Wilayatul Faqih: Kalam atau fiqih? Memetakan Masalah, Meredam Perbedaan

Oleh: Saleh Lapadi

Permasalahan Imamah menurut Ahli Sunnah adalah masalah fiqih[1]. Syi’ah memandangnya sebagai mata rantai Nubuwwah yang pada akhirnya masuk dalam kategori kalam/teologi. Kenyataan ini membuat sebagian orang terperangkap ketika akan mengkaji masalah wilayatul faqih. Karena konsep wilayatul faqih dianggap sebagai turunan masalah Imamah menjadikannya hanya sebagai masalah teologi tidak lainnya. Keyakinan ini tidak memberikan peluang untuk melihat masalah ini dari sudut pandang fiqih. Memisahkan kajian wilayatul faqih dari konsep Imamah semisal memisahkan konsep Imamah dari Nubuwwah. Sebagaimana Imamah tidak bermakna tanpa Nubuwwah begitu pula wilayatul faqih tanpa Imamah. Memisahkan wilayatul faqih dari Imamah adalah penggembosan wilayatul faqih itu sendiri.


Sementara itu. sebagian orang melihat ini sebagai obyek kajian fiqih. Contoh paling jelasnya adalah Imam Khomeini sendiri mengkajinya secara luas pada buku fiqihnya Al-Bai’ (jual beli) ketika mengomentari buku Al-Bai’ Syaikh Anshori. Bila Imam Khomeini sendiri selaku penggagas ide wilayatul faqih mengkajinya dalam buku fiqihnya, maka apa alasan untuk tidak menjadikannya sebagai obyek kajian fiqih. Bahkan sebagian besar masalah wilayatul faqih, oleh mayoritas ulama, dibahas dalam buku-buku fiqih mereka[2].

Perbedaan pandangan ini sebenarnya sah-sah saja bahkan boleh dikata sesuatu yang lumrah. Sayangnya, perbedaan ini kemudian berkembang dengan meninggalkan sikap ilmiah. Tentunya perbedaan ini dapat diselesaikan dengan dialog yang lebih mencerminkan pengikut Syi’ah sebagai ‘abna’u ad-dalil’. Tanpa perlu memberikan stempel tertentu bagi yang berbeda pandang dengannya.

Tulisan ini mencoba untuk memetakan permasalahan konsep wilayatul faqih tanpa terjebak dalam pemutlakan. Pemetaan masalah wilayatul faqih pada kalam atau fiqih tanpa melihat tolok ukur dan obyek kajian keduanya tidak akan pernah berhasil. Untuk itu, obyek kajian keduanya perlu digarisbawahi agar mendapat perhatian yang lebih.

Tolok ukur masalah kalam dan fiqih

Pada awalnya orang mungkin berpikir bahwa tolok ukur sebuah masalah menjadi kajian kalam karena dikuatkan dengan dalil aqli (rasional). Sementara tolok ukur masalah fiqih dikarenakan penetapannya dibantu oleh dalil naqli (teks wahyu). Atas dasar ini jugalah ilmu kalam dikelompokkan dalam ilmu-ilmu rasional sementara ilmu fiqih termasuk ilmu-ilmu tekstual.

Tolok ukur yang demikian sangat sulit diterima bahkan dapat dikatakan tertolak, batil. Hal ini dikarenakan penggunaan argumentasi rasional dalam fiqih juga ada. Sebagaimana untuk menetapkan banyak masalah dalam ilmu kalam hanya dapat dilakukan dengan bantuan teks-teks wahyu.

Penggunaan argumentasi rasional dalam fiqih dapat ditemukan di dua tempat:

Mustaqillat ‘Aqliyah (akal murni); Akal mampu dengan sendirinya memahami sesuatu tanpa bantuan penjelasan syariat. Sebagai contoh, kewajiban menaati Allah sebagai bagian masalah fiqih sementara argumentasinya murni akal. Akal dalam berargumentasi menetapkan kewajiban ketaatan kepada Allah tanpa dipengaruhi oleh teks apapun. Bila ada teks yang menandakan itu maka teks tersebut hanya berfungsi sebagai irsyadi (penuntun)[3] akan adanya hukum akal.

Ghair Mustaqillat ‘Aqliyah (akal terkait). Maksud dari akal terkait adalah kesimpulan akal yang muncul terkait dengan penjelasan syariat. Akal tidak menghukumi dengan sendirinya namun dengan bantuan hukum syariat. Seperti kewajiban melaksanakan wudu sebelum melakukan salat. Akal memahami kewajiban itu dikarenakan penjelasan syariat tentang pelaksanaan salat disertai dengan wudu.

