Oleh Trisno S. Sutanto
27/09/2004
APA
yang terjadi ketika suatu wacana dituliskan menjadi teks? Dan apa yang
berlangsung ketika seseorang atau suatu komunitas membaca sebuah teks? Teks apa
saja: potongan surat cinta, naskah artikel koran, outline karangan ilmiah,
transkripsi wawancara, catatan kuliah... Teks apa saja, tentang apa saja, oleh
siapa saja. Termasuk bisikan Jibril yang dituliskan Lia Aminudin. Jangan tanya
apakah benar atau tidak malaikat Jibril (atau Gabriel dalam tradisi Kristen)
benar-benar berbisik. Itu bukan persoalannya, setidaknya untuk esai ini.
Mengikuti
Riceour, filsuf kontemporer Prancis, ketika suatu wacana dituliskan, yang
terjadi sesungguhnya adalah pelestarian “makna wacana”, bukan “peristiwa-wacana”
itu sendiri; the said, bukan the saying. Dengan fiksasi itu, teks-teks tadi
memperoleh otonominya yang rangkap empat: otonom dari maksud (intention)
pengarang; otonom dari konteks sosio-historis awal yang melatarinya; otonom
dari situasi tatap muka yang menandai situasi dialog; dan akhirnya, otonom dari
kelompok sasaran (addresse) awalnya. Serentak dengan itu, teks menjadi sesuatu
yang pasti, sudah fixed.
Sifat
otonomi teks di atas tentu punya konsekuensi-konsekuensi radikal bagi siapa pun
yang bergulat dengan penafsiran teks, termasuk teks-teks yang kemudian disebut
Kitab Suci. Otonomi teks, yang menurut Ricoeur merupakan ciri konstitutif
tekstualitas suatu teks, membuat prinsip penafsiran setiap teks terbuka dan
menihilkan upaya menunggalkan tafsir. Setelah dituliskan, setiap teks punya
karir sendiri yang selalu mrucut dari maksud pengarang: ia dapat
dide-kontekstualisasi (dan sekaligus dire-kontekstualisasi!) dalam situasi yang
baru, menjumpai para pembaca baru yang berada di luar kelompok sasaran awal,
dan dengan itu memproduksi makna-makna yang tak pernah dapat diduga—apalagi
dikontrol—sebelumnya. Surat menyurat putri bangsawan Jawa pada teman-temannya
pada pergantian abad lalu, ketika diterbitkan dapat menjadi pralambang
menyingsingnya ufuk kesadaran yang menerangi kegelapan (Habis Gelap Terbitlah
Terang), menjadi teks dasar "Feminisme dan Nasionalisme" (sic!), atau
sekadar raison d'être kewajiban berkebaya dan bersanggul setiap tanggal 22
April.
***
SAYA
tidak bermaksud sinis pada surat-surat Kartini yang terus memukau itu.
Teks-teks itu—saya yakin tanpa disadari atau dikehendaki Kartini sendiri
sebagai pengarang—sudah punya karir sendiri yang mengatasi horison maksud sang
pengarang, didekontekstualisasi dan direkontekstualisasi, dan (akan tetap) menemukan
pembaca-pembaca barunya.
Kompleksitas
tafsir teks-teks yang kemudian disebut Kitab Suci tentu jauh lebih problematis
ketimbang surat-surat Kartini. Bukan karena teks-teks Kitab Suci memiliki
derajat ontologis lebih tinggi ("wahyu"), tapi juga karena jurang
sejarah yang membentang antara pembaca dengan teks itu yang sangat lebar.
Pembaca tidak dapat begitu saja menyeberangi jurang sejarah itu untuk menarik
keluar (exe-sege) makna, lalu menyeberangkannya lagi ke dunia sang pembaca.
Pra-andaian naif seperti itu, yang dulu pernah mendominasi metode tafsir
positivistik, sudah lama ditolak. Sebab, ketika saya sebagai pembaca,
menyeberangi jurang sejarah itu, saya membawa seluruh keberadaan saya untuk
masuk ke dalam teks (eise-gese). Jadi setiap exegese ternyata sekaligus
eisegese.
Seorang
ahli Biblika pernah mengibaratkan posisi kita, sang pembaca, sebagai orang
ketiga yang sedang menguping percakapan pengarang (atau editor) Kitab Suci
dengan audience atau addresse awalnya. Dunia percakapan awal itu merupakan
dunia tertutup yang tak pernah mengandaikan adanya kita, pembaca yang menemukan
teks itu ribuan tahun kemudian.
Karena
itu, ketika saya—seorang Indonesia yang kebetulan beragama Kristen dan tinggal
di Jakarta pada abad ke-21—membaca perintah Isa, "Bertobatlah! Sebab
Kerajaan Allah sudah dekat", saya bagaikan penguping yang mencuri dengar
obrolan Isa (atau penulis Injil) dengan umat Yahudi pada zamannya, sekitar 20
abad lalu. Di situ seluruh kompleksitas ruang hermeneutis terbentang lebar: ada
proses-proses negosiasi makna antara saya dengan teks yang kebetulan saya baca.
