01/11/2005
Peristiwa nuzulul Qur’an yang dialami Nabi
Muhammad bukanlah hasil tanpa proses. Sebelum menerima wahyu, secara psikologis
nabi telah lama galau-gelisah karena tatanan sosial yang berlaku pada zamannya.
Kontemplasi yang sering beliau lakukan di Gua Hira’, tak lain merupakan cara
Nabi merefleksi ihwal masyarakatnya, sambil mencari inspirasi soal tata cara
mengubahnya. Demikian perbincangan Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal
(JIL), Kamis (20/10), dengan Achmad Chodjim, penulis buku-buku tasawuf, antara
lain Islam Esoteris, Jalan
Pencerahan, Makna Kematian, dan beberapa buku tafsir.
Novriantoni
(JIL): Mas Chodjim, kenapa Alquran mesti turun?
Achmad Chodjim:
Sebenarnya, upaya memahami makna turunnya Alquran tidak bisa dilepaskan dari
sudut orang yang menerimanya. Artinya, ia tidak pernah bisa lepas dari karakter
serta perjuangan hidup Kanjeng Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi nabi.
Kita tahu, beberapa tahun sebelum Alquran diturunkan, Kanjeng Nabi sudah
terbiasa melakukan tahannuts (kontemplasi, Red) di Gua Hira’, dan
itu selalu dilakukan pada bulan Ramadan.
JIL: Apakah
bulan Ramadan sudah dianggap suci dalam tradisi Quraisy ketika itu?
Belum, karena
Ramadan pada waktu itu hanya merujuk pada suatu kondisi satu bulan dari dua
belas bulan yang ada. Tepatnya, ia bulan kesembilan di mana kondisi Jazirah
Arab amat terik, sangat panas, dan terpanas. Pada waktu itu, bulan Ramadan
tidak dikaitkan dengan rembulan, tapi dengan peredaran matahari. Makanya,
setiap bulan sembilan, di sana panas sekali.
Kita juga tahu,
kata Ramadan itu sendiri berasal dari kata Arab ra-ma-dla yang berarti memanggang
atau memanaskan. Turunan kata bendanya adalah ramdlâ’ yang
berarti memanggang, memanaskan, atau kondisi sangat terik. Jadi Ramadan ketika
itu memang dikenal sebagai masa di mana orang-orang Arab sana malas keluar
rumah. Untuk orang–orang tertentu, melakukan tahannuts di gua-gua
adalah pilihan. Di sana mereka bisa melakukan apa yang pada saat ini kita sebut
refleksi diri, perenungan diri, introspeksi diri, dan penilaian atas kehidupan.
Nah, nabi sudah
beberapa kali melakukan hal serupa. Jadi bukan sekali Ramadan itu saja. Ada
yang menyebutkan, sebelumnya ia sudah lebih dari lima kali melakukan tahannuts.
Tapi baru kali itulah nabi menerima wahyu pertama. Karena tahannuts-nya
bertepatan dengan bulan Ramadan, maka Ramadan menjadi momen penting.
JIL: Apakah
wahyu, ilham, atau inspirasi yang mencengangkan dalam hidup hanya mungkin
didapat lewat proses perenungan yang syahdu seperti nabi di Gua Hira?
Kalau kita
memahami proses awalnya, memang begitulah adanya. Artinya, hanya orang-orang
yang betul-betul sudah dapat membakar egonya saja yang akan mampu menjadi
tempat bersemainya kalam Allah. Ketika seseorang telah membersihkan hatinya,
ilham akan mengucur bagai air yang mengalir. Bahwa di dalam perkembangan hidup
nabi selanjutnya wahyu turun pada saat-saat genting seperti perang atau dalam
tekanan hidup, itu tidak menafikan proses awalnya.
Artinya,
seandainya seseorang tidak melakukan suatu proses pencarian, tidak akan pernah
ada wahyu. Nabi Ibrahim sendiri menerima wahyu setelah melalui proses pencarian
yang sangat panjang. Perjalannya untuk menemukan Tuhan merupakan proses
pencarian, bukan seperti kita zaman sekarang yang tinggal dididik untuk percaya
saja tanpa proses pergulatan.
JIL: Artinya,
ada dialektika antara proses manusiawi untuk mencari inspirasi guna mengubah
keadaan, dengan ketentuan Tuhan pada siapa ilham atau wahyu akan diberikan?
