Oleh
Wilman
03/06/2005
Wahabisme mempunyai
akar dari seorang pemikir besar, Ibn Taimiyah beberapa abad sebelumnya. Dalam
kontekstualisasinya, gerakan wahabi bersinggungan keras dengan kelompok tasawuf
dan Islam Syi’ah. Bagi gerakan Wahabi, kelompok-kelompok tersebut tidak
mengikuti ajaran seperti yang dicontohkan Rasul.
Pada tanggal 03
Juni 2005 diselenggarakan diskusi panel dengan tema Arabisme dan Gerakan
Wahabi. Acara yang berlangsung di Aula Utama Universitas Islam Bandung tersebut
menghadirkan tiga pembicara dari aliran pemikiran yang berbeda. Tampil sebagai
pembicara pertama, Ulil Absar-Abdalla dari Jaringan Islam Liberal. Dalam
pemaparan selama 20 menit, Ulil menyoroti sepak terjang gerakan Wahabi sejak
ditelorkan oleh sang pembaharu Muhammad Abdul Wahab sampai keinginan pemerintah
Saudi menjadikan wahabisme sebagai Rivalitas terhadap keberhasilan revolusi di
Iran.
Wahabisme, menurut
Ulil, mempunyai akar dari seorang pemikir besar, Ibn Taimiyah beberapa abad
sebelumnya. Dalam kontekstualisasinya, gerakan wahabi bersinggungan keras
dengan kelompok tasawuf dan Islam Syi’ah. Bagi gerakan Wahabi,
kelompok-kelompok tersebut tidak mengikuti ajaran seperti yang dicontohkan
Rasul. Dalam tataran yang lebih luas kelompok ini berusaha untuk menyingkirkan
segala macam bid’ah, khurafat, dan berbagai tindakan kesyirikan lainnya, dan
secara tidak langsung mempunyai jasa besar melahirkan terorisme.
Di samping itu,
kelahiran gerakan Wahabi, lanjut Ulil, secara politik merupakan upaya untuk
melepaskan bangsa Arab dari pengaruh bangsa Turki yang telah menjadi dinasti
dalam waktu yang sangat panjang.
Pembicara kedua,
Geys Amar mewakili PP Al-Irsyad, menuturkan bahwa istilah Wahabisme merupakan
tiupan dari orang-orang yag tidak suka dengan gerakan yang dilakukan Muhammad
Abdul Wahab. Gerakan Wahabi menurut Geys, dalam beberapa sisi mempunyai nilai
yang tinggi, seperti keketatan dalam pelaksanaan ibadah. Secara tidak langsung,
hal ini ikut mendorong ketakutan psikologis musuh-musuh Islam.
Keinginan besar
untuk mewujudkan ajaran Islam dalam tindakan, merupakan wujud penghambaan
manusia kepada tuhannya. Dan hal tersebut tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Umat Islam tidak dapat menyangkal bahwa ada dua sisi yang berseberangan
walaupun terkait. Manusia sebagai abdi dan tuhan sebagai penguasa. Tafsiran
inipun menurut Geys, jelas ada dalam kitab suci umat Islam.
Gerakan Wahabi yang
sangat tidak disukai oleh golongan sekuler itu, sebenarnya ditopang oleh dua
kekuatan hukum Islam, al-Qur’an dan sunnah. Apa yang diterapkan oleh kaum
wahabi merupakan refleksi mereka terhadap nilai pemahaman yang ditawarkan
wahyu.
Sementara pembicara
ketiga, Husein Muhammad dari Yayasan Al-Jawad Bandung, menyoroti persoalan
Arabisme dalam konteks terminologi. Menurutnya, Arab tidak dapat secara sempit
diwakilkan oleh sekelompok negara Arab yang berada di semenanjung arabiah. Toh,
negara-negara seperti Maroko, Alzajair pun merupakan orang-orang Arab. Di
samping itu, seringkali ketika tercetus kata Arab, Syi’ah seakan-akan bukan
merupakan bagian dari rumpun masyarakat Arab.
Lebih lanjut,
menurut Husein, dahulu bangsa Mongol lebih mengenal Persia (Islam Syi’ah)
daripada Arab itu sendiri. Hal ini memberikan sebuah gambaran bahwa
pertentangan dalam dunia islam lebih merupakan ketidaksenangan dengan sistem
pemikiran yang dianut Islam Syi’ah. Hal ini, dalam cakupan hubungan sosiologis,
ikut memberikan warna yag sedikit kontras terhadap hubungan antara Arab yang
Sunni dengan Islam Syi’ah.
Padahal orang-orang
Syi’ah, menurutnya, memberikan spirit perjuangan yang tidak sedikit. Pejuang
Hizbullah di Lebanon sangat ditakuti pemerintah Israel, walaupun jumlah anggota
mereka amat sedikit.
Menyinggung latar
belakang kelahiran gerakan Wahabi, Baik Ulil maupun Husein Muhammad sependapat
bahwa kelahiran kelompok ini malah menjerumuskan masyarakat Islam ke dalam
pemiskinan pemikiran. Hal ini tidaklah berlebihan, karena pemaknaan mereka
terhadap kitab suci dan hadis nabi lebih pada teks thinking. Penarikan
kesimpulan yang reduksioner ini mengakibatkan penyederhanaan makna Qur’an yang
kaya pemaknaan dalam kesimpulan yang sempit.
Dalam konteks
sejarah, secara teologis, lanjut Husein Muhammad, sebenarnya tidak terlalu
berbeda jauh antara kaum Wahabi dan golongan Khawarij yang lahir pada waktu
perang Siffin. Orang-orang Khawarij berpendapat bahwa golongan merekalah
sebagai golongan yang paling benar sehingga menafikan kelompok-kelompok Islam
lainnya.
***
Dalam acara yang
dihadiri lebih dari seratus orang yang berasal dari berbagai elemen kampus dan
masyarakat umum tersebut, Ulil dan Husein Muhammad berkeyakinan bahwa pintu
pemikiran keagamaan harus terus tetap dibuka dalam memahami makna agama. Agama
menjadi kurang dihargai ketika ia dikekang dan dibiarkan hidup dalam rasa
keterasingan para pengikutnya.
“Islam digambarkan oleh Barat sebagai agama yang disebar dengan
pedang yang mengucurkan darah. Kesan yang telah dibangun berabad-abad ini
sebenarnya merupakan tanda kecil, bahwa keinginan untuk menyelamatkan keyakinan
orang lain dengan cara kekerasan menimbulkan efek terhadap lembaga agama itu
sendiri,” tegas Husein Muhammad. Menguatnya image agama yang keras ini mau
tidak mau ikut mendorong agama yang dibawa Muhammad SAW untuk seluruh alam
dalam konteks keselarasan dan harmoni ikut terseret.
Setiap orang
mempunyai hak untuk melaksanakan ajaran agama yang ia yakini, jika ditunjang
dengan argumentasi yang jelas. Jika demikian adanya, maka tidak seorangpun
berhak turut campur dalam kehidupan keberagamaan seseorang.
Pelaksanaan diskusi
tersebut menjadi kurang sempurna karena Ulil Abshar-Abdalla meninggalkan forum
setengah jam sebelum acara diskusi berakhir, karena harus kembali ke Jakarta.
Reportase oleh:
Wilman, kontributor, Universitas Islam Bandung