Saya tidak sekadar mencuri dengar, tapi dengan membaca juga mencuri makna yang
dilestarikan dalam teks itu. Maka saya dapat, misalnya, memosisikan teks itu
sebagai wanti-wanti kiamat sudah dekat, lalu membentuk sekte hari kiamat;
sebagai perintah untuk meninggalkan "kehidupan duniawi" dan mulai
bertarak; menjadikannya pengobar semangat untuk memulai reformasi gereja; atau
menjadikannya pekikan revolusioner sudah dekatnya harapan eskatologis shalom
Kerajaan Allah yang akan meluluhlantakkan tatanan sosial yang korup dan
menindas.
Semua
kemungkinan pembacaan itu terbuka bagi saya, sang pembaca. Tidak ada
protokol-protokol pembacaan yang digariskan di dalam teks itu sendiri. Seluruh
protokol pembacaan berada di luar teks: kaidah tafsir, filologi, rumusan
dogmatis, asumsi metafisis, dstnya, yang berusaha menertibkan anarki penafsiran
sang pembaca. Teks-sebagai-teks tidak berbunyi apa-apa, seperti diingatkan
Sayyidina Ali. Kitalah, sang pembaca, yang "membunyikannya". Atau,
kalau mau dirumuskan lebih padat, setiap penafsiran adalah politik penafsiran.
***
MENURUT
saya, tepat pada soal politik penafsiran itulah Nasr Hamid Abu Zayd memberi
kontribusi yang sangat penting. Ia memberi alat analisa untuk membongkar
protokol pembacaan teks-teks agama yang selama ini ditutup-tutupi, atau didaku
sebagai bagian wacana keagamaan itu sendiri, dan karenanya punya derajat
ontologis lebih tinggi.
Protokol-protokol
pembacaan itu, didedah Abu Zayd dengan sangat bagus dalam Kritik Wacana Agama
(LkiS, 2003). Buku itu memperlihatkan bahwa titik sandar pertarungan politik
penafsiran bukan pada wilayah seputar teks—teks apapun, termasuk teks Kitab
Suci,—melainkan pertarungan menyeluruh pada semua aspek kesejarahan: sosial,
politik, ekonomi, kekuasaan, dsbnya. Semua itulah yang memberi protokol
pembacaan tertentu sebuah status otoritatif: sebagai satu-satunya protokol
pembacaan yang sahih.
Ketika
berkunjung ke Indonesia beberapa waktu lalu, Abu Zayd berulang kali menegaskan
posisinya sebagai seorang peneliti. Ranah yang menjadi tugasnya adalah
menyediakan alat analisa. Bagaimana alat analisa itu dipakai bukan lagi
urusannya. Ia tidak sudi menjadi "ideolog", baik Kanan ataupun Kiri,
yang berambisi menyediakan program intelektual menyeluruh. Boleh jadi, virus
postmodernisme yang mencurigai segala bentuk narasi-agung sudah menyusupi
dirinya.
Abu
Zayd lalu melontarkan gagasan untuk memperlakukan Qur'an (baca: teks-teks Kitab
Suci) lebih sebagai wacana (discourse) yang terbuka, bukan sebagai teks yang
tertutup. Ia seperti mau menembus seluruh protokol pembacaan yang selama ini
didirikan oleh relasi-relasi kuasa guna menertibkan anarki pembacaan. Seperti
Luther, yang mendobrak protokol pembacaan hierarkis gereja, Abu Zayd
mau—meminjam istilahnya sendiri—“mendemokratisasikan penafsiran”. Setiap
pembaca seharusnya menemukan Qur'an sendiri-sendiri, berdialog dengan rajutan
teks-teks yang terbuka, mendekontekstualisasi dan merekontekstualisasikan
teks-teks itu, sehingga dapat menyapa situasi kesejarahan yang terus
berkembang. Di situ, otentisitas pembacaan menjadi lebih penting ketimbang
"pembacaan yang baik dan benar" ala para birokrat.
Menurut
saya, gagasannya mengenai Qur'an sebagai wacana, walau belum dirumuskan lebih
utuh, layak dijelajahi dan digumuli lebih jauh. Gagasan itu tidak saja membuka
kemungkinan multi-pembacaan yang kreatif ("pembacaan produktif",
istilah Abu Zayd), tapi juga menjadikan Qur'an sebagai teks terbuka, yang
memungkinkan aneka suara di dalamnya kembali berbicara pada kita yang
membacanya. Bahwa usulan ini membuka ruang hermeneutis yang sangat problematis,
merupakan konsekuensi setiap pembacaan produktif. Namun harga itu pantas
dibayar. Sebab dengan menjadikan Qur'an (atau teks-teks keagamaan lain) sebagai
wacana terbuka, terbentang pula kemungkinan Qur'an menjadi wacana yang hidup
dan menghidupkan, a living discourse. Bukankah dengan begitu agama pun kembali
memberi kehidupan? Wallahu a'lam bisshawab.
Trisno
S. Sutanto, Direktur Eksekutif MADIA (Masyarakat Dialog Antar Agama), Jakarta.