Oleh: Gus Uwik
Kita paham betul, AS dan Barat memandang Islam sebagai
'musuh ideologis abadi' mereka. Sadar atau tidak, serta diakui ataukah tidak,
fakta telah menunjukkan hal tersebut. AS sadar betul bahwa kekuatan Islam
ideologis—walau baru dalam bentuk ide—sangat berbahaya bagi peradaban
kapitalisme. Apalagi jika dalam waktu dekat, dengan izin dan pertolongan Allah,
ideologi Islam dipayungi oleh institusi Khilafah Islamiyah.
Segala upaya dilakukan AS untuk menghambat laju
pergerakan Islam ideologis dalam mewujudkan Khilafah Islamiyah. Salah satu dari
sekian banyak manuver yang dilakukan AS dan Barat dalam usahanya melumpuhkan
umat Islam adalah dengan memecah-belah (melakukan disintegrasi) kesatuan umat
dalam wadah Khilafah Islamiyah ke dalam negara-negara kecil yang sekular.
Upaya disintegrasi ini merupakan tujuan antara yang
memberikan efek ampuh bagi kehancuran umat Islam. Tujuan akhirnya jelas menghambat
lahirnya kembali kekuatan super
power pemersatu umat dan penebar keadilan di muka bumi, yakni
Khilafah Islamiyah.
Bukti bahwa manuver disintegrasi sangatlah ampuh bagi
penghancuran umat Islam dapat dilihat dari perjalanan sejarah bagaimana umat Islam
yang dulunya mulia menjadi terpinggirkan dan terinjak-injak seperti sekarang.
Hancurnya
Khilafah Islamiyah
Hancurnya Khilafah Islamiyah tidak lepas dari makar jahat
Inggris dan sekutunya. Upaya pertama yang dilakukan Inggris adalah berusaha
mengadakan pertemuan untuk membuat makar di daratan Balkan, wilayah Khilafah
Utsmaniyah, dan reformasi-reformasi dalam Khilafah. Pada tanggal 13 Juni 1878,
pertemuan tersebut diadakan atas prakarsa para penguasa negara-negara besar
seperti Inggris, Prancis, Rusia dan Jerman. Pertemuan tersebut langsung
dihadiri sendiri oleh para petinggi negara-negara besar tersebut. Dari Inggris
langsung dipimpin oleh Perdana Menterinya, yaitu Disraeli (bangsa Yahudi);
Jerman diwakili oleh Bismark, yang dalam pertemuan tersebut membantu Khilafah
dan selalu menentang rencana Inggris. Pertemuan tersebut berlangsung selama 4
minggu yang hasilnya antara lain mendesak Khilafah Utsmaniyah untuk
memperkenalkan reformasi-reformasi ‘modern' ke atas sistemnya. Namun, Sultan
Abdul Hamid menolaknya dan justru mengambil kebijakan memperkuat pasukannya
untuk melawan Barat. Beliau menolak mereka yang menyerukan supaya bergantung
pada negara-negara Barat dan meninggalkan sistem Islam untuk selanjutnya
melaksanakan sistem Barat. Dengan demikian, gagallah upaya Inggris tersebut.
Konsekuensinya, golongan sekular terpaksa meninggalkan Khilafah dan mendirikan
pusat organisasi mereka di Paris, Prancis, dan Genewa , Switzerland .
Selanjutnya negara-negara Barat menggunakan politik
‘lempar batu sembunyi tangan.' Barat menipu dan memperdaya penduduk Kristen di
tanah Balkan supaya ‘memerdekakan' diri dari Khilafah, dan ini sudah tentu
merobek kesatuan Khilafah. Akhirnya, penduduk Kristen melakukan gerilya-gerilya
pemberontakan terhadap Khilafah dengan taktik serangan provokatif terhadap
penduduk Islam. Tujuannya adalah membuat Khilafah bertindak untuk mengekang
para pemberontak tersebut dan ini digunakan oleh negara-negara Barat sebagai
cara untuk campur tangan. Banyak bukti yang bisa disodorkan guna membuktikan
campur tangan Barat dalam mengobarkan pemberontakan.
Dengan makar ini selanjutnya sedikit demi sedikit
daerah-daerah kekuasaan Islam lepas. Alasan yang senantiasa dipakai adalah
untuk membantu memerdekakan diri serta menentukan nasib dan kehidupan sendiri
tanpa bergantung pada pihak lain. Padahal fakta yang sebenarnya, mereka adalah
obyek bagi imperialisme Barat.
