ISLAM DAN PLURALISME AGAMA

Written by Nirwan Syafrin    
Saturday, 20 August 2005 
Judul Buku    : Al-Islam wa al-Ta‘addudiyah al-Diniyyah
Pengarang     : Muhammad Legenhausen
Penerjemah   : Mukhtar al-Asadت
Penerbit         : Muassasah Al-Hudة li al-Nashr wa al-ظab‘, 2000) Iran
Halaman        : 205

Ditengah derasnya arus globalisasi yang dipicu oleh ledakan revolusi teknologi informasi, peran dan fungsi agama mulai ditantang. Tantangan yang seringkali dibebankan kepada agama adalah dalam menyelesaikan konflik dan perilaku kekerasan, sebab agama sering dikaitkan dengan terjadinya pelbagai ketegangan dan  kerusuhan. Ini sebenarnya tidak fair, sebab faktor-faktor  dominan yang terjadi di lapangan seperti kesenjangan ekonomi dan sosial, penindasan, ketidakadilan dan lain malah dikesampingkan.

Dalam kondisi seperti ini timbul upaya untuk mempersoalkan doktrin agama dan bahkan upaya merobah aspek-aspek penting agama itu. Hans Kung misalnya mempromosikan ide Global Ethics, sementara yang John Hick mengusulkan global theology. Disini pemikiran ekslusif dalam agama-agama di-global-kan alias dilebur agar menjadi inklusif dalam artian dapat menerima agama lain. Dalam wacana yang berkembang di Indonesia hal ini dikenal dengan gagasan yang disebut teologi inklusif. Teologi ini menekankan bahwa semua agama pada esensinya adalah sama; semuanya benar, karena semua agama tanpa terkecuali seluruhnya mengajarkan kebaikan dan ketundukan kepada yang maha kuasa dan maha benar. Oleh sebab itu, tidak satupun diantara agama-agama yang ada hari ini lebih superior dari yang lain. Dalam konteks inilah mereka menolak interpretasi ulama silam atas surah سli ‘Imrةn: 19 dan 88 yang menekankan superioritas Islam atas agama lainnya. Sebaliknya mereka mengikuti jejak C.W. Smith dan Jane I. Smith, menafsirkan perkataan ISLAM yang terkandung dalam kedua surah tersebut bukan sebagai sebuah nama (proper name) bagi sebuah agama, tapi hanya bentuk ekspresi sikap kepasrahan (submission). Oleh sebab itu siapapun yang melakukan penyerahan maka seseorang itu dapat dikategorikan Muslim. Ide inilah yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi gagasan teologi inklusif dan pluralisme agama.
Lebih dari itu para pendukung pluralisme agama mencoba mencari justifikasi ide mereka baik dari ayat-ayat al-Qur’an, hadith nabi maupun dari pernyataan para sufi Muslim seperti Ibn ‘Arabت dan Jalةluddin al-Rثmi. Padahal  ide ini berakar dalam sejarah Kristen Barat yang bermula sejak lahirnya abad Renaissance. Namun sayangnya para intelektual Muslim kita tidak pernah mau berusaha melakukan usaha pelacakan ide tersebut. Sehingga kesan yang segera mucul adalah adanya proses adopsi pemikiran yang tidak kritis atau yang lebih serius lagi adanya proyek penting dari Barat.
Disinilah mungkin perlunya kita untuk mempertimbangkan buku yang ditulis oleh Dr. Muhammad Legenhausen, Islam and Religious Pluralisme, yang telah diterjemahkan oleh Mukhtar al-Asadت menjadi Al-Islةm wa al-Ta‘addudiyyah al-Dتniyyah. Kajian Legenhausen ini dapat dikatakan komprehensif dan cukup kritikal. Ia komprehensif karena kajiannya meliputi kajian historis atas perkembangan ide tersebut dan turut mengkaji pemikir besar yang berada di belakang konsep ini, seperti John Hick, Frithjof Schuon, Rene Guénon, dan Syed Hussein Nasr, tiga yang terakhir adalah penggagas konsep Trancendent Unity of Religion.
