Oleh: Abdullahi Ahmed An-Na’im
Tujuan
utama buku ini adalah mempromosikan masa depan syariah sebagai sistem normatif
Islam di kalangan umat, namun bukan melalui penerapan prinsip-prinsipnya secara
paksa oleh kekuatan negara. Dilihat dari sifat dan tujuannya, syariah hanya
bisa dijalankan dengan sukarela oleh penganutnya. Sebaliknya, prinsip-prinsip
syariah akan kehilangan otoritas dan nilai agamanya apabila dipaksakan oleh negara.
Oleh karena itu, pemisahan Islam dan negara secara kelembagaan sangat
diperlukan agar syariah bisa berperan positif dan mencerahkan bagi kehidupan
umat dan masyarakat Islam. Pendapat ini juga bisa disebut ‘netralitas negara
terhadap agama’, dimana institusi negara tidak memihak kepada doktrin atau
prinsip agama manapun. Bagaimanapun juga, netralitas seperti itu sasarannya
adalah semata-mata kebebasan individu dalam masyarakat untuk mendukung,
berkeberatan, atau memodifikasi setiap pandangan atas doktrin atau
prinsip-prinsip agama. Ini bukan berarti bahwa Islam dan politik harus
dipisahkan, sebab hal itu tidak perlu dan tidak dikehendaki. Pemisahan Islam
dan negara, sembari tetap mempertahankan hubungan antara Islam dan politik,
memungkinkan penerapan prinsip-prinsip Islam dalam kebijakan dan
perundang-undangan resmi, tetapi dengan tetap tunduk kepada perisai-perisai
hukum, yang akan dijelaskan di bawah ini. Pandangan tersebut berangkat dari
premis bahwa negara dan politik sulit dibedakan, meskipun diantara keduanya
terdapat hubungan yang permanen dan nyata. Saya lebih memilih melakukan mediasi
strategis dan terencana terhadap ketegangan pemisahan agama dan negara serta
mengatur hubungan Islam dan politik, daripada mencoba memaksakan suatu
penyelesaian yang tuntas dengan satu atau pun lain cara.
Negara
adalah sebuah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-institusi, dan
proses-proses, yang semestinya menerapkan kebijakan-kebijakan yang diambil
melalui proses politik dari setiap masyarakat. Dengan pengertian ini negara
seharusnya merupakan segi swa-kelola pemerintahan yang dijalankan secara lebih
mantap dan terencana, sedangkan politik adalah proses dinamis dalam memilih
diantara pilihan-pilihan kebijakan yang saling berlawanan. Untuk menjalankan fungsi
tersebut dan yang lainnya, negara harus memiliki apa yang disebut monopoli
penggunaan kekuatan yang sah, yaitu kemampuan untuk memaksakan kehendaknya pada
seluruh penduduk tanpa risiko menghadapi perlawanan yang dilakukan oleh rakyat
di bawah kekuasaannya. Kekuatan memaksa negara, yang kini makin meluas dan
efektif dibanding yang pernah ada dalam sejarah manusia, akan menjadi
kontraproduktif ketika dijalankan dengan sewenang-wenang atau untuk
tujuan-tujuan yang korup dan tidak sah. Itulah mengapa sangat penting untuk
tetap menjaga negara senetral mungkin. Tugas ini menuntut kewaspadaan yang ajek
dari semua warga negara yang bertindak melalui berbagai strategi dan mekanisme
politik, hukum, pendidikan, dan lainnya.
Oleh
karena itu, pembedaan antara negara dan politik mengasumsikan interaksi yang
ajek di antara organ-organ dan institusi-institusi negara, di satu sisi, dan
aktor-aktor politik dan sosial yang terorganisir, serta pandangan-pandangan
yang berlawanan tentang kemaslahatan publik, di sisi lain. Pembedaan ini juga
beranjak dari suatu kesadaran yang serius akan risiko penyalahgunaan kekuatan
negara yang memang memaksa. Penting untuk memastikan bahwa negara bukan sekadar
sebuah pencerminan penuh dari politik sehari-hari, melainkan harus mampu menengahi
dan menjatuhkan keputusan atas pandangan-pandangan dan proposal-proposal
kebijakan yang bertentangan, yang menuntutnya untuk tetap independen dari
kekuatan-kekuatan politik yang berbeda dalam masyarakat. Karena independensi
sepenuhnya tidaklah mungkin, maka kadang perlu mengingat kembali hakikat
politik negara yang tidak bisa sepenuhnya otonom dari aktor-aktor politik yang
mengontrol para aparaturnya. Paradoksnya, realitas keterhubungan ini justru
menuntut usaha keras untuk memisahkan negara dari politik, agar orang-orang
yang kini disingkirkan dari proses politik masih bisa mengharapkan perlindungan
organ-organ dan institusi-institusi negara terhadap ekses-ekses dan
penyalahgunaan kekuasaan oleh pejabat-pejabat negara.
Kebutuhan
ini bisa diilustrasikan dengan pengalaman-pengalaman partai penguasa tunggal
yang mengontrol negara secara total, dari Nazi Jerman dan Uni Soviet
hingga banyak negara di Afrika dan dunia
Arab selama dekade terakhir abad kedua puluh. Apakah dalam bentuk nasionalisme
Arab di Mesir di bawah pemerintahan Nasser, atau partai Baath di Irak di bawah
Saddam Hussain, dan Syria di bawah Hafiz al-Assad, negara menjadi agen langsung
dari partai yang sekaligus merupakan alat politik negara. Dalam keadaan seperti
itu, warga negara terperangkap di antara negara dan partai, tanpa kemungkinan
memperoleh penanggulangan administratif atau hukum dari negara atau dari
oposisi politik yang berada di luar wilayah kontrol negara.
Kegagalan
menjalankan pembedaan antara negara dan politik cenderung membahayakan
perdamaian, stabilitas dan perkembangan yang sehat dari seluruh masyarakat.
Pasalnya, mereka yang terabaikan haknya untuk memperoleh pelayanan dan
perlindungan negara serta berpartisipasi aktif dalam politik akan menarik diri
atau terpaksa menempuh jalur kekerasan karena tidak adanya cara-cara
penanggulangan yang memadai.
Oleh
karena itu, pertanyaannya kemudian adalah bagaimana mempertahankan pembedaan
negara dan politik, ketimbang mengabaikan ketegangan tersebut dengan harapan
bahwa ketegangan itu toh akan
teratasi dengan sendirinya. Pembedaan negara dan politik yang perlu namun sulit
ini dapat dimediasikan melalui prinsip-prinsip dan mekanisme-mekanisme yang
menjaga dan mendukung konstitusionalisme serta kesetaraan hak-hak seluruh warga
negara. Tapi seperti yang akan saya diskusikan pada bab 3, prinsip-prinsip dan
institusi-institusi ini tidak akan berjalan tanpa partisipasi aktif dan
sungguh-sungguh dari semua warga negara, dan mustahil berfungsi bila masyarakat
percaya bahwa prinsip dan institusi itu tidak sesuai dengan keyakinan agama dan
norma-norma budaya yang mempengaruhi sikap politik mereka. Prinsip-prinsip
kedaulatan rakyat dan pemerintahan demokratis mensyaratkan bahwa warga negara
merasa terpanggil dan sungguh-sungguh mau berpartisipasi dalam segala aspek
swa-kelola (self-governance),
termasuk melakukan tindakan politik yang terorganisir untuk menjaga agar
pemerintah tetap bertanggungjawab dan tanggap terhadap harapan-harapan mereka.
Motivasi dan kesungguhan ini, yang sebagian dipengaruhi oleh keyakinan agama
dan budaya yang melingkupi warga negara, harus dibangun atas dasar apresiasi
dan komitmen terhadap nilai-nilai konstitualisme dan hak-hak asasi manusia.
Saya akan menguraikan pendekatan terhadap perubahan sosial ini pada bagian
akhir bab ini.
Buku
ini adalah sebuah ikhtiar untuk menjelaskan dan menyokong upaya penting dan
sekaligus sulit untuk menjembatani paradoks pemisahan kelembagaan Islam dan
negara, sembari tetap memperhitungkan adanya keterkaitan yang niscaya antara
Islam dan politik dalam masyarakat Islam saat ini. Sebagai seorang Muslim, saya
mencoba memberikan kontribusi dalam proses ini di kalangan masyarakat Muslim,
meskipun tidak berarti bahwa persoalan-persoalan yang saya diskusikan di sini
hanya khusus untuk Islam dan umat Islam saja. Untuk mencapai tujuan tersebut,
saya akan menentang ilusi berbahaya tentang negara Islam yang bisa menjalankan
prinsip-prinsip syariah melalui kekuatan negara yang memaksa. Saya juga
menentang ilusi berbahaya lainnya bahwa Islam bisa atau seharusnya ditarik
keluar dari kehidupan publik umatnya. Secara singkat saya ingin mengatakan
bahwa keanekaragaman opini tentang setiap aspek kebijakan publik atau
perundang-undangan di kalangan sarjana-sarjana Muslim dan mazhab-mazhab
pemikiran (madzâhib) menunjukkan
bahwa tindakan apa pun yang dilakukan lewat lembaga-lembaga negara harus tetap
memilih di antara pandangan-pandangan yang berlawanan yang sama-sama sah dari
sudut pandangan tertentu dalam Islam. Lagi pula, tidak ada standar-standar atau
mekanisme-mekanisme yang disepakati untuk menjatuhkan pilihan di antara
pandangan-pandangan tersebut, di dalam berbagai mazhab pemikiran,
terlebih-lebih di antara aliran Sunni atau Syiah. Kedua, apa pun standar atau mekanisme yang dipaksakan oleh
organ-organ negara untuk memutuskan kebijakan dan perundang-undangan resmi
dengan sendirinya mesti didasarkan pada pertimbangan manusiawi orang-orang yang
mengontrol lembaga-lembaga tersebut.
Dengan
kata lain, apa pun yang dijalankan oleh negara atas nama syariah dengan sendirinya
akan menjadi sekuler, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh kekuatan politik yang
memaksa dan bukan oleh otoritas Islam yang unggul, sekalipun tidak tertutup
kemungkinan mencari tahu bagaimana pandangan masyarakat Muslim tentang hal itu.
Menolak tegas ilusi berbahaya mengenai sebuah negara Islam yang menerapkan
secara paksa prinsip-prinsip syariah perlu dilakukan, agar dengan demikian umat
Islam dan warga negara lainnya betul-betul mampu hidup sesuai dengan agama dan
keyakinannya. Dalam kenyataannya, gagasan tentang negara Islam adalah ide paska
kolonial yang didasarkan pada model negara Eropa dan pandangan totalitarian
tentang hukum dan kebijakan publik sebagai instrumen-instrumen rekayasa sosial
yang dijalankan oleh elit penguasa. Para pendukung apa yang disebut negara
Islam berusaha menggunakan kekuasaan dan institusi negara, seperti yang
dibentuk oleh kolonialisme Eropa, dan kemudian berlanjut setelah kemerdekaan,
guna mengatur secara paksa perilaku individu dan hubungan-hubungan sosial
dengan cara-cara khusus yang dipilih oleh elit penguasa. Adalah berbahaya
mencoba inisiatif-inisiatif totalitarian seperti itu atas nama Islam karena
akan jauh lebih sulit mempertahankannya, dibanding bila hal yang sama
diusahakan oleh sebuah negara yang terang-terangan mengaku sekuler tanpa klaim
legitimasi keagamaan atas totalitarianismenya. Pada saat yang sama, jelas bahwa
pemisahan kelembagaan agama dan negara mana pun tidaklah mudah karena negara
akan serta merta dituntut mengatur peran agama guna menjaga netralitas negara
atas agama, yang memang diperlukan bagi negara sebagai mediator dan juri di
antara kekuatan-kekuatan sosial dan politik yang bertentangan seperti yang
disebutkan di atas.
Alasan
utama lainnya untuk menekankan pentingnya netralitas negara atas agama, karena
kualitas ini merupakan syarat mutlak pemenuhan ajaran-ajaran Islam dan
perwujudannya sebagai kewajiban-kewajiban keagamaan bagi setiap individu
Muslim. Pemenuhan seperti itu harus benar-benar dilakukan dengan suka rela
karena hal itu menuntut niat yang ikhlas (niyah),
yang tentu akan sirna bila dipaksakan penerapannya oleh negara. Tambah lagi,
ketika umat Islam ingin mengusulkan kebijakan atau perundang-undangan yang
bersumber dari agama atau keyakinanannya, sebagaimana seluruh warga negara
memiliki hak yang sama, mereka semestinya mendukung proposal seperti itu dengan
apa yang saya sebut ‘nalar publik” (public
reason). Kata ‘publik’ di sini mengacu kepada kebutuhan agar alasan-alasan
yang melandasi kebijakan dan perundang-undangan itu dikemukakan secara publik
dan juga bahwa proses penalaran atas masalah tersebut terbuka bagi dan dapat
diakses oleh semua warga negara. Jadi, saya maksudkan dengan ‘nalar publik’
adalah bahwa alasan, maksud dan tujuan kebijakan publik atau perundang-undangan
harus didasarkan pada pemikiran dimana warga pada umumnya bisa menerima atau
menolak, dan membuat proposal tandingan melalui debat publik tanpa ketakutan
dituduh kafir atau murtad. Nalar dan penalaran publik, dan bukan keyakinan dan
motivasi personal, mutlak adanya bagi kaum Muslim, baik sebagai penduduk
mayoritas atau minoritas, karena sekalipun Muslim sebagai mayoritas mereka
tidak akan lantas bersepakat terhadap kebijakan dan perundang-undangan mana
yang serta merta cocok dengan keyakinan Islam mereka.
Namun, tidak realistis dan tidak
bijak mengharapkan masyarakat betul-betul memenuhi syarat-syarat nalar publik
karena pilihan-pilihan seperti itu diputuskan dalam alam dorongan dan niat yang
bersifat batini. Sulit untuk menjelaskan mengapa masyarakat memilih dengan cara
tertentu atau menjustifikasi agenda politik untuk dirinya atau karib
kerabatnya. Tapi tujuannya haruslah guna mendukung dan mendorong nalar dan
penalaran publik, sembari terus mengurangi pengaruh-pengaruh eksklusif dari
keyakinan agama yang bersifat personal. Tuntutan atas nalar publik dan
penalaran publik tidak mengandaikan bahwa masyarakat yang mengontrol negara
dapat menjadi netral. Sebaliknya, tuntutan ini justru harus menjadi tujuan
penyelenggaraan negara semata-mata karena masyarakat cenderung terus bertindak
berdasarkan keyakinan-keyakinan atau justifikasi-justifikasi personal. Tuntutan
untuk menyatakan secara publik dan terbuka pembenaran-pembenaran yang
didasarkan pada alasan-alasan yang dapat dengan bebas diterima atau ditolak
oleh masyarakat umum, akan terus-menerus mendorong dan mengembangkan sebuah
konsensus yang lebih luas di kalangan masyarakat umum, melampaui pandangan
keagamaan atau keyakinan sempit berbagai individu dan kelompok. Kemampuan untuk
menyatakan nalar publik dan mendebatnya secara terbuka telah ada di sebagian
besar masyarakat, dan apa yang ingin saya serukan adalah secara terus-menerus
mengembangkan hal itu secara sadar dan efektif. Saya tidak mengatakan bahwa
kemampuan ini benar-benar tidak ada sekarang ini, atau mengharapkan bahwa akan
segera dapat diwujudkan seketika. Saya harap ikhtiar menjalankan nalar publik
dalam pengajuan proposal saya ini akan bertambah jelas setelah klarifikasi
lebih lanjut di bab ini dan bab-bab berikutnya.
Persoalan
terminologi yang perlu dijelaskan secara singkat di sini menyangkut hubungan
antara proposisi-proposisi utama buku ini dan istilah serta konsep
‘sekularisme’. Pemisahan Islam dan negara, yang merupakan bagian awal proposisi
utama saya, terdengar seperti sekularisme yang biasanya dipahami dan ditolak
oleh banyak umat Islam. Hubungan antara Islam dan politik, yang ditekankan pada
bagian kedua proposisi ini, adalah sebuah usaha untuk membahas masalah
sekularisme yang sedang menjadi sorotan umat Islam. Persepsi negatif tentang
sekularisme yang umum di banyak dunia Islam tidak membedakan pemisahan Islam
dan negara, di satu sisi, dan keterhubungan Islam dan politik di sisi lain.
Akibat gagal mengenal perbedaan ini, pemisahan Islam dan negara hanya
dimengerti sebagai pengasingan Islam sepenuhnya menjadi wilayah pribadi, dan
dikeluarkannya Islam dari kebijakan publik. Karena bukan ini pengertian yang
saya usulkan, mungkin akan bijak menggunakan istilah pluralisme daripada
sekularisme untuk menghindari kebingungan antara pendirian saya dengan pandangan
mereka yang negatif terhadap sekularisme. Pemakaian kata ‘pluralisme’ cocok
karena sekularisme pada dasarnya diperlukan bagi terwujudnya pluralisme secara
praktis dan berkesinambungan. Yaitu, diterimanya berbagai bentuk keragaman
agama, budaya dan yang lainnya, sebagai nilai-nilai sosial dan politik yang
positif, secara penuh dan terlembagakan. Sesungguhnya baik sekularisme maupun
pluralisme kedua-duanya menghendaki netralitas negara. Tapi saya juga akan
menggunakan istilah sekularisme seperti ditegaskan di sini untuk merehabilitasi
konsep ini dan mengurangi asosiasi-asosiasi negatif terhadap kata ini.
Persoalan
terminologi lain adalah bahwa saya akan menggunakan istilah ’negara teritorial’
ketimbang ‘negara bangsa’ karena ciri-ciri penting model Eropa yang sekarang
diimplementasikan oleh semua masyarakat Islam adalah yurisdiksi eksklusif
negara atas sebuah wilayah khusus dan penduduk yang tinggal di dalamnya, tanpa
menghiraukan apakah mereka merupakan sebuah bangsa atau bukan dalam arti yang
sepenuhnya. Saya juga menemukan bahwa penekanan-penekanan pada ‘bangsa’ sering
membawa kepada kebijakan-kebijakan otoritarian yang mengganggu penegasan diri
individual dan komunal, yang sesungguhnya merupakan dasar awal pembentukan
negara. Oleh karena itu, harapan saya adalah memberikan kontribusi untuk
mengubah sikap-sikap umat Islam berkenaan dengan hakikat negara yang secara
inheren sekuler, dan berkenaan dengan peran penting prinsip-prinsip hak-hak
asasi manusia dan kewarganegaraan, dengan terus-menerus menengahi dan menegosiasikan
hubungan-hubungan di antara umat Islam, negara dan masyarakat. Konteks
negosiasi konstan dari hubungan-hubungan ini dalam masyarakat Islam sekarang
ini dibentuk oleh transformasi-transformasi besar-besaran dalam struktur dan
institusi politik, sosial serta ekonomi, yang mempengaruhi kehidupan semua umat Islam dan hubungannya
dengan komunitas-komunitas lain sebagai akibat dari kolonialisme Eropa serta,
yang lebih belakangan, kapitalisme global. Keadaan ini juga terbentuk oleh
situasi-situasi politik dan sosiologis internal dari masing-masing masyarakat,
termasuk internalisasi perubahan-perubahan yang terinspirasi dari luar, dimana
masyarakat Islam harus terus mengikuti Barat dari segi bentuk negara,
pendidikan dan organisasi sosial, serta pengaturan-pengaturan ekonomi, hukum,
dan administratif setelah mencapai kemerdekaan politik. Konsekuensinya, semua
masyarakat Islam sekarang tidak hanya hidup di dalam negara-negara teritorial
yang secara total terintegrasi ke dalam sistem-sistem interdependensi dan
pengaruh lintas budaya yang menglobal dari ekonomi, politik dan keamanan, namun
juga harus secara suka rela berpartisipasi dalam proses-proses ini.
