Kamis, 1 September 2005
TELAAH KITAB AL-WA'IE 61 (September 2005)
Oleh: Muhammad Lazuardi al-Jawi
Pengantar
Redaksi:
Meski banyak
ditentang, teori tentang benturan peradaban yang pernah dimunculkan oleh
cendekiawan Amerika Samuel P. Huntington pada faktanya tidak bisa dipungkiri.
Pasca era Perang Dingin, dengan melihat realitas politik yang ada, kita melihat
bahwa benturan antara peradaban Barat dan Islam sesungguhnya sedang
berlangsung. Bahkan, boleh dikatakan, benturan Islam Barat saat ini sebetulnya
hanyalah lanjutan belaka dari benturan yang pernah terjadi pada masa lalu,
khususnya pada era Perang Salib.
Telaah Kitab kali ini sekadar ingin menegaskan kembali
tesis Huntington di atas dalam bukunya, Clash of Civilization, yang
menunjukkan bahwa benturan peradaban antara Islam dan Barat adalah hal yang
niscaya.
Pengantar
Sebagaimana diketahui, era Perang Dingin yang berlangsung
sejak 1946 telah berakhir pada 1989, menyusul runtuhnya Uni Sovyet tahun 1990
dan berakhirnya bipolaritas Kapitalisme-Sosialisme, yang diikuti dengan
lepasnya wilayah-wilayah negara bekas Uni Sovyet seperti Azerbaijan, Kirgistan,
Turkmenistan, dan Uzbekistan. Francis Fukuyama, pemikir Amerika keturunan
Jepang, menanggapi peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai Babak Akhir Sejarah
(The End of History). Menurutnya, benturan antara Kapitalisme dan
Sosialisme berakhir, dan dunia akan terpola pada semata-mata sistem demokrasi
liberal dengan Amerika Serikat sebagai kaptennya. Era ini diproklamirkan oleh George
Bush sebagai The New World Order (Tata Dunia Baru) dengan Amerika sebagai single
player dan negara lain sebagai buffer-nya.
Namun, seiring dengan terpolarisasinya berbagai negara ke
dalam jaringan sistem Kapitalisme global, muncul sebuah analisis futuristik
dari Samuel P. Huntington tentang masa depan pola hubungan internasional yang
menunjukkan kecenderungan antagonistik dan diwarnai konflik. Secara lebih tegas
dia mengatakan, konflik itu semakin meningkat antara Islam dan
masyarakat-masyarakat Asia di satu pihak dan Barat di pihak lain.1 Lebih jauh lagi, Huntington memprediksikan,
tantangan paling serius bagi hegemoni Amerika pada masa mendatang adalah
revivalisme Islam dan peradaban Cina (baca: Konfusianis).
Kini perseteruan antara Islam dan Barat semakin meruncing
setelah terjadi Tragedi WTC 11 September 2001. Kasus ini telah berhasil
dieksploitasi sedemikian rupa oleh AS dan sebagai jalan bagi pemberlakuan UU
antiteroris di seluruh dunia. Terorisme yang dimaksudkan oleh Amerika adalah
Islam dan tidak ada pengertian lain. Noam Chomsky menyebut permainan stigma
Barat sebagai "newspeak" untuk membatasi pandangan dan realita
sehingga ketika kata-kata teroris, fundamentalis, ekstremis, dan
kelompok radikal diucapkan maka konotasinya tidak jauh dari negara-negara
Timur Tengah yang notabene adalah negeri-negeri Islam.
Bahkan Perdana Menteri Inggris Tony Blair menyebut
ideologi Islam sebagai 'ideologi setan'. Dalam pidatonya pada Konferensi
Kebijakan Nasional Partai Buruh Inggris, Blair menjelaskan ciri ideologi setan,
yaitu: (1) Menolak legitimasi Israel; (2) Memiliki pemikiran bahwa syariat
adalah dasar hukum Islam; (3) Kaum Muslimin harus menjadi satu kesatuan dalam
naungan Khalifah; (4) Tidak mengadopsi nilai-nilai liberal dari Barat.
