Diskusi mengenai pengalaman Turki berikut ini terbatas pada beberapa
aspek yang dianggap relevan dengan teori mengenai Islam, negara dan masyarakat
yang saya usulkan. Diskusi ini tidak dimaksudkan untuk mengkaji pengalaman
Turki secara komprehensif. Dalam bab
ini, saya justru ingin melakukan klarifikasi dan menggambarkan
kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam pemaksaan sekularisme oleh negara
sekuler otoritarian tanpa berusaha mempromosikan legitimasi sekularisme semacam
itu dalam masyarakat Turki. Seperti yang sudah dikemukakan di awal, sekularisme
otoritarian terjadi karena rezim otoriter berusaha mempromosikan sekularisme
sebagai upaya pemisahan agama dan negara, namun tidak mau berupaya
memperhatikan keterhubungan antara agama dan politik. Dengan membahas Turki
secara khusus dalam bab ini, saya tidak bermaksud menyebut bahwa pengalaman
Turki hanya berlaku untuk negara tersebut. Saya mendiskusikan Turki dalam bab
ini justru untuk menggambarkan masalah yang sudah ada dan mungkin akan mudah
muncul dalam kondisi lainnya. Sekularisme otoritarian telah menjadi fenomena
umum di beberapa negara Timur Tengah dari Partai Ba'ath di Syiria dan
Nasionalisme Arab pada masa Naser di Mesir hingga Model Perancis yang berlaku
di Tunisia pada masa Bourgheba dan Algeria Marxist di bawah FLN.
Menggunakan kasus Turki untuk menggambarkan masalah ini
tidak berarti bahwa tidak ada usaha untuk mempromosikan sekularisme dalam
budaya popular masyarakat Turki, atau hubungan antara Islam dan politik telah
terhenti begitu saja oleh sekularisme negara. Malah, pengalaman Turki di bawah
Dinasti Ustmani bisa diihat sebagai ilustrasi sekularisme yang memediasi
pemisahan Islam dan negara sekaligus menjaga keterhubungan antara Islam dan
politik. Sistem dinasti Utsmani merupakan
sistem negara sekular yang otoriter dan kuat yang mengatur masyarakat
plural yang terdiri dari beragam komunitas agama dan etnik yang memiliki
otonomi yang berbeda. Namun pada saat yang sama, otoritas moral dan politis
para ulama dan pemimpin kelompok minoritas juga berfungsi sebagai pengawas
kekuasaan otoriter Sultan-khalifah dan para pejabatnya. Sifat otoriter negara
ini memang memperkuat revolusi yang membuat Republik Turki berdiri, namun atas
nama sekularisme dan nasionalisme Turki pulalah, peran pemimpin agama dan
pemimpin masyarakat minoritas dibatasi. Negosiasi sekularisme ini tetap
berlangsung pada masa republik namun dalam kondisi yang jauh berbeda dan mulai
menghasilkan desain yang lebih konstruktif pada tahun 1990 dan 2000.
Identitas keislaman Turki berakar pada budaya, tradisi
dan afiliasi keagamaan mayoritas penduduknya. Sedangkan sifat sekuler negaranya
terdapat dalam konstitusinya yang berisi kurang lebih 10 kata sekuler dan
sekularisme. Sebagaimana akan saya jelaskan nanti, apapun yang dianggap ancaman
oleh rezim Republik Kemal Attaturk akan berhadapan sengit dengan negara
termasuk dengan kekuatan militernya. Namun jelas pula bahwa ada ketegangan yang
cukup kuat menyangkut masalah peran Islam dalam kehidupan publik. pertanyaan
utama bab ini adalah apakah otoritanisme yang diterapkan oleh rezim Turki ini sukses membentuk pemerintahan sekuler
yang konstitusional, seperti yang diharapkannya? Dan apa yang harus dikorbankan
untuk mendapatkan model pemerintahan seperti ini? saya percaya bahwa mengakui
dan mengatur peran Islam dalam domain publik merupakan elemen yang penting
untuk menghilangkan kontradiksi sekularisme otoriter. Dengan kata lain, tujuan
pemisahan Islam dan negara yang ingin dicapai akan tidak berarti bilamana
negara gagal untuk mengakomodasi peran Islam yang sah dalam kehidupan publik.
1.
Peran
Agama dalam Kekuasaan Dinasti Utsmani
Dinasti Ustmani muncul pertama kali sebagai kerajaan
kecil di tenggara Anatolia. Ia mulai meluas cepat setelah merdeka dari
kekuasaan Dinasti Saljuk pada abad ke-11. pada tahun 1453, Dinasti Utsmani
berhasil mengambil alih Konstantinopel dari kerajaan Byzantium. Menjadikannya
sebagai ibu kota negara dan menamainya dengan Istanbul. Dinasti ini kemudian
menaklukkan Syria, Mesir dan Arabia Barat pada tahun 1516-1517. kekuatan
militer dinasti ini mencapai puncaknya pada abad ke-16. Namun akhirnya,
kekuasaan politik dan militer yang hampir tak terkalahkan ini mulai mendapat
tantangan pada masa Sultan Murad IV (memimpin antara 1623 sampai 1640) dengan
munculnya kekuatan Barat. Kekalahan
militernya oleh Pasukan Eropa di Eropa dan Lautan India seakan-akan sebuah
konsekuensi yang harus diterima dinasti ini akibat penyelewengannya dari tata aturan lama (nizam-iz alem).[1] Kaum intelektual dinasti
ini mencari penyebab kemunduran dinastinya. Mereka beranggapan bahwa degradasi
kultural dan religius, penyelewengan tradisi dan korupsi morallah yang
menyebabkannya.[2]
Para komentator yang hidup pada masa itu berargumen bahwa solusi untuk
kelemahan tentara dan rezim Dinasti Ustmani bisa ditemukan jika mereka kembai
kepada aturan lama, adat istiadat dan tradisi Budaya Islam dan Turki.[3] Reformasi negara dan
pendidikan yang diajukan pada saat itu pun beranjak dari perspektif ini.[4] Namun pada abad ke-18,
seruan untuk kembali ke masa lalu itu berganti dengan seruan untuk menyongsong
tatanan baru (nizam-i cedid). Dinasti
Utsmani, untuk pertama kalinya, mulai
mencoba budaya dan peradaban barat dengan hati-hati dengan mengirimkan beberapa
duta besar ke beberapa ibu kota negeri-negeri Eropa untuk melaporkan kemajuan
yang terjadi di sana.[5]
Dengan demikian, debat di kalangan muslim mengenai peran
dan sekup agama yang tepat dalam ruang publik saat ini nampaknya sama dengan
yang terjadi dalam sejarah Dinasti Utsmani. Menurut buku Katib Chelebi The Balance of Truth (Mizanu 'l-Hakk fi
Ihtiyari 'l-Ehakk), pada tahun 1656, debat yang cukup ramai berkisar pada
masalah-masalah teologi, moral, mistis dan hukum. Pada saat itu, debat seperti
itu bisa dilihat sebagai refleksi debat antara interpretasi liberal terhadap
Syariah dengan interpretasi yang ketat. Beberapa ulama, dipimpin oleh
Sheikhulislam Ebussud Efendi beranggapan bahwa menyanyi, menari, tembakau,
kopi, berjabat tangan, membungkukkan badan sebagai tanda penghormatan,
cash-foundation, menerima uang untuk kepentingan pengajaran dan pelayanan agama diperbolehkan menurut syariah dengan
beberapa persyaratan. Sedangkan ulama lain yang dikomandoi oleh Birgili Mehmet
Efendi dan Qadizade, menganggap bahwa kegiatan-kegiatan tadi merupakan sesuatu
yang tidak diperbolehkan dalam Islam. Perbedaan-perbedaan seperti ini
kadang-kadang menimbulkan konflik di kalangan masyarakat hingga harus dikontrol
oleh kekuatan pengamanan sultan.[6]
Secara tradisional, masyarakat dinasti Utsmani terbagi
menjadi kelompok elit penguasa (Askeriyye) dan rakyat (Raiyye).[7] Elit penguasa yang bebas
dari kewajiban pajak karena mereka melayani negara terdiri dari 4 kelompok: (1)
kalangan istana (rumah tangga sultan), (2) elit militer (seyfiyye), (3) kalangan terpelajar
yang dipekerjakan pemerintah ('ilmiyye—yang
sebagiannya adalah para ulama), dan (4)
birokrat (kalemiyye). Dalam
kelompok rakyat terdapat berbagai kelompok lagi diantaranya tarikat, para ulama
yang tidak terlibat dalam pemerintahan termasuk mereka yang mengelola sejumlah
badan wakaf, para seniman, dan juga non-muslim (millets). Kelompok-kelompok
sosial yang berada di luar negara itu memiliki tingkat otonomi yang berbeda.
Penting pula untuk dicatat, kelompok-kelompok itu juga saling berinteraksi dan
kadang-kadang terlibat dalam konflik. Dalam sejarah dinasti Utsmani, negara
terus berusaha menyatukan kelompok-kelompok tersebut di bawah struktur
otoritasnya dan menjaga hubungan mereka
melalui cara yang disebut sekarang ini "checks and balances".
Sementara itu, para ulama menganggap dirinya sebagai
kelompok ilmuwan yang memiliki otoritas moral atas rakyat (kalangan awam) dan
juga penguasa. Para ulama, termasuk mereka yang dipekerjakan oleh negara- tidak
hanya terus berusaha menjaga otonomi mereka dari negara, tetapi juga menegakkan
otoritas mereka atas negara, karena mereka memandang dirinya sebagai pihak yang
merepresentasikan kalam tuhan dan hukum Islam. Tetapi, klaim kewenangan ulama
ini terus mendapatkan perlawanan dari penguasa yang juga berusaha menegakkan
kekuasaan dan superioritas mereka atas ulama. pertentangan kekuasaan dan
kewenangan ini terlihat dari seimbangnya pengaruh sultan dan syeikhulislam
(pemimpin para ulama dan biasanya dianggap setara dengan jabatan tertinggi
pegawai negeri, Grand Vizier). Sheikhuislam ditunjuk oleh pihak kerajaan
sedangkan pelantikan penguasa dinasti juga tergantung pada fatwa dari
Sheikhulislam. Ketegangan antara dua pemilik otoritas ini terlihat dari
kekuasaan sultan untuk mengangkat dan memecat Sheikhulislam, namun
Sheikhulislam juga kadang-kadang bisa mengeluarkan fatwa untuk menurunkan
Sultan.[8]
Perlu ditekankan disini bahwa Islam bukanlah satu-satunya
agama di Dinasti Utsmani, bahkan ummat Islam hanya merupakan minoritas kecil di
beberapa daerah. Pada tahun 1884 misalnya, penduduk dinasti Utsmani terdiri
dari 58,13% muslim, 41,39% Kristen (38,84% diantaranya adalah Kristen
Ortodoks), dan 0,48%nya adalah Yahudi. Namun prosentasi ini berubah karena
berkurangnya wilayah kekuasaan dan gelombang migrasi, hingga akhirnya populasi
muslim di wilayah dinasti ini menjadi 74% pada tahun 1897.[9] Meskipun mendiskusikan
presentasi demografis dinasti ini tidak mungkin kita lakukan disini, namun data
ini penting untuk menjelaskan cara Dinasti Utsmani menghadapi keragaman agama
penduduknya melalui sistem otonomi komunal yang dikenal dengan "millets".[10]
Status dan hak seseorang ditentukan oleh milletnya.
Status dan hak tertinggi diberikan kepada Muslim sunni, sedangkan muslim
non-sunni mendapatkan status yang agak lebih rendah. Secara formal, status dan
hak warga negara Kristen dan Yahudi sebagai ahlul kitab seharusnya diatur
berdasarkan sistem dzimmi. Mereka diperbolehkan untuk tetap menganut dan
melaksanakan ajaran agamanya dengan sejumlah batasan tertentu. Tetapi mereka
tidak bisa bergabung dalam ketentaraan, menunggang kuda atau membawa senjata,
menduduki jabatan tinggi atau aktif dalam politik. Anggota komunitas dzimmi
harus berpakaian dengan cara berbeda, membayar jizyah, dan hidup dalam
lingkungan terpisah, terutama di dalam kota. Namun dalam praktinya,
aturan-aturan ini tidak dilaksanakan secara ketat. Banyak orang Kristen dan
Yahudi menduduki jabatan tinggi dan posisi yang cukup sensitif seperti duta
besar dan gubernur, serta terbebas dari kewajiban jizyah dan memakai pakaian
tertentu.[11]
Secara formal, komunitas Kristen dan Yahudi harus tunduk
pada beberapa batasan lain seperti larangan untuk menyelenggarakan ritual
keagamaan secara publik dan membangun rumah di wilayah muslim. Pembatasan ini
dilakukan untuk menandakan lebih rendahnya status komunitas dan anggota dzimma.
Namun, beberapa aturan administratif yang diberlakukan Dinasti Utsmani, seperti
relokasi beberapa komunitas Kristen dan Yahudi
dari beberapa provinsi ke Istanbul, dan pembatasan tempat tinggal mereka
di wilayah-wilayah tertentu, lebih dimotivasi oleh kepentingan ekonomi negara
dan akibat kondisi sosial tertentu. Relokasi paksa diberlakukan sebagai hukuman
individual atau komunal.[12] Begitupun keharusan
memakai jenis pakaian tertentu dan membawa tanda identitas khusus. Aturan ini
merupakan kebijakan umum Dinasti Utsmani yang diberlakukan untuk
mengklasifikasikan warga negara berdasarkan kelas sosial, profesi, dan
identitas etnis keagamaan, yang tidak
hanya berlaku bagi penduduk yang berstatus dzimmi saja.[13]
Hubungan internal dan eksternal komunitas dzimmi diatur
oleh pemimpinnya, namun harus tetap tunduk pada aturan dinasti Utsmani.
Komunitas-komunitas terpisahkan oleh perbedaan agama dan sekte. Orang Armenia
penganut Gregorian, Orang kristen Protestan dan Katolik dianggap sebagai komunitas
agama yang berbeda dan tinggal di lingkungan yang terpisah dengan gereja dan
sekolahnya masing-masing, serta berdasarkan pada yurisdiksi hukum agama
masing-masing.[14]
Gereja Ortodoks Yunani mendapatkan otonomi dan prestise tertinggi dalam struktur millet. Mereka memiliki
keuskupan pusat di Istanbul yang menjadi pusat keagamaan, hukum dan keuangan
bagi seluruh komunitas Yunani di seluruh wilayah dinasti. Lembaga keuskupan
yang terdiri dari uskup agung dan pendeta-pendeta utama memiliki kontrol atas urusan-urusan
agama dan umum termasuk melakukan sensor terhadap buku-buku berbahasa Yunani.
Keuskupan Kristen Armenia juga mendapatkan otonomi yang cukup signifikan, meski
tak sama dengan Keuskupan Yunani, dalam urusan-urusan keagamaan, administratif
dan hukum komunitasnya.
Umat Yahudi merupakan bagian yang penting dalam sistem
millet dinasti Utsmani, apalagi setelah populasi mereka bertambah banyak karena
gelombang imigrasi dari Hungaria (1376), Perancis (1394), serta Spanyol dan
Italia pada abad ke 15.[15] Mereka tidak punya
struktur keuskupan seperti umat Kristiani, dan posisi Rabi Agung di Istanbul
pun tidak pernah terisi hingga tahun 1835. Walaupun semua komunitas Yahudi
dianggap sebagai satu millet, namun umat
Yahudi sendiri mengorganisasi diri dalam komunitas (kahals) berbeda; tergantung
pada asal dan afiliasi kultural mereka. masing-masing kahals ini memiliki
hubungan tersendiri dengan dinasti Utsmani dan bertanggung jawab untuk
menumpulkan pajak, menyerahkan bagian tertentu kepada kas negara, menggunakan
uang untuk kegiatan komunitas, mengatur pelayanan makanan (kosher), dan
menghukum pembangkang. Setiap
komunitas Yahudi memiliki sinagog, rabbi, guru, sekolah, rumah sakit dan
pemakaman masing-masing. Banyak di antara lembaga-lembaga sosial ini memiliki dewan juri yang disebut
Bet Din yaitu seorang rabi yang dipilih oleh komunitasnya.[16]
Sistem Hukum Dinasti Utsmani
Sistem hukum dinasti Utsmani merupakan sistem yang tak
terpusat, majemuk, dan dinamis untuk menghadapi perbedaan agama, etnism dan
kultural warga negaranya. Berdasarkan tradisi hukum yang berlaku pada dinasti
Islam sebelumnya, dinasti Utsmani mengembangkan sistem hukum (kanun-u Osmani)
yang berisi tiga bagian: (1) Syari'ah; (2) Undang-Undang (termasuk Hukum
Adat-orf); dan (3) aturan hukum minoritas yang belaku bagi non-Muslim.
prinsip-prinsip syari'ah yang dianut oleh dinasti utsmani adalah prinsip mazhab
Hanafi. Meskipun penghulu lokal (qadi)
boleh mengkuti mazhab lain, pengadopsian mazhab Hanafi secara resmi oleh negara
berarti bahwa mazhab ini berpengaruh besar di sana, bahkan di daerah-daerah
yang sudah mengikuti mzhab lain secara tradisional. Dalam jurisiksi mazhab
Hanafi, ada semacam kebolehan bagi hakim unutuk mengadopsi pandangan mazhab
lain atau untuk memberikan kasus kepada hakim di luar mazhab yang dianutnya.[17]
Pengadilan adalah institusi resmi yang beroperasi dibawah
otoritas pemerintahan pusat di Istanbul. Pemerintah pusatlah yang menunjuk dan
membayar semua hakim dan memastikan pelaksanaan putusan mereka. Hubungan antara
pemerintah pusat dan hakim inilah yang membolehkan pejabat negara untuk
memutuskan wilayah geografis dan kekuasaan para hakim yang mereka autorisasi
untuk melaksanakan prinsip-prinsip syari'ah. Karena itulah, putusan hakim
diterima secara resmi dan didukung oleh kekuasaan kursif negara. pengadilan
juga bisa menetapkan aturan yang dibuat oleh seorang perantara berdasarkan
kesepakatan pihak-pihak yang bersengketa, jika aturan itu tercatat secara resmi
dalam catatan pengadilan dan
dilaksanakan oleh pejabat negara. Aturan yang dibuat oleh seorang hakim untuk
menerapkan prinsip-prinsip syariah biasanya bersifat final dan mengikat. Namun
pihak yang tidak bisa menerima aturan yang dibuat hakim bisa mengajukan
tuntutan banding kepada Sultan (divan) sebagai pengadilan tertinggi.
