Orde Baru, yaitu Partai Persatuan
Pembangunan (PPP). Jadi yang hendak ditekankan ketika itu adalah perasaan bahwa
orang yang tidak setuju partai Islam belum tentu anti-Islam.
Apa motif Cak Nur ketika melontarkan gagasan itu?
Sekadar untuk menyelamatkan image Islam. Sebab
dengan buruknya penampilan partai Islam, image Islam juga mendapat sorotan.
Islam lalu ikut menjadi jelek juga. Saat itu juga ada perbedaaan tentang
interpretasi hubungan Islam dan negara. Partai Islam ketika itu juga
memperjuangkan negara Islam. Padahal, penafsiran semacam itu belum tentu
otentik. Jadi yang ingin ditegaskan Cak Nur saat itu, orang Islam masih tetap
merujuk Islam sebagai sumber ajaran, nilai maupun moral, tapi belum tentu
menyetujui partai Islam. Makanya yang saya mengerti, Cak Nur sebenarnya ingin
menyelamatkan Islam. Yang saya tidak mengerti, mengapa orang kemudian menentang
pendapat Cak Nur begitu sengitnya.
Apakah pendapat Cak Nur ketika itu menyenangkan
rezim Orba yang sedang berkuasa?
Menurut hemat saya tidak juga. Memang banyak
kritik terhadap Cak Nur, misalnya dari Prof. Dr. H. M. Rasjidi. Saya pernah
berbicara sendiri dengan Pak Rasjidi di Jeddah setelah kontroversi itu berlangsung.
Dia mengatakan bahwa dia sebenarnya tidak keberatan dengan ide-ide Cak Nur
tentang pembaruan pandangan keislaman. Hanya saja, dia menganggap Cak Nur
sedang diperalat oleh pemerintah Orde Baru, dan khususnya BAKIN (Badan
Koordinasi Intelijen Negara) yang waktu itu dikait-kaitkan dengan Ali Moertopo.
Jadi, Cak Nur dianggap anteknya Ali Moertopo. Cak Nur juga banyak ditentang
karena secara politik dia banyak sekali mengritik Masyumi.
Itulah yang mungkin menyakitkan bagi banyak orang.
Sampai-sampai Prof. Husein Alatas pernah berpesan kepada saya sebagai kawan Cak
Nur agar jangan sekali-kali memusuhi para orang tua. Pesan itu dia sampaikan
ketika saya bertemu dengannya di Sri Lanka pada tahun 1974. Pesan itu dia
ingatkan betul. Dari pesan seperti itu, saya lalu mengambil kesimpulan bahwa
mereka yang menentang Cak Nur ataupun pro Pak Rasjidi, sebetulnya bukan karena
gagasan Cak Nur itu sendiri, tapi lebih banyak karena faktor lain seperti
kecurigaan politik.
Jadi dari substansi pemikirannya, Pak Rasjidi
tidak keberatan?
Ya. Hanya saja dia kemudian mencari-cari dan
menuduh sesuatu yang tidak benar. Padahal tuduhan-tuduhan politis itu justru
dia lakukan sendiri. Misalnya, dia menuduh teologi Cak Nur banyak terpengaruh
Barat. Prof. Dr. Harun Nasution juga dia tuduh terpengaruh Barat. Padahal buku
Pak Rasjidi berjudul Filsafat Agama, merupakan saduran mentah-mentah dari
seorang pemikir Kristen. Buku itu memang diterbitkan dengan judul berbeda untuk
mengesankan itu murni karangan Pak Rasjidi. Tapi nyata-nyata, buku itu tidak
dikarang sendiri, tapi cuma saduran. Jadi pada titik ini, Pak Rasjidi juga
dapat dikatakan tidak beretika, dan juga tidak konsisten. Dia sendiri justru
memakai pemikiran Barat, bahkan menyadurnya secara mentah-mentah dari karangan
seorang pendeta. Makanya saya berpendapat, Pak Rasyidi itu sebenarnya menerima
teologi Kristen. Kita tahu, teologi Kristen itu merupakan bentuk pembelaan
orang-orang Kristen terhadap agamanya. Nah, kalau argumen-argumen itu bisa
dipakai, secara tidak langsung dia bisa juga digunakan untuk membela Islam.