Hakikat
Benturan Peradaban
Peradaban (hadhârah)
secara bahasa adalah al-hadhar (tempat tinggal di suatu wilayah yang beradab
seperti kota), sebagai lawan/kebalikan dari kata al-badwu (derah
pinggiran kota dan pedesaan/pedalaman.2
Di kalangan Barat, peradaban diistilahkan dengan civilization;
di ambil dari kata civilis, yang berarti memiliki kewarganegaraan.
Istilah ini pertama kali digunakan dalam bahasa Prancis dan Inggris pada akhir
Abad XVIII untuk menggambarkan proses progresif perkembangan manusia; sebuah
gerakan yang menuntut perbaikan, keteraturan, serta penghapusan barbarisme dan
kekejaman. Di balik pemunculan pemahaman ini terletak spirit pencerahan
Eropa-yang kemudian dikenal dengan renaissance-dan rasa percaya diri terhadap
karakter progresif era modern.3
Istilah ini kemudian dipindahkan ke dalam bahasa Arab
dengan menggunakan dua ungkapan, yaitu hadhârah dan madaniyah.
Namun demikian, penggunaan kedua istilah ini masih menimbulkan persoalan baru
di kalangan penggunanya. Oleh karena itu, An-Nabhani kemudian menspesifikasikan
penggunaan kedua istilah tersebut ke dalam bukunya Nizhâm al-Islâm.
Menurut An-Nabhani, hadhârah adalah sekumpulan persepsi-yang
dimanifestsikan dalam perilaku-tentang kehidupan. Adapun madaniyah
adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam
berbagai aspek kehidupan.4
Muhammad Husein Abdullah kemudian membagi madaniyah
ke dalam dua kategori, yaitu:
(1) Yang berhubungan dengan hadhârah, yaitu yang
lahir dari suatu sudut pandang tertentu. Misal, rumah tidak terlepas dari hadhârah,
karena seorang Muslim akan membangun rumah dengan model yang dapat menjaga
aurat penghuninya, sementara orang sosialis atau kapitalis tidak akan
memperhatikan hal-hal itu.
(2) Yang tidak berhubungan dengan hadhârah, yaitu
hasil dari ilmu pengetahuan dan industri seperti alat-alat laboratorim dan
furniture. Semua ini 'netral' dan bersifat universal.5
Walhasil, peradaban (hadhârah) berkaitan dengan
pandangan hidup (world view) atau yang oleh an-Nabhani diistilahkan dengan mabda'
(ideologi), yang didefinisikan sebagai: akidah yang lahir dari proses
berpikir yang di atasnya dibangun sistem.6 Ditinjau dari definisi ini, mabda'
menunjukkan kelengkapan konsep yang mencakup akidah dan sistem.
Dengan demikian, benturan peradaban hakikatnya adalah benturan
yang terjadi antara sejumlah pemikiran dan atau ideologi yang berbeda atau
bertolak belakang.
Dalam
konteks peradaban, Islam jelas berbeda dengan peradaban lain, baik Kapitalisme
maupun Sosialisme. Fakta menunjukkan bahwa masing-masing ideologi memandang
yang lain sebagai musuhnya. Inilah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri,
kecuali oleh para pendusta dan pembohong.7
Beberapa Faktor Pemicu Benturan Peradaban Islam dan Barat
Beberapa Faktor Pemicu Benturan Peradaban Islam dan Barat
Banyak
analisis yang menjelaskan sebab dan faktor yang memicu terjadinya benturan
peradaban antara Islam dan Barat ini. Secara ringkas, dapat kita bagi menjadi 3
faktor utama sebagai berikut:
1. Faktor
agama.
