Oleh: Nasrul Afandi*
*Alumni Pesantren Lirboyo Kediri, Aktivis Mahasiswa NU Maroko.
*Alumni Pesantren Lirboyo Kediri, Aktivis Mahasiswa NU Maroko.
Dr. Jibson, Ia tertarik pemikiran Dr. Sir Walem Darmon:
"Orang yang tidak mau untuk berpikir(ilmiah) adalah fanatik, yang tidak
mampu untuk berpikir adalah orang gila, adapun orang yang tidak tertarik melaju
ke dalam jalur pemikiran, tidak usah diragukan dia adalah budak para hamba”.[1]
Dari opini tersebut dapat diambil kesimpulan, betapa pentingnya menghidupkan
gerakan pemikiran Islam, baik individual maupun institusional.
Siklus gelombang pemikiran Islam dunia, termasuk Indonesia dasawarsa ini, yang semestinya harus mampu menghasilkan hikmah sebagai wahana peningkatan intelektualitas atau minimalnya nalar ilmiah (Muslimin). Namun sungguh disayangkan, gerbong pemikiran telah terjebak ke dalam ranjau pragmatisme logika yang sangat kronis, dengan dilematisme ilmiah, mereka tidak lagi memfungsikan bahkan menafikan ilmu mantiq yang menurut filosofis atau para pemikir tempo dulu, merupakan manajemen berpikir itu, tidak mengaplikasikan ushul al-Fiqh - mustholah al-Hadits sebagai bekal utama “arkeologi ilmiah“ dan tafsir sebagai pijakan memahami al-Quran.
Singkatnya dominan terjerembab ke dalam samudera fantasi rasionalisme. Bahkan rasionalitasnya para pemikir sekarang ini, jauh lebih dominan(bahkan tersesat) dari wacana diniyyah kaum Muktazilah, di bawah komando Washil bin Ato’ yang dikenal sebagai super rasionalisme sekali pun itu.
Siklus gelombang pemikiran Islam dunia, termasuk Indonesia dasawarsa ini, yang semestinya harus mampu menghasilkan hikmah sebagai wahana peningkatan intelektualitas atau minimalnya nalar ilmiah (Muslimin). Namun sungguh disayangkan, gerbong pemikiran telah terjebak ke dalam ranjau pragmatisme logika yang sangat kronis, dengan dilematisme ilmiah, mereka tidak lagi memfungsikan bahkan menafikan ilmu mantiq yang menurut filosofis atau para pemikir tempo dulu, merupakan manajemen berpikir itu, tidak mengaplikasikan ushul al-Fiqh - mustholah al-Hadits sebagai bekal utama “arkeologi ilmiah“ dan tafsir sebagai pijakan memahami al-Quran.
Singkatnya dominan terjerembab ke dalam samudera fantasi rasionalisme. Bahkan rasionalitasnya para pemikir sekarang ini, jauh lebih dominan(bahkan tersesat) dari wacana diniyyah kaum Muktazilah, di bawah komando Washil bin Ato’ yang dikenal sebagai super rasionalisme sekali pun itu.
Barometer Kerugian Ilmiah ?
Di antara konsekuensinya, tanpa disadari ada dua hal utama "kerugian besar ilmiah“ yang telah lama diderita olehdunia Islam berawal dari ketimpangan gaya orang-orang yang menganggap dirinya sebagai cendikiawan, atau mayoritas yang hanya masih sebatas “terjangkit flu” ingin jadi cendikiawan, utamanya praktisi akademisi (mahasiswa) di dalam dan di luar negeri. Esensinya adalah virus ganas yang bertebaran mengkroposi kredibilitas internal ilmiah (Islam) itu sendiri.
Kerugian Pertama.
Signifikansi penguasaan terhadap bahasa Arab adalah faktor dominan untuk mewarnai kredibilitas ilmiah(Islam) figur tertentu, mengingat al-Quran sumber utama syariatul Islamiyah adalah berbahasa Arab. Bahkan sebagian ulama lughat (ahli bahasa) berpendapat“bahwa shorof adalah ’ibunya’ Ilmu dan nahwu adalah ’bapaknya’ “, untuk modal melacak berbagai ulumuddiniyyah.