Setelah berhasil mengerat-erat daerah-daerah yang
mayoritas penduduknya non-Muslim, selanjutnya Inggris dan sekutunya melancarkan
‘serangan langsung' atas Khilafah Utsmaniyah. Inggris memutuskan untuk
menggunakan strategi baru, yaitu, “Pecah dan Perintah” ( Divide and Rule ). Inggris
mengobarkan semangat nasionalisme dengan membantu kelompok-kelompok baru
seperti Turki Muda dan Arab Muda. Kelompok inilah yang menjadi ‘corong' Inggris
dalam menyuarakan paham-paham sesat nasionalisme, sekularisme, dan HAM.
Tujuannya, jika Turki Muda dan Arab Muda menjadi kuat di dalam Daulah Islam
Utsmaniyah maka Inggris tidak perlu berbuat banyak. Mereka tinggal menunggu
hasilnya saja. Inggris melalui Turki Muda dan Arab Muda memulai opini
kebangsaan dan prasangka di kalangan warga Turki. Upaya yang didukung dengan
kekuatan militer, dana dan sarana serta prasarana pendukung lainnya akhirnya
semakin membesar dan mendapat ‘simpati' dari umat. Sebagai hasilnya, bangsa
Arab , Armenia , Kurdi dan bangsa-bangsa lain mulai ‘berpikir' tentang
kebangsaan dan kemerdekaan mereka sendiri. Masyarakat mulai merasakan bahwa
mereka adalah bagian dari bangsa mereka, bukan bagian dari warga Negara Islam.
Contohnya, seorang Inggris tahun 1880 mengatakan tentang kenyataan seorang Arab
yang mengatakan, “Sikap tidak puas hati
terdapat di kalangan orang-orang Arab di semua wilayah Khilafah Utsmaniyah. Ia
mengisyaratkan bahwa mereka bersedia untuk membebaskan diri mereka jika mereka
mendapat bantuan dari Inggris. Seluruh warga Islam yang konsisten menganggap
Sharif Makkah (agen Inggris) sebagai pemimpin mereka. (Lihat: Buku
Constantinople ,
hlm. 324). Ini merupakan detik-detik berakhirnya Negara Islam.
Letnan-Jenderal Sir John Glubb yang juga dijuluki ‘Glubb
Pasha' yang memimpin ‘Arab Legion' dari tahun 1938 hingga 1956 sendiri mengakui
peranan nasionalisme dalam menghancurkan Khilafah. Dalam bukunya, The Canging Scenes of Life-An Autobiography: Sir John
Glubb , terbitan Quartet Books, halaman 54, beliau mengatakan,
“ Nasionalisme adalah satu kecelakaan
yang dibawa masuk dari Eropa. Khilafah Utsmaniyah telah memerintah berbagai
bangsa selama beberapa abad lamanya tanpa berat sebelah (kepada bangsa
manapun). Kaum-kaum di Euphrates (Irak) tidak mempunyai sentimen nasionalisme;
bangsa Turki atau Arab semuanya sama di hadapan mereka.”
Porak-porandanya
Yugoslavia
Porak porandanya Yugoslavia ternyata tak luput dari
intervensi AS dan Barat melalui upaya disintegrasi. Pasca meninggalnya Marsekal
Tito tahun 1980 mulai timbul benih-benih perpecahan di mana-mana di Yugoslavia
. Konflik etnis tambah menjadi-jadi sejak berakhirnya Komunisme di Eropa Timur
dan dibubarkannya partai-partai komunis. Kerusuhan antar-golongan di Yugoslavia
adalah yang paling berdarah dalam sejarah Eropa sejak Perang Dunia II.
Rusia sebagai ‘induk semang' merasa khawatir jika terus
terjadi kerusuhan, apalagi hingga terjadi perpecahan. Slobodan Milosevic,
pemimpin Partai Sosialis Serbia dan Presiden Serbia yang pro Rusia, menjanjikan
kepada mayoritas golongan Serbia untuk mengembalikan Kosovo ke pangkuan Serbia
sebagai upaya ‘memegang kekuatan' untuk memuluskan keutuhan Yugoslavia . Perlu
diingat bahwa bagi golongan etnis Serbia , arti Kosovo adalah sama seperti arti
Yerusalem bagi umat Kristen. Di Kosovo banyak sekali tempat-tempat,
gereja-gereja, dan makam-makam yang dianggap keramat oleh golongan etnis Serbia
. Pengesahan perubahan perundang-undangan oleh Majelis Nasional Serbia
mengembalikan lembaga pengadilan dan kepolisian Kosovo kepada Serbia .
Persoalan ini menyebabkan perluasan konflik etnis di Yugoslavia yang semakin
lama semakin berdarah.