Ya. Saya melihat,
selama ini pemahaman yang umum sering mengartikan redaksi man yasyâ’ (misalnya
dalam ayat “yuthil hikmata man yasyâ”, atau Allah akan memberi
kearifan pada siapa pun yang ia kehendaki) selalu diartikan dengan kehendak
Tuhan semata-mata. Padahal, kata man yasyâ’ yang termuat dalam banyak
ayat Alquran, selalu terkait dengan hubungan antara dua belah pihak. Jadi,
wahyu sekalipun merupakan dialektika yang dinamis dan terus-menerus antara sang
pencari dengan Yang Dicari.
Istilahnya,
selalu ada hubungan antara murid dengan murâd. Karena itu, sebuah
pilihan tidak bisa diberikan secara ngawur. Sejarah Nabi Musa menunjukkan itu,
dan Nabi Yusuf juga begitu. Semua riwayat hidup para nabi adalah rekaman sebuah
perjalanan; ada fase-fase yang harus mereka lewati. Hanya saja, memang kita
tidak bisa menganggap semua orang yang mencari pasti akan berjumpa (ilham atau
wahyu, Red). Tapi yang pasti, orang yang berjumpa atau menemukan wahyu adalah
orang yang mencari.
JIL: Bisakah
Mas Chodjim menyebut alasan-alasan sosiologis, atau kondisi kebudayaan yang
memungkinkan turunnya Alquran kepada nabi kita?
Di abad ketika
Rasul asyik berkontemplasi itu, jazirah Arab sedang diwakili oleh kondisi yang
sangat buruk dalam tatanan sosial. Kalau kita coba bandingkan antara abad itu
di Arab dan di Jawa, maka kita akan mendapatkan bahwa di Jawa pada masa yang
sama, Ratu Shima sudah meletakkan hukum-hukum untuk menjamin kemakmuran dan
keamanan rakyatnya. Sementara di zaman jahiliyah ketika itu di Jazirah Arab,
setiap orang dapat bertindak sewenang-wenang. Para elite Quraisy masa itu
berbuat zalim terhadap orang-orang yang lemah.
Jadi wahyu itu
ada kaitannya dengan (adanya) hidup tanpa tatanan sama sekali (sebelumnya,
Red). Makanya, bukan hanya satu orang saja yang melakukan tahannuts
di bulan Ramadan di waktu itu, tapi banyak juga lainnya. Di antaranya, paman
Khadijah isteri nabi, Waraqah bin Naufal. Orang lain seperti Utsman bin Tsa’lab
dan lain-lain juga giat mencari tempat untuk refleksi, kontemplasi, meditasi,
dan sebagainya. Artinya, mereka-mereka termasuk orang-orang yang sudah tak
nyaman lagi dengan status quo sosial-kebudayaan di masanya. Dalam bahasa
kita, mereka adalah orang-orang yang prihatin. Keprihatinan itu lalu
dimanfaatkan untuk melakukan perenungan di tempat-tempat yang teduh seperti di
gua-gua.
JIL: Hanya
saja, tidak semua yang prihatin akan mendapat ilham atau wahyu, ya, Mas?
Tentu saja
tidak. Makanya tidak boleh dibalik. Analoginya sama dengan “semua orang yang
mendapatkan ijasah harus ujian”. Tapi, tidak setiap orang yang ikut ujian akan
mendapat ijasah, karena bisa saja di antara mereka ada yang tidak lulus.
JIL: Mas
Chodjim, apa saja hal-hal penting yang dibicarakan Alquran untuk menanggapi
kondisi bangsa Arab ketika itu?
Ketika Alquran
baru diturunkan, ayat yang turun pertama-tama tidak banyak. Hanya saja, ayat
itu menjadi inti dari aksi dan aktivitas manusia, yaitu falsafah iqra’
(bacalah!). Di situ tidak ditentukan obyek tertentu untuk dibaca. Jadi
diharapkan, perintah itu memotivasi untuk membaca hal-hal yang terkait dengan
alam ciptaan Tuhan. Makanya iqra’ bismi Rabbik (bacalah dengan nama
Tuhan-mu!) itu sebenarnya terkait dengan asmâ’ Allah yang digelar di
semesta raya ini. Itu diperlukan agar manusia dapat hidup dengan cara yang
lebih bermartabat.