Sekarang
saya akan menawarkan beberapa klarifikasi tentang hubungan antara Islam,
syariah dan negara dalam perspektif sejarah. Tapi perlu dikemukakan di sini
bahwa saya tidak akan mengutip sumber-sumber ilmiah untuk mendukung berbagai
proposisi yang saya buat dalam bab ini karena semuanya akan ditemukan secara
lebih terperinci, dengan kutipan penuh dari sumber-sumber yang relevan, di
dalam bab-bab berikut. Kutipan-kutipan yang terperinci pada tahap ini mungkin
mengganggu karena tujuannya adalah memberikan gambaran umum tentang ide-ide dan
tema-tema pokok yang akan didiskusikan di seluruh buku ini, dengan penulisan
sumber-sumber yang cukup memadai di bab-bab berikutnya.
Islam, Syariah dan Negara
Karena
pokok persoalan buku ini adalah hubungan-hubungan antara Islam, negara dan
masyarakat, sangat penting untuk mengklarifikasi makna dari istilah-istilah
yang saya gunakan di atas. Hal-hal berikut mungkin terdengar jelas bagi
beberapa pembaca, tapi lebih baik menjelaskannya kembali untuk menghindari
kebingungan dan salah pengertian yang mungkin muncul dari asumsi-asumsi yang
salah atau asumsi-asumsi yang tak dapat dibenarkan seputar pemahaman bersama
atas pokok persoalan tersebut atau implikasi-implikasinya. Ini khususnya
penting bagi tujuan saya karena saya berbicara sebagai seorang Muslim yang
sedang berusaha mempengaruhi sikap Muslim-muslim yang lain, dan bukan menjaga
jarak atau impersonal terhadap mereka.
Pertama,
umum diketahui bahwa Islam merupakan agama monoteistik yang disebarkan Nabi
Muhammad antara 610—632 masehi, manakala beliau menyampaikan Al-Quran dan
menguraikan makna-makna dan aplikasi-aplikasinya secara terperinci melalui apa
yang kemudian dikenal sebagai Sunnah Nabi. Oleh karena itu, kedua sumber ini,
Al-Quran dan Sunnah Nabi, merupakan dasar dari pengertian istilah Islam dan
konsep-konsep turunan serta ajektiva yang digunakan, khususnya di kalangan umat
Islam. Al-Quran dan Sunnah Nabi adalah sumber rukun iman yang dijunjung tinggi
oleh individu-individu Muslim, sumber praktik-praktik ritual yang mesti mereka
jalankan, serta ajaran-ajaran moral dan etika yang mereka hormati. Al-Quran dan
Sunnah Nabi juga adalah pedoman bagi umat Islam dalam mengembangkan
hubungan-hubungan sosial dan politik, serta mengembangkan norma-norma dan
institusi-institusi hukumnya. Islam dalam artian pokok ajaran ini adalah
tentang bagaimana mewujudkan kekuatan yang membebaskan dari sebuah kesaksian
yang hidup dan proaktif akan Tuhan yang Maha esa, Maha kuasa, dan Maha ada (Tauhid). Ini adalah pengertian Islam
yang diyakini dan dijadikan acuan oleh mayoritas umat Islam dalam kehidupan
sehari-hari guna membimbing perkembangan spiritual dan moral mereka menuju apa
yang dikehendaki Tuhan untuk umat manusia di dunia ini. Dari perspektif inilah
saya mencoba membingkai persoalan-persoalan ini dalam kaitannya dengan negara,
masyarakat, sebagaimana akan diterangkan kemudian.
Istilah
syariah sering digunakan dalam wacana Islam saat ini, seolah-olah kata ini
sinonim dengan Islam dalam pengertian umum yang dipaparkan di atas. Yakni,
sebagai totalitas kewajiban keagamaan umat Islam baik dalam pengertian
personal-pribadi, maupun dalam kaitannya dengan norma-norma dan kelembagaan
sosial, politik, dan hukum. Namun, prinsip-prinsip syariah selalu merupakan
interpretasi manusia atas Al-Quran dan Sunnah Nabi; prinsip-prinsip syariah
merupakan sesuatu yang dapat dipahami dan coba diamalkan oleh umat manusia
dalam konteks sejarah tertentu. Karena itu, masih lebih banyak Islam dibanding
syariah, meskipun mengetahui dan mengamalkan syariah adalah cara untuk
mewujudkan Islam sebagai prinsip tauhid dalam kehidupan sehari-hari umat Islam.
Yakni, Syariah adalah pintu dan koredor untuk menjadi seorang Muslim, meski tak
menutup habis pintu-pintu pengetahuan manusia tentang Islam dan tentang
pengalaman dalam merealisasikannya. Baik dalam hubungan dengan Islam ataupun
syariah, kerangka acuan islami merupakan hasil dari apa yang saya sebut ‘agensi
manusia’ (‘human agency’) dari kaum
Mukmin, atau sebuah sistem makna yang dibangun dari pengalaman dan refleksi
introspektif manusia serta perkembangan yang lebih sistematis menurut suatu
metodologi yang mapan.
Dasar
pemikiran sebuah wacana Islam adalah bahwa setiap Muslim bertanggung jawab
untuk mengetahui dan mengamalkan apa yang menjadi kewajiban agamanya. Prinsip
dasar tanggung jawab perseorangan yang tidak bisa dilepaskan atau didelegasikan
ini, adalah satu dari tema-tema Al-Quran yang terus diulang. Namun ketika umat
Islam mencoba mengetahui apa yang diwajibkan syariah dalam situasi yang khusus,
mereka lebih cenderung bertanya kepada ulama atau sufi yang mereka percaya,
dibanding mengacu langsung kepada Al-Quran dan Sunnah itu sendiri. Apakah
dilakukan secara perseorangan atau lebih, oleh alim atau sufi, rujukan kepada
Al-Quran dan Sunnah serta merta berlangsung melalui struktur dan metodologi
yang sudah umum diterima. Ini biasa terjadi dalam kerangka doktrin dan
metodologi yang mapan dari sebuah mazhab tertentu, akan tetapi tidak pernah
benar-benar dilakukan dengan cara yang segar dan orisinal, tanpa prakonsepsi
yang mengarahkan tentang bagaimana mengenali dan menafsirkan teks-teks Al-Quran
dan Sunnah yang relevan.
Dengan
kata lain, kapan pun kaum Muslim mempertimbangkan sumber-sumber utama ini,
mereka tidak bisa menghindari filter yang tidak hanya berupa lapisan-lapisan
pengalaman dan interpretasi generasi-generasi sebelumnya, tapi juga sebuah
metode rumit yang menentukan teks mana yang dianggap relevan untuk persoalan
tertentu, dan bagaimana teks itu seharusnya dipahami. Oleh karena itu, ‘agensi
manusia’ menyatu dengan setiap pendekatan terhadap Al-Quran dan Sunnah di
banyak tingkatan, mulai dari berabad-abad pengalaman dan interpretasi yang
terakumulasi hingga pada konteks sekarang ini dimana kerangka acuan Islam
dimunculkan. Pertanyaan selanjutnya yang perlu penjelasan singkat pada tingkat
ini, adalah bagaimana sebuah kerangka acuan Islam bisa dimunculkan dari perspektif
kelembagaan kebijakan dan perundang-undangan negara?
Sebagai
sebuah institusi politik, negara bukanlah sebuah entitas yang bisa merasakan,
mempercayai atau bertindak. Manusialah yang selalu bertindak atas nama negara,
menggunakan kekuasaan atau menjalankannya melalui organ-organnya. Jadi kapan
pun manusia membuat keputusan tentang persoalan kebijakan, mengusulkan atau
membuat rancangan undang-undang yang dianggap mewujudkan prinsip-prinsip Islam,
hal ini dengan sendirinya mencerminkan perspektif pribadi manusia itu atas
persoalan tersebut, dan sama sekali bukan perspektif negara sebagai sebuah
entitas yang otonom. Lebih dari itu, ketika usulan kebijakan atau undang-undang
seperti itu dibuat atas nama partai politik atau organisasi, posisi-posisi seperti
itu juga diambil oleh manusia pemimpin yang berbicara atau bertindak untuk
entitas itu. Benar bahwa sikap-sikap spesifik pada persoalan-persoalan
kebijakan dan perundang-undangan bisa dinegosiasikan di antara aktor-aktor yang
kritis, tapi hasilnya tetap saja produk dari penilaian individual seorang
manusia, dan pilihan yang diterima dan dilaksanakan pun berdasarkan sebuah
pandangan yang disepakati oleh para aktor itu.
Sebagai
contoh, keputusan untuk memberi sanksi hukum bagi tindakan mengkonsumsi minuman
beralkohol sebagai kejahatan hadd
yang didefinisikan oleh syariah sesungguhnya merupakan pandangan pelaku politik
individual setelah menilai semua jenis pertimbangan praktis, dan bahasa yang
digunakan dalam menyusun rancangan undang-undang dan langkah-langkah yang
diambil dalam mewujudkannya juga merupakan hasil keputusan dan pilihan manusia.
Maksudnya, persoalan di sini adalah bahwa keseluruhan proses formulasi dan
implementasi kebijakan dan perundang-undangan publik tunduk kepada kesalahan
dan kekeliruan manusia, dan selalu bisa ditentang dan dipertanyakan tanpa
melanggar kehendak Tuhan. Inilah pertimbangannya mengapa persoalan kebijakan
dan perundang-undangan publik harus didukung oleh nalar publik, termasuk di
kalangan Muslim yang bisa saja tidak bersepakat dalam semua persoalan seperti
itu, tanpa harus melanggar kewajiban-kewajiban agama mereka.
Struktur
dan metodologi yang dikenal sebagai ushul
al-fiqh dikembangkan oleh sarjana-sarjana Muslim terdahulu guna memahami
dan menjalankan ajaran Islam yang disampaikan dalam Al-Quran dan Sunnah. Dalam
rumusan aslinya, bidang pengetahuan manusia ini mencoba mengatur penafsiran
atas sumber-sumber dasar ini di bawah sinaran pengalaman sejarah generasi
Muslim awal. Usul Fiqih juga mendefinisikan dan mengatur pelaksanaan
teknik-teknik pengambilan keputusan hukum, seperti ijma’ (konsesus), qiyas (pemikiran
dengan analogi) dan ijtihâd
(pertimbangan hukum). Teknik-teknik ini secara umum diterima menjadi
metode-metode untuk menentukan prinsip-prinsip syariah, dan bukan sebagai
sumber-sumber subtantif semata. Namun, ijma’
dan ijtihâd memiliki peran yang
lebih mendasar melampaui makna-makna teknis yang terbatas itu. Justru dalam
pengertiannya yang lebih luas inilah metode ini bisa menjadi dasar bagi
perkembangan syariah yang lebih kreatif dan dinamis di masa sekarang dan masa
yang akan datang.
Islam dan
Syariah
Konsensus
(Ijma’) generasi-generasi Muslim
sejak masa awal Islam bahwa teks Al-Quran benar-benar terkandung dalam naskah
yang dikenal sebagai al-Mushaf, merupakan alasan pokok mengapa teks ini
diterima oleh umat Islam kapan pun dan dimana pun. Demikian pula halnya ketika
umat Islam pada umumnya menerima keaslian laporan mengenai apa yang dikatakan
dan diperbuat Nabi (Sunnah), meskipun dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk
menetapkannya, dan sampai saat ini masih kontroversial di kalangan banyak umat
Islam. Dengan kata lain, pengetahuan kita tentang Al-Quran dan Sunnah adalah
hasil konsensus antar generasi semenjak abad ketujuhbelas. Ini bukan berarti
bahwa umat Islam mengarang sumber-sumber ini melalui konsensus, tapi
semata-mata untuk menggarisbawahi bahwa kita mengetahui dan menerima teks-teks
ini sebagai valid karena umat Islam dari generasi ke generasi mempercayainya.
Lebih dari itu, konsensus adalah dasar otoritas dan kontinuitas ushul al-fiqh serta semua
prinsip-prinsip dan teknik-tekniknya, karena struktur interpretatif ini selalu
tergantung pada penerimaan apa adanya di kalangan umum umat Islam dari satu
generasi ke generasi selanjutnya. Dalam pengertian ini, ijma’ adalah dasar penerimaan Al-Quran dan Sunnah itu sendiri,
begitu juga keseluruhan dan rincian metodologi interpretasinya.
Bagi
umat Islam perbedaan signifikan antara Al-Quran dan Sunnah dengan teknik-teknik
ushul al-fiqh, berarti bahwa di dalam
Al-Quran dan Sunnah tidak mungkin ada penambahan teks baru karena Nabi Muhammad
adalah Nabi terakhir dan Al-Quran adalah wahyu pemungkas. Sebaliknya, tak ada
satu pun yang mencegah atau menganggap tidak sah pembentukan konsensus baru
tentang teknik-teknik interpretasi atau interpretasi-interpretasi inovatif atas
Al-Quran dan Sunnah, yang karenanya kemudian menjadi bagian syariah. Demikian
pula halnya dengan pembentukan teknik-teknik atau prinsip-prinsip yang ada
sekarang ini ketika menjadi bagian syariah pada awalnya. Perisai-perisai hukum
pemisahan Islam dari negara dan pengaturan peran politik Islam melalui
konstitusionalisme dan perlindungan hak-hak asasi manusia yang saya ajukan ini
diperlukan. Hal ini berguna untuk menjamin kebebasan dan keamanan umat Islam
untuk berpartisipasi dalam mengusulkan dan memperdebatkan
interpretasi-interpretasi segar atas sumber-sumber dasar tersebut.
Pemahaman
atas syariah seperti apa pun selalu merupakan produk ijtihâd dalam artian pemikiran dan perenungan umat manusia sebagai cara
untuk memahami makna Al-Quran dan Sunnah Nabi. Tapi dalam proses
perkembangannya selama abad kedua dan ketiga Hijriah, istilah ‘syariah’
diartikan dan dibatasi oleh sarjana-sarjana Muslim/ulama dalam dua cara. Pertama, mereka menetapkan bahwa ijtihâd hanya bisa dilakukan dalam
perkara-perkara yang tidak diatur oleh teks Al-Quran dan Sunnah yang tegas (nash qat’i). Ini adalah proposisi logis,
tapi ini tidak hanya mengasumsikan bahwa umat Islam sepakat atas teks-teks mana
yang relevan terhadap persoalan-persoalan, dan bagaimana menafsirkannya, tapi
juga menganggap permanen setiap konsensus yang dicapai atas persoalan-persoalan
tersebut di masa lalu. Kedua,
ulama-ulama masa awal menetapkan syarat yang terperinci bagi seseorang yang
bisa diterima sebagai mujtahid,
begitu pula cara yang sah untuk menjalankan ijtihâd.
Tapi setiap pendefinisian terhadap istilah, atau syarat yang wajib dipenuhi
oleh ulama yang bisa melaksanakan peran ini, lagi-lagi adalah hasil penalaran
dan penilaian manusiawi.
Menentukan
apakah teks Al-Quran atau Sunnah (nash)
berlaku atau tidak pada sebuah masalah, dan apakah teks itu tegas atau tidak (qat’i), serta siapa yang bisa
melaksanakan ijtihâd dan bagaimana
menjalankannya, semua itu merupakan persoalan yang hanya bisa diputuskan oleh penalaran
dan pertimbangan manusia. Oleh sebab itu, sedari awal menyensor usaha-usaha
seperti itu jelas merusak dasar pemikiran tentang bagaimana prinsip-prinsip
syariah bisa diperoleh dari Al-Quran dan Sunnah. Tidak logis mengatakan bahwa ijtihâd tidak bisa dilakukan menyangkut
setiap persoalan atau masalah karena pernyataan itu sendiri adalah produk
penalaran dan perenungan manusia. Juga berbahaya membatasi kemampuan
menjalankan ijtihâd hanya pada
sekegelintir kecil Muslim, yang dianggap memiliki kualitas-kualitas khusus.
Pasalnya, hal itu dapat membuat praktik ijtihâd
akan tergantung pada orang-orang yang akan mengatur dan menerapkan kriteria
untuk menyeleksi siapa yang memenuhi syarat untuk menjadi mujtahid. Memberikan otoritas ini pada institusi atau organ apa
saja, apakah negeri atau swasta, sangatlah berbahaya karena kekuasaan itu pasti
akan dimanipulasi untuk alasan-alasan politis atau lainnya. Karena mengetahui
dan menegakkan syariah merupakan tanggung jawab setiap Muslim yang tak dapat
dielakkan, tak seorang pun manusia atau institusi yang bisa mengontrol proses
ini bagi Muslim. Wewenang untuk memutuskan siapa yang memenuhi syarat untuk
melaksanakan ijtihâd dan bagaimana
hal itu bisa dijalankan oleh setiap Muslim merupakan masalah keyakinan dan
kewajiban agama. Oleh sebab itu, tidak boleh ada sensor atau kontrol terhadap
proses ini sebelumnya. Dengan kata lain, membatasi perdebatan bebas dengan
mempercayai otoritas institusi-institusi atau manusia untuk memutuskan
pandangan mana yang harus diikuti atau diberangus, berarti tidak konsisten
dengan sifat religius syariah itu sendiri. Pemikiran ini merupakan salah satu
fondasi utama Islam yang saya maksudkan untuk menjamin pluralisme, hak-hak
asasi manusia, dan kewarganegaraan bagi semua.
Renungan-renungan
ini akan saya munculkan kembali dalam bagian-bagian lain buku ini. Tapi,
mungkin ada baiknya memberikan ilustrasi dan klarifikasi singkat di bawah ini.
Perkembangan syariah yang lebih sistematis dimulai selama era Abbasiyah awal
(750 M). Pandangan tentang perkembangan syariah yang relatif lamban sebagai
sebuah sistem yang koheren dan berdiri sendiri dalam sejarah Islam diperjelas
oleh kerangka waktu munculnya
mazhab-mazhab utama pemikiran (madzahib),
pengumpulan Sunnah secara sitematis sebagai sumber syariah kedua dan yang lebih
terperinci, serta perkembangan metodologi hukum (ushul al-fiqh). Semua perkembangan ini terjadi pada abad kedua dan
ketiga Hijriyah. Era Abbasiyah awal menyaksikan kemunculan mazhab-mazhab utama
ilmu hukum Islam, termasuk mazhab-mazhab utama yang dikenal sekarang yang
dinisbatkan kepada Ja’far al-Sadiq (wafat tahun 765 M—pendiri aliran utama ilmu
hukum Syiah) Abu Hanifa (wafat 767 M); Malik (wafat 795 M); al-Syafi’i (wafat
820 M); dan Ibn Hanbal (wafat 855 M)
. Dengan
kata lain, generasi-generasi Muslim awal tidak mengenal dan tidak menerapkan
syariah sebagaimana yang kemudian diterima oleh mayoritas Muslim hingga saat
ini. Selain itu, perkembangan dan penyebaran selanjutnya dari mazhab-mazhab ini
telah dipengaruhi oleh berbagai macam faktor, politik, sosial dan demografis.
