Kita
membutuhkan sebuah revolusi yang penuh kedalaman, itulah revolusi kesadaran,
dengan target utama memenangkan kesadaran seluruh rakyat Indonesia. R
Oleh Kholis
Malik
Kita
membutuhkan sebuah revolusi yang penuh kedalaman, itulah revolusi kesadaran,
dengan target utama memenangkan kesadaran seluruh rakyat Indonesia. Revolusi
jenis ini jelas lebih sulit, tetapi tentu lebih bermakna.
Revolusi
kesadaran adalah paralel dengan pemahaman Gramsci tentang war of position,
perang posisi, yakni sebuah peperangan moral dan intelektual. Peperangan jenis
ini berbeda dari war of movement seperti yang telah dipraktikkan
kaum Bolshevik, karena ovewar of mment selalu berupa penghancuran
dalam sekejab, sementara war or position memiliki target yang lebih
panjang untuk memenangkan hati manusia.
Tentu saja
peperangan moral dan intelektual harus memiliki kerangka praxis ,
meliputi prinsip, kode etik, strategi, mekanisme dan energi. Itulah kerangka
praxis yang mesti kita persiapkan, guna menjembatani ide revolusioner Cak Nur
sekaligus merespon tesis Gramsci. Pertanyaan besarnya adalah maukah kita?.
Lalu bagaimana
dan di manakah peran pemerintah didalam kerangka rencana tersebut?. Tentu saja
pemerintahan bukanlah hal yang signifikan bila kita mengacu kepada konsep asli war
of position dan civil society. Tapi kita juga sangat
sadar bahwa tradisi ketimuran kita selalu memberi tempat yang strategis pada
pemerintah. Karenanya kita tidak mungkin membiarkan pemerintah jalan dengan
kemauannya sendiri. Kita juga tidak mungkin mengadopsi pikiran neo-liberal yang
menyatakan bahwa pemerintah yang baik adalah pemerintahan yang paling sedikit
berbuat. Pemerintah, dengan demikian harus menjadi sasaran awal dari war
of position, yakni bagaimana membikin pemerintah tunduk pada agenda
kerakyatan. Tetapi kita tidak hendak berhenti di situ sebagaimana yang
diinginkan kaum sosialis demokrat dengan konsep walfare state-nya.
Karena target utama kita tetaplah bagaimana memenangkan kesadaran rakyat secara
sempurna, bukan sekedar memenangkan percaturan ide di tataran para penguasa.
Untuk itulah
kita memerlukan sebuah good governance, kepemerintahan yang baik
dan bermanfaat. Kepemerintahan ini dicirikan oleh beberapa karakter utama yang
bersifat standar, yakni keharusan adanya Government Competance,
Transparancy, Accountability; people Participation, Rule of law dan
Social justice. Pekerjaan utama kita hanyalah bagaimana dapat
mengontrol pemerintah agar tetap berada di rel standar tersebut.
Bagaimana
dengan para pemimpin?. Bila refleksi Cak Nur di akhir tahun
2002 menyebut tentang perlunya keteladanan kepemimpinan, serta kesediaan para
pemimpin berada di depan dalam pengorbanan kepentingan pribadi dan golongan
sendiri, demi kepentingan bangsa dan negara, maka kita mungkin akan sedikit
berbeda dengan mimpi Cak Nur. Bagi kita kepemimpinan yang ada saat ini telah
usang, kehilangan karakter dan terus merosot kualitasnya. Kepemimpinan
Indonesia saat ini adalah bagian dari problem, bukan bagian dari solusi. Dengan
berat hati kita harus berani mengatakan cukup sekian, it was finisihed,
bagi para pemimpin nasional. Dan mereka bukan bagian yang sangat signifikan
dalam rencana revolusi kesadaran. Kita membutuhkan model kepemimpinan baru yang
lebih orisinil dan lebih bermakna. Kepemimpinan ini harus benar-benar berangkat
dari bawah dan hanya dapat diciptakan melalui revolusi kesadaran di kalangan
rakyat.
Peranan HMI
dalam mewujudkan revolusi kesadaran
Presiden
pertama RI, Soekarno, pernah berkata, "seandainya ada tiga pemuda datang
kepada saya, niscaya saya mampu memindahkan sebuah gunung." Makna yang
dapat diambil dari pernyataan Soekarno ini adalah bahwa sesungguhnya dalam diri
pemuda itu tersimpan kekuatan yang luar biasa. Pemuda memiliki semangat,
kecerdasan, dan idealisme. Pemuda belum banyak terjangkiti ‘polusi’ kehidupan
sosial, sehingga relatif lebih sehat.
Bangsa ini
demikian banyak berhutang pada pemuda. Hampir semua momentum besar dalam
sejarah Indonesia diwarnai oleh peran pemuda. Dengan demikian kata pemuda dalam
bahasa kultural di Indonesia bukan sekedar menyebut satuan usia belaka, tetapi
justru lebih merujuk kepada semangat kepeloporan, keberanian dan idealisme.
Pemuda Indonesia adalah satu kelas kulturral tersendiri. Tidak heran seorang
pemikir berani menyebut Revolusi 17 Agustus 1945 sejatinya adalah sebuah "Revolusi
Pemoeda".
Bagian Kedua
dari Tiga
Tulisan------------
Kelompok
pemuda terdidik, seperti HMI, adalah tulang punggung dan garda depan bagi
gerakan pemuda. Lalu dimanakah posisi HMI kita sebagai himpunan mahasiswa
Islam?. HMI adalah organisasi independen, baik secara etis maupun
organisatoris. Karena itu pilihan menjadi kelompok kritis adalah pilihan yang
tepat. Yaitu sebagai kelompok yang mampu berperan secara strategis dalam
kehidupan ke-Indonesiaan; sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain sebagainya,
menuju Indonesia berkeadilan dan berkemakmuran dibawah payung kemerdekaan dan
kemartabatan bangsa.