Sistem hukum kedua adalah Kanun yang merupakan
undang-undang yang ditetapkan oleh Sultan dalan posisinya sebagai khalifah.
Kanun biasanya diambil dari adat istiadat, hingga ia bisa berbeda dari satu
daerah ke daerah lainnya. Otoritas sultan untuk membuat undang-undang nampaknya
diatur oleh Syari'ah itu sendiri sebagai cara untuk mengatur urusan-urusan yang
tidak tercakup oleh prinsip-prinsipnya seperti struktur institusi negara,
pemberlakuan pajak (selain yang ditentukan oleh Syari'ah), dan hukuman-hukuman
tertentu. Undang-undang Kanun biasanya berlaku dalam jangka waktu yang
terbatas. Biasanya ia habis masa berlakunya ketika Sultan yang mengundangkannya
meninggal atau turun tahta, kecuali bila seandainya Kanun itu ditetapkan lagi
oleh penguasa berikutnya.[18] Naskah Kanun berkembang cukup lambat, karena
Sultan berusaha mempertahankan peninggalan masa pemerintahan sebelumnya. Kanun
mulai disistematisasi pertama kalinya pada masa pemerintahan Sultan Mehmed II
dan kemudian oleh Sultan Suleyman II yang dikenal sebagai "Kanuni"
karena usahanya untuk melakukan penyusunan hukum ini.[19]
Bagian ketiga dari sistem hukum dinasti Utsmani adalah
hukum dan administrasi peradilan komunitas non-Muslim (millet). Dengan demikian, anggota komunitas tersebut dilahirkan,
menikah, bercerai, dan disemayamkan berdasarkan hukum adat atau agama mereka
masing-masing. Hukum adat dan agama mereka juga berlaku dalam urusan-urusan
yang lebih luas seperti dalam hubungan ekonomi dan sosial. Komunitas gereja
bisa mengadili dan menjatuhkan hukuman penjara pada pelanggar hukum dan
menyerahkan proses eksekusi hukuman mereka kepada otoritas dinasti Utsmani.
Namun Syari'ah dan Kanun dinasti Utsmani lebih mengutamakan hukum kriminal dan
hukum lainnya daripada masalah-masalah yang berkaitan dengan yurisdikasi
komunitas dzimmah. Selain menyerahkan kasus ke pengadilan yang mengurusi
masalah-masalah sengketa antara Muslim, anggota komunitas dzimmah kadang-kadang
lebih suka menyerahkan kasus ke pengadilan yang bisa memberikan putusan yang
mereka inginkan daripada kepada pemilik otoritas di lingkungannya. Misalnya,
perempuan Kristen dan Yahudi lebih mudah untuk mendapatkan putusan cerai di
pengadilan Syari'ah dan kemudian menyerahkan pelaksanaan putusannya kepada
pemilik otoritas di komunitasnya daripada di pengadilan komunitasnya sendiri.[20]
Meskipun otonomi hukum masyarakat non-Muslim di bawah
dinasti Utsmani lebih kuat dan besar daripada di bawah pemerintahan negeri lain
pada saat itu, terdapat juga beberapa pembatasan yang cukup penting. Pada level komunitas misalnya, kekuasaan
Sultan untuk menunjuk atau memecat pemimpin sebuah komunitas millet mengharuskan terpilihnya orang yang setia
kepada penguasa Utsmani (atau paling tidak tidak mangkir) untuk menempati
posisi itu. Adanya kemungkinan bagi individu non-Muslim untuk bisa mengakses
pengadilan Islam, meskipun mungkin tidak dilakukan, menjadi semacam pembatasan
terhadap kekuasaan pengadilan the minority ecclesiastical yahudi. Kemungkinan
untuk melaksanakan pilihan itu bisa memberikan kemungkinan kepada individu
dalam komunitas masyarakat non-Muslim untuk mendapatkan kompensasi jika mereka
merasa dirugikan oleh pemimpin komunitas agamanya. Namun penting untuk dicatat
bahwa hal itu bisa terjadi jika ada keinginan dari penguasa Islam dan
pejabatnya.
Pengadopsian Kanun dan Syari'ah yang sistematis oleh
Dinasti Utsmani merefleksikan otoritas yang sudah lama dimiliki negara sebagai
pembuat undang-undang. Tradisi negara sebagai pembuat undang-undang bisa
ditelusuri hingga budaya Turki Pra Islam yang disebut-sebut oleh sejarawan
sebagai pondasi bagi sekularisme Turki modern. Penting dicatat, praktik ini
memperlihatkan bahwa Syari'ah tidak memperhatikan wilayah tertentu yang penting
bagi administrasi negara. Wilayah itu tetap terbuka bagi adanya pertimbangan-pertimbangan
publik sesuai dengan perubahan sosial
yang terjadi. Pertimbangan-pertimbangan kebijakan itu akan ditentukan oleh
pejabat negara tanpa harus terikat pada metodologi ushul fiqih. Lagipula,
apakah proses penentuan yang dilakukan oleh pejabat negara itu menggunakan
syariah atau tidak menjadi tidak penting karena seluruh proses penentuan itu
bersifat politis dan sekular, tidak religius.
Para sejarawan berbeda pendapat apakah Syari'ah dan Kanun
merupakan dua jenis hukum yang berbeda dan
terpisah dimana yang satu bersifat religius dan yang lain sekuler.
Mereka yang beranggapan bahwa Kanun merupakan hukum yang terpisah dan sekuler
melihatnya sebagai penemuan Turki yang menjelaskan peralihan negeri ini pada
sekularisme pada abad ke-20.[21] kelompok lain malah
berargumen bahwa Kanun merupakan bagian dari tradisi hukum Islam dan telah
diotorisasi dan direncanakan oleh para Fuqaha sejak dari awal. Mereka juga
menekankan bahwa Dinasti Utsmani pun melihat tidak adanya pertentangan antara
Syariah dan Kanun. Walaupun diundangkan oleh Sultan, teks Kanun sendiri disusun
oleh sekretaris pribadi Sultan (nishanci)
yang mungkin berasal dari kalangan ulama dan mahir dalam masalah Syari'at
dengan melakukan konsultasi kepada
Sultan dan otoritas lainnya, terutama Sheikhulislam.[22] Teks Kanun juga diterima
oleh para Ulama yang melihatnya sebagai dasar yang penting bagi otoritas
politik dan merupakan persyaratan awal bagi penerapan syari'ah.[23]
Dengan memperhatikan perubahan signifikan yang terjadi pada sifat
negara post kolonial yang bersifat teritorial, saya akan menarik kesimpulan
yang berbeda dari debat mengenai hubungan antara Syari'ah dan Kanun ini dalam
konteks modern. Menurut saya, semua hukum dan undang-undang yang diberlakukan
melalui institusi negara bersifat sekuler, bahkan jika hukum atau undang-undang
itu berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Karena memberlakukan semua
interpretasi syari'ah yang berbeda dari
berbagai mazhab tidak mungkin dilakukan, pemberlakukan syariah oleh negara mau
tidak mau harus memilih satu di antara interpretasi itu. Lagipula, prinsip
syariah apapun yang diberlakukan, pemberlakuannya terjadi karena kehendak
politik negara dan bukan karena sifatnya sebagai prinsip syari'ah. Fakta bahwa
dinasti Utsmani menunjuk hakim yang harus menerapkan mazhab hanafi ( meski
dengan tetap membolehkan pengadopsian mazhab lain), membayar gaji para hakim,
menentukan wilayah yurisdiksi mereka dan melaksanakan putusan mereka
membuktikan bahwa prinsip-prinsip syariah yang relevan diberlakukan karena
adanya kehendak politik negara. Prinsip ini tetap berlaku baik jika Kanun
terlepas atau tidak dari Syari'ah.
III. Penurunan dan Transformasi
Sistem hukum klasik dinasti Utsmani yang saya ungkapkan
di atas mulai mendapatkan tantangan serius ketika pondasi ekonomi dan budaya
dinasti itu mulai bergeser. Sebagai
contoh, pada akhir abad ke-16 dan 17, sistem ekonomi dan pajak uang mulai
menggantikan sistem pajak barang yang berlaku sebelumnya.[24] Perubahan signifikan lain yang terjadi dalam
bidang ekonomi adalah meningkatnya jumlah petani yang meninggalkan kehidupan
taninya dan beralih ke daerah-daerah urban.[25] Akibatnya, struktur dan
institusi dinasti Utsmani juga mulai berkembang dan mengalami reformasi yang
signifikan selama abad ke-17 dan 18. Kantor perdana menteri misalnya dipindahkan
dari lingkungan Istana kesultanan dan mulai menangani masalah harian negara
tanpa adanya kontrol langsung dari sultan. Perubahan ini menandai berakhirnya
absolutisme dinasti tradisional dan terbentuknya administrasi negara yang lebih
independen dan birokrasi institusi negara yang baru.[26]
Pada periode ini, perubahan yang cukup signifikan juga
terjadi pada konfigurasi dan institusi sosial ulama. Meningkatnya jumlah
penduduk perkotaan berakibat pada meningkatnya jumlah ulama yang berasal dari
kelas pedagang. Banyak keluarga yang mengirimkan anaknya ke sekolah-sekolah
Islam (madrasa), tidak hanya untuk
belajar, tapi juga untuk mendapatkan sertifikat yang bisa digunakan untuk
bekerja sebagai ulama yang dibayar oleh negara (ilmiyye). Pada pertengahan abad ke-17, kelompok elit yang terus
berkembang ini mulai menampilkan karakter aristokratnya seperti mewarisi posisi
tertentu atau mewarisi monopoli atas wakaf.[27] Namun, peran dan
pentingnya posisi ulama dalam pemerintahan lambat laun mulai menurun
seiring meningkatnya modernisasi dinasti
Utsmani. Posisi dan peran ideologis, politis dan administratif ulama mulai
diambil alih oleh birokrat sekuler.[28]
Sistem millet pun
mulai punah pada abad ke-19 melalui tekanan kekuasaan Barat yang menguasai
teknologi, militer dan ekonomi dinasti Utsmani yang mulai melemah. Sejumlah
perjanjian bernama "Kapitulasi" yang memberikan keistimewaan ekonomi
dan diplomatik tertentu kepada negara-negara Eropa dalam melakukan aktivitas
dagang mereka dalam wilayah kerajaan juga memberikan hak yang lebih besar
kepada negara-negara tersebut untuk mengontrol dan mempengaruhi komunitas
dzimmi dengan dalih memberikan perlindungan. Di bawah kapitulasi ini, beberapa
komunitas dzimmi memiliki hak-hak
istimewa tertentu hingga menyebabkan beberapa orang memutuskan untuk pindah ke
agama tertentu. Penganut kristen Ortodoks dan Kristen Armenia misalnya
berpindah ke agama Katolik agar mendapatkan hak istimewa yang didapatkan oleh
penganut Katolik dari perjanjian Kapitulasi yang dibuat dinasti Utsmani dengan
Perancis. Kecendrungan ini menyebabkan terjadinya kompetisi yang tidak sehat di
kalangan kelompok non-Muslim hingga akhirnya dinasti Utsmani melarang
non-Muslim untuk beralih kepercayaan. Namun, kalangan non-dzimmi menjadi semakin kuat secara ekonomis karena mereka
beraliansi dan melakukan bisnis dengan negara-negara Barat. Kekuatan ini mulai
menampakkan diri dalam bentuk gerakan nasionalis yang kemudian menyebar tidak
hanya di kalangan dzimmi, tetapi juga kelompok etnis Muslim seperti Arab dan
Albania.
Seiring dengan menurunnya kekuatan ekonomi dan militer
dinasti Utsmani karena perubahan sosio-ekonomi, politik dan demografis,
konsensus untuk melaksanakan reformasi pun muncul. Setiap masalah dalam sistem
militer, pemerintahan, hukum dan ekonomi dinasti Utsmani dipandang sebagai
faktor yang menyebabkan terjadinya kekalahan militer yang diderita dinasti ini,
hingga akhirnya semakin menyulut gerakan reformasi. Walaupun, atau mungkin
karena, kekuasaan Eropa dianggap sebagai ancaman bagi Islam dan kerajaan, dinasti
Utsmani yakin bahwa mereka harus mengadopsi kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi yang menjadi sumber kekuataan negeri-negeri Barat agar dapat
mengalahkan ancaman itu. Kurangnya standardisasi hukum di seluruh wilayah
dinasti yang dipandang sebagai sebuah sebuah fleksibitas yang memberikan
kenyamanan, kini mulai dilihat sebagai gangguan bagi perkembangan ekonomi dan
perdagangan. Sedangkan Kapitulasi mulai dilihat sebagai penyebab mudahnya
kekuasaan Eropa untuk menodai kedaulatan dinasti Utsmani. Debat internal pun
bermunculan. Ada kelompok yang mendukung pengadopsian gaya sistem hukum barat
sebagai sebuah keniscayaan jika dinasti Utsmani ingin tetap bertahan. Ada pula
yang memandang pengadopsian sebagai sebuah pengkhianatan terhadap tradisi Islam
dan Turki. Mereka yang setuju dengan pentingnya reformasi hukum berargumen
bahwa reformasi bisa dilakukan melalui proses evolutif berdasarkan hukum
syari'ah dan budaya Utsmani.
Sebagai respon terhadap tekanan eksternal dan internal,
Dinasti Utsmani menjalani proses reformasi hukum besar-besaran sejak
pertengahan abad ke-19 hingga proses pembentukan republik pada tahun 1920an.
Langkah pertama proses ini yang kemudian dikenal sebagai proses
pengorganisasian ulang (tanzimat) adalah diumumkannya maklumat tahun 1839 yang
disebut Hatti-I sharif of Gulhane yang memberikan status hukum yang sama bagi
warga muslim dan non-muslim di hadapan Sultan. Walaupun maklumat ini tetap
mencantumkan pernyataan bahwa Syari'ah adalah hukum kerajaan.[29] Permintaan Eropa untuk
melaksanakan reformasi secara lebih spesifik membuat dinasti Utsmani melakukan
perubahan dengan mengeluarkan maklumat tahun 1856 yang menghapuskan kewajiban
membayar jizyah bagi ahl dzimmah, melarang perlakuan atau penyebutan buruk
terhadap mereka, memberikan kesempatan bekerja di Militer dan mengakui
kesetaraan mereka. Menariknya, maklumat ini sama sekali tidak merujuk pada
prinsip-prinsip Islam. Perubahan ini, bukannya menyatukan warga negara, tetapi
malah semakin membatasi otoritas elit agama komunitas non-Muslim dan
meningkatkan perpecahan di antara sejumlah kelompok etnis dan agama.[30]
Langkah reformasi lain adalah diundangkannya Mejelle,
kodifikasi syariah pertama, yang mengkombinasikan prinsip-prinsip hukum Islam
dengan sistem pengaturan ala Barat. Butir-butir dalam kodifikasi itu yang
dipersiapkan oleh sebuah komisi yang beranggotakan para sarjana, hakim dan
pemimpin politik itu ditetapkan menjadi undang-undang antara 1869 dan 1876.
Butir-butir dalam kodifikasi itu dimulai dengan kodifikasi prinsip-prinsip umum
syari'ah (kulliyat) dan diikuti
dengan prinsip-prinsip hukum transaksi (muamalat)
yang termasuk aturan penjualan dan kontrak. Mejelle
lebih memberikan prioritas pada persoalan-persoalan hukum dagang karena
masalah ini membutuhkan standardisasi dan kodifikasi hukum yang lebih jelas
seiring dengan tumbuhnya kapitalisme dan meningkatnya hubungan ekonomi dinasti
Utsmani dengan negara-negara Eropa. Selain itu, dinasti Utsmani juga mengadopsi
sejumlah statuta yang sama persis dengan hukum Eropa, termasuk hukum dagang
tahun 1850, hukum pidana tahun 1851 dan hukum prosedural tahin 1880. Di samping
itu, undang-undang dasar dinasti Utsmani yang sudah ditetapkan pada tahun 1876
memberikan landasan bagi penerapan prinsip-prinsip kesetaraan di depan hukum
dan tiadanya diskriminasi berdasarkan agama.
prinsip-prinsip itu kemudian menguat seiring dengan terjadinya
perkembangan mengenai undang-undang selama peiode akhir dinasti utsmani dan
kemudian semakin mapan di bawah kekuasaan republik setelah 1926.
Sistem pendidikan pun direformasi bersamaan dengan
perubahan yang tersebut di atas. Dalam masyarakat Utsmani tradisional,
sekolah-sekolah Islam (madrasa)
memiliki monopoli virtual dalam bidang pendidikan. Lulusannya menjadi pejabat
tinggi negara tidak hanya pada departemen ilmiyye,
tetapi juga pada departemen Seyfiyye dan
Kalemiyye. Meningkatnya jumlah
sekolah umum dan lulusannya mulai menjadi ancaman bagi dominasi sistem
pendidikan lama dan ulama yang mengontrolnya. Kompleksitas dan spesialisasi
dalam sistem hukum dinasti Utsmani yang baru juga menuntut pendirian sejumlah
institusi pendidikan hukum di luar sistem tradisional.[31] Di sisi lain, Dinasti
Utsmani juga berusaha untuk mereformasi sistem tradisional itu sendiri, dan
membuka madrasah modern (Dar'ül-Hilafeti'l-Aliyye
Medreseleri) pada tahun 1914.
Reformasi hukum merambah pada dibukanya
pengadilan-pengadilan khusus seperti pengadilan dagang pada tahun 1864.
Mengikuti model Eropa, pengadilan-pengadilan yang memiliki panel sejumlah hakim
pun mulai diperkenalkan dan an Appellate Court (Pengadilan
yudisial pun didirikan pada saat itu.
Kementrian Kehakiman didirikan tahun 1868 sebagai satu-satunya institusi yang
memiliki otoritas dalam bidang administrasi kehakiman. Meskipun tujuan
pendirian kementrian ini adalah untuk menstandardisasi dan mensentralisasikan
administrasi hukum di bawah satu institusi, namun dalam realitasnya berbagai
jenis pengadilan malah semakin tumbuh dan berkembang. Akibatnya, selain
Pengadilan Syari'ah, adapula pengadilan untuk non-Muslim (cemaat mahkemereli), pengadilan khusus, pengadilan panel (nizamiye mahkemereli) dan pengadilan
konsular yang dijalankan oleh kekuatan asing di bawah perjanjian Kapitulasi.