Faktor-faktor ini kadang berhasil membuat pengaruh beberapa mazhab beralih dari
satu wilayah ke wilayah lain, atau menetap di wilayah tertentu, seperti aliran
Syiah sekarang ini, atau bahkan berakibat punahnya beberapa mazhab, seperti
mazhab al-Tsauri dan al-Thabari dalam tradisi Sunni.
Faktor
lain yang perlu dicatat, sepanjang sejarah Islam raja-raja Muslim cenderung
menyokong beberapa mazhab tertentu saja. Sebagai contoh, karena berasal dari
Irak yang saat itu menjadi pusat kekuasaan dinasti Abbasiyah, Mazhab Hanafi
memperoleh dukungan resmi negara. Mazhab ini akhirnya menyebar ke Afghanistan
dan kemudian ke anak benua India, di mana imigran-imigran India kemudian
membawanya ke Afrika Timur. Mazhab ini juga terkenal di seluruh Asia Tengah dan
Dinasti Utsmani yang mendukung prinsip-prinsip yurisprudensi Mazhab Hanafi
sebagai dasar negara dan praktik hukum. Tapi, dukungan negara terhadap mazhab
tertentu terus berlangsung melalui penunjukkan hakim-hakim yang terlatih dalam
mazhab yang dipilih dan spesifikasi yurisdiksi geografis serta pokok persoalan
hukumnya, ketimbang melalui pembuatan undang-undang atau kodifikasi seperti
dalam pengertian modern.
Prinsip
konsensus (ijma’) jelas berfungsi
sebagai kekuatan penyatu yang cenderung
menyatukan semua kandungan mazhab-mazhab Sunni dan memberangus cakupan pemikiran kreatif baru melalui ijtihâd. Sudah umum diterima bahwa
terjadi suatu pemberangusan peran penalaran hukum yang kreatif secara bertahap
(juga disebut ditutupnya pintu ijtihâd)
dengan asumsi bahwa menjelang masa itu syariah telah dijabarkan secara penuh
dan mendalam. Tidak soal apakah pintu ijtihâd
ditutup atau tidak, dan ini masih diperdebatkan oleh para sejarawan, yang
jelas belum ada perubahan dalam struktur dasar dan metodologi syariah semenjak
abad kesepuluh, meskipun sejumlah adaptasi praktis terus terjadi dalam cakupan
dan lokasi yang terbatas. Kekakuan itu mungkin diperlukan untuk mempertahankan
stabilitas sistem selama masa kemunduran dan kemacetan yang kadang terjadi pada
institusi-institusi politik dan sosial masyarakat Islam. Dari sudut pandang
Islam, tidak ada otoritas manusia yang berhak melarang ijtihâd, meskipun mungkin telah ada konsesus mengenai hal ini di
kalangan umat Islam. Atas dasar itu, tak ada satu pun yang dapat mencegah
munculnya konsensus baru bahwa ijtihâd seharusnya
dilaksanakan dengan bebas guna menjawab kebutuhan-kebutuhan dan
aspirasi-aspirasi masyarakat Islam yang baru.
Islam dan
Negara
Sifat
religius syariah dan fokusnya pada pengaturan hubungan antara Tuhan dan manusia
mungkin satu-satunya alasan utama bertahan dan berkembangnya
pengadilan-pengadilan sekuler yang berfungsi memutuskan perkara-perkara praktis
dalam pelaksanaan peradilan dan pemerintahan secara umum. Aspek lain dari sejarah
hukum masyarakat Islam yang diasosiasikan dengan sifat religius syariah adalah
perkembangan fatwa (ifta).
Ulama
yang tidak terikat dengan negara mengeluarkan opini-opini hukum (fatwa) atas permintaan gubernur provinsi
dan hakim-hakim negara, di samping memberikan nasihat pribadi kepada
orang-orang, seperti yang terjadi di masa Islam awal. Jenis nasihat hukum
privat ini terus berlanjut sampai pada periode sejarah Islam berikutnya, yaitu
Dinasti Utsmani yang mendominasi sebagian besar dunia Islam selama lebih dari
lima abad.
Sultan-sultan
Utsmani mendukung Mahzab Hanafi, dan akhirnya mengkodifikasi prinsip-prinsip
mazhab ini menjelang pertengahan abad kesembilan belas. Inilah pertama kalinya
dalam sejarah Islam prinsip-prinsip syariah yang merupakan hasil interpretasi
satu mazhab tertentu dikodifikasi dan dijadikan hukum resmi yang seragam di
negeri itu. Inovasi tersebut, yang kemudian menjadi norma dalam dunia Muslim
paska kolonial, melegitimasi dan melembagakan otoritas negara untuk memilih
satu dari sejumlah pandangan mengenai syariah yang berlawanan, tanpa
benar-benar membuka perdebatan seputar dasar pembuatan hukum keluarga sebagai
sebuah persoalan kebijakan publik. Sementara itu, di Asia dan Afrika, hal yang
sama terjadi, yakni pergantian sistem syariah dan adat lokal oleh peraturan
kolonial. Bagaimanapun juga, ada ketegangan antara realitas dukungan negara
terhadap mazhab tertentu dan kebutuhan untuk mempertahankan independensi
tradisional syariah, karena penguasa memang seharusnya melindungi dan mendukung
syariah tanpa harus mengklaim atau tampil menciptakan dan mengontrolnya.
Ketegangan ini terus berlanjut hingga di era modern, di mana syariah tetap
menjadi hukum agama masyarakat Mukmin, yang independen dari otoritas negara,
sementara negara mencoba memperoleh kekuatan legitimasi syariah untuk mendukung
otoritas politiknya.
Konsesi
yang diberikan Dinasti Utsmani kepada kekuasaan-kekuasaan Eropa menjadi model
pengadopsian hukum dan sistem administrasi peradilan Barat. Selain itu,
maklumat-maklumat yang dikeluarkan Dinasti Utsmani membenarkan perubahan tidak
hanya dalam rangka memperkuat negara dan melindungi Islam, tapi juga menekankan
pentingnya menjamin persamaan hak di antara warga negara Utsmani. Dengan
demikian, Dinasti Utsmani telah meletakkan fondasi bagi pengadopsian model
negara bangsa dan kewarganegaraan
Eropa yang sama di mata hukum. Perhatian yang lebih seksama terhadap apa yang
terjadi di akhir periode Utsmani penting untuk konteks wilayah geografis di
luar Dinasti Utsmani, karena hal yang sama berulang kali terjadi dengan cara
yang berbeda di seluruh dunia Islam.
Pembaruan-pembaruan
berikut ini diperkenalkan ke dalam hukum Utsmani. Yaitu, Hukum Niaga tahun 1850, Hukum Pidana tahun 1858, Hukum Tata Niaga tahun 1879, Hukum
Perdata tahun 1880, dan Hukum Niaga Kelautan, kesemuanya mengikuti model hukum
Eropa yang mengusahakan sebuah pengundangan yang komprehensif untuk semua
peraturan yang relevan. Meskipun yurisdiksi syariah digantikan secara
signifikan dalam bidang-bidang ini, masih dilakukan usaha untuk mempertahankan
beberapa elemennya. Majallah yang
kemudian dikenal sebagai Hukum Perdata tahun 1876, diberlakukan secara resmi selama lebih dari sepuluh tahun
(1867-1877). Meskipun tidak direncanakan sedemikian rupa, Majallah mengkodifikasi peraturan-peraturan kontrak dan
perbuatan-perbuatan perdata (tort)
menurut Mazhab Hanafi, memadukan bentuk Eropa dengan isi syariah. Kodifikasi
utama prinsip-prinsip syariah ini membuat sejumlah besar prinsip syariah yang
relevan menjadi lebih sederhana dan lebih mudah diakses oleh para penggugat dan
hakim/pengacara.
Majallah memperoleh
posisi kewenangan tertinggi segera setelah pengundangannya, sebagian karena Majallah merepresentasikan contoh
otoritatif yang paling politis dan paling awal tentang pemberlakuan secara
resmi sebagian besar syariah oleh otoritas negara. Dengan demikian, terjadi transformasi prinsip-prinsip
syariah menjadi hukum positif dalam pengertian modern. Tambah
lagi, perundang-undangan itu diterapkan secara langsung dalam masyarakat Islam
di seluruh Dinasti Utsmani, dan terus diaplikasikan dalam beberapa bagian di
paruh kedua abad keduapuluh. Kesuksesan Majallah
disebabkan oleh fakta bahwa Majallah memasukkan
beberapa aturan yang diambil dari sumber-sumber lain, tidak hanya dari Mazhab
Hanafi, sehingga memperbesar kemungkinan
untuk menyeleksi sumber-sumber dalam
tradisi Islam yang lebih luas. Prinsip selektifitas (takhayur) di antara doktrin-doktrin syariah yang sama-sama sah
sebenarnya telah diterima secara teoritis, namun belum dipraktikkan sebegitu
luas dan resmi. Dengan menerapkan prinsip ini di seluruh institusi negara, Majallah membuka pintu bagi reformasi
berikutnya, meskipun tujuan awalnya terbatas. Namun pada saat yang sama,
kodifikasi pandangan sebuah mazhab, meskipun dengan menyeleksi dan memasukkan
beberapa pandangan lain, tetap menghalangi akses ke mazhab-mazhab dan ahli-ahli
lain. Persoalan yang ditekankan di sini adalah seluruh proses merupakan produk
otoritas politik sekuler negara, bukan otoritas agama syariah semata.
Tren peningkatan ekletisisme dalam
pemilihan sumber-sumber dan sintesis antara konsep-konsep dan
institusi-institusi hukum Islam dengan Barat bukan hanya menjadi sulit diubah,
melainkan telah berkembang jauh, khususnya melalui karya ahli hukum Mesir
berpendidikan Perancis, Abd al-Razziq al-Sanhuri (w. 1971). Pendekatan
pragmatis al-Sanhuri berdasar pada pandangan bahwa syariah tidak bisa dimajukan
kembali sepenuhnya dan tidak bisa diterapkan tanpa adaptasi terhadap kebutuhan
masyarakat Islam modern. Ia menggunakan pendekatan ini dalam membuat draf Hukum
Perdata Mesir tahun 1948, Hukum Irak
tahun 1951, Hukum Libiya tahun 1953, dan Hukum Kuwait serta
Hukum Niaga tahun 1960/1961. Al-Sanhuri dilibatkan oleh penguasa otokratik
untuk membuat rancangan hukum yang komprehensif untuk diundangkan tanpa melalui
perdebatan publik. Oleh karena itu, sulit mengatakan apakah model ini bisa
berjalan jika pada saat itu negara-negara tersebut demokratis. Tapi apa pun
tingkat inklusi prinsip-prinsip syariah, proses itu sendiri jelas merupakan
pembuatan undang-undang sekuler, dan bukan pengundangan langsung
prinsip-prinsip itu sebagai hukum Islam yang ditasbihkan.
Paradoksnya, reformasi itu juga
menjadikan seluruh korpus prinsip-prinsip syariah tersedia dan mudah diakses
oleh hakim dan pembuat kebijakan dalam proses menyeleksi dan mengadaptasi
aspek-aspek yang akan dimasukkan kedalam perundang-undangan modern. Sintesis
tradisi-tradisi hukum Islam dan Eropa juga menunjukkan ketidakmungkinan
penerapan sistematis dan langsung prinsip-prinsip syariah tradisional dalam
konteks modern. Alasan utamanya, kompleksitas dan keragaman syariah itu
sendiri, sebagaimana telah berkembang di sepanjang abad. Jelas ada
ketidaksepakatan di dalam dan antara komunitas Sunni dan komunitas Syiah, yang
kadang-kadang hidup berdampingan di dalam negara yang sama, seperti Irak, Lebanon, Saudi
Arabia, Syiria, dan Pakistan. Namun,
mazhab atau opini ulama yang berbeda mungkin saja diikuti oleh komunitas Muslim
di dalam negara yang sama, walaupun mazhab atau opini itu tidak secara formal
diterapkan oleh pengadilan. Lagi
pula, praktik pengadilan tidak selalu
serta merta sesuai dengan mazhab yang diikuti oleh mayoritas penduduk Muslim di
negeri itu. Misalnya, negeri-negeri Afrika Utara mengikuti Dinasti Utsmani
dalam hal dukungan terhadap Mazhab Hanafi meskipun praktik-praktik yang populer
di situ adalah Mazhab Maliki. Karena negara modern hanya bisa mengoperasikan
prinsip-prinsip hukum penerapan umum yang ditetapkan secara resmi,
prinsip-prinsip syariah bisa berpengaruh secara politis dan sosiologis, namun
tidak secara otomatis diterapkan sebagai hukum positif tanpa intervensi negara.
Konsekuensi legal dan politis dari
perkembangan ini kini menjadi lebih intensif karena pengaruh kuat kolonialisme
Eropa yang signifikan dan pengaruh global Barat dalam bidang-bidang pendidikan
umum dan pelatihan-pelatihan profesional bagi para pejabat negara.
Perubahan-perubahan kurikulum dalam institusi-institusi pendidikan menunjukkan
bahwa syariah tidak lagi menjadi fokus pengajaran tingkat lanjut dalam
pengetahuan Islam, melainkan telah digantikan oleh serangkaian bidang studi
sekuler, yang banyak diambil dari model-model Barat. Berkenaan dengan
pendidikan hukum khususnya, generasi pertama pengacara-pengacara dan ahli-ahli
hukum mengikuti pelatihan tingkat lanjut di universitas-universitas Eropa dan
Amerika Utara dan kembali untuk mengajar generasi selanjutnya atau menjadi
pejabat senior pengadilan. Selain itu, pada masa lalu tingkat melek huruf dalam
masyarakat tradisional Islam sangat rendah, di mana para ulama/fuqaha
memonopoli kepemimpinan intelektual komunitasnya. Namun sekarang tingkat melek
huruf rakyat tumbuh dengan cepat di seluruh dunia Islam. Akibatnya, terbuka
pintu untuk memperoleh ilmu pengetahuan secara lebih demokratis. Jadi tidak
hanya ulama yang kehilangan monopoli
sejarah mereka atas pengetahuan tentang sumber-sumber syariah yang sakral, tapi
interpretasi-interpretasi tradisional dari sumber-sumber itu secara bertahap
terus dipertanyakan oleh Muslim kebanyakan.
Transformasi penting lain dari
masyarakat Islam yang perlu disebutkan di sini adalah berkaitan dengan watak
negara itu sendiri dalam konteks lokal dan globalnya. Meskipun terdapat
keberatan-keberatan yang serius terhadap kelahiran negara yang berlangsung di
bawah pengawasan kolonial, berdirinya negara model Eropa di seluruh masyarakat
Islam, sebagai bagian dari sistem global yang berdasarkan model yang sama,
telah mengubah secara radikal hubungan-hubungan sosial, ekonomi dan politik di
seluruh wilayah. Dengan tetap mempertahankan bentuk khusus organisasi sosial
dan politik ini setelah kemerdekaan, masyarakat Islam telah dengan sukarela
memilih untuk terikat oleh seperangkat minimum kewajiban-kewajiban nasional dan
internasional atas keanggotaannya dalam komunitas dunia negara-negara
teritorial. Walaupun ada perbedaan yang jelas pada tingkat perkembangan sosial
dan stabilitas politik di semua negara, seluruh masyarakat Islam sekarang hidup
di bawah rezim-rezim konstitusional domestik dan sistem-sistem hukum yang
mensyaratkan penghormatan pada hak-hak minimum kesetaraan dan non diskriminasi untuk semua warga negara. Sekalipun ada
konstitusi-konstitusi nasional dan sistem-sistem hukum yang gagal mengakui
secara gamblang dan menjalankan kewajiban-kewajiban ini secara efektif, pemenuhan
praktis secara minimum dijamin oleh realitas hubungan internasional saat ini.
Haluan perubahan ini mustahil dibalikkan, meskipun penyesuaian yang lebih kuat
dan sistematis dengan syarat-syarat pemerintahan demokratis dan hak-hak asasi
manusia masih belum jelas dan masih problematis bagi sebagian besar
negeri-negeri Muslim, juga bagi negeri-negeri lain di seluruh dunia.
Sebagai kesimpulan tinjauan singkat
tentang Islam, Syariah dan Negara, jelas bahwa ada kebutuhan yang mendesak
untuk terus melanjutkan proses reformasi Islam, merekonsiliasi komitmen
religius Muslim dengan kebutuhan-kebutuhan praktis masyarakat pada saat ini.
Premis bagi poses reformasi ini, dalam pandangan saya, bisa dikemukakan sebagai
berikut. Meskipun Al-Quran dan Sunnah merupakan sumber-sumber suci Islam sesuai
dengan keyakinan Umat Islam, makna dan implementasi keduanya dalam kehidupan
sehari-hari selalu merupakan produk interpretasi dan tindakan manusia dalam
konteks sejarah yang spesifik. Tidak mudah mengetahui dan menerapkan syariah
dalam hidup ini kecuali melalui keterlibatan agensi manusia (the agency of human beings). Setiap
pandangan syariah yang dikenal umat Islam sekarang, sekalipun dengan suara
bulat disetujui, timbul dari
opini-opini manusia tentang makna Al-Quran dan Sunnah, sebagaimana yang
diyakini dan dipraktikkan oleh banyak generasi Muslim. Dengan kata lain,
pendapat ulama-ulama Islam menjadi bagian syariah melalui konsesus kaum Mukmin
berabad-abad lamanya, dan bukan melalui keputusan spontan penguasa atau
kehendak satu kelompok ulama.
Kerangka Kerja dan Proses
Transformasi Sosial
Transformasi sikap-sikap umat Islam terhadap hubungan antara
Islam, syariah dan negara melibatkan arena tindakan negara, melalui
kebijakan-kebijakan pemerintahan dan pembaruan hukum dan konstitusional untuk
memastikan pemisahan Islam dan negara.
Juga terdapat domain masyarakat, pada
tingkat individual maupun komunal, yang memiliki sasaran untuk menggabungkan
nilai-nilai netralitas negara terhadap agama, konstitusionalisme dan hak-hak
asasi manusia, sebagai sesuatu yang konsisten dengan, jika bukan dibutuhkan
oleh Islam. Dua dimensi transformasi baik melalui perubahan institusi-institusi
resmi maupun melalui perubahan pada tingkat masyarakat sipil, pada kenyataannya
saling tergantung dan saling mendukung. Setiap sasaran mungkin memerlukan
tindakan-tindakan dan strategi-strategi yang berbeda, sesuai konteks sosial dan
kebudayaan masing-masing. Walau demikian dua jenis transformasi ini berhubungan
erat dimana yang satu merupakan sebab dan akibat bagi yang lainnya. Agar
transformasi yang dinamis ini berjalan di dalam masyarakat Islam, kita juga
harus mengklarifikasi dan mentransformasikan hubungan permanen dan hubungan
yang diinginkan antara Islam dan politik,
sebagaimana yang dikatakan sebelumnya.