Dalam kerangka
revolusi kesadaran, dibutuhkan peran "intelektual organik",
yaitu peran perantara antara kelas intelektual dengan massa. Peran ini nyaris
tidak bisa dimainkan di masa lalu akibat kegamangan kelas intelektual yang
selalu cenderung menggelayut ke atas, mencari tempat bergantung di atas. Hari
ini kita dituntut melakukan kerja sebaliknya, bukan lagi bergantung ke atas
tetapi bergabung ke bawah. Bila kaum leftis menamakan proses ini "bunuh
diri kelas", maka kita mengatakan proses itu sebagai "mencipta
intelektual yang tahu diri", itulah "intelektual
organik". Intelektual yang sadar dari lingkungan macam apa ia
bertumbuh dan kemana ia harus mengabdi. Perkaderan HMI di masa depan harus
mengarah kepada tipologi perkaderan yang lebih memberi ruang bagi munculnya
intelektual-intelektual organik dari kalangan kita. Kita membutuhkan kerangka
praxis bagi perkaderan organik ala HMI.
Perlu kita
ingat bersama bahwa sesungguhnya kekuatan HMI adalah pada progresivitas gagasan
yang selalu orisinil, dan segar dalam merespon setiap detail perkembangan
realita. Karenanya, tidak berlebihan kiranya jika dikatakan bahwa dalam setiap
detail sejarah Idonesia pasti ada HMI berperan di dalamnya secara signifikan.
Tapi yang demikian itu tidak perlu membuat kita sombong dan besar kepala.
Cukuplah kesemuanya dianggap sebagai keharusan sejarah dan amal salih kita
sebagai generasi muda Islam.
Dalam soal
ke-Islaman, HMI mesti mampu mencairkan kebekuan-kebekuan dialog
antara teks dan realita. Kegelisahan ummat Islam beberapa waktu lalu yang
dipicu oleh sebuah tulisan di media Kompas oleh saudara Ulil Absar Abdalla
mengindikasikan adanya ketimpangan cakrawala pemikiran ummat Islam, tanpa harus
mengatakan yang satu lebih maju, sementara lainnya masih tradisional dan
konservatif. HMI harus mampu menjadi titik simpul bagi ketimpangan-ketimpangan pemikiran
keislaman yang ada hingga akhirnya HMI benar-benar terlahir kembali menjadi
organisasi yang dapat merangkum semua lapisan pemikiran masyarakat untuk
kemudian menjadi penyimpul dan perumus akhir. Karena itu kajian ke-Islaman
mesti dilakukan lebih serius lagi.
Dalam hal ini,
adalah penting bagi HMI untuk kembali merumuskan kembali cita-cita umat Islam
Indonesia. Kegagalan legalisasi Syari’at Islam menunjukkan bahwa Islam
kultural dipandang lebih cocok diterapkan di Indonesia dibandingkan dengan
Islam formal atau simbolik. Yang pertama adalah jenis Islam yang menekankan
dimensi kultural serta lebih berorientasi pada nilai dan substansi Islam itu
sendiri. Sedangkan yang kedua adalah jenis Islam yang memiliki pandangan bahwa
antara Islam dan politik bersifat organik dan tidak dapat dipisahkan.
Dibanding
dengan beberapa konsep pendekatan Islam di Indonesia yang pernah ada
(dekonfensionalisasi Islam. Domestikasi Islam, skismatik dan aliran trikotomi)
strategi Islam kultural tampak mengalami kemajuan. Tema-tema yang ditawarkan
tidak hanya berputar disekitar politik-ideologis, tapi sudah merambah pada
ruang yang bersifat kultural dan teologis-antroposentrik.
Adalah betul
bahwa belakangan muncul tawaran-tawaran baru tentang ke-Islaman. Diantaranya
adalah tentang Islam liberal (diilhami oleh Leonard Binder), sebuah
pemikiran Islam yang mencoba memadukan antara gagasan liberal barat dengan
gagasan Islam. Yang lainnya lagi adalah gagasan ke-Islaman yang menggunakan
metode kritik nalar seperti yang ditawarkan oleh M. Abid al-Jabiri dan
Arkoun. Tapi kesemua itu tampaknya belum memiliki epistimologi yang jelas
sehingga transformitas nilai-nilainya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara
masih terasa kurang menggigit.
Oleh sebab
itu, perlu kiranya dipikirkan kembali kosep-konsep Islam alternatif yang mampu
kembali menyehatkan kondisi bangsa dan negara yang sedang rapuh ini.
Barangkali, kita butuh konsep pemikiran ke-Islaman setegas Musa, selembut Isa
dan sebijak Muhammad. Ini adalah pekerjaan maha berat karena kita harus membangun
jembatan antara etik pra-modern dengan etik nalar
empiris-pragmatis yang menghegemoni zaman ini. Kita jelas membutuhkan
sistem teologi yang berpusat pada manusia dan kemanusiaan (antroprosentrik),
tetapi ini saja tidak cukup. Sekedar menghadirkan sistem teologis ini sama
halnya dengan menghidupkan kembali para failosof pra-modern,
sementara setiap hari manusia harus bergelut dengan pekerjaan, tekanan ekonomi
pasar, tempat hiburan, film, iklan TV, mobil baru dan gaya hidup baru, kesemua
hal ini tidak akan mampu dijawab oleh failosof pra-modern yang paling
jenius sekalipun.
Sumber: http://202.150.0.2//artikel/7512.shtml