Artinya, kalau
sesuatu itu mampu kita baca dan teliti dengan baik, otomatis kita akan lebih
beradab daripada asal melakukan sesuatu tanpa memperhatikan untung-ruginya.
Makanya, iqra’ di situ berkaitan juga pada akhirnya dengan nalar
yang luar biasa tidak terbatas, khususnya ketika dikatakan bahwa “Tuhan telah
memberikan qalam, untuk mengetahui apa-apa yang tidak diketahui
manusia”. Karena itu, turunnya Alquran di bulan Ramadan memiliki makna ganda,
baik untuk umat manusia maupun bagi manusia perorangan.
JIL: Menurut
Anda, apa nilai penting Alquran yang mestinya dihidupkan dan dimajukan saat
ini?
Sebagaimana tadi
dikatakan, hakikat Alquran adalah petunjuk. Yang namanya petunjuk, tentu bukan
menyuruh orang untuk membunuh, dan bukan pula sebentuk komando langsung untuk
melakukan tindak kejahatan. Di dalam sebuah petunjuk, selalu ada beragam
kondisi yang bisa dilakukan dalam standar petunjuk itu tadi. Sebagaimana yang
dikatakan Alquran sendiri, ia adalah “...hudan lin nâs wa bayyinâtin minal
hudâ wal furqân.” Jadi, ia adalah petunjuk, sekaligus penjelasan atas
petunjuk itu, dan al-furqân atau pembeda. Yang
banyak dilupakan orang, hal paling inti dari Alquran adalah unsur furqân
itu. Al-furqân adalah patokan, unsur pembeda supaya orang bisa menilai
mana yang salah dan mana yang benar; mana yang palsu dan mana yang nyata. Jadi al-furqân
itu harus dipegang.
Dan kalau
Alquran digunakan sebagai petunjuk, orang akan tahu kapan ayat-ayat yang
memerintahkan pembunuhan atas orang kafir perlu dilaksanakan. Yang diperangi
Rasulullah dari orang-orang kafir adalah tindakan semena-mena mereka, bukan
kekafirannya itu sendiri. Kita tahu, selama nabi tinggal di Mekah, ia tidak
pernah melakukan perlawanan. Yang ada adalah pertahanan diri semata. Tapi
begitu di Madinah, sesudah berusaha menjauh dari lingkungan yang semena-mena
tadi, tapi masih juga sering diserbu, dan menghadapi tekanan-tekanan luar
biasa, barulah turun surat al-Ahzab. Di situ antara lain dikatakan, “Diizinkan
padamu untuk berperang.” Jadi, perang di situ baru diizinkan. Itu pun jika kita
telah diperangi dan diusir dari kampung halaman kita.
JIL:
Bagaimana dengan pemahaman Alquran sebagai syifâ’ (penyembuh) yang oleh
sementara orang dimanfaatkan sebagai jimat dan penangkal hantu, misalnya?
Ada banyak
penjelasan soal petunjuk dalam Alquran. Di antara petunjuk itu adalah status
Alquran sebagai syifâ’ dan rahmah. Pengertian syifâ’
tentu tidak harus dengan menggunakan Alquran sebagai mantera. Tapi makna yang
bisa kita baca: Alquran betul-betul dapat digunakan sebagai obat, baik dalam pengertian
spiritual maupun fisikal. Dia bisa menjadi obat spiritual jika kita melakukan
kontemplasi dalam membacanya, sehingga kita bisa meningkatkan kualitas kejiwaan
kita.
Misalnya, kalau
Allah mengatakan lewat Alquran bahwa dunia ini sebenarnya hanya perhiasan yang
menipu, atau keadaan yang ilusif semata, maka kalau ungkapan itu masuk ke dalam
diri kita, ia akan menjadi obat spiritual karena kita tersadar. Kita sadar apa
artinya mengejar-ngejar dunia kalau toh ia hanya kesenangan yang
memperdaya. Karena itu, ia tidak kita kejar, tapi kita sikapi dengan baik dan
wajar.
Adapun
pengobatan yang berkaitan dengan fisik, Alquran banyak juga memberi petunjuk.