Sejarah
telah mencatat Baratlah yang memulai perang terhadap umat Islam yang kemudian
lebih dikenal dengan Perang Salib atau Crusade. Perang Salib terjadi selama 1
abad (1096-1192 M), yang berlangsung selama tiga tahap: antara tahun 1096-1099
M; antara tahun 1147-1149 M; dan antara tahun 1189-1192 M.8 Pembantaian kaum Muslim oleh tentara salib di
Spanyol (Andalusia) abad XV M, termasuk serangan secara pemikiran dan
kebudayaan (tsaqâfah) seperti yang dilakukan oleh kaum zindiq serta para
misionaris dan orientalis, adalah juga berlatar belakang agama.9
Hingga kini, 'semangat' Perang Salib ini masih melekat
dalam benak orang-orang Barat, yang kemudian menjelma menjadi 'prasangka buruk'
(stigma) terhadap ajaran Islam dan umat Islam. Edward Said, dalam bukunya yang
berjudul, Covering Islam, menulis bahwa kecenderungan memberikan label
yang bersifat generalisasi mengenai Islam dan orang Islam, tanpa melihat
kenyataan sebenarnya, menjadi salah satu kecenderungan kuat dalam media Barat.
Dari waktu ke waktu, prasangka semacam itu selalu muncul dan muncul kembali ke
permukaan.
Kata "christendom" dan "holy war"
mulai banyak digunakan dalam berbagai tulisan di media massa Barat, seolah-olah
ingin memperlihatkan bahwa sedang terjadi suatu "perang suci" antara
Barat dan dunia lain di luarnya, terutama Dunia Islam.
2. Faktor
ekonomi.
Lenyapnya
institusi Khilafah telah melebarkan jalan bagi negara imperialis Barat untuk
menghisap berbagai kekayaan alam milik umat Islam. Sejak masa penjajahan
militer era kolonial hingga saat ini, Barat telah melakukan eksploitasi
'besar-besaran' atas sumberdaya alam yang dimiliki umat Islam.
Sebaliknya, jika Khilafah Islam kembali berdiri dan
berhasil menyatukan negeri-negeri Islam sekarang, berarti Khilafah Islam akan
memegang kendali atas 60% deposit minyak seluruh dunia, boron (49%), fosfat
(50%), strontium (27%), timah (22%), dan uranium yang tersebar di Dunia Islam
(Zahid Ivan-Salam, dalam Jihad and the Foreign Policy of the Khilafah State).
Secara geopolitik, negeri-negeri Islam berada di kawasan
jalur laut dunia yang strategis seperti Selat Gibraltar, Terusan Suez, Selat
Dardanella dan Bosphorus yang menghubungkan jalur laut Hitam ke Mediterania,
Selat Hormuz di Teluk, dan Selat Malaka di Asia Tenggara. Dengan menempati
posisi strategis ini, kebutuhan dunia terutama Barat sangat besar akan wilayah
kaum Muslim. Ditambah lagi dengan potensi penduduknya yang sangat besar, yakni
lebih dari 1.5 miliar dari populasi penduduk dunia. Melihat potensi tersebut,
wajar jika kehadiran Khilafah Islam sebagai pengemban ideologi Islam ini
dianggap sebagai 'tantangan', atau lebih tepatnya lagi, menjadi ancaman bagi
peradaban Barat saat ini.
Walhasil, benturan antara kepentingan umat Islam yang
ingin mempertahankan hak miliknya dan kepentingan negara Barat kapatalis tidak
terhindarkan lagi.
3. Faktor
ideologi.
Desember
2004 lalu, National Intelelligence Council's (NIC) merilis sebuah
laporan yang berjudul, "Mapping the Global Future". Dalam
laporan ini diprediksi empat skenario dunia tahun 2020, salah satu di antaranya
adalah akan berdirinya "A New Chaliphate", yaitu berdirinya
kembali Khilafah Islam-sebuah pemerintahan Islam global yang mampu memberikan
tantangan terhadap norma-norma dan nilai-nilai global Barat. Terlepas dari apa
maksud dipublikasikannya analisis ini, paling tidak, kembalinya negara Khilafah
Islam menurut kalangan analisis dan intelijen Barat termasuk hal yang harus
diperhitungkan.