Memang ada beberapa usaha yang dilakukan untuk menyatukan pengadilan-pengadilan
itu misalnya dengan menutup pengadilan konsular yang nampak melemahkan
kedaulatan dinasti Utsmani, meniadakan pengadilan yang berbeda bagi
non-kalangan Muslim dan melimpahkan masalah-masalah perdata personal kepada
yurisdikasi pengadilan syaria'h. Namun,
usaha-usaha itu menghadapi tantangan yang cukup besar baik dari luar
maupun dari dalam.[32]
Debat mengenai peran sekularisme mulai muncul pada masa
Dinasti Utsmani pada saat ditetapkannya Undang-Undang Dasar Pertama pada tahun
1876. Ideolog Gerakan Turki Muda yang terkemuka, Ziya Gökalp,
mencoba mengembangkan model dinasti Utsmani sekuler yang berdasarkan perspektif
penyatuan aspek-aspek terbaik tradisi Islam dan Turki dengan modernitas Barat.
Sebagai seorang sosiolog, ia berusaha mengkombinasikan sosiologi Barat dengan
Fiqih Islam dalam disiplin ilmu baru yang dia sebut dengan "Science of The Roots of the Law" (içtimaî usul-ü fikıh) dimana ulama dan
sosiolog akan bekerjasama untuk memodernisasi hukum Islam.[33] Perdana
Menteri Said Halim Pasha yang juga dikenal sebagai seorang pemikir sosial dan
ahli ilmu politik menentang eklektisime yang ditawarkan Ziya Gökalp dan menyerukan modernisasi fiqih melalui mekanisme
internal seperti yang pernah dilakukan Cevdet Pasha. Ismail Hakki, seorang
sarjana modernis lainnya, juga menyerukan pentingnya modernisasi Ushul Fiqih
melalui kebangkitan internal.[34]
Perkembangan-perkembangan dalam dekade terakhir dinasti
Utsmani ini telah diinterpretasikan dengan cara yang berbeda. Satu perspektif
menyatakan bahwa perkembangan ini merupakan konsekuensi dari sistem hukum dan
peradilan yang terpisah-pisah yang gagal memenui kebutuhan masyarakat dinasti
Utsmani. Sebagian lain mengkritik pengadopsian seluruh struktur hukum dan
undang-undang Eropa sebagai sesuatu yang tidak menghasilkan apa-apa karena
pengadopsian itu gagal mempertimbangkan struktur kultural masyarakat dinasti
Utsmani. Selain itu, kelompok ini juga
berpendapat bahwa pengintegrasian norma-norma hukum Barat pada sistem hukum
dinasti Utsmani menghancurkan kesatuan sistem hukum dinasti Utsmani yang lama
dan meningkatkan ketergantungan sistem ini pada sistem hukum Barat, dan
"semakin melebarkan jalan bagi pengadopsian sistem hukum Barat secara
penuh di masa yang akan datang".[35] Sementara itu, pendapat lain menyatakan bahwa walaupun
usaha reformasi dinasti Utsmani tidak pernah menghasilkan sistem hukum yang
koheren dan sama, namun usaha ini bisa juga dilihat sebagai pendekatan evolutif
terhadap reformasi hukum dan usaha untuk merevitalisasi Syari'ah dan sistem
hukum dinasti Utsmani melalui sintesa antara tradisi dan budaya hukum Islam dan
Barat. Gerakan warga Utsmani terhadap konstitusionalisme dan pluralisme
selanjutnya dipengaruhi oleh permintaan dan contoh dari Eropa, namun tetap
berpijak pada prinsip-prinsip Islam. Beberapa sejarawan dan sosiolog modern
Turki berargumen bahwa usaha-usaha ini
muncul dalam sistem hukum modern yang mereka anggap sebagai sistem yang
benar-benar Islami. Namun menurut
pandangan terakhir ini, proses tadi terganggu dengan perubahan revolusiner
gerakan turki Muda yang bertujuan mewesternisasi hukum dan budaya Turki. [36] Menurut saya, kedua posisi ini valid namun yang terpenting
adalah debat seperti ini terjadi dalam jalu analisis dan penilaian yang sama
dengan yang saya ajukan dalam buku ini.
IV. Sekularisme Republikan ala Kemal
Kemenangan tentara Mustafa Kamal tahun
Agustus 1922 menandai berakhirnya Perang Turki dan berdirinya Republik. Di
bawah kepemimpinan Kemal, republik baru mulai mengadakan serangkain
reformasi radikal yang bertujuan untuk
merubah Turki menjadi negara sekuler modern. Dengan mengikuti model laicite
Perancis (laiklik dalam bahasa Turki), para pendukung gerakan Kemal berusaha
untuk membatasi peran agama hanya sebagai sistem kepercayaan privat, yang
terpisah dari ruang publik. Ideologi baru ini dimplementasikan melalui
dikeluarkannya serangkaian kebijakan dan hukum antara tahun 1922 dan 1935.
Diantara perubahan radikal itu adalah penghapusan sistem kekhalifahan,
penutupan sekolah-sekolah Islam tradisional (madrasa), dan pembubaran pengadilan agama pada tahun 1924. pada
tahun-tahun berikutnya, rezim baru mulai membubarkan sejumlah tarikat, melarang
pemakaian tutup kepala khas dinasti Utsmani (fez) bagi laki-laki, menghalangi
perempuan untuk memakai kerudung dan mengadopsi kalendar Gregorian sebagai
satu-satunya kalender resmi. Pada tahun 1926, Hukum Pidana baru yang
berdasarkan model Swiss mulai diadopsi. pengadopsian ini menandai berakhirnya
hubungan hukum negara dengan syariah sekaligus dimulainya pengenalan
undang-undang pernihakan dan perceraian sipil. Pada tahun 1928, negara mulai
mendeklarasikan diri sebagai negara sekuler, Islam tidak lagi dianggap sebagai
agama resmi negara dan alfabet Turki yang sudah dilatinkan pun mulai diadopsi.
Hari minggu ditetapkan sebagai libur mingguan resmi pada tahun 1935.[37]
Namun demikian, bentuk sekularisme Kemalian
ini didesign agar negara bisa mengontrol agama, daripada sekedar
menyingkirkannya dari ruang publik. Satu langkah penting yang diambil dalam proses ini adalah
mengontrol ulama dan tarikat sufi melalui berbagai cara termasuk menetapkan
undang-undang mengenai penyatuan sistem pendidikan yang menjadi landasan hukum
bagi penutupan seluruh madrasah dan pelimpahan seluruh urusan pendidikan pada
kekuasaan kementrian pendidikan. Pemakaian baju tradisional (termasuk fez dan
turban) oleh ulama juga dilarang, dan mereka tidak lagi diperbolehkan untuk
memakai gelar yang melambangkan otoritas keagamaan seperti "alim"
atau "syeikh". Pada tahun 1928 pengadopsian alfabet Roma dan
pelarangan pengajaran Bahasa Arab dan Persia dilakukan untuk menghancurkan
hubungan kultural dan intelektual antara dinasti utsmani lama dengan dunia
Islam modern.[38]
Usaha-usaha ini juga menandakan bahwa Ulama
tidak lagi memainkan peran signifikan dalam masyarakat. Pengetahuan yang mereka
kuasai dan wakili dipandang tidak lebih sebagai peninggalan masa lalu dan
hambatan bagi usaha negara untuk menghadirkan modernitas dalam masyarakat
Turki. Kesempatan mereka untuk bekerja dengan pengetahuan dan pengalaman
pendidikan yang mereka miliki kini terbatas pada masjid dan institusi-institusi
keagamaan. karena institusi-institusi itu pun dikontrol dan dibiayai oleh
negara, independensi ulama pun dilumpuhkan secara efektif. kelas intelektual
lama tergantikan oleh kelas intelektual baru yang berusaha untuk memutuskan
ikatan masa lalu dan membangun negara dengan budaya sekuler baru. Sebagai
contoh, Institut Sejarah Turki mulai menulis sejarah Turki dan Institut Bahasa
Turki membentuk ulang bahasa Turki.[39]
Reformasi yang dilakukan oleh kelompok Kemal Attaturk
dipaksakan oleh negara dan hanya mendapatkan justifikasi yang kecil dari
publik.[40] Penting untuk dicatat
bahwa gerakan ini tidak dimotivasi oleh ateisme maupun oleh pandangan
anti-islam. Mustafa Kemal malah selalu menekankan kesetiaannya kepada Islam.
pada tahun 1923, ia misalnya menyatakan: "Agama kita adalah agama yang
paling masuk akal dan alami. Karena itulah, agama kita menjadi agama terakhir.
Agama yang alami harus sesuai dengan akal, ilmu pengetahuan, teknologi dan
logika. Dan agama kita memang memenuhi persyaratan itu."[41] Jadi, usaha Mustafa Kemal
untuk mensekularkan Turki lebih dimotivasi oleh pragmatisme dan keinginan untuk
menghilangkan model negara dinasti Utsmani termasuk menghapuskan penerapan
syari'at yang telah digunakan oleh Eropa sebagai alasan untuk melakukan
intervensi terhadap urusan dalam negeri Turki. Ia melihat bahwa penghapusan
simbol-simbol lama itu merupakan langkah yang penting bagi Turki agar bisa menjadi negeri yang benar-benar
independen dari hegemoni dan campur tangan Barat. Ia bahkan menganggap
reformasi yang dilakukannya sebagai upaya untuk melindungi Islam, untuk
memisahkan agama yang suci dari politik yang kotor. Kemal dan pendukungnya
beranggapan bahwa pengadopsian norma dan institusi modern memang mengharuskan
dikorbankannya beberapa pemahaman agama tradisional. Dan hanya itulah cara bagi
ummat Islam untuk bisa bertahan secara terhormat dalam dunia modern ini.
Dengan keyakinan bahwa memodernisasi dan mewesternisasi
Turki merupakan jalan yang terbaik bagi negeri itu, pendukung gerakan Kemal
bertujuan untuk mendidik, membimbing, bahkan jika perlu memaksa, masyarakat
Turki menjadi masyarakat yang sekuler dan modern. Kharisma dan posisi Mustafa
Kemal sebagai "penyelamat" dan "bapak" bangsa setelah
kemenangannya dalam perang kemerdekaan digunakan untuk mempromosikan dirinya
sebagai sosok yang bebas dari kesalahan, pemurah dan sangat berkuasa.
Pertanyaan, kritik dan perdebatan apapun yang ditujukan pada gerakan reformasi
Kemal dianggap sebagai gangguan bagi perkembangan negara. Aturan atau kebijakan
apapun yang dianggap oleh negara sebagai karakter peradaban modern harus
sesegara mungkin diadopsi di Turki, hingga justifikasi publik nampaknya tidak
lagi diperlukan. Institusi-institusi negara biasanya mengimplementasikan
kebijakan terlebih dahulu, barulah kemudian kalangan intelektual dan jurnalis
mencari pembenaran atas kebijakan tersebut. Karena khawatir akan gangguan
kekuatan oposisi dan pemikiran kritis terhadap jalannya reformasi, negara
membungkam dan mengasingkan siapapun yang
tidak setuju atau mempertanyakan upaya reformasi atas dasar ideologi
atau perspektif apapun.
Isu reformasi yang paling kontroversial yang harus
dihadapi oleh republik baru adalah penghapusan sistem khalifah. Walaupun Majlis
Agung Nasional Turki (GNA) telah menghapuskan kesultanan pada tahun 1922,
kantor kekhalifahan dan penunjukkan anggota keluarga dinasti Utsmani sebagai
khalifah masih dipertahankan. Banyak orang, termasuk tokoh gerakan nasionalis
Turki seperti Ziya Gökalp, mendukung pemisahan antara
Kesultanan dan Kekhalifahan, dan berusaha agar khalifah tidak memiliki peran
dalam politik nasional. Khalifah hanya dianggap sebagai pemimpin spiritual
komunitas Muslim global yang mungkin posisinya setara dengan Paus. Pendekatan
ini, menurut pendukungnya, justru akan memperkuat institusi kekhalifahan karena
pengaruhnya akan meluas secara internasional sebagai dasar kesatuan bagi Ummat
Islam di zaman baru. Sementara itu, bangsa
Turki sendiri akan menjadi penjaga kekhalifahan.[42]
Sementara tokoh lain, seperti Mustafa
Kemal, memandang bahwa keberadaan
khalifah yang menjadi peninggalan sejarah seperti itu akan mengancam kedaulatan
nasional republik yang baru berdiri.[43] Kelompok ini menentang usulan untuk
menjadikan khalifah sebagai pemimpin agama internasional sebagai usulan yang
tidak mungkin. Karena menurut kelompok ini, institusi kekhalifahan pun bukanlah
institusi yang benar-benar Islami, melainkan penyesuaian dari pemerintahan
kesultanan. Kelompok ini tidak menerima kemungkinan pendefinisian ulang
institusi kekhalifahan dalam konteks Islam dan juga tidak percaya percaya bahwa
pendefinisian ulang itu adalah sesuatu yang diinginkan. Mereka bahkan
melihatnya sebagai mimpi yang tidak berguna, yang tidak mungkin bisa dicapai
oleh republik baru.[44]
Menarik untuk dicatat bahwa mereka yang
berusaha menghapuskan institusi kekhalifahan berusaha menjustifikasi pandangan
mereka dengan argumen-argumen keagamaan maupun alasan-alasan politik. Seyyid
Bey, Menteri Kehakiman, misalnya menyebarkan pamflet dan berbicara di hadapan
anggota Majlis Nasional (GNA). Ia berargumen bahwa baik Qur'an atau Sunnah
tidak mempunyai penjelasan apapun mengenai kekhalifahan, dan ini berarti bahwa institusi ini bukan
institusi keagamaan, melainkan institusi yang bersifat duniawi dan politis.
Al-Qur'an, menurut Seyyid Bey, hanya menyebut dua prinsip yang berkaitan dengan
sistem pemerintahan yang tepat: yaitu ide mengenai musyawarah (mesheverret) dan ketaatan kepada pemilik
otoritas (ulû’l
emr). Islam dengan demikian tidak menuntut adanya
bentuk pemerintahan tertentu, dan bentuk pemerintahan apapun yang mengikuti
prinsip-prinsip tadi bisa dianggap sah. Dengan demikian pula, tidak ada
hambatan dalam syariah untuk mengakui pemerintahan parlementer, dan di zaman
modern ini hanya pemerintahan parlementer lah yang secara sah bisa
merealisasikan prinsip-prinsip islam tentang musyawarah dan tertib hukum.
Menurutnya, otoritas khalifah tradisional secara umum (wilaya al 'Amma) yang
berupa tanggung jawabnya terhadap urusan-urusan publik justru berdasarkan akad
wikalah (aqd-î Wakâlet), dimana Khalifah adalah agen bangsa dan
kekuasaannya berasal dari kehendak dan pilihannya. Menurut Seyyid Bey,
institusi kekhalifahan yang berdiri bukan melalui pilihan komunitas Muslim
berarti tidak sah menurut syari'ah. Dia kemudian menyimpulkan bahwa tidak ada
institusi kekhalifahan yang sah sepeninggal Ali, Khalifah IV, karena setelahnya
kekhalifahan diambil alih melalui kekuatan dan bukan melalui kehendak ummat.[45]
Debat mengenai penghapusan institusi
kekhalifahan muncul bersamaan dengan debat mengenai penghapusan syari'ah dan
wakaf dan pentingnya mereformasi sistem pendidikan dengan mengintegrasikan
pengelolaan madrasah di bawah kementrian pendidikan. Meskipun semua usulan
tersebut diajukan oleh GNA, banyak anggota majelis ini yang mengungkapkan
kekhawatirannya terhadap usaha mempersempit peran agama hanya sebagai urusan
akhirat dengan berargumen bahwa agama, bagaimanapun, akan selalu mempengaruhi
politik. Anggota majelis lainnya malah beranjak lebih jauh. Mereka beranggapan
bahwa Islam berbeda dengan Kristen dan tidak bisa dipisahkan dari urusan-urusan
duniawi laiknya posisi agama di negara-negara Eropa.[46]
Debat parlementer yang terjadi di masa
republik awal ini tak pelak lagi memberikan legitimasi bagi gerakan reformasi
Mustafa Kemal. Namun setelah dijalankan, program reformasi ini diperlakukan
negara sebagai sesuatu yang tidak bisa dipertanyakan, hingga mengkritik
Attaturk dan prinsipnya menjadi sebuah tindak kejahatan. Sejak saat itu, enam
prinsip Kemalisme (Republikanisme, Nasionalisme, Popularisme, Stateism, Sekulerisme dan
Revolusionisme) diangggap sebagai fondasi abadi rezim modern yang tak bisa
disentuh. Semua intelektual diharuskan mendukung ideologi resmi negara seperti
yang terrangkum dalam enam prinsip tadi secara terbuka. Enam prinsip ini juga
harus menjadi bagian kurikulum di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi, tak
peduli apapun jurusannya. Para pelajar dan mahasiswa diharuskan mengambil mata
kuliah mengenai prinsip-prinsip itu berulang-ulang agar bisa menginternalisasi
prinsip-prinsip Attaturk dan menegakkan peninggalaan revolusionernya. Debat
apapun mengenai sekulerisme harus menegaskan ulang komitmen terhadap
prinsip-prinsip Attaturk terlebih dahulu karena prinsip-prinsip ini sejak awal
telah menjadi model yang terbaik bagi Turki dan tidak pernah bisa dipertanyakan
atau dirubah.