Dalam berkembangnya arus pemikiran Islam dewasa ini, dengan digandrunginya pemikiran intelektual Islam bangsa Arab yang lagi ngetrend seperti Dr. Abid Jabiri, Dr. Nawal Sa'dawi, Dr. Mohammad Arkoun dan"golongan ini"lainnya, menyebabkan meledaknya oplah buku-buku terjemahan (bahasa Indonesia) karya para pemikir Arab tersebut, jelas semestinya ilmu alat [2] (gramatika Arab) sangat dibutuhkan untuk bisa mempertanggung jawabkan kualitas para penerjamah.
Sayangnya tidak disadari, komunitas intelektual muda “dilanda bencana“ minimnya ilmu alat (nahwu, shorof, balaghoh, mantiq dan sejenisnya), dengan sebab asyiknya membaca buku-buku atau yang biasa disebut kitab mu'ashir(modern) karya para doktor era sekarang ini, dengan pola bahasa serba mudah dan gampang.
Secara perlahan, ilmu-ilmu alat sirna dari "otak" umat ilmiah. Karena dengan sendirinya, para mahasiswa, termasuk yang kuliah di negara-negara Arab sekali pun, tidak lagi menuntut diri untuk membuka kitab-kitab gramatika Arab, yang menjadi modal untuk menguasai berbagai fan yang terkait dengan ulmussyari’ah itu. Apalagi mahasiswa di Indonesia, yang mayoritas buku-buku (agamannya sekali pun) sudah berupa terjemah berbahasa Indonesia, meskipun kadang juga masih perlu dipertanyakan kembali kualitas terjemahannya itu.
Realitasnya, bukan rahasia lagi, ketika para mahasiswa Indonesia di luar negeri(negara Arab) melaksanakan munaqosah(sidang) baik thesis untuk meraih gelar magister, bahkan sampai munaqosah disertasi untuk meraih gelar doktor sekalipun. Hal yang paling dominan "dibantai" oleh para penguji, adalah aspek tata bahasa (Arab) nya.
Ironinya lagi argumentasi mereka, biasanya cukup menggelikan: Lastu A'robiyah, wa bidhalik, la' a'rifu lughoh al-a'robiyah jayyid(saya bukan orang berbangsa Arab, karenanya saya tidak tau bahasa Arab dengan baik).
Sungguh menggelikan namun memprihatinkan. “Inilah di antara identitas para pemikir keIslaman Indonesia yang perlu disadari oleh masing-masing masyarakat ilmiah“. Kecuali ingin menyuburkan“bibit musibah ilmiah".
Adalah fakta akurat betapa kemampuan "ilmu alat" yang merupakan modal untuk menguasai berbagai fan ilmu itu, di kalangan cendikiawan Indonesia utamanya para calonnya, sudah sangat merosot.
Kecuali orang-orang dalam posisi sudah tidak memungkinkan untuk mempelajari itu, misalnya saja seperti Dr. Nurcholish Madjid, sehingga dalam bukunya Bilik-bilik Pesantren (1997), dia melakukan pembelaan diri, bahwa bahasa Arab tidak diperlukan untuk modal mengkaji ulumuddiniyah.