Pertanyaannya, mengapa harus Khilafah? Jawabannya, karena
potensi utama dari negara Khilafah adalah ideologi yang diembannya. Khilafah
Islam adalah negara global yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan asas
ideologi Islam. Ideologi Islam ini pula yang pernah menyatukan umat Islam
seluruh dunia mulai dari jazirah Arab, Afrika, Asia, sampai Eropa. Islam mampu
melebur berbagai bangsa, warna kulit, suku, ras, dan latar belakang agama yang
berbeda.10 Kelak,
Khilafahlah yang 'bertanggung jawab' untuk mengemban dan menyebarkan ideologi
Islam ke seluruh penjuru dunia dengan dakwah dan jihad.
Tentu saja Barat, dengan ideologi Kapitalismenya yang
masih dominan saat ini, tidak akan berdiam diri. Berbagai upaya akan dilakukan
Barat untuk menggagalkan skenario ketiga ini (kembalinya Khilafah). Secara
pemikiran Barat akan membangun opini negatif tentang Khilafah Islam. Diopinikan
bahwa kembali pada Khilafah adalah sebuah kemunduran, kembali ke zaman batu
yang tidak berperadaban dan berprikemanusiaan. Sebaliknya, upaya penyebaran
ide-ide Barat akan lebih digencarkan, seperti demokratisasi yang dilakukan di
Timur Tengah saat ini.
Hubungan
Peradaban dengan Negara
Peradaban
sangat erat hubungannya dengan eksistensi negara. Peradaban dapat dianggap
sebagai "isi", sedangkan negara adalah "wadah"-nya. Dalam
keadaan tanpa "wadah", "isi" akan tercecer dan
tercerai-berai tanpa kegunaan yang berarti.
Hubungan erat peradaban dengan eksistensi negara ini
dapat dibuktikan dari fakta sejarah perjalanan umat manusia. Tidak satu pun
peradaban dapat eksis secara sempurna, kecuali jika ia ditegakkan oleh satu
atau beberapa negara yang mendukungnya.
Peradaban Barat sulit dibayangkan dapat menjadi hegemoni
seperti sekarang ini kalau tidak ada negara-negara pendukungnya seperti Amerika
Serikat dan negara-negara Eropa Barat seperti Inggris, Prancis, dan lain-lain.
Demikian pula peradaban Islam pada masa lalu, tidak akan dapat tegak sempurna
tanpa eksistensi Daulah Islamiyah yang eksis sekitar 13 abad lamanya, sejak
hijrahnya Rasulullah saw. ke Madinah (622 M) hingga hancurnya Khilafah
Utsmaniah di Turki (1924 M).
Metode Islam
menghadapi Benturan Peradaban
Secara umum
agenda untuk 'menyambut' benturan peradaban antara Islam dan Barat, dapat
diringkas sebagai berikut 11:
1. Melakukan
pembinaan di tengah-tengah umat.
Bagaimanapun,
semua upaya penghancuran itu akan lebih mudah dihadapi kalau umat Islam kebal.
Pembinaan (tatsqîf) di tengah umat adalah dalam rangka mewujudkan pola
pikir yang islami, dan melatih ketahanan pola jiwa mereka dengan selalu berada
dalam suasana taqarrub ilâ Allâh.
2.
Melancarkan perang pemikiran dan mengungkap makar asing.
Penghancuran
Islam sering tidak disadari oleh kaum Muslim. Karena itu, membongkar agenda
tersembunyi dari penjajah (kasyf al-khuthath) harus selalu dilakukan.