Karena hambatan, keterbatasan dan pembatasan
hukum seperti ini, maka debat publik yang bebas mengenai sekulerisme dan
masalahnya menjadi hal yang sangat sulit di Turki. Akibatnya, ekspresi ketidak
puasan terhadap praktik sekularisme pada saat itu tidak terdokumentasikan. Yang
jelas, mayoritas masyarakat Turki memang mendukung sistem pemerintahan yang
sekuler. Jadi, keluhan masyarakat sebetulnya cenderung diarahkan pada praktik
otoritarian negara seperti pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang
sebetulnya tidak sejalan dengan prinsip negara demokrasi modern daripada
terhadap sistem sekuler itu sendiri. Banyak sejarawan Turki yang terkesan
terhadap betapa dalam dan beragamnya debat mengenai agama dan politik yang
terjadi pada akhir masa pemerintahan dinasti Utsmani (akhir abad 19 dan
permulaan abad 20) dan mereka mengekspresikan ketidakpuasannya terhadap
kepalsuan wacana yang berkembang di abad ke-20 hingga sekarang.[47]
Untuk mengakhiri bagian ini dan
memperkenalkan bagian selanjutnya, ada baiknya bila saya menyinggung
perkembangan politik sejak berdirinya Republik hingga saat ini. akhir Perang
Dunia I menandai runtuhnya Dinasti Utsmani dan berkurangnya wilayah
kekuasaannya. Mustafa Kemal tak lama kemudian memimpin revolusi perlawanan
terhadap rezim Utsmani lama dengan sukses dan pada tahun 1922 republik baru pun
didirikan. Republik baru ini melakukan proses reformasi yang sangat cepat yang
ditujukan untuk merubah kehidupan politik dan sosial bangsa Turki dengan
melakukan sekularisasi dan westernisasi serta membatasi dan mengontrol peran
agama dan juga institusinya. Partai Mustafa Kemal, Parta Republik Rakyat (CHP) memerintah Turki
sampai munculnya era sistem multi partai pada pertengahan abad 20. serangkaian
kup militer (yang terjadi pada tahun 1960, 1971, 1980, dan 1997) yang terjadi
di Turki sebagai reaksi militer atas ancaman yang bisa menghancurkan karakter
sekuler negara Turki menyebabkan demokrasi negeri ini lebih bercorak
otoritarian. Protes-protes terutama yang muncul dari kelompok agama atau etnis
yang berbeda dengan rezim ditekan sedemikian rupa. Namun, perkembangan mutakhir
di Turki seperti terpilihnya partai sekular namun pro Islam (AKP) dalam
pemerintahan dan keputusan Turki untuk mendapatkan keanggotaan penuh dari Uni
Eropa nampaknya akan meningkatkan kualitas demokrasi dan perlindungan terhadap hak asasi manusia
di negeri itu. Namun kita masih harus melihat apakah trend positif ini masih
akan berlanjut atau tidak.
V. Dilema Negosiasi Sekularisme
Buku ini tidak akan mendiskusikan seluruh pengalaman Turki sejak masa
transisi ke Republik di tahun 1920. sebaliknya, dalam buku ini saya akan
mempertimbangkan pertanyaan mengenai apakah otoritarianisme republikan ala
Kemal sukses dalam tujuan politik yang dideklarasikannya atau tidak, dan
seberapa mahal harga yang harus dibayar Kemal untuk mencapai tujuannya itu?
Beberapa masalah yang dibahas dalam bagian ini akan membantu untuk melihat
dilema yang terdapat dalam upaya menyeimbangkan pemisahan Islam dan negara
dengan tetap mengakui dan mengatur peran Islam dalam politik. Yang terpenting
dari review yang kita lakukan ini adalah Negara Republik Turki telah berusaha
untuk menekan atau mengontrol peran Islam, daripada membatasi perannya dengan
menyediakan ruang agar peran itu tetap bisa dinegosiasikan dalam kerangka
demokratis yang konstitusional seperti yang saya ajukan dalam Bab 3. Usaha
negara Turki untuk menekan dan mengontrol Islam memperlihatkan bahwa negara
mengakui kuatnya pengaruh agama,
walaupun pengakuan ini tidak dalam konteks positif seperti yang saya
sebutkan tadi. Seperti yang akan saya tekankan nanti, partai-partai sekular
Turki dan negara masih harus berhadapan dengan realitas peran politik Islam.
Walaupun posisi Islam sebagai agama resmi negara telah
dicabut pada tahun 1928 dan pandangan sekularisme Republik diteguhkan kembali
dalam Undang-Undang dasar tahun 1937, partai tunggal penguasa (CHP) harus
berhadapan dengan realitas politik Islam ketika kebijakan multi partai mulai
kembali diberlakukan pada tahun 1946. CHP harus merevisi pandangan buruknya
tentang Islam ketika para pemimpin partai ini menyadari bahwa rival kuat mereka
yang baru muncul, Partai Demokrat, berhasil menarik simpati kalangan
konservatif. Beberapa anggota parlemen dari CHP juga beranggapan bahwa
reformasi sekularisme telah berjalan terlalu jauh dengan menyebabkan terjadinya
kevakuman moral dan etik dalam sosialisasi anak muda.[48]
CHP memperkenalkan kembali pelajaran agama yang bebas
dipilih oleh siswa di sekolah, membuka sekolah-sekolah untuk melatih para Imam
dan da'i dan mendirikan Fakultas Teologi di Universitas Ankara. Namun pada saat
yang sama, CHP juga menambahkan artikel 163 ke dalam Hukum Kriminal untuk
memberikan sanksi kepada "propaganda keagamaan yang melawan negara
sekuler."[49] Partai Demokrat, pada masa pemerintahannya,
pun tetap menyatakan komitmennya pada sekularisme sebagai prinsip dasar negara,
namun partai ini berusaha untuk mencari dukungan politik dari kelompok-kelompok
Islam semacam Nur Cemmati yang dipimpin oleh Bediüzzaman Said Nursi. Namun kup
militer tahun 1960 mengakhiri aliansi
ini, nampaknya, karena jenderal-jenderal militer beranggapan bahwa Said Nursi
sedang berusaha mendirikan negara teokratis di Turki.[50] Penting untuk
membincangkan peran politik militer dalam mempromosikan dan mempertahankan
pandangan sekularisme di Turki karena Militer pulalah yang hampir meniadakan
kemungkinan bagi politik Islam untuk muncul di negeri itu.
Peran Militer
Angkatan Bersenjata Turki (TSK) mungkin merupakan
pendukung sekularisme Mustafa Kemal yang paling kuat, sekaligus pelaksana yang
paling efektif. Gerakan Kemal tidak hanya bisa mendapatkan kekuasaan melalui
militer, namun Partai CHP yang mendominasi kehidupan politik Turki hingga
berakhirnya periode partai tunggal di tahun 50-an juga menggunakan militer
untuk memajukan ideologi modernisasi, westernisasi dan sekularismenya. CHP juga
menggunakan wajib militer untuk mendoktrinasi anak-anak muda Turki, yang diantaranya baru pertama kali
meninggalkan kampungnya, dengan doktrin Kemalian.[51] Tenaga sukarelawan militer ini menerima
pelatihan ideologis tentang sejarah,
pemerintahan, agama, geografi, matematika dan pertanian. Mereka juga terlibat
dalam proyek "prajurit masuk desa" yang mempergunakan tenaga prajurit
untuk membangun sekolah, bendungan, masjid, dan memenuhi kebutuhan pertanian
masyarakat desa. Setelah pekerjaan selesai, komandan tentara akan datang ke
desa itu dengan membawa bendera dan patung Attaturk. Dengan cara itu,
terbangunlah hubungan antara masyarakat desa dengan rezim modernis.[52]
Penggunaan militer untuk tujuan-tujuan politik dan
ideologi pemerintahan Kemal membentuk cara pandang militer terhadap institusi
mereka. Tentara memandang dirinya lebih sebagai pelindung negara dari ancaman
internal baik itu islam politik, sektarianisme, nasionalisme Kurdi daripada
sebagai kekuatan pelindung dari ancaman luar.[53] Politisasi angkatan
bersenjata ini terlihat dalam serangkaian kup militer yang menghambat
perkembangan demokrasi dan konstitusi di negara tersebut. Kup pertama yang
terjadi pada tahun 1960 muncul hanya 10 tahun setelah Turki merubah sistem kepartaiannya
dari sistem partai tunggal ke sistem multipartai. Undang-undang tahun 1961 yang
ditetapkan oleh rezim militer saat itu membentuk Majelis Keamanan Nasional
(MGK). Peran majelis ini dibatasi hanya untuk memberikan rekomendasi kepada
pemerintah, mendukung dan melakukan koordinasi dengan mereka dalam
masalah-masalah keamanan nasional. Realitasnya, MGK meletakkan platform bagi
militer untuk berbagi otoritas negara dengan politisi sipil. Dengan terjadinya
dua kali kup militer setelahnya (1971-1980), MGK menjadi entitas politik yang
semakin kuat, otonom dan benar-benar dikontrol oleh militer. Dengan memperkuat
peran MGK, Undang-Undang Dasar tahun 1982 semakin membatasi debat publik
mengenai isu-isu politik dan sosial tertentu dengan alasan untuk melindungi
keamanan nasional.[54]
Peran militer sebagai penjaga sekularisme Kemalian
terilustrasikan secara dramatis oleh peristiwa pada 28 Februari 1997 lalu
ketika militer, yang bertindak melalui MGK, memaksa pemerintahan yang dipimpin
oleh Perdana Menteri Necmettin Erbakkan dan partainya Partai Kesejahteraan
Islam (RP) untuk mengundurkan diri. Intervensi militer ini didasarkan pada
aturan yang ditetapkan satu bulan sebelumnya yang memungkinkan MGK untuk
mengambil alih kontrol dari pemerintahan jika negara dalam kondisi krisis tidak hanya karena terjadinya bencana alam,
termasuk juga karena adanya gerakan sosial internal.[55] Selain memaksa pemerintah
yang berkuasa saat itu untuk mengundurkan diri pada februari 1997, MGK juga
menuntut diberlakukannya tindakan yang lebih keras kepada gerakan-gerakan Islam
dan juga kontrol yang lebih ketat terhadap yayasan-yayasan sosial dan
sekolah-sekolah. Intervensi yang dilakukan militer pada 28 februari 1997 itu
mendapatkan dukungan yang cukup besar dari media dan masyarakat Turki yang
umumnya menyalahkan Partai Refah sebagai pemicu timbulnya kup. Fenomena ini
memperlihatkan bahwa kelas menengah urban Turki menganggap militer sebagai
penjaga sekularisme dari ancaman fundamentalisme Islam.
Ironis memang! Desakan untuk membatasi intervensi militer
terhadap kehidupan politik negeri itu tidak muncul, seperti yang diharapkan,
dari eliter sekuler Turki yang telah terbaratkan. Pembatasan ini malah muncul
sebagai reformasi konstitusional yang harus diambil Turki untuk memuluskan
permintaan keanggotaannya dalam Uni Eropa seperti yang akan kita bahas dalam
akhir bab ini. Tentu membuat prediksi yang akurat mengenai reaksi pemimpin
militer terhadap pembatasan ini masih saat dini saat ini, apalagi jika
pembatasan ini dianggap militer sebagai ancaman bagi kalangan status quo yang
sekuler. Namun jelas bahwa sekularisme yang sudah sedemikian mapan di Turki
untuk terus tergantung pada perlindungan dari militer. Menurut saya,
kontradiksi sekularisme otoritarian yang terjadi di Turki terjadi karena peran
politik militer memang malah memperlemah sekularisme di negeri ini, dan bukan
melindungi atau mempromosikannya. Persepsi umum bahwa militer adalah penjaga
sekularisme tidak hanya melemahkan legitimasi prinsip ini tetapi juga melanggar
dsar prinsip ini yang berakar dalam pemeritahan yang demokratis dan
konstitusional.
Kontrol Negara terhadap Agama dan Pendidikan Agama
Dalam rangka mengembangkan kebijakan kontrol ketat
terhadap agama, rezim republik baru melanjutkan praktik-praktik yang pernah
dijalankan dinasti Utsmani untuk mengakui, mendukung dan mengontrol institusi
dan praktik keagamaan baik muslim maupun non-muslim. Kartu Tanda Penduduk yang
dikeluarkan negara mengharuskan setiap orang untuk mengidentifikasi identitas
keagamaannya pada 4 komunitas agama yang diakui secara resmi oleh negara sesuai
dengan Perjanjian Lausanne tahun 1923 yaitu: Muslim, Kristen Ortodoks Armenia,
Kristen Ortodoks Yunani dan Yahudi.[56] Mayoritas muslim turki
adalah sunni, walaupun ada sejumlah kecil penganut Syi'ah dan minoritas kaum
Alawi yang berjumlah kurang lebih antara 5 sampai 12 juta orang. Perbedaan ini
sengaja saya cantumkan disini untuk menekankan sensitivitas dan kontradiksi
politis yang ada dalam sikap masyarakat dan pejabat Turki terhadap agama.
pemerintah memang tidak memperlakukan kaum Alawi sebagai kelompok agama yang
berbeda walaupun mereka sebetulnya memang berbeda dari mayoritas Sunni.
Meskipun komunitas agama lain seperti beberapa sekte Kristen, Baha'I dan
yezidis juga ada di Turki, namun mereka tidaklah diakui secara resmi dan
anggotanya biasanya disebut Muslim dalam KTP.
Pasal 136 Undang-Undang Dasar tahun 1982 menetapkan
Departemen Agama (Diyanet) bertanggung jawab untuk melaksanakan tugas yang
telah dimandatkan kepadanya dalam undang-undang tertentu sesuai dengan
prinsip-prinsip sekularisme, harus dibedakan dari ide-ide dan pandangan politik
serta bertujuan untuk menjaga integritas dan solidarita nasional."
Departemen ini bertanggung jawab untuk mengatur dan mengoperasikan kurang lebih
75.000 masjid yang terdaftar dan imamnya yang dianggap sebagai pegawai negeri.
Kebijakan dan aktivitas yang dijalankan oleh departemen ini biasanya
merefleksikan doktrin sunni. Departemen ini juga tidak memberikan alokasi dana
bagi masjid atau imam komunitas syi'ah dan Alawi, tetapi mereka biasanya bebas
untuk mengumpulkan dananya sendiri. badan pemerintahan lain yang mengurusi
agama adalah Direktorat Jenderal Yayasan (Vakiflar
Genel Mudurlugu) yang bertugas mengatur yayasan-yayasan sosial Muslim dan
juga aktivitas, gereja, sinagog, atau bangunan agama kelompok non-Muslim.[57]
Undang-undang Turki juga melarang pendirian Tarikat dan
Perkumpulan Sufi lain. Namun, pelarangan ini tidak diterapkan secara ketat dan
banyak di antara tarikat dan perkumpulan yang masih aktif dan berkembang.
selain itu, hanya negaralah yang berhak menentukan tempat peribadatan, dan
kegiatan-kegiatan keagamaan hanya boleh dilaksanakan di tempat-tempat yang
telah ditentukan. Kebijakan ini merupakan bentuk diskriminasi terhadap kelompok
agama yang tidak diakui secara resmi oleh negara karena mereka sering menghadapi kesulitan
untuk mendapatkan tempat yang telah ditentukan untuk melaksanakan peribadatan
mereka dan mereka bisa dijatuhi hukuman bila menyelenggarakan pertemuan
keagamaan yang tak diizinkan.[58]
Ketegangan yang muncul dalam sekularisme ala Kemal juga
muncul dalam bidang pendidikan agama. sejak awal, rezim Kemal mengambil alih
seluruh institusi pendidikan agama di Turki dan menempatkannya di bawah
Kementrian pendidikan.[59] Negara mengambil alih
sistem pendidikan agama dari tangan para ulama untuk menerapkan sistem
pendidikan nasional modern yang tersentralisir. Sistem pendidikan baru ini
diharapkan menjadi jalan bagi terbentuknya bangsa baru yang memiliki identitas
dan sistem etik yang sekuler.[60] Selama masa bekuasanya
partai tunggal, CHP, negara hanya menyediakan kesempatan pendidikan agama yang
terbatas. namun dengan lahirnya kebijakan multi partai pada tahun 1950, rezim
baru mulai mendirikan Sekolah Imam dan Da'I yang diberi nama Imam dan Preacher
High Schools (IPHS) pada tahun 70an dan membolehkan lulusannya untuk meneruskan
ke universitas seperti halnya lulusan sekolah umum. Jumlah sekolah-sekolah ini
kemudian berkembang cukup pesat dan pendaftaran terus meningkat selama tahun
70an pada saat pemerintahan koalisi yang memasukkan partai Islam MSP terbentuk.
Namun perkembangan sekolah-sekolah ini mulai melambat setelah terjadinya kup
militer di tahun 80an, namun minat kalangan Islamis Turki terhadap
sekolah-sekolah itu menimbulkan kecurigaan di kalangan sekularis.
Interfensi militer pada tahun 1997 mengakibatkan
terjadinya reformasi sistem pendidikan yang membuat sistem IPHS menjadi tidak
begitu menarik lagi bagi para siswa. Di bawah undang-undang yang ditetapkan
tahun 1997, setiap siswa harus menjalani wajib belajar selama 8 tahun termasuk
keharusan mengambil mata pelajaran "pendidikan moral dan agama" di
tingkat dasar dan menengah yang berada ibawah arahan dan kontrol negara.
undang-undang ini juga mengizinkan penyampaian pengajaran bidang agama yang
lain sesuai dengan pilihan siswa atau sesuai dengan permintaan perwakilan
hukumnya. Isi pengajaran agama benar-benar dikontrol oleh negara dan
berdasarkan doktrin sunni. Pengajaran agama semacam ini mengundang banyak
kritik baik dari pihak sunni maupun non-sunni. Kalangan sunni menganggap
pengajaran agama itu tidak cukup memadai, sedangkan kalangan non-sunni
menolaknya karena pengajaran model itu meniadakan kepercayaan agama mereka.
Anggota kelompok agama minoritas yang diakui pemerintah dibebaskan dari kewajiban
pelajaran agama ini sesuai dengan permintaan seperti yang tertera dalam
perjanjian Lausanne 1923. sedangkan anggota kelompok agama yang tak diakui
tidak dibebaskan dari kewajiban itu secara legal, namun dalam praktiknya mereka
dibebaskan.
Setelah menyelesaikan 8 tahun jenajng pendidikan dasar
dan menengah, siswa mungkin melanjutka ke sekolah-sekolah umum maupun IPHS.