Oleh karena itu,
transformasi-transformasi yang dimaksud mengakui ragam relevansi Islam terhadap
komunitas-komunitas Muslim di seluruh pemukaan bumi, baik sebagai agama, dan
lebih luas lagi, sebagai kebudayaan, maupun sebagai dasar praktik sosial. Ini
menunjukkan dimensi ketiga dari proposal saya, yang merupakan pertanyaan
tentang bagaimana mengubah akar sosial dalam kebudayaan atau memberinya
legitimasi kultural. Sebagaimana akan saya tekankan berulang kali di dalam buku
ini, pemisahan Islam dan negara bukan berarti tidak memberikan peran pada Islam
dalam kebijakan publik, perundang-undangan atau kehidupan publik secara umum,
tapi peran itu harus didukung oleh apa yang saya sebut ‘nalar publik’, dan
harus tunduk kepada perisai-perisai konstitusional serta perlindungan hak-hak
asasi manusia. Jadi, syariah sesungguhnya memiliki masa depan yang paling
penting dalam masyarakat dan komunitas Islam karena peran fundamentalnya dalam
sosialisasi anak-anak, penghormatan terhadap pranata-pranata dan hubungan-hubungan
sosial, serta pembentukan dan pengembangan nilai-nilai dasar tersebut, yang itu
semua diterjemahkan ke dalam perundang-undangan umum serta kebijakan publik
melalui proses politik yang demokratis. Tapi, syariah tidak akan memiliki masa
depan sebagai sebuah sistem normatif bila dibuat dan diselenggarakan begitu
saja oleh negara sebagai hukum publik dan kebijakan publik. Klaim bisa saja
dibuat untuk mengatakan bahwa suatu kebijakan atau hukum adalah syariah, tapi
klaim itu akan selalu salah karena hal itu tidak lebih dari sebuah usaha
menggunakan kesucian Islam untuk kepentingan politik elit penguasa.
Transformasi kebudayaan atau
perubahan sosial tidak bisa dijalankan sebagai suatu prakarsa yang murni
‘eksternal’, yakni terasing dari sejarah, kebudayaan atau praktik sosial.
Sebaliknya, perubahan sosial dan transformasi budaya harus berakar dan berdasar
pada budaya komunitas itu sendiri agar supaya perubahan berlangsung absah,
koheren dan berkelanjutan. Pada gilirannya hal ini menunjukkan peran yang
dimainkan oleh komunitas-komunitas dan anggota-anggotanya sebagai partisipan,
subyek dan aktor perubahan sosial, atau dengan kata lain, peran agensi manusia
dalam proses itu. Sekarang saya akan mendiskusikan berbagai dimensi kerangka
kerja transformasi sosial ini dalam artian dinamika kebudayaan dan identitas,
pentingnya legitimasi kultural untuk perubahan sosial, dan peran agensi
manusia.
Kebudayaan dan Identitas
Untuk mengembangkan teori yang jelas
tentang perubahan sosial diperlukan, pertama,
pemahaman yang cukup tentang gagasan-gagasan kebudayaan dan identitas, yang
merupakan bingkai yang digunakan orang-orang dan komunitas dalam mendefinisikan
diri mereka, dan yang menjadi dasar bagi praktik sosial, interaksi, serta
pertukaran. Saya menggunakan istilah kebudayaan
dalam pengertiannya yang paling luas, yaitu totalitas nilai, institusi dan
bentuk-bentuk perilaku yang ditransmisikan di dalam masyarakat, termasuk
barang-barang serta hubungan-hubungan sosial-politik. Dengan mengatakan ini
tidak berarti bahwa kebudayaan adalah segalanya, namun terdapat dimensi
kebudayaan pada setiap aspek kehidupan dan aktifitas manusia, yang tertanam di
dalam norma-norma dan institusi-institusi kebudayaan.
Kebudayaan-kebudayan manusia jelas
tidak hanya dapat dikenali dan dibedakan satu sama lain, tapi masing-masing
kebudayaan ditandai oleh keanekaragaman internalnya sendiri, kecenderungannya
pada perubahan dan saling mempengaruhi dalam hubungannya dengan
kebudayaan-kebudayaan lain. Jelas salah mengasumsikan bahwa sejarah-sejarah
spesifik dan kekhususan-kekhususan kontekstual tidaklah bermakna, demikian pula
halnya menolak kemungkinan-kemungkinan adanya nilai-nilai bersama dan ciri-ciri
serta institusi-institusi umum. Realitas keanekaragaman lintas kebudayaan
memungkinkan kita untuk berbicara tentang kekhususan lokal, nasional dan
budaya-budaya regional, atau tentang kebudayaan komunitas-komunitas yang
dicirikan oleh bahasa, etnisitas, agama dan lain-lain. Kesamaan norma, praktik
dan sejarah dalam sebuah kelompok memungkinkan terpadunya gagasan mengenai
kebudayaan umum, sekalipun ada tumpang tindih dengan kelompok lain. Tapi hal
ini tidak seharusnya mengorbankan keanekaragaman dan kontestasi yang diakui
dalam masing-masing kebudayaan. Pada saat yang sama pengakuan atas perbedaan
kebudayaan seharusnya tidak membawa pada pandangan bahwa beberapa kebudayaan
begitu luar biasa dan unik sehingga mereka menentang kemungkinan-kemungkinan
lintas kebudayaan atau analisis komparatif. Seperti akan didiskusikan pada bab
3, realitas keanekaragaman dan kontestasi internal, seperti dialog lintas
kebudayaan dan pengaruh timbal balik, bisa dipertimbangkan untuk mengembangkan
konsesus yang saling melapisi (overlapping
consensus) terhadap nilai-nilai dan praktik-praktik tertentu, seperti
konstitusionalisme dan hak-hak asasi manusia. Hal ini mengabaikan langgengnya
perbedaan mengenai fondasi-fondasi dan dasar pemikiran dari kesepakatan
tersebut.
Masyarakat Islam tunduk kepada
prinsip-prinsip kehidupan sosial dan politik yang juga berlaku pada masyarakat
lain, karena umat Islam juga berjuang untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan
dasar yang sama; makanan, tempat tinggal, keamanan, stabilitas politik dan
seterusnya, sama seperti manusia-manusia lain. Mereka melakukan hal tersebut
juga di dalam kondisi-kondisi yang berlaku di semua masyarakat dan komunitas
manusia, termasuk kebutuhan untuk berubah dan beradaptasi dengan
perkembangan-perkembangan yang mempengaruhi kehidupan individual dan kolektif
mereka. Fakta bahwa perubahan sosial dalam masyarakat dan komunitas Islam dipengaruhi
oleh pemahaman-pemahaman Islam yang kuat dan perannya dalam kehidupan publik
dan kehidupan pribadi para penganutnya juga umum terjadi di penganut
agama-agama lain. Perubahan sosial pada umat Hindu atau Kristen, misalnya, juga
dipengaruhi oleh pemahaman yang kuat pada agama mereka. Memang ciri-ciri khas
Islam sebagai agama akan mempengaruhi cara orang-orang Islam memahami dan
mempraktikkan agamanya dalam latar yang berbeda. Namuan, hal tersebut tidak
lantas membuat masyarakat Muslim menentang prinsip-prinsip kehidupan sosial dan
kehidupan politik masyarakat manusia secara umum. Refleksi komparatif
sesungguhnya dapat mengungkapkan bahwa beberapa komunitas Islam di anak benua
India memiliki lebih banyak kesamaan dengan komunitas Hindu dan Sikh di wilayah
itu karena kesamaan sejarah, pengalaman dijajah, dan konteks kekinian mereka,
dibandingkan dengan komunitas Islam di Sub-Sahara Afrika, yang kebudayaan dan
praktiknya mungkin justru berkaitan erat dengan komunitas non-Muslim yang
bertetanggaan.
Istilah identitas sering dimunculkan
untuk menunjukkan sesuatu yang jelas terdefinisi, stabil dan pasti. Tapi juga
jelas bahwa masyarakat mengatur hidup mereka agar menjadi cukup terbuka dan
fleksibel sehingga memungkinkan mereka mengambil keuntungan dari pilihan-pilihan
perilaku yang berbeda yang mereka benarkan dalam kerangka sistem nilai dan
makna kebudayaan dan agama mereka sendiri. Setiap hari kita memilih aspek mana
dari identitas kita yang kita harapkan atau kita inginkan untuk ditekankan atau
tidak ditekankan dalam merespon pertimbangan-pertimbangan baik taktis maupun
strategis dalam rangka menyebarluaskan atau melindungi kepentingan jangka
pendek atau jangka panjang kita. Sebagai seorang Muslim, saya mungkin
menegaskan identitas Islam saya yang eksklusif atau menekankan toleransi Islam
dan penerimaan terhadap perbedaan agama, tergantung pada apakah saya anggota
agama mayoritas atau minoritas dan tergantung pada hubungan-hubungan politik
yang berlaku di antara komunitas keagamaan di negeri saya.
Dengan kata lain, formasi dan
transformasi identitas adalah sebuah proses dinamis meliputi pilihan-pilihan
yang disengaja, bukan kondisi yang kekal dan tak dapat dielakkan. Makna dan
nilai dibangun individu-individu melalui aturan-aturan budaya yang dimiliki
bersama oleh kelompok-kelompok tertentu, namun bukan sesuatu yang ganjil bagi
seseorang untuk berpindah dari satu aturan ke aturan lain, ataupun bergerak di
antara keanekaragaman identitas sosial. Aturan-aturan ini mencakup ‘kesetiaan
primordial’ (primordial attachments),
seperti bahasa dan ikatan keagamaan, yang telah dipelajari dan terbentuk pada
masa kecil, begitu juga dengan aturan-aturan baru yang dipelajari kemudian.
Kita kadang dengan perhitungan atau ‘instrumental’ berpindah dari suatu aturan
ke aturan lain yang mungkin tidak serta merta konsisten dengan tujuan-tujuan
yang diakui atau dianggap secara publik sebagai aturan-aturan asal. Lagi pula,
setiap rangkaian proses dan interaksi menggabungkan elemen-elemen identitas
sebelumnya yang disesuaikan atau yang ditemukan kembali, dengan identitas yang
baru diciptakan atau yang sesuai dengan situasi khusus. Sebagai contoh, menjadi
seorang Muslim dalam konteks khusus, bagi saya, mencakup apa arti menjadi
Muslim di masa lalu, yang dengan sendirinya mencakup negosiasi dengan orang
lain tentang makna tersebut sebelumnya, serta dengan maksud yang terdekat dari
identitas Islam. Dengan kata lain, penetapan identitas pada waktu atau keadaan
tertentu merupakan hasil dari aktor, konteks dan tujuan, juga hasil dari makna
atau kandungan, betapun luasnya, yang diasosiasikan oleh aktor-aktor yang
berbeda dengan identitasnya sendiri, dalam hubungannya dengan identitas orang
lain atau komunitas yang digaulinya.
Sebuah aspek dari proses formasi dan
transformasi adalah kebutuhan akan penerimaan atau pengakuan orang lain atas
identitas yang diyakini atau yang diakui. Sementara identifikasi diri merupakan
sesuatu yang penting, kesuksesan pada tingkat pribadi sekalipun tergantung pada
respon orang lain, yang mendorong terjadinya penegasan sebuah identitas
independen. Karena kita tak sepenuhnya mampu mengontrol bagaimana orang lain
memandang kita, kita perlu bernegosiasi dengan mereka tentang bagaimana mereka
memandang identitas kita dan bagaimana mereka terkait dengan pandangan itu menurut
perspektif mereka sendiri. Oleh karena itu, tidak ada yang namanya
identitas-identitas yang terisolasi atau yang berdiri sendiri karena watak dan
hasil dari proses penentuan identitas-identitas dimaksud bisa berubah dan tidak pasti. Ambil contoh, saya mungkin
berada dalam sebuah situasi dimana saya menganggap orang lain akan memandang
negatif identitas saya sebagai Muslim, sehingga saya terdorong untuk
menyembunyikan fakta diri Saya. Tapi ketika saya menyadari bahwa identitas saya
sebagai Muslim sebenarnya tidak penting bagi orang lain, atau ketika saya tahu
bahwa memiliki identitas tersebut justru menguntungkan, maka saya mungkin akan
menyatakan identitas saya. Tapi pertanyaannya kemudian adalah menjadi Muslim
seperti apa yang diharapkan atau diterima oleh orang lain, Muslim liberal atau
konservatif, Muslim taat atau bukan. Lagi pula menggunakan ekspresi taktis atau
instrumental seperti itu atas identitas agama atau kebudayaan merupakan hal
yang sudah begitu umum dan spontan, sehingga acap tidak disadari oleh kita,
atau kita sendiri tidak mau mengakuinya secara terbuka.
Sebagai kesimpulan, konsep identitas
bisa didefinisikan secara luas atau sempit, tergantung pada aktor, konteks dan
tujuan. Sering konsep identitas merupakan sebuah aturan untuk wacana moral dan
politik atau pengganti bagi aneka tujuan, baik yang dinyatakan ataupun tidak.
Termasuk bagaimana kita mendefinisikan diri kita sendiri, di mana dan kapan,
untuk tujuan apa, begitu juga bagaimana orang lain menerima dan berhubungan
dengan kita, bagaimana mereka bereaksi pada satu aspek identitas kita dan yang
lainnya. Apakah kolektif atau personal, identitas mencakup serangkaian
tindakan, motivasi, komitmen subtantif dan afiliasi instrumental. Sebagai
contoh, apakah menjadi seorang Muslim India disyaratkan atau diharuskan
bermusuhan dengan orang Hindu atau menerimanya sebagai manusia yang setara
sebagai warga negara India?
Bagaimana seorang Muslim Sunni Pakistan seharusnya menilai seorang Muslim
Syi’ah atau Ahmadiyah di Karachi; bagaimana pula seorang Muslim Syi’ah Iran
menilai seorang Baha’i di Teheran, atau Sunni Turki menilai seorang Alawi di
Istanbul? Tak satu pun hubungan-hubungan ini seragam atau mutlak dibakukan
sedemikian rupa, karena anggota setiap komunitas berbeda atau tidak tetap dalam
cara mereka menilai atau berhubungan satu sama lain.
Justru karena gagasan-gagasan
tentang diri dan orang lain, makna-makna nilai dan konstruksi memori-memori
budaya terbuka pada kontestasi dan reformulasi, maka saya menekankan pentingnya
mengamankan ruang bagi proses itu agar dapat berjalan dengan sebaik-baiknya.
Para pendukung interpretasi-interpretasi dominan atas aspek-aspek budaya atau
identitas agama yang diketahui biasanya menampilkan penafsiran-penafsiran
tersebut sebagai satu-satunya posisi
kebudayaan yang ‘otentik’ atau ‘absah’ mengenai masalah ini. Fakta ini justru
makin menunjukkan pentingnya menjamin setiap kemungkinan berbeda pendapat dan
kebebasan menyatakan pandangan-pandangan atau praktik-praktik alternatif.
Eksistensi kebudayaan-kebudayaan yang saling tumpang tindih,
identitas-identitas bersama antara pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok, dan
fakta kesamaan, tidak menunjukkan adanya kebudayaan-kebudayaan atau
identitas-identitas yang homogen atau monolitik, tidak pula bahwa
pandangan-pandangan seperti itu mesti dipaksakan pada seluruh kelompok atau
masyarakat. Realitas keanekaragaman internal yang benar-benar nyata dalam
kebudayaan-kebudayaan juga mengindikasikan kebutuhan akan toleransi dan
penghargaan atas perbedaan di dalam maupun di antara kebudayaan-kebudayaan.
Perspektif mengenai proses-proses formasi dan transformasi kebudayaan dan
identitas ini menekankan kebutuhan untuk mengamankan ruang dan proses-proses
kontestasi dan reformasi bagi pengukuhan identitas diri seseorang, tapi juga
bagi upaya menyoal makna dan implikasi-implikasinya, selama seseorang
menganggapnya penting. Ruang seperti itu perlu bagi perdebatan publik internal
dan dialog lintas kebudayaan, dan juga penyataan diri pribadi maupun bersama.
Saya mendukung sekularisme, pluralisme,
konstitusionalisme dan hak-hak asasi manusia dari perspektif Islam, karena saya
percaya pendekatan terhadap prinsip-prinsip dan pranata-pranata ini sangat
diperlukan untuk melindungi kebebasan setiap orang untuk menegaskan, menyoal
atau mengubah identitas kebudayaan atau identitas keagamaannya. Hak saya untuk
menjadi diri sendiri mensyaratkan dan mengharuskan saya menerima dan
menghormati hak orang lain untuk juga menjadi diri mereka sendiri, dan dalam
istilah mereka sendiri. Prinsip timbal balik ini, atau Kaidah Dasar (Golden Rule), merupakan fondasi utama
lintas kebudayaan universitalitas hak-hak asasi manusia, yang saya akan uraikan
dalam bab 3. Tapi sekarang saya kembali pada pertanyaan, mengapa saya begitu
percaya terhadap pentingnya menegaskan prinsip-prinsip ini dari perspektif
Islam. Apakah pandangan ‘relativis’ seperti itu justru lebih banyak memisahkan
daripada mempersatukan komunitas-komunitas agama yang berbeda di bawah
prinsip-prinsip dan pranata-pranata ini, atau apakah pandangan tersebut begitu
diperlukan sehingga kita harus mencari legitimasi kultural internal untuk
mendukung prinsip-prinsip tersebut sembari berjuang mengatasi risiko
ketidaksepakatan?
Legitimasi Kultural
Perubahan Sosial
Adanya keanekaragaman budaya yang
sama di antara dan di dalam kebudayaan-kebudayaan, serta kebutuhan untuk
menyediakan kemungkinan kontestasi dan konsensus di dalam dan di antara
kebudayaan-kebudayaan itu, menunjukkan pentingnya jaminan legitimasi kultural
bagi perubahan sosial. Karena perilaku sosial
dan kemungkinan perubahan sosial itu terjadi di dalam sistem normatif
masing-masing kebudayaan, apa pun perubahan dalam sistem itu mesti dapat
dipahami dan terpadu dalam kerangka yang ada. Salah
jika mengira sebuah sistem normatif bisa netral secara kultural, karena sistem
itu, per definisi, secara inheren dan permanen berakar pada kebudayaan. Segala
yang dilakukan umat manusia, dari aktifitas-aktifitas dan interaksi-interaksi
harian yang duniawi sampai pada aktifitas-aktifitas dan interaksi-interaksi
yang bersifat keagamaan atau simbolis berakar pada kebudayaan. Kita cenderung
gagal menyadari hal ini justru karena kebudayaan kita sudah begitu mendarah
daging sebagai sebagai norma atau ‘cara alami’ bagi apa pun yang kita lakukan,
bagi keberadaan kita sendiri. Sekali kita menyadari bahwa cara-cara kita
mengada dan bertindak, nyatanya bukanlah norma yang universal bagi seluruh umat
manusia, bahkan bukan bagi semua orang di dalam komunitas kita sendiri, kita
akan mengakui betapa sulitnya berbicara tentang nilai-nilai universal tanpa
berhadapan dengan kenyataan keanekaragaman budaya yang inheren dan permanen.
Namun bagaimanapun, pengakuan
terhadap mustahilnya netralitas budaya bukan berarti bahwa mustahil mencapai
konsensus mengenai norma-norma atau kerangka yang valid dan yang dapat
diterapkan secara universal terhadap konsep-konsep, seperti konstitusionalisme
dan hak-hak asasi manusia, sebagaimana yang akan kita diskusikan nanti di bab
3. Sebaliknya, pengakuan seperti itu adalah langkah pertama dalam proses untuk
mencapai universalitas sejati melalui konsesus seputar konsep-konsep tersebut,
apakah pada tingkat lintas kebudayaan lokal, nasional atau internasional.
Berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, misalnya, kedua jenis pemahaman atau
pernyataan, baik yang universal maupun yang spesifik, secara kultural atau
kontekstual, mengenai hak asasi manusia bisa saling mendukung atau sebaliknya,
tergantung pada bagaimana aktor-aktor yang beragam ini memahami unsur-unsur
proses yang relevan, dan berinteraksi dengan aktor-aktor, faktor-faktor dan
konteks yang lain. Sembari menyadari kemungkinan adanya hasil yang positif dan
hasil yang negatif, di sini saya mencoba menengahi ketegangan permanen ini
dengan mempromosikan universalitas hak-hak asasi manusia dari perspektif Islam.
Bahwa di sini terdapat ketegangan
permanen yang perlu untuk ditengahi bukan berarti bahwa keuniversalan dan
kespesifikan kultural atau kontekstual harus dilihat dalam dua posisi yang
berlawanan, sehingga seolah-olah seseorang dipaksa menerima penuh atau menolak
sama sekali universalitas hak-hak tertentu bagi semua umat manusia. Pandangan
binari ini menyesatkan karena pandangan ini mengasumsikan bahwa hak-hak asasi
manusia bisa netral secara kultural dan kontekstual, atau bahwa konsep hak-hak
asasi manusia yang muncul dalam satu kebudayaan atau konteks tidak bisa
diterima oleh kebudayaan-kebudayaan lain untuk diterapkan dalam konteks-konteks
lain. Sebuah sistem normatif seperti hak-hak asasi manusia yang mencoba
mempengaruhi perilaku masyarakat dan institusi-institusi sosial dan politik
yang mengatur kehidupan mereka, hanya bisa menjadi produk kebudayaan, yang
harus ditafsirkan untuk diterapkan secara praktis dalam sebuah konteks yang
spesifik. Norma-norma seperti itu tidak bisa hanya dibayangkan atau sekadar
dipahami secara abstrak, tanpa mengacu kepada pengalaman kongkrit sehari-hari
masyarakat yang memang mengejawantahkannya. Namun, keumuman-keumuman pengalaman
manusia dan kesamaan-kesamaan dalam konteks juga berarti bahwa sangat mungkin
menyusun dan menerapkan strategi-strategi guna mempromosikan nilai-nilai yang
sama pada kebudayaan-kebudayaan lain, asalkan usaha-usaha seperti itu
mempertimbangkan kerangka acuan internal kebudayaan-kebudayan tersebut. Ini yang saya sebut dengan metodologi
legitimasi kultural, sebuah usaha keras untuk membuat pengenalan (introduction) terhadap norma-norma baru
atau perubahan (alteration) atas
norma-norma atau institusi-institusi yang sudah ada dapat dipahami dan
dipertahankan dalam ranah yang baru.
Legitimasi kultural bisa didefinisikan
sebagai kualitas untuk menyesuaikan diri dengan perinsip-prinsip atau
standar-standar umum budaya yang masih dipersoalkan, dengan cara mendapatkan
otoritas dan relevansi dari prinsip dan standar budayanya sendiri. Norma atau
nilai-nilai yang absah secara kultural adalah norma yang dihormati dan
dilaksanakan oleh anggota sebuah komunitas budaya karena norma itu dapat
memenuhi beberapa kebutuhan atau tujuan komunitas dan individu yang ada di
dalamnya. Karena itu, kesuksesan proses legitimasi kultural ini juga ditentukan
oleh pengakuan kita bahwa legitimasi kultural berlaku untuk institusi atau
norma yang baru diperkenalkan atau dimodifikasi. Proses legitimasi kultural
sebenarnya tidaklah sesulit yang dibayangkan karena proses yang sama selalu terjadi
di dalam setiap kebudayaan melalui kontestasi dan transformasi internal. Karena
mungkin saja terjadi konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan di antara
berbagai konsepsi yang berlawanan tentang kebutuhan-kebutuhan atau
sasaran-sasaran individu dan kolektif, maka norma-norma atau nilai-nilai dalam
setiap kebudayaan yang dihormati dan dipatuhi selalu mengalami perubahan dan
penyesuaian diri. Pendukung-pendukung perubahan tidak hanya mesti memiliki
tuntutan yang dapat dipercaya untuk menjadi orang
dalam (insider) kebudayaan, tapi juga mempunyai argumen-argumen yang valid
tentang kebudayaan itu untuk meyakinkan penduduk setempat. Dalam hal ini,
presentasi dan adopsi perspektif-perspektif alternatif bisa dicapai melalui wacana internal yang koheren di dalam kebudayaan.
Kriteria validitas internal dari inisiatif apa pun untuk memperoleh legitimasi
kultural untuk perubahan beragam dari satu masalah ke masalah lain di dalam
kebudayaan atau masyarakat yang sama, dan beragam juga antar masyarakat, namun
kriteria dimaksud tetap bisa dipertanyakan dan diperbaharui.
Meskipun pendekatan ini memungkinkan
kebudayaan lokal dipakai untuk membenarkan pelanggaran atau penolakan terhadap
eksistensi hak-hak asasi manusia, saya tidak dapat melihat alternatif lain
selain metode legitimasi kultural yang bisa terus-menerus ditingkatkan melalui
praktik yang ajek. Sebagai contoh, kebudayaan mungkin digunakan untuk
membenarkan diskriminasi terhadap perempuan atau digunakan untuk melegitimasi
hukuman fisik terhadap anak-anak untuk ‘kebaikan’ mereka sendiri. Menolak
argumen kultural yang diajukan untuk mendukung pandangan seperti itu tampaknya
tidak akan berhasil. Para
perempuan sendiri malahan sepertinya menerima represi atas diri mereka jika
mereka meyakini bahwa represi itu adalah ‘kehendak Tuhan’ atau tradisi abadi
komunitas mereka. Sebaliknya, menggunakan pendekatan yang mengakui nilai
penting ketertundukan pada kehendak Tuhan atau tradisi lokal, sembari terus
mempertanyakan makna nilai tersebut dalam kondisi sekarang ini, nampaknya lebih
persuasif. Sebagai seorang Muslim, jika saya dihadapkan pada pilihan antara
Islam dan hak-hak asasi manusia, saya pasti memilih Islam. Tapi jika dihadapkan
pada argumen bahwa ternyata ada konsistensi antara agama yang saya anut dengan
hak-hak asasi manusia, saya akan dengan senang hati menerima hak-hak asasi
manusia sebagai ekspresi nilai-nilai agama dan bukan sebagai penggantinya.
Sebagai Muslim pendukung hak-hak asasi manusia, saya mesti terus mencoba
mencari cara untuk menjelaskan dan mendukung klaim bahwa hak-hak asasi manusia
sesuai dengan Islam, benar-benar diperlukan dari perspektif Islam, meskipun
tidak sesuai dengan beberapa interpretasi manusia atas syariah.
Otoritas dan relevansi perubahan
yang diperoleh dari validitas internal adalah penting karena beberapa alasan
yang inheren dalam dinamika-dinamika hubungan-hubungan sosial dan interaksi
sosial. Pertama, masyarakat mungkin
menganggap perubahan sebagai sesuatu yang positif dan bermanfaat, tapi
perubahan-perubahan demikian mungkin pada awalnya ditolak sebagai sesuatu yang
negatif dan merusak oleh para penjaga tradisi tatanan sebelumnya. Dengan menerima kenyataan ini, setiap pihak
yang berdebat mampu menyoal bagaimana cara memahami dan menghadapi sudut
pandang pihak lain. Para
pendukung dan penentang perubahan sosial tidak perlu dendam. Tentu saja para
pendukung perubahan bisa menyediakan kebutuhan-kebutuhan yang absah bagi
masyarakat yang sedang tumbuh, sementara para penentang bisa menyediakan
kebutuhan masyarakat yang sama dengan menolak perubahan, hingga kasus perubahan
ini diangkat ke permukaan. Bagaimanapun, menegakkan hak-hak asasi manusia
berarti juga menegakkan hak-hak orang-orang yang menentang kita atau orang yang
tidak kita sukai. Bahkan kita mungkin perlu lebih memperhatikan hak-hak mereka
dibanding hak-hak orang yang setuju dengan kita, karena kita lebih mungkin
melanggar hak-hak musuh kita di banding hak-hak teman-teman kita. Konsistensi
seperti ini penting untuk kredibilitas prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia
itu sendiri.
Kedua, karena
seorang individu tergantung pada masyarakatnya yang mampu untuk menanamkan atau
memaksakan keselarasan pada anggota-anggotanya, kebijakan dan tindakan publik
lebih mungkin berjalan seiring dengan norma-norma dan pola-pola perilaku
kultural yang ideal dibanding tindakan-tindakan pribadi. Perubahan perilaku
publik mungkin membutuhkan waktu yang lama karena individu cenderung
menyesuaikan diri setelah norma baru diterima secara luas. Dengan kata lain,
perlawanan yang terbuka dan sistematis terhadap norma-norma tradisional sangat
mengancam orang-orang yang berkuasa, yakni elit yang memiliki kepentingan
tertanam (vested interest) terhadap
status quo. Untuk menekan perilaku orang yang tidak selaras, elit-elit itu akan
mengeluarkan perintah untuk menjaga stabilitas dan kepentingan vital masyarakat
luas, dibanding mengakui kenyataan bahwa kepentingan-kepentingan mereka sendiri
yang coba mereka lindungi. Pertanyaannya kemudian, siapa yang memiliki
kekuasaan untuk menentukan apa yang baik untuk publik, dan substansi masalah
yang diperdebatkan menjadi pengganti (proxy)
perjuangan yang tak ada habisnya untuk mendapatkan kekuasaan itu. Faktor-faktor
ini menekankan hasrat untuk mencari dukungan ideal budaya bagi setiap proposisi
kebijakan dan tindakan publik, karena hal itu tidak akan dengan mudah ditolak
oleh para penjaga kemapanan dan kebaikan masyarakat, yang menunjuk dirinya
sendiri.
Penekanan saya terhadap peran
aktor-aktor dan wacana-wacana internal untuk legitimasi kultural atas perubahan
sosial tidak menghalangi peran yang bisa dimainkan oleh orang luar (outsiders) dalam mempromosikan
perubahan. Tapi aktor-aktor eksternal bisa mempengaruhi situasi internal dengan
baik dengan cara mengikuti wacana internal dalam masyarakat mereka sendiri
untuk memperjuangkan nilai-nilai yang sama, dengan demikian para partisipan
dalam sebuah kebudayaan mampu menunjukkan proses yang sama yang terjadi dalam
kebudayaan-kebudayaan lain. Aktor-aktor eksternal juga bisa membantu mendukung
hak-hak para partisipan internal untuk menentang persepsi-persepsi yang
berlaku, tanpa harus mengintervensi karena hal ini dapat meruntuhkan
kredibilitas aktor-aktor internal. Para pendukung perubahan dalam berbagai masyarakat dapat juga menggunakan
dialog lintas kebudayaan untuk pertukaran wawasan dan strategi wacana internal
dan mendukung penerimaan global atas tujuan-tujuan bersama mereka. Dialog
lintas kebudayaan juga bisa menyebarluaskan universalitas nilai-nilai bersama
pada tingkat teoretis dan konseptual dengan menggarisbawahi keumuman moral dan
filosofis dari kebudayaan-kebudayaan dan pengalaman-pengalaman manusia.
Peran Agensi Manusia
Seperti telah ditekankan, guna
menjadikan setiap inisiatif perubahan sosial mengakar dan menjadi praktik
sosial yang mapan, maka inisiatif itu harus terjalin berkelindan di dalam
tekstur kehidupan sehari-hari dan praktik-praktik sosial masyarakat. Watak
proses ini yang lapang dan berjangkauan luas jelas mengindikasikan bahwa perlu
adanya aksi di tingkat negara maupun di tingkat masyarakat, dan dua dimensi
perubahan ini harus saling mendukung dan saling melengkapi. Metodologi
pengamanan legitimasi kultural bagi perubahan sosial juga menekankan strategi
perubahan pada tingkat hukum dan kebijakan, sekaligus menjadikan
perubahan-perubahan kebijakan itu bermakna dalam kehidupan budaya dan sosial
masyarakat. Tapi, pendekatan ini mengasumsikan tipe hubungan tertentu antara
negara dan warga negaranya.
Mengharapkan
negara bertindak sebagai agensi perubahan institusional yang diinginkan bukan
berarti bahwa negara adalah entitas otonom yang bisa bertindak sendiri terbebas
dari kekuatan politik dan sosial di dalam masyarakat, atau terbebas sama sekali
dari hambatan-hambatan sumberdaya atau faktor lainnya. Kenyataannya, watak dan
struktur negara dan kemauan serta kemampuannya untuk bertindak menyeluruh
merupakan hasil dari proses politik, ekonomi serta sosiologis internal, dan
juga pengaruh-pengaruh eksternal dan internasional. Mengingat sebuah entitas
politik tidak memiliki eksistensi yang independen dari orang-orang yang mengontrolnya
dan dari mereka yang menerima perintah-perintahnya, maka kemampuan para pejabat
untuk bertindak pasti bersifat politis. Meskipun kalangan elit yang mengontrol
negara memiliki sumberdaya material dan kekuatan memaksa, mereka bergantung
pada kesediaan masyarakat untuk menerima atau setidaknya tak berkeberatan
dengan tindakan-tindakan negara. Hal ini semata-mata karena mereka yang
mengendalikan negara merupakan sekelompok kecil dari orang-orang yang menerima
otoritas negara, dan kemampuan mereka untuk memaksakan kehendak melalui
kekuatan langsung tak mempan di hadapan resistensi berskala besar dan terus
menerus. Oleh karena itu, mereka yang mengontrol negara perlu meyakinkan
mayoritas besar agar tunduk kepada kekuasaan dan otoritas mereka, acap dengan
cara mengklaim bahwa mereka mewakili kehendak mayoritas atau bertindak atas
kepentingan mayoritas tersebut.
Mengatakan
bahwa masyarakat menerima atau menyetujui kebijakan-kebijakan ini tanpa protes,
karena mereka tidak tahu apa yang baik bagi mereka, merupakan kesombongan dan
pelecehan. Hal itu mungkin asumsi-asumsi dari upaya eksternal untuk memaksakan
hak-hak asasi manusia atau sistem normatif lain dalam sebuah masyarakat.
Masyarakat tidak akan tunduk kepada otoritas yang mengancam atau merusak kepentingan
dasar mereka terhadap eksistensi manusia, baik otoritas itu berdasarkan
kekuatan tradisi, atau sikap moral dan keagamaan elit yang berkuasa. Yang saya
maksud dengan eksistensi manusia di sini lebih dari sekadar bertahan hidup
secara fisik, tapi juga mencakup rasa keadilan sosial dan martabat manusia.
Oleh karena itu, tantangan bagi para pendukung perubahan adalah memobilisasi
kebutuhan-kebutuhan masyarakat untuk memperoleh keadilan dan martabat agar
dapat mengatasi kekuatan psikologis maupun material dari otoritas lawan dan
juga dapat mengatasi risiko-risiko tekanan yang brutal. Mungkin benar bahwa
masyarakat secara kultural dikondisikan untuk tunduk kepada otoritas
tradisional atau pemimpin-pemimpin keagamaan, tapi kecenderungan ini akan
berkurang proporsinya menghadapi kejernihan pandangan-pandangan bahwa perubahan
sosial yang dikemukakan cukup meyakinkan untuk mengatasi pengkondisian seperti
itu. Dengan kata lain, lemahnya tekad masyarakat untuk melawan pelanggaran
hak-hak asasi manusia menggambarkan kekurangan atau kelemahan keyakinan bahwa
hak-hak asasi manusia itu penting bagi eksistensi kemanusiaan mereka. Oleh
karena itu, cara mengatasinya adalah dengan menaikkan tingkat keyakinan
masyarakat bahwa hak-hak itu merupakan sesuatu yang bernilai dan mendasar bagi
kehidupan dan kesejahteraan mereka.
Tapi kunci utama untuk semua ini
adalah kemampuan agensi manusia dari para pendukung perubahan sosial untuk
memotivasi agensi manusia dari masyarakat umum untuk mendukung perubahan, baik
dalam artian hak-hak asasi manusia atau yang lainnya. Oleh karena itu,
metodologi legitimasi kultural menekankan peran sentral agensi manusia dengan
menempatkan dorongan untuk berubah dalam kehidupan kultural dan kehidupan
sosial komunitas-komunitas dan individu-individu, ketimbang memandang
orang-orang dan komunitas-komunitas sebagai subyek perubahan yang pasif. Pada
saat yang sama, agensi manusia beroperasi dalam konteks jaringan aksi dan
interaksi sosial, yang menekankan pentingnya kolaborasi dan kooperasi. Jelas
tak ada yang terjadi dalam hubungan-hubungan antar manusia, apakah baik atau
buruk, kecuali melalui agensi beberapa orang atau kelompok yang bertindak atau
gagal bertindak. Tapi juga jelas bahwa konsepsi peran agensi manusia ini mesti
mencakup semua umat manusia, khususnya di dunia global saat ini, dan tidak bisa
dibatasi hanya pada umat Islam saja. Konsekuensinya hasil dari agensi manusia
dalam semua masyarakat juga tergantung pada apa yang terjadi di dunia sekitar
kita, tidak hanya pada apa yang terjadi di dalam masyarakat atau komunitas kita
sendiri.
Kalau hal ini dihubungkan dengan
perspektif Islam yang merupakan fokus utama buku ini, sejarah pemikiran Islam
juga menunjukkan bahwa agensi manusia berperan penting dalam perkembangan
syariah. Seperti yang telah ditekankan sebelumnya dan akan didiskusikan lebih
lanjut dalam bab-bab berikut, sifat yang melekat pada syariah merupakan produk
interpretasi-interpretasi manusia terhadap Al-Quran dan Sunnah Nabi. Proses ini
dijalankan oleh para ulama dan fuqaha yang mengembangkan dan menerapkan
sumber-sumber itu atau metodologi (ushul-al-fiqh)
secara benar-benar mandiri dari negara, namun dengan mempertimbangkan
keadaan-keadaan dan urusan-urusan komunitas dan institusi-institusi politik
mereka. Para ulama itu juga menerima keragaman
pendapat sebagai sesuatu yang sehat dan sebagai ciri kreatif karya mereka,
sembari tetap mencoba memperkuat konsesus di antara mereka sendiri dan
komunitas mereka. Jadi, setiap prinsip syariah ditetapkan melalui konsesus (ijma’) dan dengan sukarela diterima oleh
umat Islam secara luas, dan tak pernah melalui otoritas institusional, baik
resmi ataupun bukan. Dengan kata lain, validitas dan otoritas yang mengikat
dari prinsip-prinsip syariah selalu merupakan hasil agensi manusia dari para
ulama dan komunitas-komunitas umat Islam, yang berlangsung dari generasi ke
generasi.
Apresiasi terhadap sentralitas
agensi manusia, apakah dalam interpretasi syariah atau perubahan sosial, secara
umum membuka segenap kemungkinan kreatif untuk reformasi dan transformasi.