Mereka juga harus selalu mengkritisi pemikiran-pemikiran yang menyimpang dan
menyesatkan yang diklaim oleh kalangan liberal sebagai pemikiran Islam. Jika
pemikiran-pemikiran ini tidak ditunjukkan kekeliruan dan kesalahannya, maka
umat Islam yang awam akan menyangka bahwa hal itu adalah bagian dari Islam.
3. Membangun kesadaran politik Islam dan
memberikan gambaran Islam sebagai solusi.
Kesadaran politik Islam yang benar harus ditumbuhkan di
tengah-tengah umat. Yang dimaksud adalah politik Islam yang akan membebaskan
manusia dari ketertindasan dalam segala aspeknya menuju pada keridhaan Allah
semata-mata. Untuk itu, para aktivitis dakwah harus mampu memberikan gambaran
syariat Islam sebagai solusi atas segala masalah manusia.
4. Membangun
tatanan politik Islam, yaitu Khilafah Islamiyah.
Dengan
tumbuhnya kesadaran politik Islam di tengah-tengah masyarakat maka berarti
telah tersedia 'perangkat keras' (yaitu dukungan dari umat Islam) dan 'perangkat
lunak' (yaitu konsep dan solusi Islam), yang diperlukan selanjutnya adalah
membangun tatanan politik Islam, yaitu negara Khilafah Islamiyah. Dengan
tatanan ini, upaya untuk menghentikan penghancuran Islam akan dapat dilakukan
lebih efektif dan efisien lagi.
Keniscayaan
Negara Khilafah dalam Menghadapi Benturan Peradaban
Hancurnya
Khilafah Islamiyah pada tahun 1924 telah melenyapkan "wadah" bagi
peradaban Islam. Dengan hancurnya Khilafah, peradaban Islam telah kehilangan
kekuatan dan vitalitasnya. Dapat dikatakan, peradaban Islam nyaris musnah dari
realitas kehidupan, karena Khilafah yang menopangnya telah tiada. Sebagai
gantinya, peradaban Barat sekularlah yang kemudian mendominasi kaum Muslim saat
ini.
Maka dari itu, eksistensi negara Khilafah adalah sebuah
keharusan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi agar peradaban Islam dapat
mengungguli peradaban Barat. Tentu, negara Khilafah yang akan terjun ke kancah
benturan peradaban itu haruslah negara yang kuat, yang didukung oleh kekuatan
ideologi, kekuatan ekonomi, dan kekuatan militer yang handal. Wallâhu a'lam.
Catatan kaki:
1.
Samuel P. Huntington, Benturan
Peradaban, hlm. 333.
2.
Muhammad Husein Abdullah, Studi
Dasar-dasar Pemikiran Islam, 2002, hlm. 149.
3.
John B. Thompson, Kritik
Ideologi Global; Relasi Ideologi dan Komunikasi Masa, 2004, hlm. 192. Lihat
juga Huntington: Benturan Antar Peradaban (cet. ke-2), 2001, hlm. 38.
4.
Taqiyuddin An-Nabhani, Peraturan
Hidup dalam Islam, 2001, hlm. 92.
5.
Abdullah, Op. Cit.,
hlm. 150.
6.
Hafidz Abdurrahman, Diskursus
Islam Politik dan Spiritual, 2004, hlm. 17.
7.
Muhammad Suardi Basri,
Makalah berjudul "Memahami Esensi Benturan Peradaban (Dari Konflik
Bipolar Menuju Konflik Bipolar Baru)".
8.
Lihat Henry S Lucas, 1993, Sejarah
Peradaban Barat Abad Pertengahan, Penerbit Tiara Wacana, Yoyakarta, hlm.
115- 130.
9.
An-Nabhani, Ad-Dawlah
al-Islâmiyah, Penerbit Hizbut Tahrir, 2002, hlm. 168-173.
10.
An-Nabhani, Op. Cit.,
hlm. 161-166.
Abdul Qadim
Zallum, Mîtsâq al-Ummah (1997), pada poin 66.