Kerugian Kedua
Tidak maksimalnya penguasaan terhadap pokok (ke-Islaman) seperti usul al-Fiqh, qowaid al-fiqh, fiqih, tafsir dan lainnya. Karena mereka lebih senang dengan "gaya", sehingga hanya dominan berimajinasi untuk bisa menemukan ide baru, agar bisa mejeng dengan mengekspresikan pemikirannya, baik lisan maupun tulisan di berbagai media massa. [3]
Nah, biasanya yang menyebabkan gayademikian ini, selain terkena "imbas" dari pertempuran pemikiran antara "golongan kiai sepuh dengan golongan pemikir muda," yang biasa disebut tradisionalisme - modernisme (konservatisme-liberalisme), sehingga mungkin mereka ingin turut “menyelesaikan pertempuran ilmiah" yang terjadi antara kalangan pemikir muda dan kalangan kiai sepuh(pesantren), lebih logis lagi mereka pun berminat untuk menjadi pemain aktif di medan yang bisa membuat figur tertentu dengan cepat dan mudah dikenal oleh publik serta sering menghasilkan keuntungan materi itu. Juga faktor utamanya adalah, karena berawal dari“pas-pasannya“ ilmu alat yang dikuasainya. [4]
Sehingga, disebabkan kandasnya keinginan untuk bisa membaca berbagai kitab turots(klasik) karya ulama yang berkredibilitas internasional itu. Akhirnya, mereka mencari alternatif buku-buku (karyapara doktor dasawarsa ini) yang pola bahasanya memungkinkan untuk bisa dipahaminya, meskipun mungkin dalam hati mereka, juga masih adanya sedikit minat ingin bisa memahami buku-buku klasik(kutub turots).
Memang, dengan demikian, di antara fungsinya, wawasan dan pijakan pemikiran ilmiahcalon ulama, cendikiawan atau entah calon apa namanya ? Akan mempunyai teropong berpikir yang setidaknya bisa membaca aktualitas laju ilmiah. Sesuai term Fiqh “chudu al-Hikmata min ayyi sa’a“(ambillah hikmah dari mana pun).
Tetapi, sayangnya berawal dari situ pula, mereka sering dibuat "lengah," dengan kualitas ilmiah masing-masing. Sebab, dengan asyiknya mereka membaca buku-buku baru itu, yang dengan pola bahasa serba baru dan mudah dipahami, sehingga mereka tidak susah-susah untuk tau banyak terhadap ilmu alat(nahwu, shorof , mantiq , balaghoh) sebagai modal dasar “arkeologi“ untuk menggali ulumuddiniyyah yang terdapat pada sumber utama al-Quran yang berbahasa Arab itu.
Selanjutnya, dengan “alasan“ sangat tertarik dengan buku-buku pemikir abad ini, mereka itu tidak sempat untuk membaca kitab-kitab karya ulama mutaqoddimin yang merupakan kewajiban dan kebutuhan pokok (ilmiah) atau minimalnya sebagai bekal utama mengarungi samudera ilmiah, yang semestinya harus dipelajari pada masa-masa awal studi sebagai pondasi ilmiah. Misalnya, al-Musytashfa karya al-Ghozali, ar-Risalah atau al-Umm karya asy-Syafi’i.
Termasuk, sering kedapatan, orang-orang yang katanya bergelar cendikiawan Muslim atau entah apa namanya?
Ketika melafalkan ayat-ayat al-Quran, mereka banyak yang “sangat tidak rafih“ tajwidnya, walau hanya sebatas lisan itu. Logikanya, bisakah seseorang untuk masuk ke dalam rumah dengan cara“wajar“, bila tanpa adanya kunci yang dipegangnya ?. Tentunya dengan tanpa “kunci“ itu, mereka akan menjadi “perampok dengan mendobrak pintu“ ataujadi “maling dengan diam-diam loncat lewat jendela“, dan di antara resikonya minimalnya harus ikhlas diteriaki “perampok atau maling ilmu“.
Di antara fenomenanya, banyaknya anak-anak muda (ilmiah) yang menggandrungi Yusuf Qardhawi, doktor lulusan universitas al- Azhar tahun 1973 itu, yang sebagai pondasi ilmiahnya Ia sudah hafal al-Quran 30 juzsebelum berusia sepuluh tahun. Juga dengan salah satu karyanya Fiqh al-Zakath pada tahun 1972,sebagai magnum opus karyanya. Dan sampai sekarang telah berkarya dengan ratusan buku.
Atau akan bisa dan mampukah Qardhawi mengkritik hadits yang menerangkan perpecahan jama'ahke dalam 73 golongan, dan hanya satu golongan saja yang selamat. Dengan tegas Ia mengatakan sanadnya hadits tersebut palsu. Bahkan beliau tertarik dengan pendekatan Abu Muhammad bin Hazm, yang memperkuat bahwa hadits tersebut tidak sah matannya ?. [5] Bisakah itu semua dilakukannya jika tanpa adanya penguasaan "pokok-pokok ilmu", (seperti ilmu hadits dan lainnya). Tanpa itu semua, tidak akan terwujud bukan ?.