Apresiasi ini terutama sekali berguna pada saat krisis yang sangat hebat,
seperti yang dialami oleh masyarakat dan komunitas-komunitas Islam sekarang
ini, karena krisis itu mendorong mereka untuk mempertanyakan asumsi-asumsi dan
menyoal mengapa institusi-institusi yang ada gagal mewujudkan janji-janji
kemerdekaan dan pembangunan. Krisis-krisis ini membuka kesempatan-kesempatan
baru bagi agensi kreatif manusia, dan kesempatan itu membuat masyarakat mampu
mengontrol kehidupan mereka sendiri dan menyadari tujuan-tujuan mereka sendiri,
dengan demikian menjadi sumber dan penyebab jenis transformasi yang saya
maksud. Tapi kita tidak mungkin duduk diam dan mengharapkan hasil yang
diinginkan terjadi dengan sendirinya, karena masyarakat telah mengalami krisis
yang sangat dalam. Kita mesti memakai agensi manusia kita melalui refleksi
teoretis dan implementasi praktis untuk memajukan inisiatif untuk sebuah
perubahan sosial yang kita inginkan. Benar bahwa, seperti yang dikatakan Kurt
Lewin, “tak ada yang begitu praktis selain teori yang bagus.”[1]
Tapi dalam pandangan saya teori apa pun hanya praktis jika mungkin dan dapat
digunakan manusia secara langsung dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dari
perspektif ini saya menguraikan apa yang saya harap menjadi teori yang bagus
yang bisa memobilisasi dan memotivasi umat Islam di manapun untuk melakukan
transformasi sosial yang positif.
Elemen-Elemen
Teori Hubungan Islam, Negara, dan Masyarakat
Mengingat kembali apa yang saya katakan di awal bab ini,
tujuan dari teori hubungan antara Islam, negara dan masyarakat yang dikemukakan
adalah memastikan pemisahan institusional antara Islam dan negara, betapapun
organis dan tak dapat dielakkannya hubungan Islam dengan politik. Bagian
pertama dari proposisi ini terdengar seperti ‘sekularisme’ sebagaimana yang
umum dipahami saat ini, namun bagian kedua mengindikasikan sebaliknya. Hubungan
antara agama (dalam hal ini, Islam), negara dan masyarakat selalu merupakan
hasil sebuah negosiasi konstan dan sangat kontekstual, bukan sebuah formula
yang sudah jadi; baik itu formula pemisahan total atau penyatuan total agama
dan negara.
Dengan
risiko berterus terang guna menghindari kebingungan dan kesalahpahaman terhadap
apa yang saya maksudkan, berbagai macam pemahaman syariah, tentu saja, akan tetap
menjadi perkara kebebasan beragama dalam kehidupan praktis individu maupun
kolektif, tapi juga akan tunduk kepada perisai-perisai konstitusional yang
mapan. Yang menjadi persoalan adalah
prinsip-prinsip syariah tidak bisa diselenggarakan sebagai hukum atau kebijakan
negara hanya berdasarkan prinsip itu semata, karena sekali sebuah prinsip atau
norma dicirikan secara resmi sebagai ‘Sabda Tuhan’, akan menjadi sangat sulit
untuk melawan atau mengubah penerapannya dalam kehidupan praktis. Pada saat
yang sama, integritas Islam sebagai agama akan menurun di mata para penganutnya maupun penganut agama lain manakala
institusi-institusi dan pejabat-pejabat negara gagal mewujudkan janji kebebasan
individual dan keadilan sosial. Mengingat prinsip-prinsip etis dan nilai-nilai
sosial Islam sangat diperlukan untuk menfungsikan masyarakat Islam secara baik,
maka implementasi prinsip-prinsip dan nilai-nilai itu harus sesuai dengan, dan
sangat dituntut oleh, hak-hak kaum Muslim untuk menentukan nasibnya sendiri.
Hak ini hanya bisa direalisasikan dalam kerangka kerja pemerintahan yang
konstitusional dan demokratis dan hukum internasional karena hal-hal ini pada
dasarnya merupakan landasan hukum dan politis yang utama dari hak ini. Hak
menentukan nasib sendiri mensyaratkan azas konstitusional yang diperoleh dari
kehendak kolektif seluruh penduduk, dan hak ini bisa ditekankan terhadap
negara-negara lain karena diterima sebagai prinsip pokok hukum internasional.
Paradoks
pemisahan (netralitas agama) dan keterhubungan ini hanya bisa ditengahi melalui
praktik yang ajek, bukan melalui analisis atau ketentuan teoritis. Masalahnya
kemudian adalah bagaimana menciptakan kondisi yang paling kondusif agar mediasi
ini dapat terus berlanjut dengan cara yang konstruktif, daripada mengharapkan
penyelesaian tuntas sekali dan selamanya. Dua kutub yang harus ditengahi bisa
diklarifikasi sebagai berikut. Pertama,
negara teritorial modern seharusnya tidak mencoba menjalankan syariah sebagai
hukum positif dan kebijakan publik, juga tak mengklaim penafsiran
dokrin-doktrin dan prinsip-prinsipnya bagi warga negara Muslim. Kedua, prinsip-prinsip syariah dapat dan
seharusnya menjadi sumber kebijakan dan perundang-undangan publik, tunduk kepada hak-hak konstitusional
dan hak-hak asasi manusia bagi seluruh warga negara, laki-laki dan perempuan,
Muslim dan non-Muslim tanpa diskriminasi. Mediasi ini karenanya menuntut
pembaruan aspek-aspek syariah tertentu. Dengan kata lain, prinsip-prinsip
syariah tidak bisa menjadi hak istimewa atau dipaksakan begitu saja, tidak juga
ditolak sebagai sumber hukum dan kebijakan negara. Keyakinan sebagian besar
warga negara sekalipun bahwa prinsip-prinsip syariah merupakan kewajiban agama
yang mengikat harus tetap menjadi azas bagi pelaksanaan ibadah kolektif dan
individual di kalangan para penganut, tapi tidak bisa digunakan begitu saja
sebagai dasar bagi pelaksanaannya oleh negara. Saya melihat pandangan ini tidak
hanya sebagai perkara prinsipil, tetapi pandangan ini sangat membantu untuk
meyakinkan umat Islam bahwa sekularisme bukan berarti membuang Islam dari
kehidupan publik. Sekarang saya akan menjelaskan dengan singkat bagaimana dua
elemen utama dari teori ini bisa berjalan bareng dalam mempromosikan kebebasan
individu dan keadilan sosial dalam masyarakat Islam.
Mengingat
pemerintahan yang efektif menuntut diambilnya kebijakan-kebijakan yang spesifik
dan diundangkannya hukum-hukum yang tepat, badan-badan eksekutif dan legislatif
negara mesti memilih satu dari sejumlah pandangan yang berlawanan dalam korpus
prinsip-prinsip syariah yang kompleks dan massif, sebagaimana telah disebutkan
di awal. Pemilihan itu akan serta merta dibuat oleh elit yang berkuasa. Ketika
kebijakan atau hukum ditampilkan sebagai amanah ‘Kehendak Tuhan’, akan sulit
bagi masyarakat umum untuk menentang atau melawannya. Sebagai contoh, ada
sebuah prinsip syariah yang begitu mapan, yang dikenal dengan istilah khulu’, yaitu seorang istri bisa
membayar sejumlah uang yang disetujui (atau tidak mengambil hak finansialnya)
untuk membujuk suaminya agar mau bercerai. Namun pilihan ini tidak ada di Mesir
hingga pemerintah memutuskan untuk mengundangkan prinsip syariah ini pada tahun
2000. Fakta bahwa prinsip ini merupakan bagian syariah tidak serta merta
membuatnya dapat diterapkan di Mesir hingga negara memutuskan untuk
menerapkannya. Tambah lagi, hukum ini jelas memberikan jalan keluar bagi
perempuan Mesir dari perkawinan yang buruk, tapi ketentuan bahwa khulu’ hanya dimungkinkan bila istri
mengeluarkan biaya yang besar tidak bisa digugat, karena hukum ini dibuat dalam
rangka ‘pengundangan’ prinsip syariah, bukan semata-mata untuk menghasilkan
kebijakan publik yang baik. Karena perundang-undangan ini dibingkai dalam
kerangka prinsip-prinsip Islam yang mengikat, kemungkinan dan syarat-syarat
pemutusan perkawinan yang sah tetap dibatasi oleh prinsip-prinsip umum syariah
seperti yang dirumuskan oleh para ulama ribuan tahun yang silam. Pandangan yang
lebih umum yang ingin saya kemukakan di sini adalah bahwa subyektifitas dan
diversitas inheren dalam prinsip-prinsip syariah mengandung arti bahwa apa pun
yang dijadikan undang-undang dan diselenggarakan oleh negara adalah kehendak
politik dari elit yang berkuasa, bukan merupakan sistem normatif Islam
sebagaimana adanya. Namun, kebijakan-kebijakan dan perundang-undangan itu akan
sulit ditolak atau bahkan didebat manakala ia ditampilkan sebagai kehendak
Tuhan.
Untuk
menghindari kesulitan-kesulitan seperti itu, saya mengusulkan bahwa alasan bagi
semua kebijakan publik dan perundang-undangan harus selalu didasarkan pada ‘nalar
publik’, seperti yang telah diterangkan di awal. Muslim dan para penganut agama
lain harus bisa mengajukan prakarsa-prakarsa pembuatan kebijakan publik dan
undang-undang yang terpancar dari keyakinan-keyakinan mereka, dengan syarat mereka dapat mendukungnya
dalam debat publik, yang bebas dan terbuka dengan alasan-alasan yang dapat
diterima dan meyakinkan warga negara secara umum, tanpa memandang agama atau
keyakinan-keyakinan mereka. Tapi karena keputusan-keputusan dalam praktiknya
akan dibuat oleh suara mayoritas yang sesuai dengan prinsip-prinsip demokratis,
seluruh tindakan negara juga harus selaras dengan perisai-perisai
kostitusionalisme dan hak asasi manusia yang melawan tirani mayoritas. Dengan
begitu, mayoritas, misalnya, tidak akan bisa menolak keberatan-keberatan atas
kebijakan atau perundang-undangan yang melanggar syarat-syarat dasar kesetaraan
dan non-diskriminasi. Proposisi-proposisi ini telah seharusnya menjadi landasan
bagi pemerintah yang sah di sebagian besar masyarakat Islam sekarang ini.
Namun, proposisi-proposisi itu tidak mungkin diterapkan dengan serius oleh
sebagian besar Muslim, kecuali apabila dirasa sesuai dengan pemahaman Islam
mereka. Kenyataan inilah yang menjadi alasan pokok yang mendesak saya untuk
mempresentasikan teori saya dari perspektif Islam, termasuk menghimbau
dilakukannya reformasi terhadap interpretasi tradisional syariah tertentu.
Pendekatan Kontekstual
terhadap Sekularisme sebagai Mediasi
Seperti yang telah diuraikan dengan
singkat di awal, ada pertimbangan-pertimbangan yang baik untuk menghindari
istilah sekularisme. Tapi ada pertimbangan-pertimbangan yang baik pula untuk
menggunakan istilah ini guna merehabilitasi konsep tersebut dengan melakukan
analisis komparatif. Lagi pula, banyak masyarakat Islam, dari Senegal, Turki
sampai negara-negara republik di Asia Tengah, telah terang-terangan menerima
istilah ‘sekularisme’ dalam wacana konstitusi dan politik di negeri mereka.
Sementara makna dan implikasi-implikasi dari pemakaian seperti itu seharusnya
dipahami dan dinilai dalam setiap kasus dan dalam setiap konteksnya, penggunaan
umum istilah itu seharusnya tidak diabaikan. Dengan mempertimbangkan
faktor-faktor tersebut, saya akan menggunakan istilah sekularisme sambil tetap
mencoba menghindari implikasi-implikasi negatifnya dengan menekankan
elemen-elemen yang terdapat dalam teori yang diusulkan.
Kata
sekuler dalam bahasa Inggris berasal dari kata Latin saeculum, yang artinya ‘periode besar waktu’ atau lebih dekat
‘spirit zaman’. Belakangan, maknanya berubah menjadi ‘dunia ini’, yang secara
tak langsung berarti ada lebih dari satu dunia. Istilah ini akhirnya
diterjemahkan menjadi konsep "sekuler" dan "religius" yang
berasal dari ide temporal dan spiritual. Istilah ini juga berkembang dalam
konteks Eropa dari ‘sekularisasi’ dalam artian privatisasi wilayah-wilayah
gereja, hingga sekularisasi politik, dan kemudian seni serta ekonomi. Garis
perkembangan ini tergambar dalam definisi sekularisme di kamus Webster:
‘pengabaian atau penolakan atau pengasingan agama atau pertimbangan-pertimbangan
keagamaan’. The Short Oxford Dictionary mendefinisikan
sekularisme sebagai ‘doktrin bahwa moralitas seharusnya semata-mata didasarkan
pada penghargaan atas umat manusia dalam kehidupannya sekarang ini, dengan
membuang semua pertimbangan yang diambil dari keyakinan pada Tuhan atau hari
akhirat. Oleh karena itu, istilah ini sering digunakan untuk menandakan
gagasan-gagasan, seperti kemunduran agama, kesesuaian dengan kehidupan masa
kini, pemisahan dan pembedaan masyarakat dari agama (pemisahan gereja dan
negara), transposisi keyakinan-keyakinan dan institusi-institusi agama (beralih
dari sumber kekuasan Tuhan ke sebuah gejala kemampuan dan kreasi manusia),
‘desakralisasi’ dunia dan kemudian ‘sakralisasi’ akal pikiran.
Dari
perspektif sangat kontekstual yang saya kemukakan dalam buku ini,
pandangan-pandangan tentang sekularisme yang saya sebutkan tadi sebagian besar
merupakan gambaran-gambaran tentang bagaimana konsep ini berkembang di berbagai
negara Eropa dan Amerika Utara, masing-masing dengan caranya sendiri-sendiri.
Seperti yang akan ditunjukkan dalam bab 4, konsep-konsep sekularisme sebegitu
rupa diperdebatkan di dalam dan di antara masyarakat-masyarakat yang berbeda,
sehingga tidak ada pemahaman dan praktik yang sistematis dan seragam atas
prinsip itu, yang bisa cocok dengan satu definisi tertentu. Karena pada
kenyataannya sekularisme adalah konsep multidimensional yang menggambarkan
elemen-elemen lanskap sejarah, politik, sosial dan ekonomi suatu negara.
Demikian pula, sekularisme bagi beragam masyarat Islam harus pula
mempertimbangkan dimensi keagamaan dalam kehidupan komunitas-komunitas lokal,
daripada dilihat sebagai usaha untuk memaksakan gagasan-gagasan yang telah
terbentuk sebelumnya tentang peminggiran agama ke domain pribadi. Negara dan
berbagai organ dan institusinya dipikirkan dan dijalankan di mana-mana oleh
orang-orang yang keyakinan agama dan filosofisnya tercermin dalam pemikiran dan
tingkah laku mereka. Namun, elit-elit yang berkuasa tidak bisa memaksakan
pandangan agama mereka pada orang lain, meskipun mereka berusaha melakukannya
pasti mereka akan tersandung pada persoalan-persoalan yang serius. Ketegangan
di dalam hubungan-hubungan ini dan kebutuhan untuk menengahinya seharusnya
diakui dan diatur, daripada menuntut hal yang tak mungkin berhasil; pemisahan
atau penyatuan total agama dan negara.
Alasan lain
pentingnya pemahaman sekularisme sebagai mediasi adalah bahwa membatasi konsep
ini pada pemisahan agama dan negara bisa memudahkan bersatunya
komunitas-komunitas agama yang beragam ke dalam sebuah komunitas politik,
semata-mata karena konsep yang demikian hanya membuat klaim-klaim moral yang
rendah atas komunitas dan anggotanya. Benar bahwa sekularisme tidak netral
secara moral, karena sekularisme mesti menganjurkan etos kewarganegaraan
tertentu untuk mencapai tujuan memisahkan agama dan negara, yang bisa sangat
maju dan ketat. Namun syarat-syarat moral dan etis konsep ini harus tetap
rendah guna mencapai dan mempertahankan konsensus di antara tradisi-tradisi
agama dan filsafat yang saling berlawanan. Dengan kata lain, alih-alih
menyatukan komunitas-komunitas agama yang berbeda, prinsip ini malah bersifat
memecah belah, manakala ia mengklaim untuk memenuhi kebutuhan di luar pemisahan
agama dan negara demi kepentingan hidup berdampingan secara damai, dan dalam
rangka menanggapi persoalan-persoalan moral dan etis yang lebih luas, terhadap
mana masyarakat cenderung untuk semakin tidak setuju. Kebutuhan akan kandungan
moral dan etis yang minimal juga berarti bahwa sekularisme dalam pengertian
pengasingan tegas agama dari domain publik akan gagal mengilhami dan memotivasi
kaum beriman karena tidak bersandar pada fondasi atau justifikasi keagamaan.
Jadi,
tuntutan pemisahan yang tegas tanpa memperhitungkan peran publik agama tidaklah
realistis dan menyesatkan. Tidak realistis karena ini merupakan pandangan
negatif mengenai hubungan agama dan kebijakan publik, menekankan pengasingan
etika agama tanpa memberikan alternatif, sehingga gagal mempertimbangkan
fondasi-fondasi etis dan moral sebuah kebijakan publik. Pandangan ini juga
menyesatkan karena pada kenyataannya ia diam-diam mengasumsikan sebuah
moralitas agama yang terpisah dari kebudayaan setiap masyarakat. Soal-soal
kebijakan publik, seperti apakah aborsi harus dilegalkan atau tidak, atau
bagaimana hak asuh anak setelah perceraian, pasti berdasarkan pada sejumlah
fondasi yang dipengaruhi, jika tidak dibentuk secara signifikan, oleh agama
dalam masyarakat manapun. Oleh karena itu, sekularisme apabila hanya dimaknai
sebagai pemisahan agama dan negara, tidak sanggup memenuhi tuntutan kolektif
kebijakan publik. Tambah lagi, pemisahan seperti itu dengan sendirinya tidak
bisa memberikan pedoman yang cukup bagi warga negara dalam membuat pilihan
personal yang penting dalam kehidupan pribadi atau kehidupan publiknya.
Lagi pula,
sekularisme yang hanya sekadar berarti pemisahkan agama dan negara tidak akan
cukup untuk menghadapi keberatan-keberatan atau keraguan-raguan yang dimiliki
oleh para penganut agama terhadap norma-norma konstitusional dan
standar-standar hak-hak asasi manusia tertentu. Sebagai contoh, karena
diskriminasi terhadap perempuan dalam masyarakat Islam sering dijustifikasi
dengan alasan-alasan keagamaan, sumber yang dipakai untuk menjustifikasi
pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis dan besar ini tidak bisa
dieliminasi tanpa membicarakan dasar pemikiran keagamaan yang diterima secara
umum. Ini juga mesti dilakukan tanpa melanggar kebebasan agama atau keyakinan
Muslim, yang juga merupakan hak asasi manusia. Wacana sekuler dalam artian
semata-mata pemisahan memang bisa menunjukkan rasa hormat pada agama secara
umum, seperti yang bisa disaksikan di masyarakat Eropa Barat dan Amerika Utara
saat ini, yang bertolak belakang dengan praktik masyarakat Islam. Namun
demikian, wacana seperti ini tak mungkin berhasil menangkis
justifikasi-justifikasi keagamaan terhadap diskriminasi tanpa menggunakan
argumen-balik keagamaan juga. Sebaliknya, prinsip sekularisme yang, memasukkan
peran publik agama seperti yang saya usulkan di sini bisa mendorong dan
menfasilitasi perdebatan dan perbedaan pendapat di dalam tradisi keagamaan
sehingga bisa mengatasi keberatan-keberatan yang berlandaskan agama itu. Ketika
masyarakat memastikan bahwa negara netral terhadap agama, kekuasaan negara yang
memaksa tidak bisa digunakan untuk menekan perdebatan dan perbedaan pendapat.