IPHS dianggap sebagai sekolah kejuruan, dan meskipun lulusan sekolah ini
diizinkan untuk melanjutkan pendidikannya di luar negeri, perundang-undangan
tahun 1997 menentukan nilai ujian mereka akan berkurang secara otomatis jika
mereka mengambil program yang tidak berhubungan dengan agama. walaupun banyak
orang tua yang masih mengirim anak-anaknya ke sekolah-sekolah IPHS agar
mendapatkan pendidikan agama yang lebih luas, daripada hanya untuk sekedar
menjadi imam atau pegawai negeri agama, kesulitan yang mereka dapat ketika akan
masuk universitas membuat pendaftaran ke sekolah-sekolah ini menurun. Selain
itu, beasiswa dan fasilitas asrama gratis yang ditawarkan oleh sekolah-sekolah
IPHS membuat sekolah itu lebih menarik bagi kalangan miskin atau bagi perempuan
yang berasal dari keluarga konservatif yang tidak akan mengirim mereka ke
sekolah umum.
Masa depan sistem IPHS dan masalah mengenai tempat yang
tepat bagi pendidikan agama menjadi bahan perdebatan yang cukup hangat di
Turki. Kelompok pertama berargumen bahwa
peran utama IPHS adalah untuk mengajarkan agama, daripada melatih ahli
agama dan mereka menyerukan untuk menghapus pengurangan nilai secara otomatis
yang menurunkan nilai lulusan IPHS dalam seleksi penerimaan itu. Namun usaha
yang dilakukan pemerintahan AKP pada tahun 2004 untuk memenuhi janji
kampanyenya dan merevisi hukum tersebut mendapatkan kritik yang cukup keras
dari media dan kalangan akademis, dan bahkan akhirnya diveto oleh presiden.
Kelompok sekuleris, di sisi lain, umumnya mengusahakan agar fungsi IPHS terus
dibatasi hanya untuk melatih tenaga ahli agama. Dengan cara ini, negara bisa
terus mempertahankan kontrolnya terhadap pendidikan agama dan karir yang
berkaitan dengannya karena negaralah yang melatih tenaga ahli agama seperti
imam dan guru agama di sekolah umum, mempekerjakan mereka di masjid-masjid atau
sekolah yang menggaji mereka sebagai pegawai negeri.[61]
Pendapat ketiga mengajukan agar pembedaan antara IPHS dan
sekolah umum dikurangi dengan menawarkan kelas pilihan pelajaran agama di
sekolah-sekolah umum. Namun usulan ini melahirkan masalah lain berkaitan tidak
hanya dengan materi yang harus diajarkan di kelas pilihan itu namun juga adanya
resiko pemaksaan terhadap siswa untuk mengikuti kelas pilihan itu. Selain itu,
kalangan konservatif khawatir pelaksanaan kelas pilihan di sekolah-sekolah umum
akan menurunkan tingkat penerimaan di IPHS sedangkan kalangan sekuler khawatir
kelas-kelas pilihan itu akan merubah sekolah umum menjadi IPHS-IPHS baru.[62] Akhrinya, pendapat
kelompok keeempat menyebutkan bahwa negara sekuler tidak berkewajiban untuk
menyelenggarakan pendidikan agama di manapun dan bahwa semua pendidikan agama
harus diprivatisasi. Namun beberapa orang melihat privatisasi agama secara
total ini dengan penuh kecurigaan karena mereka takut sikap ini akan memberikan
kesempatan yang lebih besar kepada fundamentalis muslim yang bisa saja
menggunakan kesempatan seperti itu untuk mempromosikan padangan tersebut dan
merekrut siswa.[63]
Tak tepat dan tak mungkin kita berusaha menilai atau
mengevaluasi debat mengenai pendidikan agama itu dalam kesempatan ini. saya
hanya ingin menekankan adanya perbedaan pandangan dan sikap mengenai isu
tersebut, dan bagaimana argumen yang digunakan dalam perdebatan itu
mengindikasikan adanya ketegangan dalam masyarakat dan juga dalam hubungan
antara negara dan agama. masalah terpenting yang dibahas dalam buku ini adalah
bagaimana mengamankan kerangka konstitusionalisme dan hak asasi manusia serta
mempromosikan dan memfasilitasi terjadinya penalaran publik dalam
menegosiasikan dan memediasi ketidak sefahan yang tak mungkin terhindarkan
menyangkut persoalan kebijakan publik.
Larangan Menggunakan Kerudung
Di antara kontradiksi sekularime otoritarian di Turki, isu mengenai
kerudung merupakan isu yang paling kontroversial dan simbolis pada tahun 90an
dan awal 2000. kita tidak akan mendiskusikan seluruh aspek isu ini dan
mengaitkan tingkat perkembangan di Turki dengan perkembangan di Eropa karena
itu tidak perlu dan tidak penting. Sebaliknya, saya akan menekankan beberapa
aspek dan perkembangan itu dalam kerangka perbincangan kita mengenai kesulitasn
yang dihadapi oleh negara sekuler Turki, yaitu bagaimana mereka menangani
tumbuhnya kekuatan politik dan suara Islamis di negeri itu tanpa menggunakan
taktik otoriter untuk menghilangkannya.
Mayoritas perempuan yang menutup kepalanya di hadapan publik memakai
model tutup kepala yang biasa digunakan oleh perempuan kalangan bawah atau
menengah di perkotaan maupun di pedesaan sejak berdirinya republik, dan
pemakaian tutup kepala ini tidak pernah ditentang oleh pemerintah maupun
mengundang kontroversi. Namun model tutup kepala baru yang mulai digunakan di seluruh
dunia Muslim sejak tahun 1980an nampaknya diasosiakan dengan kemunculan gerakan
Islam di Turki dan di negara manapun. Berbeda dengan tutup kepala tradisional
Turki, bentuk kerudung baru atau model kerudung Islami ini betul-betul menutupi
leher dan bahu perempuan. Dengan demikian, ada berbagai alasan dibalik
keputusan perempuan Turki memakai tutup kepala. Alasan itu bisa saja adat,
kesopanan, ketaatan terhadap agama ataupun tanda afiliasi politik tertentu. Masalah yang akan kita bahas disini
adalah bagaimana negara menegosiasikan dilema mengenai kewajibannya untuk
menghormati pilihan pribadi dan kebebasan beragama dengan keharusannya mengatur
peran politik agama.
Sejak awal tahun 1980an, para siswa diharuskan untuk mengenakan seragam
seperti pegawai negeri.[64] Meskipun aturan ini bisa
mencegah siswa perempuan untuk memakai jeans atau rokmini ke sekolah, namun
aturannya muncul untuk melarang pemakaian kerudung. Aturan ini kemudian
diperjelas lagi dalam amandemen undang-undang tahun 1985 yang menyatakan bahwa
siswa yang menggunakan pakaian tradisional akan diberikan peringatan
keras".[65]
Pada tahun 1987, Partai Tanah Air (ANAP) yang berkuasa saat itu mengamandemen
aturan itu untuk memberikan kesempatan kepada perempuan yang memakai kerudung
karena alasan keagamaan untuk bisa masuk ke universitas.[66] Perubahan ini ditentang oleh Presiden Kenan
Evren, pemimpin kup militer tahun 1980, dan kasus itu akhirnya dibawa ke
Pengadilan Konstitusi yang menyatakan bahwa undang-undang yang diajukan itu
inkonstitusional.[67] Pengadilan kemudian
menyatakan bahwa undang-undang kedua yang lebih umum dan dibuat untuk
memberikan kebebasan pemakaisn baju di universitas ternyata konstitusional.
Namun pengadilan secara khusus tetap menyatakan bahwa tutup kepala yang
digunakan sebagai simbol keagamaan dilarang untuk dipakai di ruang publik
termasuk di universitas.[68] Interpretasi terhadap
undang-undang yang seperti ini dikritik banyak pihak dan tidak dihiraukan dalan
praktiknya.[69]
Dalam praktiknya, pembatasan penggunaan tutup kepala ini mulai
mengendur dan isunya tetap tidak menjadi debat publik hingga intervensi militer
tahun 1997. saat itu, isu ini digunakan oleh militer sebagai argumen untuk
menyerang Partai Kesejahteraan Sosial (RP) yang dipaksa untuk turun dari
pemerintahan. Dalam keputusan pengadilan tahun 1998 tentang larangan keberadaan
RP sebagai partai politik, pengadilan menyebutkan isu yang sebetulnya tidak
relevan yaitu isu mengenai tutup kepala. Dalam keputusan itu, pengadilan
mengatakan agar kerudung dilarang dari universitas. Walaupun keputusan
pengadilan tentang kerudung itu tidak mempunyai kekuatan hukum karena isunya
tidak berkaitan dengan kasus yang diajukan ke pengadilanm otoritas militer
mempergunakannya untuk melarang siswa yang mengenakan kerudung untuk mendaftar
dan mengikuti pelajaran di universitas atau pun hanya untuk sekedar memasuki
bangunannya.[70] Bahkan ibu-ibu dan orang tua mahasiswa yang
lulus yang ingin menghadiri acara wisuda anak-anaknya dilarang untuk memasuki
kampus jika mereka memakai kerudung.[71]
Pelarangan memakai kerudung
menjadi isu yang . Majelis Pendidikan Tinggi melarang kerudung di perumahan universitas
dan perempuan yang memakai kerudung tidak diperbolehkan untuk masuk ke bangunan
universitas walaupun hanya sebagai pengunjung. Kerudung juga dilarang di
sekolah-sekolah menengah termasuk di sekolah-sekolah agama (IPHS) yang dikelola
oleh pemerintah. Larangan ini juga berlaku bagi pegawai negara yang sebetulnya
banyak diantara mereka yang sudah memakai kerudung dan tidak pernah mendapatkan
kesulitan apapun karenanya. Bahkan perempuan yang mencoba memakai wig sebagai
ganti kerudung atau untuk menutupi kepalanya yang botak (akibat pengobatan atau
kanker) dipecat dari pekerjaannya sebagai guru.[72] Pada tahun 1999, Merve
Kavakci terpilih menjadi anggota parlemen dari partai Partai …..Islam (VP) dan
ia menghadiri upacara pelantikan dirinya sebagai anggota parlemen dengan
memakai kerudung. Tapi, protes yang dipimpinoleh Partai Demokrat Kiri sekuler
memaksanya untuk meninggalkan acara pelantikan tanpa sempat dilantik. Kavakci
kemudian diturunkan dari kursinya di parlemen berdasarkan alasan yang tidak
jelas. namun ia gagal merahasiakan bahwa
ia adalah juga warga negara Amerika Serikat. VP kemudian dibubarkan karena
dianggap menjadi tempat aktivitas anti sekuler.[73]
Walaupun protes publik terhadap pelarangan kerudung ini meluas, usaha
untuk menentang penerapannya ataupun menanyakan legalitas kebijakannya baik
dilakukan oleh para guru, administratur negara ataupun hakim berakhir dengan
tekanan dan tindakan balas dendam dari otoritas negara. Karyawan universitas
yang menolak unruk mengimplementasikan kebijakan pelarangan ini dipecat dari
pekerjaannya dengan alasan yang tidak relevan. Hakim yang mempertanyakan
keabsahan kebijakan pelarangan atau pemecatan karyawan ditarik dari kasus-kasus
semacam itu dan, kadang-kadang dipindahkan ke pengadilan yang lain, sedangkan
hakim yang aktif mendukung pelarangan ditugaskan di pengadilan yang menangani
kasus-kasus tersebut.[74] Hakim-hakim yang
menyatakan bahwa pelarangan itu tidak mempunyai landasan hukum atau alasan
pemecatan karyawan-karyawan itu tidak jelas sering harus berhadapan dengan
ancaman dari pemerintah, diinvestigasi dan dipindahkan ke pengadilan lain.
Investigasi terhadap hakim kadang-kadang melibatkan inverstigasi terhadap
kehidupan sosial dan keluarga sang hakim. Seorang hakim, misalnya, pernah
menerima surat perintah investigasi yang menyatakan bahwa ia mendengarkan
kaset-kaset keagamaan, mengundang laki-laki dan perempuan di ruangan yang
berbeda di rumahnya dan memiliki istri
yang memakai kerudung. Ada pula beberapa kasus pegawai negeri yang dipecat
atau dibatalkan promosi jabatannya karena dicurigai islamis atau anti aktivitas
negara.[75]
Terpilihnya Partai Keadilan dan Pembangunan Islam (AKP) yang pro-Islam
pada tahun 2002, debat mengenai kerudung menjadi masalah protokoler. Rekasi
terhadap kehadiran istri Bulent Arinc, presiden Majelis Agung Nasional yang
memakai kerudung dalam acara diplomatik resmi pada November menyulut reaksi
yang lebih keras di media dan pemerintahan. Presiden Sezer, pendukung kemal
yang setia, dalam sambutannya beberapa hari setelag kejadian tersebut
menyatakan bahwa kerudung adalah pilihan pribadi yang hanya diperbolehkan dalam
ruang privat. Namun, ia menegaskan bahwa masyarakat Turki diatur oleh hukum,
bukan oleh agama maupun adat istiadat. Dalam kesempatan itu, ia juga
mengatakan, dengan mengutip deskripsi Pengadilan Konstitusi, bahwa Kerudung
adalah simbol keagamaan yang harus dilarang di ruang publik.[76]
Terlepas dari nilai isu
semacam ini ataupun validitas dan tingkat kemasukakalan posisi aktor-aktor yang
terlibat dalam debat mengenai masalah ini, kontroversi panas seputar kerudung
ini merefleksikan adanya kebingungan dan ambivalensi yang lebih dalam mengenai
hubungan antara negara sekuler dengan agama. Kalangan sekuler Turki
memandang kerudung sebagai sebuah pernyataan politik yang menentang
pemerintahan sekuler Turki; puncak gunung es fundamentalisme Islam. Pendukung
fanatik sekularisme Turki, seperti Kenan Evren yang pertama kali melembagakan
pelarangan kerudung ini pada tahun 1980an, menelusuri kebangkitan Islam politik
di Turki—yang ditandai dengan adanya sejumlah perempuan yang memakai
kerudung—ke negara-negara seperti Iran yang mereka anggap berusaha mengekspor
Syari'ah ke Turki. Namun bertahannya isu
ini memperlihatkan bahwa banyak warga Turki yang terus mengambil posisi yang
kuat dalam persoalan ini. Jelas pula bahwa penolakan masyarakat terhadap
pelarangan jilbab ini berperan dalam menangnya partai AKP yang pro Islam pada
tahun 2002. Meskipun demikian, AKP harus tetap bergerak lambat dan hati-hati
menangani isu ini untuk menghindari reaksi keras dari kalangan sekuler atau
dari militer. Kebijakan-kebijakan yang bisa diambil oleh AKP berkaitan dengan
isu ini masih marginal dan hanya menangani simptom daripada akar permasalahan.
Sebagai contoh, undang-undang mengenai amnesti yang akan memberikan pengampunan
kepada 240.000 perempuan yang dikeluarkan dari universitas sejak tahun 2000
karena jilbab telah disetujui oleh parlemen turki pada bulan Maret 2005 lalu
dan berarti menghapuskan veto terhadap undang-undang yang pernah dilakukan
Presiden Sezer.[77] Tapi mengapa harus amnesti jika pelarangan
jilbab yang menyebabkan penahanan mahasiswi itu bahkan tidak mempunyai landasan
hukum apapun?
Pengritik dan pendukung pelarangan jilbab mengklaim bahwa Undang-Undang
Dasar Turki mendukung sikap mereka dalam masalah ini. Pihak pengritik, termasuk
AKP, mengklaim bahwa pelarangan ini melanggar hak kebebasan beragama dan
prinsip kesamaan kesempatan dalam pendidikan dan pekerjaan bagi perempuan.
sementara itu pendukung kebijakan pelarangan jilbab, termasuk Mustafa Bumin,
Ketua Pengadilan Konstitusi, mengklaim bahwa usaha apapun utnuk mengubah
undang-undang yang mengizinkan perempuan untuk memakai kerudung di universitas
atau kantor pelayanan masyarakat berarti melanggar undang-undang dasar, dan
dengan demikian, jika pelarangan jilbab
dihapuskan, berarti undang-undang harus diamandemen.[78] Pemahaman yang sempit
atau literal terhadap pasal-pasal tertentu dalam undang-undang dasar Turki
nampaknya mendukung pandangan yang terakhir ini. Pasal 24 Undang-Undang dasar
Turki tidak berbicara mengenai kebebasan beragama seperti yang disebutkan oleh
para pengritik kebijakan pelarangan jilbab itu, tapi "kebebasan…kepercayaan
dan pengakuan agama…ritual peribadatan, layanan keagamaan, dan acara-acara
keagamaan harus dilaksanakan dengan bebas, diselenggarakan dengan cara yang
tidak melanggar pasal 14". Tidak ada
rujuan yang pasti untuk "penayangan simbol-simbol keagamaan"
yang bisa memberikan kerangka untuk masalah jilbab ini.
Mungkin alasan bahwa kepercayaan perempuan untuk mema…… Tapi, semua
kebebasan beragama di Turki tunduk pada batasan-batasan tertentu. Pasal 14,
yang disebutkan dalam pasal 24, merupakan aturan pembatasan kebebasan beragama
ini. pasal ini menyatakan bahwa: "tidak ada satupun hak atau kebebasan
yang disebutkan dalam undang-undang yang bisa didapatkan bila ditujukan untuk
melanggar integritas teritorial dan kebangsaan negara Turki, dan membahayakan
keberadaan tatanan demokratis dan sekuler Republik Turki yang berdasarkan hak
asasi manusia.[79] Ketaksaan kalimat " membahayakan
keberadaan tatanan demokratis dan sekuler" inilah yang telah sukses
digunakan untuk mendukung pelarangan jilbab di Turki. Padahal, pelarangan ini
miskin landasan aturan yang eksplisit. Selain itu, pasal 24 yang menyebutkan
adanya permbatasan antara kebebasan beragama, menyatakan bahwa: "tidak ada
seorang pun yang diizinkan untuk mengekploitasi atau menyalahgunakan agama atau
sentiman keagamaan atau sesuatu yang dianggap suci oleh agama dengan cara
apapun dan bagaimanapun untuk tujuan personal atau pengaruh politik…"
pendukung pelarangan jilbab beralasan bahwa karena memakai jilbab merupakan
simbol islam politik, mengizinkannya berarti merupakan langkah awal untuk
mengarahkan Turki yang sekuler mejadi negara yang tatanan hukumnya berdasarkan
ajaran agama." dengan demikian, mengenakan jilbab merupakan tindakan
eksploitasi atau penyalahgunaan agama yang dilarang oleh pasal 24. pasal-pasal
lain yang rentan digunakan untuk menentang pelarangan jilbab seperti pasal
mengenai hak untuk pendidikan (pasal 24), hak untuk bekerja (pasal 49),
kesetaraan hak untuk perempuan (pasal 10) juga harus tunduk pada pembatasan
yang tercantum dalam bab 14. argumen-argumen yang berdasarkan artikel-artikel
tadi nampaknya tidak begitu berpengaruh di lingkungan Mahkamah Konstitusi
Turki.