Setelah sekian lama perdebatan tentang
gagasan-gagasan Cak Nur, bagaimana Anda kini melihatnya?
Saya melihat banyaknya kesalahpahaman terhadap
gagasan-gagasan Cak Nur. Contohnya, pemahaman tentang gagasan sekularisasi Cak
Nur. Bagi Pak Rasjidi dan orang yang menentangnya, sekularisasi itu tidak bisa
dilepaskan dari sekularisme. Tapi bagi Cak Nur tidak mesti begitu, dan dia
membuktikannya sendiri dalam kenyataan. Faktanya, Cak Nur tetap mengemukakan
pelbagai wacana keagamaan yang bersumber pada Islam sebagai wacana perdebatan
publik.
Cak Nur tetap ingin sekularisasi, karena banyaknya
masalah-masalah—yang sebetulnya bersifat duniawi yang rasional—yang disakralkan
dan dijustifikasi sebagai masalah agama. Misalnya perdebatan soal negara Islam.
Siapa pun yang menentang konsep negara Islam, dia akan dicap anti Islam.
Padahal itu tidak benar, karena perdebatan soal negara masih berada dalam
wilayah pemikiran manusia. Jadi, wacana tentang negara Islam, bagi Cak Nur adalah
konsep duniawi yang tidak boleh dijustifikasi, disakralkan, apalagi dihukumi
dengan hukum agama.
Kalau tidak salah, dulu Cak Nur mengatakan bahwa
sekularisasai adalah akibat atau konsekuensi logis dari konsep tauhid. Apa
maksudnya?
Itu sejalan dengan pemikiran Ahmad Wahib. Ketika
itu, Ahmad Wahib juga pernah mengatakan bahwa Islam itu turun dengan melakukan
sebentuk sekularisasi. Artinya, Islam hadir dengan mengemukakan masalah-masalah
duniawi secara rasional, seperti yang ditegaskan Nabi dalam sabdanya, antum
a`lam bi umûri dunyâkum (kalian lebih paham urusan dunia kalian, Red). Artinya,
dalam sabda itu terdapat pengakuan akan adanya bidang-bidang kehidupan yang
masuk wilayah pemikiran, bukan arena agama. Di situ manusia bebas melakukan
ijtihad sesuai dengan kemampuan pikirnya, dan tidak harus dicocok-cocokkan
dengan agama. Makanya kalau pemikiran itu dikemukakan, itu tidak sama dengan
menentang agama sendiri.
Dulu Cak Nur pernah berkorespondensi dengan
Mohammad Roem, tokoh yang memperjuangkan negara Islam lewat partainya, Masyumi,
tentang negara Islam. Pertanyaan saya, mengapa Pak Roem berubah jadi menentang
negara Islam?
Pak Roem itu orang yang bijaksana. Itu (perjuangan
menegakkan negara Islam) kan sikap partainya. Dia sendiri punya pendapat
berbeda. Saya melihat, Pak Syafruddin Prawiranegara juga berpendapat seperti
itu. Dia juga sama sekali tidak punya ideologi untuk mendirikan negara Islam.
Jadi sebetulnya banyak juga orang-orang Masyumi yang tidak setuju negara Islam.
Dalam AD/ART Masyumi sendiri sebetulnya tidak tercantum misi untuk mewujudkan
negara Islam. Yang ada adalah visi menerapkan dan melaksanakan hukum Islam
dalam segala aspek kehidupan. Visi seperti itu tentu saja bisa diperjuangkan
secara demokratis.
Sekarang, tidak ada masalah lagi bagi kita untuk
memperjuangkan nilai-nilai dan hukum Islam, asalkan melalui proses-proses
tertentu. Pertama, melalui diskusi yang ilmiah. Di situ harus ada proses
objektifikasi dan rasionalisasi. Itulah konsep yang dikemukakan almarhum
Kuntowijoyo. Yang kedua, asalkan semua itu diterima pasar, seperti kasus Bank
Mu’amalat. Artinya, kalau konsep-konsep Islam itu diterima pasar, why not?