Namun, ruang aman itu masih perlu digunakan secara aktif oleh warga negara
untuk menyebarkan pandangan keagamaan yang mendukung kesetaraan perempuan dan
hak-hak asasi manusia yang lain. Nyatanya, pandangan seperti itu diperlukan
untuk menyebarluaskan legitimasi keagamaan bagi doktrin pemisahan agama dan
negara itu sendiri, dan juga prinsip-prinsip umum yang lain seperti
konstitusionalisme dan hak-hak asasi manusia.
Memperkenankan
prinsip-prinsip syariah untuk memainkan peran positif dalam kehidupan publik
tanpa begitu saja mengimplementasikannya melalui hukum dan kebijakan merupakan
keseimbangan pelik yang harus dijaga sepanjang waktu. Sebagai contoh,
persoalan-persoalan seperti gaya berpakaian dan pendidikan agama biasanya akan
tetap menjadi pilihan bebas, tapi juga bisa menjadi subyek perdebatan publik,
bahkan tuntutan kepada pengadilan konstitusional, untuk menyeimbangkan
klaim-klaim yang berlawanan. Ini bisa terjadi menyangkut, misalnya,
syarat-syarat pakaian yang disarankan untuk keamanan di tempat kerja atau
kebutuhan akan pendidikan agama kritis dan komparatif di sekolah-sekolah negeri
guna meningkatkan toleransi beragama dan sekularisme. Saya tidak mengatakan
bahwa konteks dan kondisi-kondisi untuk bebas memilih pakaian atau pendidikan
agama tidak akan kontroversial. Kenyataannya, persoalan seperti itu mungkin
menjadi sangat kompleks pada tingkat personal dan masyarakat tertentu. Namun,
fokus perhatian saya adalah memastikan kondisi-kondisi sosial, politik dan
hukum yang sedapat mungkin adil, terbuka dan inklusif bagi terjadinya negosiasi
kebijakan publik dalam persoalan-persoalan seperti itu. Kondisi-kondisi
tersebut bisa dijamin, contohnya, melalui penguatan hak-hak dasar personal dan
komunitas, seperti hak untuk mendapat pendidikan, kebebasan beragama, dan
kebebasan berekspresi, di satu sisi, dan pertimbangan yang sepatutnya terhadap
kepentingan dan urusan publik yang absah, di sisi lain. Tak ada formula yang
sederhana atau khusus yang bisa diaplikasikan secara otomatis dalam setiap
kasus, meskipun prinsip-prinsip umum dan kerangka yang lebih luas untuk
menengahi persoalan-persoalan seperti itu akan muncul dan terus berkembang di
dalam setiap masyarakat.
Untuk
sekadar mengulang, anjuran saya untuk mengakui dan mengatur peran politik Islam
tak dapat dipertahankan tanpa reformasi Islam yang signifikan. Saya percaya
bahwa sangat penting bagi masyarakat Islam sekarang untuk menanamkan prinsip
keteraturan hukum dan perlindungan hak-hak asasi manusia dalam politik domestik
dan hubungan-hubungan internasional mereka. Ini tidak mungkin terjadi jika
interpretasi-interpretasi tradisional syariah yang mendukung prinsip-prinsip
seperti perwalian perempuan (qawamah),
penguasaan Muslim atas non-Muslim (dzimmah)
dan jihad yang agresif dan penuh
kekerasan, tetap dipertahankan. Reformasi yang signifikan atas
pandangan-pandangan seperti itu perlu karena pengaruhnya yang sangat kuat pada
hubungan-hubungan sosial dan perilaku politik umat Islam, bahkan ketika
prinsip-prinsip syariah secara tidak langsung diselenggarakan oleh negara. Satu
alasan dari seluruh pendekatan saya adalah umat Islam tidak mungkin secara
aktif mendukung prinsip-prinsip hak-hak asasi manusia dan secara efektif ikut
serta dalam proses pemerintahan demokratis yang konstitusional jika mereka
terus mempertahankan pandangan seperti itu sebagai bagian dari pemahaman
syariah. Pentingnya rekonsiliasi ini juga dapat terlihat dari refleksi tentang watak negara teritorial
modern dan warga negaranya berikut ini.
Negara bersifat Teritorial, bukan Islami
Konsekuensi
yang tak dapat dielakkan dari interpretasi manusia atas teks-teks Islam,
seperti yang telah ditekankan di awal, adalah bahwa pandangan-pandangan
alternatif tentang Islam dan formulasi prinsip-prinsip syariah selalu mungkin,
dan bisa sama-sama valid jika diterima oleh umat Islam. Karena tidak mungkin
mengetahui apakah Muslim atau non-Muslim akan menerima atau menolak suatu
pandangan kecuali pandangan itu diungkapkan dan diperdebatkan secara terbuka
dan bebas, sangatlah perlu untuk mempertahankan kebebasan agar opini, keyakinan
dan uangkapan keyakinan terus muncul dan tersebar. Oleh karena itu, ide sensor
secara inheren bersifat destruktif dan kontraproduktif bagi perkembangan prinsip
dan doktrin Islam; karenanya sangat penting menjaga kemungkinan-kemungkinan
perbedaan pendapat sebagai satu-satunya jalan agar tradisi tetap responsif
terhadap kebutuhan para penganutnya. Seperti yang nantinya diterangkan dan
didiskusikan pada bab-bab selanjutnya, ruang yang diperlukan untuk perbedaan
pendapat dan perdebatan itu saat ini diamankan dengan sangat baik melalui
pemerintahan demokratis yang konstitusional dan perlindungan hak-hak asasi
manusia. Dengan kata lain, konsep-konsep modern dan institusi-institusi yang
digunakan untuk implementasinya tidak hanya perlu bagi kebebasan beragama warga
negara Muslim dan non Muslim di negara teritorial saat ini, tapi juga untuk
mempertahankan dan mengembangkan Islam itu sendiri. Sebenarnya, kebebasan berbeda
pendapat dan perdebatan adalah hal yang essensial bagi perkembangan syariah itu
sendiri karena hal itu memberikan kemungkinan bagi muncul dan berkembangnya
konsensus secara bebas di seputar pandangan tertentu, yang menjadi matang dalam
prinsip-prinsip yang mapan melalui penerimaan dan praktik oleh
generasi-generasi Muslim dalam aneka ragam situasi yang melingkupinya.
Dari
perspektif ini saya menentang ide negara Islam yang menjadikan syariah sebagai
hukum positif dan kebijakan resmi negara karena alasan-alasan yang sudah
diringkas di awal dan akan didiskusikan di bab-bab selanjutnya. Jika
klaim-klaim itu benar, negara seperti itu akan diwajibkan untuk
mengimplementasikan prinsip-prinsip syariah tradisional seperti sistem dzimmah yang tidak mungkin bisa menerima
non Muslim menjadi warga negara. Ide dasar dari sistem ini adalah bahwa setelah
penaklukan dan penyatuan wilayah-wilayah baru melalui jihad, Ahli Kitab (terutama Kristen dan Yahudi) harus diperbolehkan
tinggal di sana sebagai komunitas yang dilindungi karena mereka tunduk kepada
kedaulatan Islam, tapi mereka tidak bisa menikmati persamaan dengan umat Islam.
Maka siapa yang dianggap kafir oleh standar-standar syariah sama sekali tidak
diizinkan hidup di dalam wilayah negara tersebut kecuali di bawah hubungan aman
sementara (aman). Gagasan-gagasan
demikian sekarang sangat jelas tak dapat dipertahankan secara moral dan
politis, bahkan pendukung-pendukung negara Islam yang paling bersemangat pun
tidak mendiskusikan penerapan gagasan itu dalam realitas-realitas negara-negara
teritorial yang pluralistik sekarang ini yang secara total terintegrasi ke
dalam sistem ekonomi, politik dan hukum internasional.
Oleh karena
itu, apa pun kemungkinan perubahan dan perkembangan yang bisa diusulkan mesti
dimulai dengan kenyataan bahwa kolonialisme Eropa dan akibat-akibatnya secara
drastis telah mengubah dasar dan sifat organisasi sosial dan politik di dalam
dan di antara negara-negara teritorial tempat umat Islam hidup sekarang.
Perubahan ini begitu mendasar dan berurat
berakar, sehingga kembali ke ide-ide dan sistem-sistem sebelum penjajahan
bukanlah pilihan yang mudah. Perubahan dan adaptasi apa pun pada sistem yang
berlaku sekarang ini hanya bisa diupayakan dan diwujudkan melalui konsep-konsep dan institusi-institusi yang lahir dari
realitas poskolonial baik lokal maupun global ini. Namun banyak umat Islam, dan
mungkin mayoritas di banyak negara, tidak menerima aspek-aspek dari
transformasi ini dan konsekuensi-konsekuensinya. Penolakan ini tampaknya yang
mendasari dukungan nyata umat Islam terhadap kemungkinan negara Islam yang bisa
melaksanakan prinsip-prinsip syariah sebagai hukum positif dan yang menyebabkan
ambivalensi yang luas tentang
kekerasan bermotif politik atas nama jihad.
Sangat perlu melakukan reformasi Islam yang signifikan dengan menformulasi
ulang aspek-aspek syariah yang problematis tersebut, tapi tidak harus dan tidak
berarti pengadopsian teori dan praktik Barat yang memang dominan dalam
bidang-bidang ini secara besar-besaran dan tanpa kritik. Untuk mengilustrasikan
jenis transformasi Islam internal yang saya maksud, saya akan meninjau secara
singkat bagaimana gagasan-gagasan tradisional syariah mengenai dzimmah seharusnya dikembangkan menjadi
prinsip-prinsip kewarganegaraan yang humanis dan masuk akal, seperti yang
didiskusikan dalam bab 3. Pengembangan gagasan-gagasan tersebut perlu
memperhatikan pertimbangan-pertimbangan berikut ini.
Pertama, umat manusia cenderung mencoba
dan mengalami tipe-tipe dan bentuk-bentuk ganda dan tumpang tindih keanggotaan
dalam kelompok-kelompok yang berbeda berdasarkan etnis, identitas keagamaan
atau kultural, afiliasi profesional, sosial atau politik, kepentingan ekonomi
dan seterusnya. Kedua, makna dan
implikasi-implikasi setiap tipe atau bentuk keanggotaan seharusnya ditentukan
oleh dasar pemikiran atau tujuan menjadi anggota kelompok dimaksud, tanpa
menghalangi atau memperlemah efektifitas bentuk keanggotaan lain.
Keanggotaan-keanggotaan ganda dan tumpang tindih seharusnya tidak saling
terpisah satu sama lain, kendati cenderung mencapai tujuan-tujuan yang berbeda
bagi orang-orang dan komunitas-komunitas. Ketiga,
di sini istilah ‘kewarganegaraan’ digunakan mengacu kepada bentuk khusus
keanggotaan dalam komunitas politik negara teritorial dalam konteks globalnya,
dan oleh karena itu, harus dihubungkan dengan dasar pemikiran atau tujuan
spesifik tanpa menghalangi kemungkinan-kemungkinan keanggotaan lain dari
komunitas-komunitas lain untuk tujuan-tujuan yang berbeda. Maksud dari premis
tiga lapis ini bukan untuk mengatakan bahwa masyarakat selalu menyadari
realitas keanggotaan-keanggotaan ganda mereka, atau menyadari bahwa mereka
saling terpaut satu sama lain, dimana setiap anggota merasa cocok dan
memerlukan tujuan-tujuan atau dasar pemikiran yang berbeda. Kebalikannya, tampak
bahwa terdapat kecenderungan untuk menjatuhkan bentuk-bentuk keanggotan yang
berbeda, seperti ketika identitas etnik atau keagaamaan disamakan dengan
afiliasi sosial atau politik. Tendensi ini juga berlaku pada penyamaan rasa
kebangsaan dengan kewarganegaraan dalam teori politik Barat, yang
ditransmisikan kepada umat Islam melalui kolonialisme Eropa dan implikasinya.
Jadi,
wacana resmi atau wacana ideologis yang berkenaan dengan azas kewarganegaraan
sebagai keanggotan dalam komunitas politik negara teritorial tidak serta merta
sama dengan perasaan kepemilikan yang sujektif atau penilaian bebas terhadap
kondisi-kondisi aktual berdasarkan perasaan tersebut. Ketegangan-ketegangan
seperti itu ada pada mayoritas peradaban di masa lalu dan terus dialami dengan
berbagai cara oleh masyarakat-masyarakat yang berbeda sekarang ini. Untuk
tujuan-tujuan kita di sini khususnya, perkembangan gagasan kewarganegaraan
dalam model negara ‘bangsa’ teritorial Eropa semenjak Pakta Perdamaian
Westphalia (1648) cenderung menyamakan kewarganegaraan dengan kebangsaaan.
Model ini mendefinisikan kewarganegaraan sebagai bentuk keanggotaan yang
disusun secara sengaja dan kadang memaksa dalam sebuah bangsa atas dasar
kesamaan identitas etnis dan keagamaan serta kesetiaan politik. Kesamaan etnik
dan kesetiaan politik ini merupakan konsekuensi bagi setiap orang yang telah
tinggal di wilayah tertentu. Dengan kata lain, kesamaan yang kebetulan antara
kewarganegaraan dan kebangsaan tidak hanya merupakan hasil dari proses yang
sangat Eropa dan relatif baru, tapi kesamaan ini sering dibesar-besarkan di
dalam wilayah itu sendiri dengan mengorbankan bentuk-bentuk keanggotaan lain,
khususnya etnis atau agama minoritas. Seperti tercatat di awal, saya lebih suka
menggunakan istilah negara teritorial
untuk mengidentifikasi kewarganegaraan dengan teritori, daripada negara bangsa
karena itu bisa menyesatkan, jika bukan menindas, kelompok minoritas.
Istilah
kewarganegaraan digunakan di sini untuk menunjukkan kepemilikan afirmatif dan
proaktif atas sebuah komunitas politik pluralis dan inklusif yang mempertegas
dan mengatur kemungkinan-kemungkinan berbagai bentuk ‘perbedaan’ di antara
orang-orang dan komunitas-komunitas untuk menjamin kesamaan hak bagi semua,
tanpa membedakan latar belakang seperti agama, jenis kelamin, kesukuan atau
pandangan politik. Istilah ini dimaksudkan untuk menandai pemahaman kultural
bersama atas martabat manusia yang setara dan partisipasi politik yang efektif
bagi semua. Dengan kata lain, definisi kewarganegaraan di sini disesuaikan
dengan prinsip universalitas hak-hak asasi manusia sebagai ‘standar pencapaian
umum untuk semua mayarakat dan bangsa’, sesuai dengan Mukaddimah Deklarasi
Universal Hak-hak asasi manusia PBB tahun 1948.
Pemahaman
tentang konsep kewarganegaraan ini juga didukung oleh prinsip timbal balik (mu’awada), yang juga dikenal dengan
Kaidah Utama (Golden Rule), dalam
Islam, dan ditegaskan oleh hukum serta realitas politik penentuan nasib sendiri
(self-determination). Orang-orang dan
komunitas-komunitas harus menegaskan konsep kewarganegaraan ini agar dapat
mengklaimnya untuk diri mereka sendiri di bawah hukum internasional dan hukum
yang berlaku di negaranya. Dengan demikian, dukungan atas pemahaman
kewarganegaraan ini merupakan prasyarat bagi azas moral, legal, dan politik
untuk dapat menikmatinya. Umat Islam harus berusaha keras mencapai cita-cita
pragmatis ini dari sudut pandang Islam tak peduli apakah orang lain berhasil
atau gagal melakukan hal ini
Lagi pula,
ada hubungan dialektis antara konsep-konsep kewarganegaraan domestik dan
internasional, yang mendasari agensi rakyat pada setiap tingkat untuk
menegakkan martabat manusia dan keadilan sosial di mana pun di dunia ini, di
dalam atau pun di luar negeri. Prinsip hak-hak asasi manusia ini juga mendasari
definisi kewarganegaraan yang diusulkan dalam politik-politik domestik dan
hubungan-hubungan internasional, apakah diekspresikan dalam bentuk hak-hak
fundamental dalam undang-undang dasar atau hak-hak asasi manusia universal.
Warga negara yang bertindak secara politik dan berpartisipasi dalam pelaksanaan
Deklarasi HAM Internasional, pada gilirannya, memberikan kontribusi untuk
penentuan dan perlindungan hak-hak asasi warga negara pada tingkat domestik.
Oleh karena itu, hubungan antara kewarganegaraan dan hak-hak asasi manusia
inheren pada kedua paradigma yang saling mendukung ini.
Gambaran-gambaran
ini jelas menegaskan pentingnya reformasi Islam yang kreatif, yang akan
menyeimbangkan tuntutan antara legitimasi keagamaan dengan praktik politik dan
sosial yang bermoral kuat, yang memang tidak cocok dengan gagasan negara Islam.
Tapi gagasan mengenai negara Islam memang begitu menarik bagi Muslim dalam
konteks global dan domestik sekarang ini hingga justifikasi-justifikasi lain
pun mesti dilawan. Misalnya, kadang-kadang ada anjuran bahwa lebih baik
membiarkan gagasan tentang negara Islam tetap ada sebagai gagasan ideal dengan
tetap mencoba mengontrol atau mengatur praktiknya. Pandangan ini berbahaya
karena sepanjang gagasan ini dianggap ideal, beberapa umat Islam akan berusaha
menerapkannya sesuai dengan pemahamannya sendiri, dengan konsekuensi yang
mendatangkan malapetaka bagi masyarakat Islam maupun masyarakat lainnya. Tidak
mungkin mengontrol atau mengatur pelakasanaan gagasan ideal ini tanpa menyoal
klaim-klaim intinya bahwa pandangan manusia tentang Islam memiliki nilai
keagamaan yang suci. Sekali kemungkinan negara Islam diakui, akan menjadi
sangat sulit melakukan resistensi terhadap upaya mengimplemetasikannya karena
tindakan ini akan dianggap sebagai bid’ah atau tidak islami.
Mempertahankan
gagasan negara Islam sebagai gagasan ideal juga kontraproduktif bagi perdebatan
mengenai teori-teori politik, sistem-sistem hukum dan kebijakan-kebijakan
pembangunan yang lebih realistis dan tepat. Bahkan jikapun seseorang bisa
mengatasi kesulitan psikologis dalam berargumentasi terhadap apa yang
ditampilkan sebagai kehendak Tuhan, tuduhan bid’ah bisa mengakibatkan stigma
sosial yang sangat bengis, sehingga, jika tidak mendapat tuntutan dari negara,
ia bisa mendapatkan kekerasan langsung dari kelompok-kelompok ekstrimis.