Misalnya dikatakan, madu itu mengandung unsur obat. Untuk itu harus diteliti.
Yang lainnya adalah rahasia mengapa Alquran memerintahkan untuk menyusui bayi
hingga dua tahun. Makanya, sisi lahir ayat itu tidak bisa kita pakai menjadi
jimat; kandungannyalah yang bisa melahirkan obat-obatan baik fisikal maupun
spiritual.
JIL: Ada yang
menyebut bahwa salah satu fungsi Alquran adalah usaha Tuhan untuk
mempermaklumkan dirinya kepada manusia agar manusia mengenal-Nya. Tanggapan
Anda?
Sebagaimana yang
saya katakan sebelumnya, di dalam perintah iqra’ tadi, di antaranya
tercakup iqra’ atas sifat-sifat Allah. Tapi karena perintah iqra’
itu bersifat nakirah, tidak ada obyek yang dipastikan, maka semua
kebenaran yang digelar Allah di jagat raya memang harus dibaca. Jadi, ketika
kita melihat apa yang digelar ini, kita akan tahu bahwa semua itu perwujudan
dari ciptaan Tuhan. Sementara itu, ciptaan Tuhan tak lebih merupakan
kepanjangan asmâ’ atau nama-nama Allah.
Jadi, kalau kita
memahami aspek itu, Alquran memang sekaligus memberi tuntunan, petunjuk buat
manusia untuk bisa mengenal Diri-Nya, dan sekaligus karakter atau sifat-sifat
mahluk ciptaan-Nya. Untuk apa itu dipertintahkan agar dipahami sungguh-sungguh?
Untuk kesejahteraan manusia dan masyarakat itu sendiri.
JIL: Tapi Mas
Chodjim, apakah tanpa wahyu atau kitab suci, manusia betul-betul tidak akan
dapat petunjuk dan akan hidup terlunta-lunta?
Sebenarnya
pengertian wahyu atau kitab suci itu sendiri yang harus kita pahami lebih dulu.
Sebelum diturunkan nabi-nabi, pengertian kitab suci seperti sekarang ini
otomatis tidak ada. Kita tahu, manusia sudah hidup ratusan ribu tahun yang
lalu, sementara agama tertua yang kita kenal baru hadir kira-kira 3000 tahun
SM, atau setara 5000 tahun lalu. Kalau begitu, sebelum 5000 tahun lalu, belum
ada pengertian kitab suci seperti yang kita pahami sekarang ini.
Makanya tadi
dikatakan bahwa, Alquran itu sebenarnya ayat-ayat nyata yang berada dalam
kesadaran orang-orang yang diberi ilmu. Di situ tidak dikatakan orang-orang
berilmu, tapi ûtul `ilm, atau orang-orang yang diberi ilmu oleh Allah.
Dan nikmat itu tentunya tidak akan didapat semua orang. Tapi pada akhirnya,
semua orang akan mengenal Tuhan dengan sendirinya.
Makanya, sebelum
berbagai kitab suci terbukukan seperti sekarang ini, sudah ada banyak orang
yang mengajak untuk hidup secara benar walaupun belum ada pengertian kitab suci
seperti sekarang.
JIL: Apakah
dapat disimpulkan bahwa Alquran atau wahyu itu bersifat komplementer terhadap
akal?
Ya, betul.
Pertama-tama, akallah yang dianugerahkan pada manusia. Dan di dalam Alquran,
kata akal dalam bentuk mashdar (kata benda) tidak ada. Yang ada selalu
berbentuk kata kerja (fi`il). Namun demikian, kalau kita jeli meneliti
surat al-`Alaq ayat 1 sampai 5, kita akan tahu bahwa di situ ada redaksi
“‘allama bil qalam.” Jadi ternyata, Tuhan juga mengajarkan, termasuk
memperkenalkan dirinya kepada manusia, pertama-tama dengan al-qalam.
Al-qalam di sini tentu saja tidak semakna dengan
alat tulis yang kita kenal sekarang, tapi lebih pada al-qalam (pencatat,
Red) yang ada dalam batin tiap manusia. Makanya, di situ Tuhan juga mengatakan,
“`allamal insân mâ lam ya`lam,” Jadi, Tuhan juga mengajarkan apa-apa
yang tidak diketahui manusia sebelumnya dengan perantara al-qalam.[]