Penjelasan singkat ini memberikan gambaran bahwa tolok ukur yang disebutkan di atas tentang kategori sebuah masalah disebut kalami hanya dikarenakan dalil yang dimilikinya adalah rasional tidak benar. Hal itu dikarenakan dalam fiqih, sebagaimana telah dijelaskan, penggunaan argumentasi rasional juga ada.

Begitu pula sebaliknya berkenaan dengan masalah kalam. Tidak semua argumentasi yang dikemukakan melulu rasional murni. Penetapan melalui rasional lebih sering dipakai untuk menetapkan masalah-masalah umum. Sementara detil masalah rasio sudah tidak lagi mampu melakukan itu. Di sinilah letak peran teks dan dogma-dogma agama. Contoh yang paling jelas berkenaan dengan pembahasan hari kebangkitan. Penetapannya memang dengan argumentasi rasional namun pada detil masalahnya teks yang berperan penting.

Salah satu sebab penting mengapa dalam ilmu kalam lebih ditekankan argumentasi rasional adalah dikarenakan salah satu tujuan ilmu kalam adalah membela agama. Dalam pembelaan lebih diutamakan argumentasi yang dapat diterima kedua belah pihak. Sementara fiqih tidak demikian yang membuatnya lebih banyak terikat dengan dalil naqli.

Satu hal juga yang perlu diperhatikan adalah pembahasan sebuah masalah di sebuah buku disiplin ilmu tertentu tidak lantas menjadikannya masalah disiplin tersebut. Sebagai contoh masalah wilayatul faqih yang dikaji pada ilmu fiqih tidak lantas membuatnya sebagai ilmu fiqih. Masalah wilayatul faqih yang dibahas secara luas oleh Imam Khomeini dalam buku fikihnya ketika mengomentari karya monumental Syaikh Anshori Makasib dalam masalah jual-beli juga merupakan kajian tambahan. Beliau sendiri mengatakan, ‘Salah satu wali yang dapat melakukan intervensi pada harta orang yang tidak berhak untuk melakukan kegiatan ekonomi terkait dengan hartanya adalah Hakim. Seorang Hakim adalah faqih yang memenuhi semua syarat-syarat untuk berfatwa. Oleh karenanya tidak terlalu bermasalah bila dibahas tentang masalah wilayatul faqih mutlak secara global’[4].

Penafsiran yang lebih mendekati kebenaran berkaitan dengan masalah tolok ukur kembali pada obyek kajian kedua ilmu. Ilmu kalam mengkaji Allah swt, sifat zatiah dan sifat fi’liahNya (perbuatan)[5]. Sementara ilmu fiqih membahas tentang perbuatan seorang mukallaf (hamba).

Dimensi teologis masalah wilayatul faqih

Dimensi teologis masalah wilayatul faqih terkait erat dengan masalah keimamahan. Sebagaimana masalah Imamah tidak kembali pada mukallaf yang menentukan tetapi ia murni urusan Allah. Penetapan masalah Imamah adalah terkait dengan Allah dan perbuatanNya. Syi’ah tidak melihat masalah Imamah selain sebagai teologi. Oleh karenanya pertanyaan, apakah wajib bagi kaum muslimin untuk menetapkan Imam pengganti Nabi, atau beberapa pertanyaan lain menjadi sangat tidak relevan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya dapat ditemui pada ide-ide pemikiran fiqih Ahli Sunah. Menurut Ahli Sunah perbuatan mukallaf penentu siapa pengganti Nabi.

Kembali lagi, Imamah adalah perbuatan Allah. Masalah Imamah identik dengan masalah Nubuwwah. Keduanya dalam satu bingkai yang jelas. Oleh karenanya, pertanyaan yang diajukan menjadi berbeda. Apakah Allah menentukan seseorang sepeninggal Nabi untuk menuntun Umat? Apakah menetapkan seorang Imam wajib bagi Allah?

Konsep wilayatul faqih sebagai turunan Imamah juga demikian. Pertanyaannya menjadi demikian; Apakah Allah yang Maha Mengetahui, bahwa Imam terakhir akan mengalami masa kegaiban besar, memiliki perintah untuk mengangkat seseorang menuntun umat ataukah Ia membiarkan umat tanpa ada yang menuntun? Bila Allah memiliki perintah pengangkatan seorang faqih sebagai pemimpin yang memiliki semua syarat-syarat apakah wajib bagi seluruh umat untuk mengikutinya atau tidak? Obyek kajian yang semacam ini muncul dari perbuatan Allah. Bila memang demikian maka argumentasi yang diajukan berkaitan dengannya adalah teologi/kalam[6].