Sepanjang ide negara Islam diberi tempat, masyarakat akan tetap terkurung dalam
perdebatan yang sudah basi tentang persoalan-persoalan seperti apakah
konstitusionalisme atau demokrasi merupakan sesuatu yang ‘Islami’, dan apakah
bunga bank boleh atau tidak. Alih-alih, masyarakat tidak akan berusaha
mengamankan pemerintahan demokratis konstitusional dan menjalankan pembangunan
ekonomi. Perdebatan yang tidak menghasilkan seperti itu membuat mayoritas
masyarakat Islam saat ini terkurung dalam keadaan politik yang terus menerus
labil dan menjadi negara terbelakang secara sosial ekonomi sejak
kemerdekaannya. Umat Islam perlu menerima bahwa konstitusionalisme dan
demokrasi merupakan fondasi utama negara itu sendiri dan umat Islam perlu
terlibat dalam proses pengamanan konstitusionalisme dan demokrasi ini. Dengan
tegas menyatakan bahwa negara tidak akan dan tidak bisa menerapkan pandangan
keagamaan apa pun tentang bunga pinjaman (riba)
berarti menjamin bahwa hak semua warga negara untuk memilih apakah
mempraktikkan atau menghindari bunga bank ini merupakan persoalan keyakinan
keagamaan pribadi. Tambah lagi warga negara yang ingin menghindari
praktik-praktik itu bisa mendirikan institusi-institusi perbankan mereka sendiri
yang terikat pada regulasi negara dan pengawasan publik, seperti usaha-bisnis
lainnya. Inilah contoh persoalan-persoalan riil masyarakat Islam sekarang yang
tidak bisa dipecahkan dengan perdebatan sia-sia tentang negara Islam yang kacau
dan kontra produktif yang menggunakan syariah sebagai dasar otomatis bagi
kebijakan dan hukum publik.
Argumen lain dalam mendukung gagasan negara Islam
didasarkan pada perbedaan antara syariah dan fiqh. Karena fiqh adalah
interpretasi manusia, maka ia bisa diubah dan diatur untuk disesuaikan dengan
keadaan masyarakat Islam sekarang ini, sedangkan syariah tetap kekal. Pembedaan
ini tidak berguna, karena syariah dan fiqh
merupakan hasil interpretasi manusia atas Al-Quran dan Sunnah Nabi dalam
konteks sejarah tertentu. Dengan begitu, proposisi apa pun baik yang didasarkan
pada syariah ataupun fiqh, tetap
sama-sama tunduk kepada risiko-risiko kesalahan manusiawi, bias ideologis atau
politik, dan pengaruh kepentingan-kepentingan politik dan sosial para
pendukungnya. Lagi pula, dalam praktiknya pembedaan ini sulit
dipertahankan karena usaha untuk melakukan pembedaan pun mencerminkan pandangan
manusia yang juga memiliki risiko dan keterbatasan yang sama. Sebagai contoh,
mungkin saja klaim larangan riba
(bunga pinjaman) ditetapkan oleh syariah, tapi bagaimana larangan itu bisa
berarti tanpa adanya definisi dan penerapan yang jelas dari fiqh. Mengingat interpretasi manusia
atas teks-teks Al-Quran dan Sunnah yang relevan tak dapat dihindarkan dalam
persoalan syariah ataupun fiqh, maka
sulit membedakan antara keduanya.
Argumen
lain yang dimodifikasi dari argumen sebelumnya menegaskan bahwa yang terpenting
dari semuanya adalah melaksanakan tujuan-tujuan atau maksud-maksud dasar
syariah (Maqasid al-Shari’a),
sementara prinsip-prinsip fiqh adalah
persoalan yang berubah dari waktu ke waktu dan tempat ke tempat. Namun
pandangan ini juga bermasalah karena yang disebut-sebut sebagai tujuan-tujuan
dasar syariah itu diekspresikan dalam tingkat abstraksi yang begitu tinggi,
sehingga tak satu pun dari tujuan itu yang bisa dianggap khas Islam atau cukup
spesifik untuk tujuan pembuatan kebijakan dan perundang-undangan publik. Segera
setelah dihadirkan dalam istilah-istilah yang lebih konkrit dan spesifik,
prinsip-prinsip ini akan langsung terimplikasi oleh kontroversi-kontroversi dan
keterbatasan-keterbatasan fiqh yang
sudah lazim. Contoh, ‘melindungi agama (hifz
al-din)’ merupakan salah satu tujuan dasar syariah, tapi prinsip ini tidak
memiliki kegunaan praktis tanpa definisi yang jelas tentang apa yang dimaksud
dengan ‘agama’ dalam konteks ini, dan tanpa spesifikasi kondisi-kondisi serta
pembatasan-pembatasan yang diperlukan oleh proteksi agama ini sebagai persoalan
kebijakan dan perundang-undangan negara. Apakah ‘agama’ mencakup
tradisi-tradisi non-teistik seperti Budhisme atau ateisme? Bisakah seorang
Muslim mengadopsi agama atau keyakinan lain? Kapan kebebasan agama dibatasi
untuk kepentingan publik negara atau hak-hak orang lain? Namun, membicarakan
pertanyaan-pertanyaan seperti ini akan segera membawa topik ini kedalam bidang fiqh yang memunculkan persoalan hak-hak
asasi manusia yang serius dan keberatan-keberatan politik seperti yang
digambarkan sebelumnya.
Konsep,
Metodologi Studi, serta Pengorganisasian Buku Ini
Guna
menggali dan mengembangkan teori Islam, negara dan masyarakat seperti yang
digambarkan di atas, saya mempersiapkan dan menerapkan studi yang disajikan
dalam buku ini dengan cara memberikan prioritas khusus dengan mempresentasikan
ide-ide tentatif saya untuk diperdebatkan di kalangan ulama-ulama Muslim dan
pemimpin-pemimpin komunitas sepanjang prosesnya. Dalam hal ini, saya mencoba
berbicara tentang perlunya pendekatan persuasif dalam mengembangkan teori itu
sendiri, dibanding hanya berusaha melakukannya setelah menerbitkan buku ini. Di
lihat dari cakupan dan pokok
bahasannya, studi ini terutama sekali berkaitan dengan peran publik syariah dan
bukan persoalan-persoalan doktrin dan praktik keagamaan dalam domain pribadi.
Studi ini juga berkaitan dengan peran aktual syariah di masa depan, dan bukan
syariah sebagai topik sejarah. Dengan kata lain, dari asumsi mendasar saya
bahwa syariah akan terus memiliki peran dalam kehidupan publik
masyarakat-masyarakat Islam, saya mencoba mengklarifikasi dan mewujudkan peran
itu dari perspektif teoretis Islam. Lagi pula, pelaksanaan proyek ini dalam prosesnya tidak hanya mencoba untuk menghimpun
dan memikirkan informasi serta pengalaman-pengalaman, tapi juga memanfaatkan
setiap kesempatan untuk mengkomunikasikan ide-ide tertentu mengenai persoalan
ini dan mengumpulkan respon-respon dari berbagai sumber Islam.
Oleh karena
itu, dimensi perdebatan publik dari studi ini menyatu dengan rencana asli
premis teoretis dan hasil yang diharapkannya. Di satu sisi, saya mencoba
mengembangkan tesis saya dan implikasi-implikasinya berdasarkan wawasan-wawasan
dan refleksi-refleksi pemikiran masa kini dan yang berorientasi masa depan
tentang pokok masalah yang mungkin belum dipublikasikan. Saya juga merencanakan
dari awal untuk menghubungkan analisis teori saya dengan kebijakan publik dan
praktik aktual. Di sisi lain, saya bermaksud untuk mencari cara untuk
memberikan kontribusi bagi pemikiran saat ini, sementara pada saat yang sama
mencoba menguji kehandalan dan prospek-prospek dari ide-ide saya sendiri, di
samping terus memperbaiki dan memperhalus kemampuan saya untuk
mengkomunikasikannya secara efektif. Dengan kata lain, saya mencoba menekankan
aspek advokasi untuk perubahan, berdasarkan teori yang saya ajukan, dalam
proses penelitian dan penulisan ini sendiri dengan berusaha untuk
mengidentifikasi keberatan-keberatan yang mungkin ada dan mengembangkan
respon-respon yang tepat, ketimbang memberikan pernyataan-pernyataan final, dan
menyusunnya dalam isolasi akademik. Saya menekankan kemampuan untuk meyakinkan,
begitu pula dengan integritas teoretis serta kepaduan hasil studi ini.
Maka, saya
mulai dengan membuat bagan atau draf makalah yang saya distribusikan dan
diskusikan dengan para ulama dan pencipta opini (opinion leaders) selama kunjungan ke Jos (Nigeria), Istanbul
(Turki), Kairo (Mesir), Kartoum (Sudan), Tasken dan Samarkhan (Uzbekistan), New
Delhi, Aligarh, Mumbai dan Cochin (India), Jakarta dan Yogyakarta (Indonesia)
antara bulan Januari 2004 sampai Februari 2005. Dengan dibantu oleh
peneliti-peneliti lokal, saya mengadakan wawancara-wawancara individual,
diskusi-diskusi terbatas, seminar-seminar, dan memberikan kuliah umum selama
kunjungan-kunjungan dengan jangka waktu yang beragam di semua tempat ini. Saya
juga mengadakan kuliah umum dan seminar-seminar berdasarkan proposal dasar saya
dan implikasi-implikasinya di berbagai lokasi di Eropa dan Amerika Serikat.
Bahasa pertama yang saya gunakan adalah Inggris, dan kemudian diterjemahkan ke
bahasa Arab dan Bahasa Indonesia untuk memudahkan diskusi-diskusi terbatas dan
wawancara-wawancara individual di Mesir dan Indonesia. Beberapa kali selama
proses ini, saya merevisi dan memperluas draf makalah ini untuk merespon
komentar-komentar dan saran-saran kritis, saya menerima dan mengembangkannya
lewat aktifitas-aktifitas itu. Aspek lain yang penting dari proses yang
berorientasi advokasi ini adalah bahwa buku ini pertama kali dipublikasikan di
dalam Bahasa Indonesia dan bahasa Urdu untuk mencapai sebanyak mungkin pembaca
Muslim di Asia Tenggara dan Asia Selatan.
Bagaimanapun,
saya ingin menyatakan terima kasih, karena informasi utama dan elemen-elemen
kunci dari analisis saya didasarkan pada kerja para peneliti lokal di Istanbul,
New Delhi, Cochin, Jakarta dan Yogyakarta. Materi yang dikumpulkan dalam bahasa
Arab dari Kairo dan Khartoum tidak langsung dimasukkan ke dalam buku ini, tapi
akan menjadi landasan versi yang berbeda untuk dipublikasikan dalam bahasa
Arab. Setiap peneliti mengumpulkan dan meringkas materi-materi yang sudah
dipublikasikan maupun yang belum dan mengadakan wawancara-wawancara dalam
bahasa masing-masing (Bahasa Turki, Indonesia dan Urdu) begitu juga dalam
bahasa Inggris, semua dilakukan berdasarkan draf makalah dan garis pedoman dari
saya. Saya juga terus berkonsultasi dengan mereka selama kunjungan ke tempat-tempat
mereka, dan mendiskusikan laporan-laporan penelitiannya.
Selama
proses penelitian dan advokasi ini, saya berusaha memberikan perhatian yang
sepatutnya terhadap sentifitas khusus beberapa responden Muslim dan
patner-patner dialog berkenaan dengan konteks internasional sekarang. Di satu
sisi, saya menyadari bahwa teori yang saya kembangkan dan sebarkan melalui
studi ini tidak mungkin diterima begitu saja kecuali dengan memperhitungkan
kekhawatiran politik dan keamanan masyarakat Islam terhadap hegemoni Barat dan
globalisasi ekonomi. Faktor ini tampaknya diperburuk oleh ganjalan permusuhan
dan kecurigaan pemerintahan-pemerintahan Barat dan segmen-segmen tertentu
masyarakat di sana terhadap Islam dan umat Islam. Ini membuat lebih sulit bagi
saya untuk mengembangkan teori yang coba saya hadirkan dalam buku ini. Di sisi
lain, saya berusaha menegaskan secara konsisten bahwa Umat Islam seharusnya
serius mempertimbangkan argumen yang saya kemukakan tentang sekularisme,
pluralisme, konstitusionalisme, hak-hak asasi manusia, dan kewarganegaraan dari
perspektif internal agama Islam sendiri, daripada menolaknya sama sekali dan
mengatakannya sebagai suatu bentuk pemaksaan oleh Barat atas Islam. Saya coba
menunjukkan bahwa demi kemaslahatannya sendiri, umat Islam perlu ikut
mengembangkan prinsip-prinsip ini dalam politik domestik mereka dan
hubungan-hubungan internasional dan menjadikannya sebagai prioritas mereka
sendiri, tanpa menghiraukan apakah
pemerintah dan masyarakat Barat melakukannya atau tidak di dalam negeri mereka
atau dalam hubungan-hubungan mereka dengan masyarakat Islam.
Pengorganisasian
buku ini dimulai dengan diskusi tentang sifat dan tujuan-tujuan teori yang
diusulkan melalui penelusuran akar-akarnya dalam pengalaman sejarah masyarakat
Islam. Aspek ini dikemukakan dalam istilah-istilah umum di bab pertama, tapi
tanpa kutipan sumber-sumber ilmiah, yang akan dilakukan dalam diskusi lebih
terperinci di bab 2, dilanjutkan dengan pengembangan premis-premis,
sasaran-sasaran dan fondasi-fondasi kesejarahan dari teori yang diusulkan.
Persoalan-persoalan konstitusionalisme, hak-hak asasi manusia dan
kewarganegaraan dalam perspektif Islam dibahas dalam bab 3. Analisis komparatif
yang ditawarkan dalam bab 4 dimaksudkan untuk menekankan sifat sekularisme yang
sangat kontekstual di negara-negara Barat, dan menunjukkan bagaimana konsep itu
tetap tentatif dan dipertentangkan dalam praktiknya. Seperti yang akan saya
tunjukkan di bab ini, tak ada model sekularisme yang baku dengan hasil yang
sudah ditetapkan sebelumnya untuk diterapkan secara langsung dan dicangkokkan
dari satu masyarakat ke masyarakat lain. Benar bahwa segi-segi karakteristik
tertentu dari pluralisme muncul sepanjang waktu, tapi itu adalah hasil analisis
teoretis dari pengalaman-pengalaman praktis maysarakat yang berbeda, bukan
hasil spontanitas doktrin tertentu. Studi-studi tematik di Turki, India dan
Indonesia disampaikan dalam bab 5, 6 dan 7. Tujuannya untuk mengklarifikasi dan
mengilustrasikan berbagai aspek teori yang diusulkan mengenai hubungan antara
Islam, masyarakat dan negara dalam konteks sekarang ini.
Sebagai
penutup bab pertama, saya ingin menyatakan bahwa konteks global negosiasi dalam
relasi tiga pihak (tripartite) antara
agama, masyarakat dan negara, dewasa ini, secara umum menghadapkan seluruh
masyarakat pada tantangan-tantangan yang sama, meskipun terdapat
perbedaan-perbedaan signifikan dalam relasi kekuasaan masyarakat-masyarakat
paska kolonial Afrika dan Asia, di satu sisi, dan mayarakat-masyakarat kolonial dan neokolonial Barat, di sisi lain.
Akselerasi drastis pola-pola globalisasi ekonomi dan kebudayaan membutuhkan
saluran nilai-nilai konstitusionalisme dan universalitas hak-hak asasi manusia
dalam kebijakan-kebijakan domestik dan luar negeri seluruh negara.
Perkembangan-perkembangan ini juga
menekankan pentingnya promosi penguatan kapasitas kelembagaan lembaga
internasional maupun domestik untuk menjaga keteraturan hukum dan universalitas
hak-hak asasi manusia. Meskipun tantangan-tantangan ini dihadapi oleh seluruh
masyarakat, perhatian utama saya sebagai seorang Muslim tertuju pada
masyarakat-masyarakat dan komunitas-komunitas Islam, baik sebagai mayoritas
maupun minoritas, di negara manapun.
Pesan buku
ini ditujukan terutama untuk kaum Muslim di manapun yang tampaknya menderita
karena kebingungan dan ambivalensi yang begitu dalam berkenaan dengan
syarat-syarat hubungan yang sehat dan konstruktif antara Islam, masyarakat dan
negara. Saya secara khusus merasa prihatin dengan implikasi-implikasi serius
dari kekacauan dan ambivalensi tersebut terhadap pemerintahan domestik
masyarakat-masyarakat dan komunitas-komunitas Islam, dan relasi internasional
maupun inter-komunal mereka dengan masyarakat dan komunitas lainnya. Oleh
karena itu, saya melakukan studi ini dengan dorongan perasaan urgensi yang kuat
sebab saya percaya bahwa kegagalan dalam mengklarifikasi relasi-relasi ini
adalah rintangan utama bagi realisasi stabilitas politik, pembangunan ekonomi,
dan keadilan sosial di masyarakat-masyarakat Islam dewasa ini. Bukan saya mengatakan
bahwa inilah satu-satunya problema yang menimpa masyakarat-masyakarat dan
komunitas-komunitas Islam di mana pun, namun saya benar-benar yakin bahwa
problema ini merupakan salah satu dari persoalan-persoalan utama mereka semua,
dengan tingkatan dan cara yang berbeda-beda, dan aneka akibat yang mempengaruhi
kebijakan dalam dan luar negerinya. Saya juga percaya kebutuhan akan adanya
kejelasan teoritis itu mendesak, bahkan jikapun permasalahan-permasalahan pokok itu tidak diperdebatkan secara terbuka
dalam istilah-istilah ini. Malah ini justru mengindikasikan pentingnya sebuah
refleksi teoretis meski hanya untuk mengklarifikasi dan mengafirmasi ulang
gagasan-gagasan yang sudah ada.
Saya pun
mencurigai bahwa resistensi yang sengit dari umat Muslim terhadap perdebatan
terbuka sejumlah isu yang saya lontarkan mungkin karena
kekhawatiran-kekhawatiran bahwa hal ini bisa memberi angin pada para pendukung
negara Islam dalam beberapa kasus, atau
menyokong sebuah pandangan sekularisme yang anti Islam. Dalam hemat saya,
kekhawatiran-kekhawatiran semacam itu berlebihan dan tak berdasar, namun saya
tetap percaya bahwa perasaaan-perasaan seperti itu sepatutnya diperhatikan
secara serius. Namun, betapa pun, saya yakin Islam tak dapat diselenggarakan
oleh negara, juga tak bisa dilepaskan dari kehidupan publik
masyarakat-masyarakat Islam, namun biaya kemanusiaan dari prakarsa-prakarasa
yang diyakini gagal semacam itu harus dilawan dengan argumentasi-argumentasi
yang disampaikan dengan baik dan tegas, daripada dengan sekadar berharap bahwa
mereka akan menyingkir dengan sendirinya, atau berusaha mengkooptasi pemerintah
untuk menekan mereka. Tak akan terjadi apa-apa tanpa aksi bersama, mereka yang
mengontrol negara selalu lebih cakap dalam mengkooptasi dan memanipulasi kaum intelektual,
terutama saat mereka beraksi sendirian atau dalam kelompok-kelompok kecil yang
terisolasi secara politis. Dalam banyak kasus, menghindari debat dan refleksi
publik tak akan menuntaskan ketakutan tersebut, atau mengurangi kegentingan
persoalan-persoalan ini dalam kehidupan sehari-hari masyarakat-masyarakat dan
komunitas-komunitas Islam sekarang ini.
[1]
Kurt Lewin, Field Theory in Social
Science: Selected Theoretical Papers (New York: Haper & Brothers
Publishers, 1951), h. 169