Sayangnya para penggemar Yusuf Qordowi(dan tokoh sejenisnya) itu, sebagai fans, hanya berfikir, bagaimana "kita" bisa mengakses gagasan doktor yang lahir di Saft, Turab, Mesir, 1926, sekarang tinggal di Doha Qatar itu ?. Tanpa pernah mengi'lal (melacak asal-usul) biografi pondasi ilmiahnyasejak kanak-kanak, untuk kita teladani, yang membuat sang Qardawi(dewasa) diterima dan digandrungi berbagai pemikirannya. Di sinilah letak sangat tidak efektifnya.
Di sisi lain, ironinya, pesantren-pesantren (di Indonesia) yang merupakan tradisionalimse pendidikan Indonesia dan masih eksis mengajarkan pokok-pokok ilmu, seperti nahwu, balaghoh, usul fiqh, tafsir dan lainnya sebagai pondasi ilmiah. Pesantren hanya dijadikan obyek kritik dari komunitas yang terkena "imbas" hempasan gelombang pragmatisme pemikiran itu. Anehnya, --sesuai egois manusiawi--, mereka jarang sekali meraba kualitas "bagian dalam ilmu" yang berada di dalam dirinya masing-masing.
Bahkan banyak pula orang beranggapan bahwa pondok pesantren—utamanya pesantren tradisional— dengan orsinilitas tradisionalismenya, sebagai pusat (tradisi) pengajaran ilmu diniyyah di Indonsia, tidak ubahnya sebagai "lemari es" untuk “pembekuan“ nuqthoh(nilai) ilmiah.
“Semestinya kita berpikir, bagaimanakah agar pondok pesantren maksimal sebagai “transmisi“ pembekalan dasar-dasar atau pokok-pokok ilmiah, untuk pijakan ilmiah generasi pemikir keIslaman yang potensial ?“.
Inikah fenomena musibah ilmiah ? Akankah dibiarkan, dengan resiko nyata, minimal bingungnya Muslimin dalam amaliah beragama, dengan adanya berbagai gagasan baru yang selalu dilontarkan oleh "para Mujtahid imitasi Abad ini" ? Dan pasti secara perlahan nilai-nilai orisinilitas agama pun menjadi buram, "sedangkan para kiai sepuh yang ihlas berhasrat penuh orientasi istiqomah amaliah dengan mengajak ummat, bersama ilmu-Nya mereka telah satu-persatu meninggalkan kita."
Realitasnya, yang terus marak bertambah sekarang, hanya orang-orang yang hanya penuhdengan "gayailmiah" saja ? Kalau hal-hal tersebut terus terjadi,sungguh besar kerugian ilmiah dunia(internal) Islam, dan tentunya sangat memprihatinkan !!!. Apakah Ilmiah dan logis ?.
Footnote :
[1] Dr. Jibson, Kaefa Tufakkir, Dar al-Ilmi Lilmalayin, Beirut, 1979, h. 7.
[2] Ilmu alat, dalam istilah komunitas pesantren, adalah istilah bagi fan ilmu yang berekenaan dengan modal untuk memahami berbagai fan ilmu, seperti nahwu, shorof , mantiq, ma’ani, bayan dan sejenisnya.
[3]Bisa dicek kebenarannya, para mahasiswa Indonesia yang sedang studi di negara-negar Arab, yang terlanjur “diasumsikan” oleh masyarakat sebagai pelajar yang ahli bahasa Arab itu.
[4]Biasanya, kondisi demikian ini, dialami oleh para alumni pesantren non tradisional atau yang biasa disebut pesantren modern. Atau juga banyaknya mereka dari SLTAdi luar pesantren.
[5]al-Shahwah al-Islamiyah baina al-Ikhtilafal-Masyru' wa al-Tafarruq al-Madzmum, Mu'assah Ar-risalah , Beirut. Halaman 34-35.
http://swaramuslim.net/