Imam Khomeini sebagai pengonsep dasar-dasar wilayatul faqih dalam buku Al-Bai’nya meyakini masalah wilayatul Faqih sebagai bagian kajian teologi. Ucapan beliau:

“Menjaga dan membela pemerintahan merupakan kewajiban yang sangat ditekankan, sementara merusak urusan-urusan kaum muslimin merupakan perbuatan yang sangat dibenci. Kedua-dua kondisi ini hanya dapat terealisir dan terenyahkan dalam kehidupan kaum muslimin dengan adanya seorang wali (penguasa) dan pemerintahan. Lebih lanjut, menjaga dan membela wilayah teritorial kaum muslimin dari serbuan musuh adalah sebuah keharusan, baik secara rasional maupun tekstual (syar’i). Kondisi ini juga tidak mungkin dilakukan tanpa pembentukan sebuah pemerintahan. Semua itu merupakan yang paling jelas dari kebutuhan kaum muslimin. Dan kebutuhan yang sangat vital ini tidak mungkin oleh Allah dibiarkan begitu saja. Argumentasi yang dipakai untuk menetapkan perlu dan harus akan adanya Imamah setelah nubuwwah adalah keharusan adanya sebuah pemerintahan setelah gaibnya Imam Mahdi... Rasionalkah Allah yang terkenal dengan kebijakanNya membiarkan umat Islam begitu saja tanpa menentukan kewajiban untuk mereka? Ataukah Allah rela dengan kekacauan dan rusaknya sebuah sistem?”[7]

Dimensi fiqih masalah wilayatul faqih

Kajian wilayatul faqih akan mengambil sifat fiqih bila kewajiban dan hak syar’i seorang wali faqih dan hubungannya dengan pemerintahan dibahas. Dengan ungkapan lain, pada zaman kegaiban Imam Mahdi, untuk mempertahankan nilai-nilai agama dan menjaga sistem sosial agar undang-undang Islam dapat dilaksanakan, wajib bagi seorang faqih untuk menerima kekuasaan dan menerapkannya. Pada saat yang sama masyarakat muslim wajib untuk menaati faqih yang memimpin. Kondisi ini dapat ditemukan pada ucapan Imam Ali AS. ketika berkata:

“Seandainya tidak ada masyarakat banyak yang hadir di sekelilingku untuk berbaiat (kepadaku), dan seandainya hujjah (argumentasi) belum sempurna, dan seandainya Allah tidak pernah mengambil janji dan tanggung jawab dari para faqih agar melawan para penguasa zalim dan membantu kaum mustadha’afin, niscaya aku tidak akan mengambil kendali kekhalifahan. Aku pasti akan membiarkannya[8].”

Jumlah masalah yang dibahas dalam fiqih berkaitan dengan wilayatul faqih sangat luas. Kondisi ini mengharuskan munculnya disiplin fiqih politik yang khusus mengkaji masalah wilayatul faqih dari sederatan teori-teori yang ada dalam Islam. Wilayatul faqih dalam fiqih tidak membahas apakah Allah menentukan pemimpin pada zaman kegaiban Imam Mahdi namun muncul dari pribadi-pribadi mukallaf. Hubungan antara masyarakat dengan pemimpin dan sebaliknya, distribusi kekuasaan dalam konsep wilayatul faqih, masyarakat dan pemimpin dalam hubungannya dengan negara dan begitu juga hubunganya dengan dunia internasional dan lain-lainnya.

Wilayatul faqih masalah kalam dan fiqih

Sebenarnya dengan tanpa meletakkan keduanya saling berhadap-hadapan, masalah wilayatul faqih dapat saling bersanding. Wilayatul faqih dapat dikaji dalam kalam maupun fiqih tanpa menimbulkan kecurigaan apapun. Pada asal dan dasar masalah kekuasaan dan kepemimpinan politik fiqih ditetapkan dalam ilmu kalam. Bahwa kepemimpinan seorang faqih setelah kegaiban Imam Mahdi adalah keharusan dari Allah sesuai dengan kebijakanNya. Kepemimpinan seorang faqih sebelum diterima oleh masyarakat telah ditetapkan lebih dahulu oleh Allah. Ringkasnya, legalitas kepemimpinan seorang faqih ditetapkan dengan perbuatan Allah tidak dengan suara masyarakat. Bila masyarakat tidak memberikan suara sekalipun kepada seorang faqih yang telah memenuhi syarat untuk memimpin, tetap saja seorang faqih memiliki legalitas dari Allah. Suara masyarakat adalah syarat baginya untuk memerintah tidak lebih.