Meskipun pencalonan Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa mungkin
meningkatkan situasi hak asasi manusia di negeri itu secara umum, namun
nampaknya tidak memberikan jalan keluar yang memuaskan bagi masalah jilbab ini.
dalam kasus Leyla Şahin melawan Turki, Pengadilan
Hak Asasi Manusia Eropa beranggapan bahwa pelarangan jilbab Turki tidak
melanggar pasal 9 konvensi hak asasi manusia Eropa (kebebasan menyatakan
pikiran, kesadaran dan agama); dan tidak masalah terpisah yang muncul dari
pasal 8 (hak agar kehidupan pribadi dan keluarga dihormati) dan pasal 10
(kebebasan berekspresi), pasal 14 (larangan diskriminasi) dan pasal 9 serta
pasal 1 protokol no. 1 (hak untuk mendapatkan pendidikan). Mahkamah beranggapan
bahwa pelarangan dilakukan untuk tujuan yang sah yaitu untuk melindungi hak dan
kebebasan yang lain dan untuk melindungi tatanan masyarakat. [80]
Masalah yang terdapat dalam debat mengenai jilbab adalah bagaimana
membedakan antara "ruang publik" yang disebut-sebut oleh Mahkamah
Konstitusi sebagai tempat dimana jilbab harus dilarang dengan "ruang
privat" dimana jilbab diperbolehkan. Menurut Mahkamah, karena ruang publik
itu harus sekuler dan netral serta memberikan perlindungan dan pelayanan yang
sama bagi semua orang, maka pegawai publik tidak diperbolehkan untuk
menggunakan atau membawa-bawa
simbol-simbol agama atau ideologi yang mengindikasikan kepercayaan atau
sikapnya. Pembedaan ini benar-benar penting meskipun netralitas keagamaan dan
ideologis negara harus dijaga, kesulitannya muncul dalam mendefinisikan
istilah-istilah tersebut dan mempertahankan konsistensi dalam melaksanakan
prinsip-prinsip tersebut. beberapa orang komentator mencatat misalnya bahwa
pelajar atau guru tidak pernah dilarnag untuk memasuki kampus atau
diinvestigasi karena mereka memakai pin attaturk atau simbol-simbol lain yang
jelas-jelas merupakan simbol ideologis. [81] Perlakuan yang tidak adil
terhadap simbol keagamaan dan ideologis ini menimbulkan isu lain yaitu apakah
negara benar-benar netral atau tidak. Jika alasan keharusan negara bersikap
netral untuk menjamin warga negara mendapatkan perlakuan yang sama dari pejabat
negara, maka sama halnya dengan mengizinkan pegawai negara memakai kerudung,
mengizinkan pegawai negara untuk memakai simbol-simbol ideologis Attaturk
berarti melanggar prinsip ini (kritik ini nampaknya ditujukan kepada CHP
sebagai organisasi politik). Gagal menyediakan definisi yang jelas dan otoritatif
bagi istilah ruang publik dan ruang privat akan menimbulkan resiko perluasan
pelarangan itu ke wilayah yang lain secara semena-mena dan tidak adil. Pada
bulan November 2003 misalnya, seorang hakim memerintahkan terdakwa perempuan
yang memakai jilbab untuk dikelarkan dari ruangan sidang dengan alasan bahwa
dia "tidak memiliki hak untuk memakai jilbab itu di ruang publik—ruangan
sidang." Ada juga hakim, pada
sidang pertama, yang meminta pegawai perempuan yang dipecat dari pekerjaannya
karena memakai jilbab untuk meninggalkan ruangan sidang kecuali ia melepas
jilbabnya.[82] Ada juga laporan yang menyatakan ada
beberapa perempuan yang tidak diperkenankan mendapatkan perawatan dari pusat
layanan kesehatan negara karena mereka memakai jilbab.[83] Jika seperti ini, transportasi
publik pun potensial dianggap "ruang publik" dimana perempuan tidak
boleh mengenakan jilbabnya.[84]
Beberapa akademisi dan pembuat opini menyarankan cara
untuk meringankan pelarangan jilbab ini adalah dengan membedakan antara
penyedia dan penerima layanan pubik.
Pendekatan ini sama dengan dengan argumen yang telah umum beredar bahwa
ketika bertemua di ruang publik, negara—sebagai penyedia layanan publik-- harus
menjaga netralitasnya dan memperlakukan semua warga negara dengan setara.
Dengan demikian, benar dan pantaslah bila penyedia layanan publik harus bersih
dari simbol-simbol yang mengindikasikan kepercayaan agama atau ideologi.
Sebaliknya, warga negara—yang merupakan penerima layanan publik- yang memang
dijamin kebebasannya untuk beragama, berkesadaran, dan mengungkapkan pikiran
dan pendapat tertentu dengan demikian memiliki hak untuk membawa simbol
ideologi atau agamanya. Menurut pendekatan ini, mahasiswa adalah penerima
layanan publik yang harus diperbolehkan untuk memilih antara memakai kerudung
atau tidak. Sedangkan, dosen sebagai penyedia layanan publik, tidak
diperbolehkan untuk menggunakan simbol ideologi atau agama apapun. Demikian
pula seorang pasien yang mempunyai hak untuk dirawat terlepas bagaimanapun
penampilannya, ia adalah penerima layanan publik, sementara dokter adalah
penyedia layanan publik. [85]
Meskipun pendekatan ini mungkin mengurangi cakupan kebijakan pelarangan
ini dalam jangka waktu dekat dengan memperrbolehkan mahasiswa, pelajar dan
warga negara lainnya untuk memakai kerudung dan simbol lainnya walaupun mereka
sedang berada di universitas, namun pendekatan ini tidak menyelesaikan masalah
mereka setelah lulus. Mahasiswi mungkin diperbolehkan untuk menutup kepalanya
ketika mereka menjadi mahasiswi karena ia menjadi penerima layanan publik. Tapi
ketika ia mendapatkan di universitas itu, ia menjadi penyedia layanan publik
yang mewakili negara dan dengan demikian ia harus melepas jilbabnya.
Kelompok lain yang mendukung penghapusan aturan
pelarangan jilbab beralasan bahwa semua warga negara termasuk mereka yang
dipekerjakan oleh negara dan bertindak sebagai penyedia layanan publik memiliki
hak-hak konstitusional untuk menggunakan symbol ideology dan agama. dengan
pendekatan ini, netralitas dan keadilan pemerintahan kepada penerima layanan
publik ditentukan oleh niat baik si penyedia layanan.[86] Dengan demikian, seorang
professor universitas harus diperbolehkan untuk menggunakan jilbab jika dia
memilih untuk memakainya dan para mahasiswanya harus percaya pada niat baik dan
integritas professional professornya bahwa sang profesor tidak akan bertindak
diskriminatif terhadap siswa yang memakai simbol keagamaan atau pun simbol
sekuler. Masalah yang dihadapi masalah ini adalah apakah aturan ini berlaku
untuk semua simbol agama atau ideologi dalam semua situasi atu hanya
dipertimbangkan hanya dalam kasus tertentu untuk menilai resiko bias atau
konsekuensinya? Masalah lainnya adalah realistis atau adilkah jika kita
mengharapkan orang untuk mempercayai mereka yang mempunyai otoritas terhadap
mereka tanpa jaring pengaman yang bisa diverifikasi maupun akuntabitas?
Manapun pendekatan yang dipilih, masalah yang paling
mendasar adalah bagaimana menjamin netralitas atau niat baik negara atau
pejabatnya. Dengan memaksakan pelarangan penggunaan simbol-simbol di tuang
publik kepada penyedia maupun penerima layanan publik hanya menghapus satu
potensi bias yang__________ dengan
menutupi perbedaan agama dan ideologi. Namun cara ini tidak akan bisa
mengeliminasi bias-bias tersebut atau menjamin semua penyedia layanan publik
untuk tetap tidak bertindak berdasarkan biasnya jika mereka mendeteksi,
mencurigai perbedaan yang terdapat pada penerima layanan publik. masalahnya
dengan demikian adalah apakah makna netralitas negara yang sebenarnya dan
bagaimana menjamin pelaksanaannya dalam
praktik? Menurut saya, jawabannya terletak pada memedias dilema secara
terus menerus dalam kerangka konstitusionalisme, kewarganegaraan dan hak asasi
manusia seperti yang sudah kita diskusikan dalam bab 3 dan bukan sekedar mengatur
salah satu aspek dari itu misalnya peran militer, pendidikan agama atau
kerudung saja.
VI. Kesimpulan: Tantangan dan Prospek Politik Islam
Seperti yang sudah kita saksikan dalam
penjelasan di atas, fakta bahwa gaya pakaian perempuan menjadi sesuatu yang
memiliki signifikansi politis menggambarkan adanya dilema mengenai negosiasi
antara agama dan negara yang lebih besar. Meskipun secara teoritis, semua
simbol agama dan ideologi dilarang penampakkannya di ruang publik, namun banyaknya perempuan yang memakai
kerudung jelas the high visibility of headscarves means that women are
disproportionately deprived of their rights to education and to work. Jilbab telah membuat ratusan di antara
ribuan perempuan kehilangan kesempatan pendidikan dan pekerjaan. Dengan adanya
kontrol negara terhadap pendidikan, perempuan yang menutupi kepalanya dan tidak
tidak bisa menempuh pendidikanya di luar negeri tidak bisa mendapatkan
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan tingi karena pelarangan kerudung juga
bahkan diterapkan kepada pemimpin keagamaan dan da'I-da'I sekolah menengah atau sekolah teologi.
Perempuan yang memakai kerudung menyadari bahwa pilihan pekerjaan bagi mereka
pun terbatas karena aturan pelarangan akan memberhentikan mereka bekerja.
Padahal, pekerjaan itu mengharuskan mereka ada di ruang publik walaupun mereka
bukan pegawai negeri.[87]
Situasi paradoks ini juga memperlihatkan
rentannya hak-hak perempuan bahkan setelah beberapa dekade diterapkannya
sekularisme. Meskipun keinginan untuk mensekularisasi atau memodernisasi Turki
cukup otoriter dan agresif, masyarakat Turki masih sangat konservatif, terutama
jika berhadapan dengan peran perempuan. benar bahwa pandangan konservatif itu
lebih umum muncul di kalangan pendukung partai-partai Islam.[88] Namun, jelas pula bagi
saya bahwa perkembangan ekonomi dan pendidikan bisa memainkan peranan yang
penting dalam mempromosikan semua hak-hak asasi manusia termasuk hak-hak
perempuan atas kesetaraan dan kehormatan. Dengan membatasi akses perempuan
terhadap pendidikan dan pekerjaa, terutama bagi perempuan yang datang dari
kalangan konservatif dan dengan demikian banyak dari mereka yang menggunakan
jilbab, pelarangan itu nampaknya menjadi kontraprodutif. Daripada mendorong dan
mendukung perempuan yang berjilbab untuk menerima pendidikan dan dengan
demikian menjamin independensi ekonomi dan pekerjaan mereka, kalangan sekuler
malah memperleman pencapaian tujuan utama mereka untuk memberikan kebebasan dan
perkembangan sosial yang lebih besar bagi seluruh warga negara.
Menurut saya, tujuan dan alasan sekularisme
adalah untuk meningkatkan pluralisme agama dan kebebasan individu untuk memilih
apakah ia akan melaksanakan ajaran-ajaran Islam atau tidak. Memaksa perempuan
untuk berjilbab dengan menempatkan kewajiban agama dalam undang-undang negara
hingga menghilangkan prinsip fundamental mengenai pertanggungjawaban individu
di hadapan tuhan jelas merupakan tindakan yang salah. Namun sama pula salahnya
jika negara membuat perempuan sulit dan tidak memiliki pilihan antara memegang
teguh ajaran agamanya atau kehilangan hak atas pekerjaan, pekerjaan dan otonomi
personalnya secara umum. Pandangan ini tidak mengasumsikan bahwa intervensi
negara sebagai satu-satunya pembatasan atas kebebasan perempuan dan laki-laki
untuk memilih, karena tekanan dari keluarga atau komunitas pun bahkan bisa
lebih kuat dan mengikat. sumber-sumber lain yang potensial melanggar hak-hak
dan kebebasan individu harus ditangani dengan cara-cara yang tepat termasuk
melalui reformasi Islami dan pendidikan inisiatif publik seperti yang sudah
saya ajukan di bagian lalu. Yang ingin saja tekankan di bagian ini maupun di
bagian kesimpulan nanti adalah bahwa pemahaman yang jelas terhadap sekularisme
sebagai negosiasi antara netralitas negara terhadap agama dengan peran publik
agama merupakan hal yang sangat penting bagi sahnya tujuan dan alasan dua
posisi ini.
Diskusi kita mengenai
perdebatan tentang jilbab, kekhawatiran terhadap peran militer dan pendidikan
agama ditujukan untuk menekankan kontradiksi yang terdapat dalam sekularisme
Kemalian, meskipun tidak untuk menyelesaikannya. Tujuan saya melakukan review
terhadap semua pandangan mengenai pelarangan jilbab dan implikasi adalah untuk
menekankan bahwa itulah proses negosiasi yang saya maksud dan pentingnya peran
penalaran publik dan pengamannya, seperti yang saya jelaskan di muka. Jelas saya tidak berhak memberikan resep
pada Turki mengenai apa yang harus mereka lakukan terhadap isu-isu itu, tapi
saya percaya bahwa sangatlah masuk akal jika kita berharap kebijakan terbaik
lahir melalui debat dan kontestasi publik the
alleged rationale or justification of one view or another. Apa yang saya
maksud dengan proses negosiasi itu bukan hanya mengenai seperti apakah
kebijakan yang baik itu atau mengenai bagaimana mengimplementasikannya, tetapi
juga mengenai bagaimana mengadaptasi dan merubah kebijakan jika praktik
kebijakan itu jelas-jelas tak sebagus teorinya.
Lagipula, negosiasi seperti itu tidaklah murni urusan
dalam negeri sebuah negeri tertentu. Dalam kasus Turki misalnya, negara dan
masyarakat Turki cenderung sangat terpengary oleh Eropa baik sejak masa
reformasi dinasti Utsmani pada abad ke-19 dan masa republik di abad 20 hingga
masuknya Turki menjadi anggota Uni Eropa pada awal abad 21. Baru-baru ini,
pemerintah yang berasal dari partai Islam nampaknya mulai memimpin tawaran
Turki untuk menjadi anggota Uni Eropa, ini bisa menjadi celah bagi terjadinya
rekonsiliasi antara sekularisme Kemalian dengan konstitusionalisme dan
perlindungan hak asasi manusia. Dalam kesempatan ini mungkin akan berguna jika
kita melakukan beberapa penilaian tentaif pada prospek kemunculan Islam politik
dalam sekularisme Turki.
Demografi Turki saja nampaknya cukup untuk menekankan
pentingnya memahami apa yang saya ajukan sebagai hubungan intim antara agama dan
politik. Muslim merupakan mayoritas di Turki dengan prosentase sebesar 97% dari
total penduduk.[89] Jumlah ini sudah termasuk kalangan Alawi dan
minoritas Syi'ah. Meskipun mayoritas muslim Turki menganggap diri mereka
sebagai muslim yang taat, mereka juga terus mendukung negara sekuler yang
membatasi peran agama hanya pada kehidupan privat. Memang ada sekitar 21,2%
muslim yang mengklaim mendukung negara yang berdasarkan syari'ah, namun apa makna prosentase ini belum
menjadi konsensus.[90] Sementara itu, makna dan
implikasi sekularisme terus dipertanyakan, apakah akan berdasarkan model Eropa
atau Amerika, atau model otoritarian yang diadopsi dari Uni Soviet pada tahun
1930an. Ambivalensi seperti ini juga bisa ditemukan di kalangan yang mendukung
penerapan syari'ah dalam rangka mempromosikan gagasan keadilan dan memerangi
degenerasi moral dan korupsi, ada kelompok-kelompok yang juga tidak setuju
mengenai apa tujuannya dan bagaimana merealisasikannya dalam praktik.[91]
Munculnya Islam politik yang dimulai pada tahun 70an
dengan berdirinya gerakan yang disebut Wawasan Nasional (Milli Groups), dan
terbentuknya partai Islam pertama bernama Partai Tatanan Nasioal (MNP) pada
tahun 70an oleh Necmeddin Erbakan, dan juga terbentuknya Anggota Parlemen
Independen untuk kota Konya. MNP tak lama kemudian dibubarkan oleh Mahkamah
Konstitusi dengan alasan bahwa partai itu menentang sekularisme. Ketika
Penerusnya, the Milli Sellamet Partisi (MSP) yang didirikan pada tahun 1973,
pun dibubarkan setelah terjadinya kupmiliter pada tahun 1980, Partai Refah (RP)
menggantikan posisinya. Parta Refah mendapatkan pendukung dari kalangan yang
merasa tertinggalkan oleh perubahan ekonomi yang terjadi di Turi pada tahun
1980 dan 1990an. Meskipun terbentuknya a custom
unions dengan Uni Eropa dan munculnya pasar baru di wilayah bekas negara
soviet memberikan keberuntungan pada sebagian kalangan di Turki, ada sebagian
lain yang dirugikan dengan perkembangan ini.
Privatisasi dan inflasi merugikan kalangan yang kurang terdidik dan
kalangan menengah bawah. Sementara itu, gelombang urbanisasi memperparah
masalah pengangguran dan membuat jarak antara yang kaya dan miskin semakin
terlihat.