Seperti yang telah disinggung diatas, secara historis, Legenhausen mendapati bahwa ide pluralisme agama pada awalnya sebuah ide yang digagas sebagai respon teologis atas perkembangan yang sedang berlaku di masyarakat Barat ketika itu. Konflik agama tercetus dimana-mana sehingga menimbulkan ribuan korban. Atas nama agama masing-masing pihak menghabisi pihak yang berseberangan dengannya. Dalam kondisi seperti inilah kemudian lahir gerakan liberalisme. Gerakan liberalisme ini pada awalnya bersifat politis, karena tujuannya hanya untuk membatasi intervensi gereja dalam administrasi pemerintahan. Akan tetapi pada awal abad 19 gerakan liberalisme ini mulai menular ke barisan Kristen Protestan dan pada akhirnya telah melahirkan gerakan apa yang disebut Protestan Liberalisme. Dan tidak bisa dinafikan bahwa gerakan ini sangat kuat dipengaruhi oleh konsep modernisme yang juga sedang berkembang pada saat itu. Diantara pengasas gerakan ini, Legenhausen menyebut teolog Protestan Fredrich Schleiermacher (1768 – 1834), yang pikiran-pikirannya banyak mempengaruhi John Hick. Menurut penulis hampir keseluruhan ide dasar pluralisme agama itu dapat ditelusuri pada tulisan-tulisan Schleiermacher. Schleiermacher menilai bahwa agama adalah urusan privat; esensinya terletak pada jiwa dan diri manusia dalam interaksinya dengan yang Mutlak, bukan pada institusi tertentu dari agama atau bentuk eksternalnya. Selain Schleiermacher, Rudolf Otto (1869-1937), seorang teolog Jerman, juga mempunyai pandangan yang sama. Menurut Otto pada prinsipnya agama mempunyai satu esensi yang sama yaitu kesucian (the Holy). The holy ini mencakup hal-hal yang rasional dan juga yang irrasional. Akan tetapi bagi Otto unsur yang terakhirlah sesungguhnya yang permanen dalam agama, yang disebutnya dengan numinous (hal. 27). Selain Schleirmacher dan Otto, asal usul ide pluralisme agama ini juga dapat dilacak pada pemikir-pemikir seperti Ernst Troeltsch (1865 – 1923), Wilhem Dilthey (1833-1911), Arnold Toynbee (1889 – 1975) dan para pemikir Romantisisme.
Bagian kedua dari Bab kedua buku ini selanjutnya mendiskusikan pikiran pluralisme agama John Hick, tokoh yang sangat berpengaruh dalam pengembangan gagasan ini. Ada lima tipe pluralisme yang dikembangkan Hick; Normative religious pluralism, Soteriological religious Pluralism, epistemological religious pluralism, Alethic religious pluralism, dan deontic religious pluralism. Kelima-lima bentuk pluralisme ini pada dasarnya mengajarkan bahwa jalan untuk keselamatan itu bukan satu tapi bervariasi. Ia dapat diperoleh dari agama lain selain Kristen, karena agama lain tersebut juga mengandungi kebenaran. Ide Hick ini telah menimbulkan pro dan kontra di kalangan teolog Kristen. Oleh sebab itu tidak heran kalau ada diantara intelektual Kristen Barat yang mengkritiknya. Legenhausen sendiri dengan tegas menyatakan “bahaya” ide ini atas keberlangsungan beragama. Ide ini memberikan penekanan hanya pada inner dimension agama saja, maka aspek ritual dan prakteknya otomatis dikesampingkan. Padahal aspek yang kedua tidak kalah pentingnya dari yang pertama, karena aspek kedua inilah yang akan mengantarkan seseorang untuk dapat mendalami aspek pertama agama tadi, yaitu dimensi esoteriknya. Teolog Kristen pun punya pandangan yang sama, bahwa ide Hick ini akan menghancurkan prinsip-prinsip dasar agama Kristen khususnya konsep Trinitas. (hal. 101)
Legenhausen menekankan bahwa ide Hick sama sekali tidak punya tempat dalam Islam. Sebab, dalam padangan Islam syari’at menduduki tempat yang sangat penting sekali. Ia merupakan manifestasi dan sekaligus jalan untuk menuju Allah. Ummat Islam diperintahkan untuk membagun sebuah masyarakat yang mengacu pada model Rasulullah dan sejalan dengan Syari’at Ilahiyah yang maha suci. Hal ini tidak mungkin terlaksana sekiranya syari’at hanya dianggap sebagai respon budaya bangsa Arab abad pertengahan dalam usaha nabinya berhadapan dengan realitas yang ada (hal. 109). Kedua, kata penulis ini, bagaimana mungkin Islam sebagai agama Tauhid dapat menerima wathaniyyah (para penyembah berhala) sebagai satu dari sekian jalan untuk mencapai kebenaran dan keselamatan, padahal tawhid itu sendiri adalah kritik atas kepercayaan wathaniyyah tadi. (p. 110)
Pada bagian kedua buku ini, penulis mempertanyakan beberapa argumen yang selama ini diusung oleh tokoh filsafat perennialis seperti Frithjof Schuon, Rene Guénon, dan Syed Hussein Nasr. Sebagaimana Hick, ketiga-tiga tokoh ini juga berpendapat bahwa seluruh agama sesungguhnya sama-sama benar dan absah, dan dapat digunakan sebagai jalan untuk mencapai kebenaran. Perbedaan yang terjadi antar agama di dunia ini hanya perbedaan dalam pengungkapan kesatuan transendental tadi. Untuk memperkuat ide ini, pengasas dan pengusung ide ini tidak segan silu untuk mengutip statemen-statemen tokoh sufi Muslim terkenal seperti Ibn ‘Arabة dan Jalةluddin Rثmi. Di antara statemen Rثmi yang selalu dikutip dalam konteks ini adalah; ”Al-Maخabiح mukhtalifah wa lةkin al-جaw’ wةحid” (Lentera mungkin berbeda, tapi cahayanya tetap satu). Kata Legenhausen, bukankah pernyataan Rثmi ini sejalan dengan firman Allah dalam surah 44:5 dan 46:5? Tapi maksudnya bukanlah bahwa semua agama memiliki tingkat cahaya kesucian yang sama. Sehingga satu cahaya yang kita ikuti itu tidak lebih baik dari cahaya wathaniyyah misalnya. Permasalahannya disini, tegas Legenhausen, bukan pada hak kita untuk memilih cahaya yang mana. Tugas kita, katanya, adalah hanya mengikuti pilihan yang telah ditentukan Allah yaitu agama Islam yang dibawa Rasulullah. Dengan demikian, ringkas Legenhausen, Rثmi bukanlah seorang penganut pluralisme agama seperti yang selalu di gembor-gemborkan.