Strategi ini justru menjadi 'bumerang' bagi Milosevic dan
Rusia. Betapa tidak, justru dengan terjadinya konflik inilah ada peluang bagi
AS dan Barat untuk ikut serta (baca: intervensi) 'menyelesaikan' konflik
tersebut. Selanjutnya atas prakarsa AS, Inggris, Prancis
Lepasnya
Timor Timur
Dengan jatuhnya rezim Soeharto, pembicaraan antara
Portugal dan Indonesia dengan sponsor PBB memperoleh momentum baru, saat kedua
belah pihak sepakat untuk membahas sebuah rencana Indonesia yang menawarkan
status khusus bagi Timor Timur, jauh lebih maju daripada yang diperkirakan oleh
pemerintah sebelumnya. Namun, sampai akhir tahun, para perunding belum bisa
menjembatani perbedaan antara sikap bersikeras pemerintah akan otonomi sebagai
penyelesaian akhir dan tuntutan terus-menerus pihak Portugal/Timor Timur bagi
suatu pemungutan suara untuk menentukan nasib sendiri.
Selanjutnya disusunlah skenario untuk internasionalisasi
masalah Timor Timur sehingga seolah-olah Timur-Timur adalah sengketa antara
Portugis dan Indonesia . Untuk menyelesaikannya perlu campur tangan masyarakat
Internasional. Selanjutnya pemerintah Indonesia didesak untuk memberikan 2
pilihan yang sama-sama membahayakan. otonomi khusus atau memisahkan diri dari
Indonesia . Untuk mengawal tawaran pilihan inilah akhirnya AS melalui PBB
membentuk INTERFET, UNAMET, dan UNTAET yang bertujuan untuk memastikan bahwa
referendum berjalan dengan baik. Dengan bekal lembaga inilah selanjutnya
disusun propaganda bahwa pilihan memisahkan dari RI adalah pilihan terbaik.
Opini di dunia internasional mengatakan bahwa telah terjadi intimidasi
orang-orang yang pro kemerdekaan, padahal yang terjadi di lapangan justru
sebaliknya. Orang-orang yang pro integrasi justru yang mendapat tantangan dan
tekanan sehingga akhirnya mereka ‘diam' tidak berbuat apa-apa dan merelakan
‘kemenangan' bagi pro kemerdekaan. Eksodus besar-besaran orang-orang yang pro
integrasi ke Kupang menunjukkan bahwa ada upaya ‘pengosongan' Timor Timur dari
orang-orang yang pro integrasi.
Fakta lain yang menunjukkan intervensi adalah adanya
kepentingan politik terselubung AS untuk memecah Indonesia menjadi
negara-negara kecil. Selain itu, AS berusaha untuk mendapatkan ‘kekuasaan
penuh' atas sumberdaya alam Indonesia bagi kepentingan domestiknya. AS melalui
Australia ternyata menyimpan politik terselubung untuk menjadikan Timor Leste
sebagai buffer zone .
Australia juga memiliki kepentingan ekonomi atas minyak dan gas di Celah Timor
sehingga amat berperan dalam membebaskan Timor Lorosae dari RI.
Disintegrasi:
Alat Politik Luar Negeri Penjajah
Dari fakta sejarah di atas tampak jelas bahwa
disintegrasi merupakan jalan ampuh bagi AS untuk menguasai targetnya. AS dan
Barat tidak perlu mengeluarkan 'keringat' lebih banyak uantuk
memporakporandakan negara yang menjadi targetnya. Dia cukup berada di luar
melihat kejadian yang ada. Dia cukup memainkan bidak-bidak yang ada dari luar.
Cukup para kaki tangannya yang terjun langsung 'menguasai medan pertempuran.'
Jika sudah berhasil maka AS dan Barat tinggal masuk, baik secara langsung ataupun
melalui lembaga-lembaga internasional di bawah naungan PBB untuk
menindaklanjuti strateginya. Apa yang terjadi di Turki (Khilafah Utsmaniyah),
Yugoslavia, dan Timor Timur adalah bukti nyatanya. Sampai saat ini AS dan Barat
mengendalikan seluruh urusan di sana dan menangguk keuntungan yang luar biasa
baik dari sisi politis maupun ekonomi. Timur Tengah yang dulunya dikendalikan
oleh Islam, sekarang dipegang sepenuhnya oleh AS dan Barat. Negara-negara Timur
Tengah seluruh potensi politik dan ekonominya benar-benar telah ada di bawah
'ketiak' AS dan Barat. Demikian juga negara-negara eks Yugoslavia dan Timor
Timur.
Walhasil, kita perlu mewaspadai upaya-upaya AS dan Barat
untuk memecah-belah umat Islam. Umat Islam harus lembali menemukan jadidirinya
sebagai umat yang terbaik dengan mengembalikan Islam bukan hanya sekadar agama
ritual, namun sebagai ideologi yang menebarkan keadilan.
Wallâhu a‘lam.