Dalam iklim sosial dan
ekonomi seperti ini, penekanan Partai Refah terhadap pemberantasan kemiskinan,
penegakan keadilan dan kesetaraan menarik pengikut yang terus bertambah di
daerah perkotaan, bahkan lebih dari desa asalnya di Anatolia Tengah. Seiring
dengan bertambahnya popularitas dan penampilan pemimipin partai Refah di media, janggut dan kerudung
para pemimpin Islam menjadi semakin kontroversial: menjadi simbol identitas
Islam bagi sebagian orang turki dan sekaligus merupakan provokasi politik dan
ancaman atas status quo sekuler bagi yang lain. Perang simbol pun terjadi
seiring dengan berkembangnya pasar-tandingan yang memudahkan kalangan sekuler
Turki untuk menekankan identitas Kemalian-nya. Pakaian perempuan gaya Barat
yang diiklankan sebagai pakaian "kontemporer atau pakaian standar, poster,
stiker, kartu ucapan dan pin yang bergambar Attaturk menjadi populer di tahun
1994 ketika partai Islam Refah memenangkan pemilihan untuk pemerintahan lokal
dan kabupaten. Dengan demikian, simbol identitas politik dan ideologi menjadi
sumber utama ketegangan dan kontentasi ini.[92]
Pandangan Sekularisme Kemalian yang masih dominan di
Turki berdasarkan kontrol penuh negara atas agama. Negara mengatur pendidikan
agama, praktik keagamaan, mengontrol keuangan masjid, memasukan Imam dalam
daftar orang yang harus digaji negara, dan mengatur cara berpakaian di sekolah
dan tempat bekerja, terutama bagi perempuan. Model ini, menurut saya benar-benar problematis karena ia
berusaha mengontrol dan memanipulasi peran Islam dalam kebijakan publik dan
politik atas nama sekularisme sambil menolak warga negara yang mengambil Islam
sebagai kekuatan dasar dalam hidupnya serta hak dan kesempatan mereka untuk
hidup dengan keyakinannya. Model ini juga benar-benar paradoks karena ia tidak
bisa menjalankan kontrol penuh atas agama atau institusi agama tanpa melangga
hak asasi manusia warga negara. dengan kata lain, model ini memang melemahkan
konstitusionalisme dan hak asasi manusia justru dengan mengatasnamakan usaha
untuk memegang prinsip-prinsipnya.
Mereka yang mendukung status quo mencoba untuk
mempresentasikan perpecahan dalam politik Turki sebagai benturan antara
kekuatan sekularisme dan fundamentalisme Islam walaupun para penganjut
perubahan dan demokrasi datang dari kalangan yang berlatar belakang dan
ideologi yang berbeda. Baik politikus Islam, pemikiran liberal maupun kalangan
sekuler kiri semua bersatu menyerukan perlunya kebebasan yang lebih besar.
Pembela status quo merasa aman jika menyebut penentang mereka sebagai islamis
dan menyebut diri mereka sendiri sebagai pembela sekularisme, memunculkan
ancaman fundamentalisme Islam dan penerapan syari'ah sebagai usaha untuk
mengintimidasi dan membuat warga negara bingung agar mereka tunduk ada
otoritarianisme. Seperti yang sudah disinggung di bagian lalu, Majelis Keamanan
Nasional (MGK) telah lama menyebut kemungkinan jatuhnya pemerintahan Turki pada
pihak yang mungkin menerapkan syari'ah sebagai ancaman nomer satu bagi keutuhan
bangsa, hingga MGK pun merasa berhak untuk melakukan pembatasan atas hak-hak
konstutisional terutama hak yang berkaitan dengan kebebasan beragama.[93] Ketakutan terhadap syaria'h ini diperparah
lagi dengan adanya tujuan-tujuan politik tertentu, padahal menurut saya, tidak
ada satu kelompok atau partai yang besar di Turki yang mengancam, atau bahkan
mempertanyakan, karakter sekuler negara Turki. Konsensus nasional dari berbagai
perspektif jelas mendukung demokrasi sekuler yang ramah terhadap agama, model
demokrasi yang sama dengan yang berlaku di Eropa atau Amerika Utara.
Penting bagi kita untuk mempertimbangkan peran pengaruh
Eropa kepada pengalaman Turki, dalam membentuk konsepsi republik sekuler
Kemalian di tahun 1920an dan mempengaruhi prospek transformasi pandangan ini
pada awal tahun 2000an. Mayoritas penduduk Turki mendukung hadirnya demokrasi
konstitusional yang genuine dan berkelanjutan serta penghormatan terhadap hak
asasi manusia. Dan sikap ini terrefleksikan dalam dukungan mereka yang besar
terhadap keanggotaan Turki dalam Uni Eropa, yang dilihat sebagai satu prosedur
yang kuat untuk mencegah Turki kembali kepada otoritarianisme kemalian atau
otoritarianisme militer. For those
opposed to Turkey’s membership of the EU the opposite also holds true, with
those who oppose Turkey’s membership in the EU generally opposing democratic
reforms or changes in the status quo.[94]
Namun keputusan Komisi Hak Asasi Manusia Eropa mengenai isu jilbab yang
tadi saya sebutkan memperlihatkan bahwa peran Eropa sekarang tak kalah ambigu
dan kontradiktifnya dengan perannya satu abad yang lalu. Ambivalensi Eropa
mengenai masalah Turki terlihat dalam persepsinya mengenai Turki sebagai negeri
Muslim padahal sudah puluhan dekade pemerintah Turki dan militer melakukan usah-usaha yang
otoriter dan keras untuk mensekularisasi dan mewesternisasi negeri itu bahkan
mengasingkan masyarakatnya dari budaya Islam. Banyak orang Eropa menentang
pengangkatan Turki menjadi anggota Uni Eropa karena alasan ini. mereka
beralasan bahwa homogenitas budaya Eropa akan hilang bila Turki diterima
menjadi anggota Uni Eropa.[95]
Model sekularisme saat ini yang bertahan hanya dengan
membatasi praktik keagamaan secara ketat, mengontrol pendidikan agama dan
membatasi kebebasan beragama menyebabkan munculnya ketidakpuasan dan keberatan
yang berkelanjutan dan meluas di tengah masyarakat Turki. Pandangan minoritas
seperti pandangan kaum Alawi dan Syi'ah dibatasi. Mereka yang memilih untuk
aktif secara religius diasingkan dari ruang publik dan ditolak hak pendidikan
dan pekerjaannya. Kemajuan memang masih sedang diusahakan. Terpilihnya partai
AKP yang pro Islam dan moderat serta tuntunan untuk mendapatkan keanggotaan
dalam Uni Eropa mengindikasikan bahwa meskipun mayoritas masyarakat Turki
mendukung pemerintahan yang sekuler, mereka pun masih tetap menginginkan
pendekatan yang moderta dan demoratis terhadap kebebasan beragama. sebuah
pendekatan yang bisa memungkinkan mereka bisa secara bebas memasukkan Islam dan
identitas keislamannya ke dalam kehidupan publik dan privatnya.
Menurut saya perkembangan terbaru ini memang mendukung
prospek pengintegrasian pandangan yang lebih positif terhadap politik Islam ke
dalam pemahaman dan praktik Sekularisme orang Turki. Saya, tentu saja, tidak
mengatakan bahwa ini sesuatu yang mudah atau bisa menyelesaikan semua masalah.
Malah, saya melihat bahwa trend baru ini bisa memulihkan kekeliruan proses
negosiasi kebijakan publik dan undang-undang yang terjadi di antara berbagai
kelompok di Turki selama ini. kemungkinan bagi Islam politik menjadi penting
bagi Turki agar beberapa warga Turki, baik secara kolektif ataupun individual,
bisa memiliki akses dan kesempatan terhadap proses penalaran publik seperti yang
sudah kita diskusikan di bagian lalu. Saya akan menyimpulan dengan memberikan
ulasan singkat terhadap perkembangan positif ini dan bagaimana perkembangan ini
bisa meningkatkan, dan bukannya menghilangkan atau mengancam sekularisme di
Turki.
Peristiwa-peristiwa politik akhir-akhir ini
merupakan indikasi yang positif bagi tumbuhnya toleransi— even if this amounts only to a grudging respect— dari negara
sekuler kepada Islam dan sebaliknya. Kemenangan AKP merupakan simbol bagi
kompromi yang menjanjikan di Turki karena AKP secara resmi adalah partai
sekuler yang bekerja dalam negara dan sistem yang sekuler dan memperlihatkan
komitmen yang geuine terhadap konstitusionalisme dan hak asasi manusia.
Meskipun sikap partai yang memihak Islam juga terlihat jelas dan
memungkinkannya untuk menggunakan kepercayaan agama pendukungnya dalam
masalah-masalah kebijakan publik sebagai pedoman untuk tindakan politiknya.
Ini merupakan perkembangan baru di Turki
dan jelas menimbulkan ketakutan dan ketidakpastian bagi kalangan sekuler dan
pro Islam. kalangan pertama mungkin melihat sekularism AKP dan juga muslim
lainnya, baik dalam politik pemilihan atau bukan, sebagai bentuk taqiyyah
–pilihan taktis untuk menyembunyikan kepercayaan dan motif yang sebenarnya.
Mereka juga takut jika suatu saat ketika kalangan pro-Islamis ini meraih
kekuasaan, mereka akan akan membuang topeng sekulernya, kemudian berusaha untuk
membuat negara Islam dan menerapkan syari'ah.[96]
Sementara itu, kalangan Muslim memperhatikan sejarah kup
militer dan pelarangan partai politik yang berhaluan Islam di negara itu, dan
mereka khawatir kemampuan mereka untuk berpartisipaksi dalam politik (terutama
kalangan perempuan dan juga masyarakat secara umum) akan tiba-tiba berakhir dan
kecendrungan terhadap islam ini digunakan olehmiliter atau pengadilan sebagai
alasan untuk mengusir mereka dari forum publik. Kekhawatiran ini semakian
diperparah dengan ketakutan mereka terhadap kemungkinan Uni eropa yang
anggotanya bersikap tidak pasti terhadap kemungkinan memasukkan sebuah negeri
Muslim ke dalam perserikatan mereka untuk mendukung pembubabaran partai atau
ide-ide yang berhaluan Islam. Mereka menunjuk keputusan Pengadilan Uni Eropa
untuk menegakkan pelarangan jilbab sebagai contoh.
Kekahwatiran kedua pihak ini memang sah-sah saja, tetapi
saya akan menunjukkan bahwa situasi di Turki saat ini memperlihakan kepada
kedua belah pihak bahwa rekonsiliasi antara dua pandangan yang selama dilihat
oleh kedua belah pihak sebagai dua ekstrem tidak hanya mungkin, tetapi juga
diinginkan. Yang saya maksud adalah
bahkan jikapun selama ini kalangan sekuler beranggapan bahwa kalangan Islamis
hanya menggunakan bentuk dan retorika sekuler sebagai taktik saja, pengalaman
mereka bekerja dalam sistem sekuler akan merubah partai itu sendiri dan
anggotanya untuk lebih memiliki pandangan yang lebih pragmatis terhadap
kegunaan sistem sekuler ini. jika kalangan Islamis bisa menangani isu utama
semacam kebebasan untuk mengekspresikan kepercayaan agama, dan mengeluarkan
undang-undang yang mengakui perhatian etis dan moral mereka, mereka akan
menyadari bahwa sekularisme tidak harus berarti peminggiran Islam dari politik.
Dan faktanya memang, negara sekuler merupakan alat yang lebih baik untuk
memajukan keyakinan politik mereka daripada negara Islam.
Peran Islam dan diskursus politik Turki, meskipun masih
sangat terbatas, memungkinkan negara sekuler dan masyarakat Turki yang sangat
sekuler untuk menyadari bahwa ada ruang dalam masyarakat sekuler bagi berbagai
jenis pendapat, termasuk pendapat yang diilhami oleh keyakinan agama.
Sekularisme di Turki, dengan demikian, mungkin ditransformasikan, menjadi
sekularisme yang tidak otoriter dan rigid dan memberikan kebebasan yang lebih
besar kepada agama dan institusi keagamaan
serta membuat ruang yang bisa mengakomodasi berbagai suara.
Kemampuan Turki untuk menyeimbangkan sekularisme, hak
asasi manusia, Islam dan hak-hak konstitusional yang akan berlaku bagi seluruh
warga negara tidak hanya berguna untuk kepentingan Turki sendiri, tetapi juga
memainkan peranan penting dalam memperkaya debat mengenai masalah ini di
seluruh dunia Islam. Jika Turki mampu menunjukkan bahwa rezim sekuler bisa
menyediakan ruang bagi diksursus keagamaan dan hak asasi manusia bagi semua
pihak, maka ini merupakan langkah maju dalam merehabilitasi istilah sekuler di
dunia Islam. begitupun jika Turki bisa menunjukkan bahwa suara-suara politik
Islam bisa didengar dan pada saat yang sama mampu mempertahankan pemerintahan
yang sekuler dan hak-hak konstitusional, maka pengalaman ini akan memberikan
keyakinan baru kepada pada kalangan
sekuler bahwa Islam mempunyai tempat dalam diskursus politik.
[1] Sebagai contoh, Koçi Bey (d. 1640), orang
kepercayaan Sultan Murad I, mendiskusikan penyebab dan solusi kemunduran
dinasti Utmani dalam sebuah buklet. Edisi terbaru dengan teks Utsmani dan
Latin, lihat Koçi Bey, Koçi Bey Risalesi:
Eski ve Yeni Harflerle (ed. Yılmaz Kurt) Ankara: Ecdad Yayınları, 1994
[2] Menghubungkan kemunduran kekuasaan dengan
kemunduran dalam agama merupakan tema yang familiar dalam sejarah Islam,
seperti yang terlihat dalam karya Nizam al-Mulk (c.1018–92). Albert Hourani, A History of the Arab Peoples, Cambridge,
Mass.: Belknap Press of Harvard University Press, 1991. p. 209.
[3] Mehmet İpşirli, “Ottoman State Organization,” in History of Ottoman State, Society and
Civilization (ed. Ekmeleddin İhsanoğlu), İstanbul: IRCICA 2001, vol. 1,
p. 220.
[4] Seperti risalah-risalah yang ditulis oleh Koçi
Bey diatas, dan Hasan Kafi (lihat Usulü’l-Hikem
fi Nizami’l-Alem, (siap untuk dipublikasikan oleh by M. İpşirli) İstanbul Üniversitesi Edebiyat Fakültesi
Tarih Ensitüsü Dergisi (TED), 9 (İstanbul, 1989).
[5] Lihat misalnya, Faik Reşit Unat, Osmanlı Sefirleri ve Sefaretnameleri [Ottoman
Ambassadors and Ambassador-Reports] (Ankara
1968).
[6] Katib Chelebi, The Balance of Truth, (diterjemahkan dengan pengantar dan catatan
oleh C. L. Lewis) London: George Allen and Unwin Ltd., 1957.
[7] Bahaeddin Yediyıldız, “Ottoman Society” in History of the Ottoman State, Society and
Civilization, (ed. E. İhsanoğlu) 2001, vol. 1, pp. 491-558.
[8] İsmail H. Uzunçarşılı, Osmanlı Devletinin İlmiye Teşkilâtı
[Lembaga Ulama dalam Negara Ottoman], Ankara 1984, p. 192; and Davut Dursun, Osmanlı Devletinde Siyaset ve Din [Agama
dan Politik Negara Ottoman], İstanbul 1989, p. 329.
[9] Bahaeddin Yediyıldız, “Ottoman Society” in History of Ottoman State, Society and
Civilization (ed. E. İhsanoğlu), İstanbul: IRCICA 2001, pp. 518-520.
[10] İlber Ortayli, ‘Osmanlı Imparatorlugu’nda Millet’
[Millet pada masa Dinasti Utsmani], in Tanzimat’tan
Cumhuriyet’e Türkiye Ansiklopedisi [The Encyclopedia of Turkey from
Tanzimat to the Republic] (Istanbul: Iletisim, 1986), p. 997.
[11] Bilal Eryılmaz, Osmanlı Devletinde Gayri Müslim Tebaanın Yönetimi [Pemerintah Warga
Negara Non-Muslim di Negara Ottoman] (İstanbul: Risale Yay., 1990); Ufuk
Gülsoy, Osmanlı Gayrimüslimlerinin
Askerlik Serüveni [Peran Militer Non Muslim] (İstanbul: Simurg Yay., 1999);
and Mesrob K. Krikorian, Armenians in the
Service of the Ottoman Empire 1860-1908, (London: Routledge and Kegan Paul,
1978).
[12] M. Macit Kenanoğlu, Osmanlı Millet Sistemi: Mit ve Gerçek [Sistem Millet Dinasti
Utsmani: Mitos atau Realitas] (Istanbul: Klasik, 2004), pp. 283, 325; Coskun
Ucok, ‘Law in the Ottoman State Before Tanzimat’, in Tanzimat’tan Cumhuriyet’e Türkiye Ansiklopedisi [The Encyclopedia
of Turkey from Tanzimat to Republic] (Istanbul: Iletisim, 1986) pp. 574-79.
[13] Şerif Mardin,
Turkiye’de Toplum ve Siyaset
[Masyarakat dan Politik di Turki] (Istanbul: Iletisim, 1995), pp. 100-01.
[14] Ortaylı, ‘Osmanlı İmparatorluğu’nda Millet’
[Millet pada masa Dinasti Utsmani], p. 997.
[15] Ortaylı, Osmanlı İmparatorluğu’nda Millet [Millet
pada masa Dinasti Utsmani], p. 1001.
[16] Stanford J. Shaw, Jews of the Ottoman Empire and the Turkish Republic (New York: New
York University Press, 1991), pp. 48-61.
[17] M. Akif Aydın, “The Ottoman Legal System” in History of Ottoman State, Society and
Civilization, ed. Ekmeleddin
İhsanoğlu (İstanbul: IRCICA, 2001), vol. 2, pp. 459-464; Colin Imber, The Ottoman Empire
1300-1650 : The Structure of Power (New
York: Palgrave Macmillan, 2002), pp. 218-220.
[18] Dilaporkan bahwa Kanun Pertama yang dibuat oleh
Osman Ghazi, Pendiri Dinasti Utmani, ditujukan untuk memaksakan pajak pasar
yang disebut baj dalam Bursa yang kemudian dilanjutkan oleh keturunannya. M.
Akif Aydın, “The Ottoman Legal System,” p. 440.
[19] Robert Anhegger, Halil İnalcık (eds.), Kanunname-i Sultani ber muceb-i örf-i Osmani
: II. Mehmed ve II. Bayezid devirlerine ait yasakname ve kanunnameler
(Ankara: Türk Tarih Kurumu, 1956); Yaşar Yücel, Selami Pulaha (eds.) I.Selim Kanunnamesi: 1512-1520 ve
XVI.yüzyılın ikinci yarısı (Ankara : Türk Tarih Kurumu, 1988); Aziz Efendi, Kanunname-i Sultani li-Aziz Efendi, trans. Rhoads Murphey, ed.