Asas dan dasar kepemimpinan seorang faqih yang ditetapkan dalam ilmu kalam memiliki kelaziman-kelaziman. Kelaziman-kelaziman inilah yang dibahas dalam fiqih. Bahwa seorang faqih syarat-syaratnya harus demikian, masyarakat harus menaatinya dan keharusan atau ketidakharusan lainnya yang ada dalam kajian fiqih. Namun ada satu hal yang tidak boleh dilupakan bahwa setiap keharusan atau ketidakharusan harus berujung pangkal pada keberadaan atau ketiadaan. Keberadaan harus menjadi tumpuan keharusan-keharusan yang ada. Bila keberadaan tidak ada maka keharusan-keharusan dalam fiqih yang berkaitan dengan wilayatul faqih menjadi tidak bermakna. Apa artinya kita diperintahkan untuk menaati seorang pemimpin (faqih) yang pada hakikatnya tidak pernah ada. Ketidakberadaannya bukan melihat sisi fisik tapi lebih kepada tidak ada legalitas dari Yang Maha Kuasa dan Penguasa[9].

Apa yang dilakukan oleh Imam Khomeini berkaitan dengan masalah wilayatul faqih yang dikaji dalam fiqih selama ini adalah dengan membawa masalah wilayatul faqih keluar dari koridor fiqih. Setelah itu dikaji dalam ilmu kalam. Pada ilmu kalam, Imam Khomeini kemudian mengembangkan dengan sungguh-sungguh argumentasi rasional Wilayatul faqih. Setelah dikembangkan, dari sisi argumentasi rasional, beliau membawa kembali masalah wilayatul faqih ke fiqih. Semua kajian fiqih yang terkait erat dengan Wilayatul faqih dinaungi oleh argumentasi logis dan matang yang sebelumnya telah digodok di ilmu kalam. Kesimpulan-kesimpulan yang diambil dalam fiqih membuat banyak hasil yang semula tidak pernah terpikirkan oleh ulama sebelumnya. Itulah mengapa konsep wilayatul faqih menjadi lebih matang dan dapat memberi hasil yang lebih baik dari konsep sebelumnya di tangan Imam Khomeini[10].

Beberapa konsekuensi

Bila dipandang bahwa wilayatul faqih dapat dikaji pada dua ilmu; kalam dan fiqh, maka akan muncul beberapa konsekuensi:

Dari sudut pandang ilmu kalam, kewajiban dari Allah untuk menentukan seorang (faqih yang memiliki syarat sempurna), sekalipun hanya dengan sifat-sifat, untuk memimpin umat. Sementara dari sisi ilmu fiqih, masyarakatlah yang berkewajiban menentukan dan memilih seorang pemimpin (faqih yang memiliki syarat sempurna) bagi mereka.

Dari sudut pandang ilmu kalam, memilih dan mengangkat seorang wali faqih tidak di tangan masyarakat atau institusi apapun. Legalitas kepemimpinan seorang wali faqih didapatkan dari Allah. Sementara masyarakat atau institusi apapun yang dipercayai hanya menyingkap apa yang telah ditetapkan sebelumnya oleh Allah[11]. Sementara dari sisi ilmu fiqih, masyarakatlah yang menjadi penentu paling utama. Tanpa suara masyarakat seorang faqih yang telah memenuhi syarat tidak dapat menjadi pemimpin. Di sisi lain, seorang faqih yang telah memenuhi syarat harus siap menjadi pemimpin bila diminta oleh masyarakat. Kepemimpinan seorang faqih didapat dari suara yang diberikan oleh masyarakat.

Dari sudut pandang ilmu kalam, argumentasi yang dipergunakan untuk menetapkan wilayatul faqih akan lebih mudah. Hal itu lebih dikarenakan wilayatul faqih merupakan kepanjangan Nubawwah dan Imamah. Argumentasi yang telah dibangun untuk menetapkan keduanya dipakai untuk menetapkan wilayatul faqih. Sementara dari sisi ilmu fiqih, setiap ahli fiqih akan berargumentasi dengan prinsip-prinsip penyimpulan hukum yang diyakininya. Dengan ini akan banyak argumentasi yang boleh jadi saling menafikan satu dengan yang lainnya.