Seperti Rثmi, Ibn ‘Arabت juga selalu dijadikan perisai untuk menjustifikasi ide Transendent Unity of Religion sambil mengutip beberapa statemen yang seolah-olah membenarkan ide tersebut. Padahal Ibn ‘Arabت sama sekali tdak bertanggungjawab atas klaim tersebut. Dalam salah satu pernyataannya ketika seorang hakim Muslim menanyakan beliau bagaimanaca cara memperlakukan orang-orang Kristen, misalnya ia menjawab agar mereka diperlakukan seperti orang yang telah membuat perjanjian (ber-akad) dalam undang-undang Islam. Akan tetapi Ibn ‘Arabi juga menekankan kewajiban manusia mengikuti syari’at yang dibawa Rasulullah saw. Dengan demikian, lanjut Legenhausen, jelaslah bahwa seluruh agama yang datang sebelum Islam terabrogasi dalam naungan Qur’ani. Bukan karena telah mengalami pemalsuan. Akan tetapi ia telah melebur dalam ajaran Islam. (hal. 131) Demikianlah Legenhausen menolak keras klaim yang mengatakan bahwa Ibn ‘Arabت dan Rثmi menerima ide kesatuan transenden agama-agama. Jadi penulis buku ini secara tegas menolak konsep pluralisme agama ala Hick dan Nasr, dan kritikan-kritikannya dapat disimak pada bagian kedua dari bukunya ini.
Keresahan atas ide pluralisme agama ala John Hick dan transenden-nya Frithjof Schuon, Syed Hussein Nasr telah ditunjukkan oleh pemikir dan sarjana Muslim kita hari ini, meskipun masih belum memadai. Kajian serius atas pemikiran kedua tokoh ini dilakukan oleh Adnan Aslan dalam disertasi doktornya yang kemudian diangkat menjadi buku berjudul Religious Pluralism in Christian and Islamic Philosophy: The Thought of John Hick and Seyyed Hossein Nasr. Meskipun penulis ini sudah berusaha melihat secara kritis atas pandangan kedua tokoh ini, akan tetapi masih terlihat kurang tajam dan dalam. Oleh sebab itu kajian serupa masih perlu dilakukan. Dan disertasi doktor Dr. Anis Malik Taha yang berjudul Ittijahat al-Ta‘addudiyyah al-Diniyyah wa al-Mawqif al-Islami minha, yang diajukan di International Islamic University Islamabad, mungkin dianggap sebagai jawaban atas panggilan ini. Dalam disertasi itu Dr. Anis sampai pada kesimpulan bahwa pada dasarnya ide pluralisme agama akan menimbulkan tiga implikasi pokok dalam agama; pertama, penghapusan agama itu sendiri (al-qadha’ ‘ala al-din), pluralisme skeptik, dan yang terakhir adalah ancaman atas Hak Asasi Manusia. Berdasarkan kajian-kajian kritis seperti diatas, mungkin sudah sewajarnya para intelektual Muslim tanah air untuk kembali mengkaji keabsahan ide pluralisme yang sedang mereka kembangkan di tanah air. Sikap kritis dalam hal ini sangat diperlukan sehingga dengan demikian tidak begitu saja menerima ide dan konsep yang hakikatnya hanya akan menghancurkan syari’ah dan aqidah Islam. (Nirwan Syafrin)

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design