Şinasi Tekin (Harvard: Harvard University, 1985); Ahmet Akgündüz, Osmanlı kanunnameleri ve hukuki tahlilleri
(İstanbul: Fey Vakfı, 1990); Müezzinzade Manisalı Ayn Ali Efendi, Osmanlı devleti arazi kanunları :
kanunname-i Al-i Osman, ed. Hadiye Tuncer (Ankara: Tarım Bakanlığı,
1962). [Select the best 2-3 sources of these
sources and translate their titles into English]
[20] Kemal Çiçek, “Cemaat Mahkemesinden Kadı
Mahkemesine Zımmilerin Yargı Tercihi” [Pilihan
Pengadilan Komunitas Dzimmi: Antara Pengadilan Komunitas dengan Pengadilan
Qadi], in Pax Ottomania: Studies in Memoriam
of Prof. Nejat Göyünç eds. Kemal Çiçek, Sota& Yeni Türkiye Yay (Ankara:
Haarlem 2001), pp. 31-48.
[21] Halil İnalcık, Osmanlı’da Devlet, Hukuk, Adâlet [Negara, Hukum dan Keadilan masa
Dinasti Utsmani] (İstanbul: Eren, 2000), pp. 27-48.
[22] M. Akif Aydın, “The Ottoman Legal System,” p.
441.
[23] İnalcık, Osmanlı’da
Devlet, Hukuk, Adâlet [Negara, Hukum dan Keadilan masa Dinasti
Utsmani], p. 44.
[24] Mustafa Akdag, Celali Isyanlari (Ankara, 1963) [terjemahan]; William J. Griswold, Political Unrest and Rebellion in Anatolia 100-1020/1591-1611
(Berlin, 1983); Suraiya Farooqhi, Bruce
McGowan, Donald Quataert, and Sevket Pamuk, An
Economic and Social History of the Ottoman Empire, vol II, (Cambridge,
1994), pp. 413-471.
[25] Suraiya Farooqhi, “Politics and Socio-economic
Change in the Ottoman Empire of the Later Sixteenth Century” in Suleyman the Magnificent and His Age: The Ottoman Empire in the Early Modern World,
ed. Metin Kunt and Christine Woodhead (London, 1995) pp. 91-113; Suraiya
Farooqhi, Bruce McGowan, Donald Quataert, and Sevket Pamuk, An Economic and Social History of the
Ottoman Empire, vol II, (Cambridge, 1994), pp. 435-38.
[26] Carter Vaughn Findley, Bureaucratic Reform in the Ottoman Empire: The Sublime Porte, 1789-1922
(Princeton: Princeton University Press, 1980), pp. 49-58.
[27] Rifat Abou El-Haj, “The Ottoman Nashiatname as a
Discourse over “Morality,” in Melanges,
Professeur Robert Mantran, ed. Abdeljelil Temimi (Tunis:Zaghouan, 1988) pp.
17-30.
[28] Carter V. Findley, Bureaucratic Reform in the Ottoman Empire, pp. 61-66.
[29] Cevdet Kucuk, ‘Ottoman Millet System and
Tanzimat’, in Encyclopedia of Turkey from
Tanzimat to Republic, vol. 4 (Istanbul: Iletisim, 1986), pp. 1007-24.
[30] Cevdet Kucuk, ‘Ottoman Millet System and
Tanzimat’, in Encyclopedia of Turkey from
Tanzimat to Republic, vol. 4, (Istanbul: Iletisim, 1986), p. 1018.
[31] Aydın, “The Ottoman Legal System,” p. 458.
[32] Aydın, “The Ottoman Legal System,” pp. 485-486.
[33] Ziya Gökalp, “The Social Sources of Islamic
Jurisprudence,” in Turkish Nationalism
and Western Civilization: Slected Essays of Ziya Gökalp, diterjemahkan dan
diedit oleh Niyazi Berkes (New York: Columbia University Press: 1959), pp.
196-199; Uriel Heyd, Foundations of
Turkish Nationalism: The Life and
Teachings of Ziya Gökalp (London: Luzac, 1950), pp. 87-88.
[34] Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey (Montreal: McGill
University Press, 1964) pp. 349-360, 490-495.
[35] Aydın, “The Ottoman Legal System,” p. 484.
[36] Ahmet Hamdi Tanpınar, Türk Edebiyatı Tarihi: 19. Asır [Sejarah Literatur Turki: Abad
ke-19] (İstanbul: Çağlayan Kitabevi,
1985); Hilmi Ziya Ülken, Türkiye'de
Çağdaş Düşünce Tarihi [Sejarah Pemikiran Modern di Turki] (İstanbul : Ülken
Yayınları, 1979); Serif Mardin, The
Genesis of Young Ottoman Thought: a Study in the Modernization of Turkish
Political Ideas (Princeton: Princeton University, 1962); Religion and Social Change in Modern Turkey:
the Case of Bediüzzaman Said Nursi, (Albany: State University of New York,
1989).
[37] Tim Jacoby, Social
Power and the Turkish State (London: Frank Cass Publishers), p. 80.
[38] Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey, p. 477.
[39] Geoffrey Lewis, The Turkish Language Reform: A Catastrophic Success (Oxford: Oxford
University Press, 2002).
[40] İlber Ortaylı, İmparatorluğun En Uzun Yılı [The Longest Century of the Empire]
(Istanbul: Hil Yayin, 1995), pp. 204-234.
[41] As quoted in Borak S. (ed.), Atatürk ve Din [Ataturk dan Agama] (İstanbul: Anıl 1962), p. 34.
[42] Ziya Gölkap, “The Real Meaning of the Caliphate”
in Küçük Mecmua [Minor Magazine] (No. 24, Nov. 27, 1922), pp. 1-6; Ziya Gölkap,
“Functions of the Caliphate” in Küçük
Mecmua [Minor Magazine] (No. 26, Dec. 11, 1922, pp. 1-5.
[43] Faruk Alpkaya, “Türkiye Cumhuriyeti’nin Kuruluşu:
1923-1924” [Dasar Republik Turki1923-1924] (Istanbul: Iletişim, 1998), p. 199,
dikutip dari Attaturk.
[44] Yunus Nadi, “Two Servants of Britain,” in Anadolu’da Yeni Gun Daily (Jan. 18,
1924).
[45] Seyyid Bey, “Hilafet
ve Hakimiyet-i Milliye” [Khalifah dan Kedaulatan Nasional] (Ankara, 1923),
p. 27-28.
[46] Alpkaya, “Türkiye Cumhuriyeti’nin Kuruluşu”
[Dasar Republik Turki], p.231.
[47] Etyen Mahçupyan, ‘Laiklik ve Hazımsızlı’
[Sekularisme dan Intoleransi/Lemahnya Internalisasi], Zaman newspaper (June 20, 2005).
[48] Şerif Mardin, Türkiye’de
Din ve Siyaset Makaleler 3, [Agama
dan Politik di Turki, 3 Artikel 3] (Istanbul: Iletişim, 2001), pp.120-122.
[49] Erik Jan Zürcher, Modernleşen Türkiye’nin Tarihi [Sejarah Modernisasi Turki]
(Istanbul: Iletişim, 1998), p. 339.
[50] Şerif Mardin, Türkiye’de
Din ve Siyaset [Agama dan Politik di
Turki], pp.122-123.
[51] Serdar Sen, “Türkiye’yi Anlamak ya da Gecmisten
Gelecege Silahli Kuvvetler” [Memahami
Turki atau Angkatan Bersenjata Dulu hingga Kini], Birikim Monthly (No. 96, Apr. 1997,) pp. 19-27.
[52] Serdar Sen, “Türkiye’yi Anlamak ya da Gecmisten
Gelecege Silahli Kuvvetler” [Memahami Turki atau Angkatan Bersenjata Dulu
hingga Kini], Birikim Monthly (No. 96, Apr. 1997), pp. 19-27.
[53] Umit Cizre; Article: “Türk Ordusunun Siyasi
Özerkliği” [The Anatomy of the Turkish Army’s Political Autonomy] in Muktedirlerin
Siyaseti: Merkez Sağ-Ordu-Islamcilik [Politik Kaum Terpinggirkan: Central
Right-Army-Islamism] (Istanbul: Iletisim Yayınlari, 1999), pp. 57-79.
[54] Ali Bayramoglu “Asker ve Siyaset” [Militer dan
Politik], in Bir Zümre, Bir Parti:
Türkiye’de Ordu [Kelas, Partai: Militer di Turki], ed.: Ahmet Insel, Ali
Bayramoglu, Birikim Yayinları, (Istanbul: 2004), pp. 59-118; Ahmet Insel, “MGK
Hukumetleri ve Kesintisiz Darbe Rejimi” [Pemerintahan MGK dan Rezim yang Penuh
dengan Kup Militer], Birikim Monthly
(No. 96, Apr. 1997), pp. 15-18.
[55] Ahmet Insel, “MGK Hukumetleri ve Kesintisiz Darbe
Rejimi” [Pemerintahan MGK dan Rezim yang Penuh dengan Kup Militer], Birikim Monthly (No. 96, Apr. 1997), p.
16.
[56] Indikasi bahwa permohonan Turki untuk menjadi
anggota Uni Eropa bisa memaksakan perubahan dalam kebijakan negeri itu bisa
dilihat dalam kasus dimana Pengadilan mengizinkan kata
"Islam"dihapuskan dari identitas dua orang anak atas permintaan orang
tuanya. Komisi Anti Rasisme dan
Intoleransi Eropa, “Third Report on
Turkey,” ¶28 (dibuat pada bulan 25 Juni 2004; dirilis pada 15 Februari
2005) (merekomendasikan kepada pemerintah Turki untuk menghapus identitas agama
dari kartu identitas penduduk dan menjamin hak-hak kaum minoritas dibawah
perjanjian Lausanne).
[57] Ihsan Yilmaz, “State, Law, Civil Society and
Islam in Contemporary Turkey,” Muslim
World (July 1, 2005); Talip Kucukcan, “State, Islam, and Religious Liberity
in Modern Turkey: Reconfiguration of
Religion in the Public Sphere,” Brigham
Young University Law Review (2003) p. 501-504.
[58] Need
source other than US State Department “International Religious Freedom Report
2004 – Turkey” [can a Turkish lawyer help us find an appropriate reference,
especially provide citation to laws that ban sufi orders and control cites for
worship and/or other basis for difficulties for groups not officially
recognized?]
[59] Tevhid-i Tedrisat, March 3, 1924.
[60] Bahattin Akşit, “Islamic Education in Turkey:
Medrese Reform in Late Ottoman Times and Imam Hatip Schools in the Republic,”
in Islam in Modern Turkey (ed. R. L. Tapper) London: IB Tauris
(1991), p. 161.
[61] “The IHL’s: Legends and Facts” (Istanbul: TESEV,
2004) [Please
provide publication facts for this source, page numbers if possible].
[62] “The IHL’s: Legends and Facts” (Istanbul: TESEV,
2004).
[63] “The IHL’s: Legends and Facts” (Istanbul: TESEV,
2004).
[64] Peraturan yang berkaitan dengan Pakaian Siswa dan Staf Sekolah yang berada di bawah Departemen Pendidikan
dan Departemen lain, No. 8/3349, Art. 6 (July 22, 1981, diamademen, Nov. 26,
1982).
[65] Dipublikasikan dalam Lembaran Negara 8 Januari
1987 (19335) (dihapus oleh amandemen 18 Desember 1989 (20386)).
[66] Kasus No. 1989/1, Putusan No. 1989/12. Laporan Resmi Mahkamah Konstitusi Turki,
Keputusan 1989/652.
[67] Undang-Undang 3670 (25 Oktober 1990), didukung
oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 1991/8 (July 31, 1991).
[68] Hüsnü Tuna, Lawyers
Association, Report 3, “The Scope and the Consequences of the Ban on Head
Scarf in Turkey”, Brussels, OSCE Conference on Tolerance and the Fight against
Racism, Xenophobia and Discrimination, 13-14 September 2004.
[69] Lawyers Association, Report 3, “The Scope and the
Consequences of the Ban on Head Scarf in Turkey”
[70] Seorang nenek berusia 85 tahun dilarang untuk
menghadiri wisuda cucunya di Universitas Marmara karena ia memakai jilbab.
Mengenai kejadian ini dan juga beberaoa kejadian yang sama di universitas lain
lihat Milliyet (www. Milliyet.com) Zaman (www.zaman.com.tr), and Hurriyet (www.hurriyetim.com), of June 13 and 15,
2005.
[71] Lawyers Association, Report 3, “The Scope and the
Consequences of the Ban on Head Scarf in Turkey”
[72] Niyazi Öktem, “Religion in Turkey,” in Brigham Young Law
Review (2002) p.397-398; BBC News, “Turkey Bans Islamic Party”(June
22, 2001); BBC News, “Headscarf Row In Turkey Parliament (May 3, 1999).
[73] Lawyers Association, Report 3, “The Scope and the
Consequences of the Ban on Head Scarf in Turkey”; see also Human Rights Watch,
“Access to Higher Education for Women Who Wear the Headscarf ,” June 2004.
[74] Organisasi Hak Asasi Manusia Mazlumder
www.mazlumder.org) (seperti dilaporkan dalam United States Department of State,
“International Religious Freedom Report 2004 – Turkey”) [IS
THIS CITE OKAY? Situs Mazlumder
(hanya dalam Bahasa Turki):
http://www.mazlumder.org/ana.php?konu=ana&lang=tr
[75] Milliyet
Daily ( Nov. 25, 2002).
[76] “Turkey Approves Headscarf Amnesty,”
Al-Jazeera.net (March 16, 2005).
[77] “Turkey Approves Headscarf Amnesty,”
Al-Jazeera.net (16 Maret 2005).
[78] “Turkey’s Top Judge Rules Out Easing of Headscarf
Ban,” Middle East Times (26 April 2005).
Lihat juga, ‘The Capital Talking of a Headscarf Report,’ NTV
MSNBC-Turkey, 8 Februari 2004 (mengutip Deputi Ketua partai oposisi CHP,
Mustafa Ozturk, yang mengatakan bahwa "kebebasan menggunakan jilbab
berarti merubah Undang-Undang Dasar")
[79] Pasal 14 (diamandemen 17 Oktober 2001).
[80] No. 44774/98 Eur. Ct. H.R. (29 Juni 2004).
[81] Ahmet Insel, in Radikal 2 Weekly (1 Desember 2002).
[82] Lawyers Association, Report 3, “The Scope and the
Consequences of the Ban on Head Scarf in Turkey”. Lihat juga, Serpil Karacan Sellars,
“Tug-Of-War Over Islamic Headscarf…In Turkey,” Panos London Online <http://www.panos.org.uk/newsfeatures/featuredetails.asp?id=1186>.
[83] Lawyers Association, Report 3, The Scope and the
Consequences of the Ban on Head Scarf in Turkey” (pasien penderita asma tidak
diperkenankan untuk mengikuti pelatihan mengenai asma di Sekolah Kedokteran Cerrahpasa). Lihat
juga, Serpil Karacan Sellars, “Tug-Of-War Over Islamic Headscarf…In Turkey,”
Panos London Online (http://www.panos.org.uk/newsfeatures/featuredetails.asp?id=1186).
[84] Professor Ali Yasa Saribay, dikutip dalam Serpil
Karacan Sellars, “Tug-Of-War Over Islamic Headscarf…In Turkey”.
[85] Ahmet Insel, Acik Site-Acik Radio, July 14, 2004.
[86] Ahmet Insel, Acik Site-Acik Radio, July 14, 2004 (CITED IN SOMNUR #5, p. 4)
[87] lihat sebagai contoh Koran harian Milliyet, 22 Juli, 2003 untuk kasus
investigasi yang dilakukan oleh asosiasi pengacara Turki kepada tiga pengacara
perempuan yang memakai jilbab di gedung pengadilan Ankara. Contoh lain yang
bisa dikutip bisa dilihat di http://www.milliyet.com/2005/04/06/guncel/gun02.html.
[88] Ali
Carkoglu & Binnaz Toprak, Religion,
Society and Politics in Turkey (Istanbul:
TESEV, 2000), ada di
<http://www.tesev.org.tr/eng/project/TESEV_search.pdf>).
[89] Statistik mengenai jumlah Muslim di turki
berbeda-beda antara 97% dan 99%, dan perbedaan ini sering ditemukan dalam
laporan yang sama. Lihat misalnya, Ali Carkoglu & Binnaz Toprak, Religion, Society and Politics in Turkey
(Ringkasan bahasa Inggris). Ketidakcocokan ini mungkin bisa dijelaskan dengan
mencatat bahwa jumlah 99% ini juga mewakili prosentasi penduduk yang dianggap
Muslim karena agamanya tidak diakui secara resmi oleh pemerintah seperti pemeluk
Kristen protestan dan Baha'i. dengan demikian, jumlah muslim di Turki
sebenarnya lebih sedikit dari itu yaitu kira-kira 97% dari populasi
keseluruhan.
[90] Ali Carkoglu & Binnaz Toprak, Religion, Society and Politics in Turkey
(English summary).
[91] Jenny White, “The Dilemma of Islamism,” in Deniz
Kandiyoti, Ayse Saktanber, eds. Kultur
Fragmanlari: Turkiye’de Gundelik Hayat, (Istanbul: Metis, 2002), pp.
201-226.
[92] Yael Navaro-Yasin, “The Identity Market:
Merchandise, Islamism, Laicite,” in Kultur
Fragmanlari: Turkiye’de Gundelik Hayat, ed: Deniz Kandiyoti, Ayse Saktanber
(Istanbul: Metis, 2002), pp. 229-258.
[93] Tim Jacoby, Social Power and the Turkish State
(London: Frank Cass Publishers, 2004),
p. 150.
[94] Sami Selçuk, Longing
for Democracy (Ankara: Yeni Türkiye Publications, 2000).
[95] Marvine Howe, Turkey:
A Nation Divided Over Islam’s Revival (Boulder, CO:
Westview,
2000), pp. 1-10.
[96] Hasan Kosebalaban, “The Impact of Globalization
on Islamic Political Identity: The Case of Turkey, in World Affairs (June 22, 2005).