Dari sudut pandang ilmu kalam, konsep wilayatul faqih mutlak akan lebih mudah dapat ditetapkan dengan mudah karena ia adalah pengganti konsep Imam yang gaib. Akal tidak melihat perbedaan dalam masalah menangani masyarakat antara seorang Nabi, Imam dan Wali Faqih. Oleh karenanya, semua perbuatan dan keputusannya tidak lagi pada dalil-dalil khusus berkenaan dengannya. Sementara dari sisi ilmu fiqih, setiap perbuatan dan keputusan seorang wali faqih harus berlandaskan dalil khusus. Hal itu mengingat asas dalam memerintah adalah tidak adanya kekuasaan seseorang terhadap orang lain kecuali ada dalil yang menunjukkan itu.

Dari sudut pandang ilmu kalam, konsep wilayatul faqih memiliki nilai kesucian yang lebih besar dibandingkan dengan konsep wilayatul faqih dalam fiqih. Hal itu dikarenakan ia adalah turunan dari wilayah (kekuasaan) yang dimiliki oleh Imam maksum.

Sebuah poin

Dalam masalah teologi derajat pentingnya masalah yang dikaji pun berbeda-beda. Sebagian termasuk dalam Ushuluddin (prinsip-prinsip agama), seperti masalah kenabian (nubuwwah). Sementara sebagian lain hanya termasuk Ushululmazhab (prinsip-prinsip mazhab), seperti masalah Imamah. Ma’ad (hari kebangkitan) termasuk Ushuluddin, namun detil masalahnya, yang juga termasuk masalah kalam, urgensinya tidak sebanding dengan masalah maa’d itu sendiri. Hal yang sama berkaitan dengan konsep wilayatul faqih. Ia merupakan masalah teologi karena turunan dari konsep Imamah, namun harus dikatakan bahwa derajatnya lebih rendah. Itu pun tidak berarti ia juga merupakan Ushul mazhab. Ushul mazhab dalam Syi’ah hanya sampai pada konsep Imamah, tidak lebih.[]

*Mahasiswa Pasca Sarjana Jurusan Fiqh Ushul di Universitas Imam Khomeini, Qom-Iran


-----------------------------------------------------------------
--------------------------------------------------------------------------------

[1] . Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad bin Muhammad, Al-Iqtishad fi Al-I’tiqad, Beirut, Darul Kitab Al-‘Ilmiyah, 1998, hal 147. Al-Ghazali menulis, ‘An-nazharu fi al-imamah laisa min al-muhimmaat wa laisa aidhan min fanni al-ma’qulaat bal min al-fiqhiyaat’.

[2] . Muhsin Kadivar, Hukumate Vela’i, hal 11, menulis bahwa masalah Wilayatul faqih adalah kajian fiqih sebagaimana para ahli fiqih baru memasukkannya dalam buku-buku mereka pada pertengahan abad ketiga belas Hijriah Qamariah.

[3] . Dalam istilah fiqih amr (perintah) dibagi menjadi dua; maulawi dan irsyadi. Maulawi lebih menitikberatkan peran Allah sebagai penguasa. Sementara perintah irsyadi sebagai penuntun. Oleh karenanya konsekuensi melanggar perintah maulawi adalah azab (seperti perintah melakukan salat) sementara melanggar perintah irsyadi tidak demikian.

[4] . Khomeini, Ruhullah, Kitab Al-Bai’, juz 2, hal 459. Lihat juga Makarim Shirazi, Anwar Al-Faqahah, juz 1, hal 438.

[5] . Gulpaigani, Ali Rabbani, Ma Huwa ‘Ilmu Al-Kalam.

[6] . Lihat penjelasan lebih luas, Amuli, Javadi, VelayateFfagih, hal 143.

[7] . Al-Khomeini, Ruhullah, Al-Bai’, juz 2, hal 461-462.

[8] . Nahjul Balaghah, khtubah ketiga. Pada khutbah di atas jelas bahwa Imam tidak menganggap baiat yang hadir sebagai landasan untuk memerintah namun adanya perjanjian yang diambil Allah dari faqih.

[9] . Untuk lebih luasnya lihat: Amuli, Javadi, Velayate Fagih, hal 143. Dan . Gulpaigani, Ali Rabbani, Din va Daulat, hal 126-127.

[10] . Untuk lebih luas mengenai hal ini lihat: Amuli, Javadi, Erfan va Hamaseh, hal 259.

[11] . Peran menyingkap ketentuan Allah oleh masyarakat atau institusi apapun tidak menurunkan nilai suara yang diberikan sebagaimana penyingkapan seorang Nabi tidak menurunkan nilai pendapat sejumlah tokoh yang melakukan itu.
 

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design