Kalau City Bank, HSBC, atau Bank Niaga yang dimiliki pihak asing bisa menerima
konsep bank syariat, maka tidak ada masalah. Dan yang ketiga, semua itu harus
diperjuangkan melalui sistem demokrasi, bukan dengan ketentuan konstitusional
seperti Piagam Jakarta. Cara seperti itu tentu tidak benar. Kalau terus-menerus
memakai ketentuan Piagam Jakarta, ujung-ujungnya tentu tidak demokratis.
Kenapa tidak demokratis?
Karena masih melalui otoritas tertentu, seperti
kasus penetapan hukum positif yang dilakukan otoritas elite, yaitu ulama. Sebab
asumsinya selalu begitu: Alquran harus diinterpretasikan; tapi yang berhak
menginterpretasikannya hanya ulama-ulama tertentu. Di lingkungan Syi’ah Iran,
kita mengenal konsep Wilayatul Faqih. Merekalah yang lalu menyetujui dan
menentukan produk perundang-undangan. Kalau penetapannya melalui jalur seperti
itu, tentu saja tidak demokratis. Itulah otoritarianisme atas nama agama. Sebab
sebetulnya tidak ada pertentangan antara Islam dan demokrasi. Inti demokrasi
itu kan bermusyawarah; dan Islam sangat menganjurkan itu. Pemilihan umum
merupakan bentuk permusyawaratan paling kompleks pada masa modern.
Jadi perjuangannya mesti dari bawah, ya?
Ya, melalui perjuangan masyarakat. Sesuai dengan
prinsip demokrasi, apa pun undang-undangnya, sekalipun bersumber dari agama
tertentu, harus diperjuangkan oleh rakyat melalui wakil-wakilnya. Makanya,
kalau ada yang ingin membuat undang-undang yang berorientasi pada Alquran,
tidak ada salahnya. Yang ingin memperjuangkan hukum Islam secara demokratis
juga tidak salah. Bung Karno pun setuju dengan cara seperti itu. Makanya, dia
pernah berkata, “Coba saja kuasai parlemen!” Dengan begitu, wakil-wakil Islam
dalam parlemen bisa memperjuangkan ajaran Islam. Inilah yang bisa saya tarik
dari pemikiran Bung Karno.
Seandainya parlemen dikuasai kekuatan Islamis dan
berhasil memperjuangkan sanksi hukum seperti potong tangan, bagaimana?
Itu harus dicegah. Tidak boleh memperjuangkan
hal-hal semacam itu karena tidak demokratis, bahkan memperalatnya. Sebelum
masuk ke sana, hukum-hukum Alquran terlebih dulu harus diperjuangkan melalui
wacana. Pertama melalui wacana ilmiah, karena dari situlah dapat disaring sisi
kebenaran sebuah pandangan seperti sanksi potong tangan. Selain itu, harus juga
didiskusikan lebih dulu dengan masyarakat tentang setuju atau tidaknya mereka
akan sanksi seperti itu.
Selama ini, hukum Islam yang berlaku di Indonesia
adalah hasil pemikiran dan ijtihad masyarakat Indonesia sendiri. Jadi ada
jurisprudensi di situ, melalui proses wacana dan proses demokrasi. Mungkin
proses demokrasinya masih sangat sederhana. Karena itu, di masa yang akan
datang, semua hukum Islam yang akan dilaksanakan harusnya melalui proses
perundang-undangan di parlemen. Jadi arena pertarungannya ada di parlemen, dan
memang begitulah seharusnya.
Kalau yang setuju potong tangan berhasil
meyakinkan masyarakat, lalu mereka didukung parlemen, bagaimana?
Wah... itu pengandaian yang terlalu jauh. Saya
melihat, tetap banyak yang tidak setuju. Saya malah berpendapat, sebagian besar
orang Islam Indonesia tidak setuju sanksi seperti itu, sebab sekarang ini sudah
ada penjara. Dulu kan belum ada penjara, karena belum ada negara yang efektif
seperti sekarang, dan juga karena belum adanya hukum yang terlalu detail.
Ide penting Cak Nur lainnya adalah konsep Islam
yang hanîf atau inklusif. Apa yang sebetulnya diinginkan Cak Nur?
Cak Nur itu sebetulnya sedang berdakwah untuk
menunjukkan bahwa Islam bukanlah agama yang monolitis dan tidak toleran.