Apa Kabar Masyarakat Religius?

Oleh: Dede Azwar N.

Dengan kata lain, sekularisme di Barat sudah sedemikian rupa, sampai-sampai masyarakat di sana menganggap hal itu sama dengan kita menganggap religiusme sebagai kemestian hidup yang paling masuk akal. Membongkar sekularisme dengan bermodal literatur sosial atau spekulasi filsafat seraya meredukasinya dalam “ kemauan ilmiah” kita karenanya akan menyesatkan pemahaman kita tentang apa arti sesungguhnya sekularisme bagi Barat. Lantas, bagaimana mungkin melancarkan kritik, seberapapun tajam dan logis, terhadap sesuatu yang disalahpahami dan disimplifikasi sejak konsep dasarnya? Tambahan lagi, masalah agama di Barat, sebagai konsekuensinya, bukan lagi menjadi masalah penghayatan ( ars religiosus), melainkan telah menjadi ihwal scientia religiosus (agama sebagai wacana).


***


“Masyarakat religius” barangkali menjadi istilah atau konsep yang begitu energik secara utopis, sekaligus sangat abu-abu secara terminologis. Jelasnya, sekalipun lincah dan bertenaga, pemahaman atau batasan tentang konsep tersebut seringkali berbaur dengan kenaïfan imajiner kita tentang suatu—meminjam istilah al-Farabi—kota utama (al-madinah al-fadhilah) yang begitu damai, proporsional, dan aman sentosa.

Biasanya, dalam membayangkan atau menggagas konsep masyarakat religius, kita cenderung menekankan superioritas religi di atas masyarakat. Maksudnya, masyarakat bila memang ingin disebut ideal, harus religius. Jadi, religi atau religiusitas menjadi leitmotiv, setidaknya secara imajintaif, bagi terciptanya masyarakat etis yang dicitakan umat manusia. Selain itu, penggagasan konsep ini, umumnya tanpa disadari, selalu menyertakan hasrat mondialisme. Maksudnya, konsep masyarakat religius harus bersifat total dan mencakupi seluruh umat manusia—sekalipun dapat dirintis dari unit terkecil berupa individu-individu manusia. Tentu, ini sah-sah saja—bahkan menjadi sebuah imperatif rasional bila ditilik dari idealisme agama tentang pemerintahan akhir zaman.

Namun begitu, menurut hemat penulis, idealisme tentang masyarakat religius perlu diuji, didedah, dan diletakkan dalam figura kenyataan faktual dan partikular. Kalau tidak, kita sama saja dengan membiarkannya membusuk jadi seonggok dogma atau kobaran slogan belaka, meski terkesan penuh greget dan punya klaim-klaim universal. Atau meninggalkannya sebagai spekulasi filsafat an sich yang hanya cocok dibicarakan di negeri antah berantah. (untuk menghindari kesalahpahaman, perlu diungkapkan lebih dulu bahwa uraian di bawah ini bukan untuk menggusur ide-ide religiusitas--amit-amit, melainkan "belajar dari kesalahan dan kegagalan" pihak lain yang telah lebih dulu terpuruk ke jurang degradasi spiritual dan menjadi para pemuja hedon hal-hal material-fisik; yakni masyarakat Barat).

PLURALITAS AGAMA HINGGA TEORI DOMINASI
Siapapun tahu, di dunia yang kini bukan lagi sebesar daun kelor, melainkan sebesar layar kaca teve, banyak terdapat rumpun-rumpun agama. Kalau kita menggunakan kategori “agama kenabian” (prophetic religion) dan “agama mistis” (mystical religion), “agama samawi” (divine religion) dan “agama duniawi” (experimental religion), atau “agama ortodoks” dan “agama baru” (new age), maka di hadapan kita akan terhampar ribuan bahkan jutaan agama. Jangankan jenis agama, kategorinya saja sudah mencapai jumlah sedemikian.

Keberagaman nyata agama-agama ini (yang dalam idealisme Islam tentu saja tidak legitim) saja sudah menggugat utopia kita tentang masyarakat religius. Masyarakat religius macam apa yang mungkin di tengah pluralitas (bukan pluralisme) seperti itu? Malah, sebagian kalangan yakin, konflik atau disharmoni kehidupan dalam masyarakat salah satunya justru disebabkan oleh perbedaan dan sentimen religi. Jadi, menimbang keragaman itu, memprioritaskan religiusitas demi masyarakat yang dicitakan menjadi problematik. Mungkinkah mereduksi keragaman faktual tersebut dalam sebuah bagan idealitas sederhana tentang masyarakat religius?

Paling tidak, sebagai jalan keluar berikutnya, dimunculkan gagasan tentang dominasi paksa (bukan sukarela) agama tertentu atas agama lain yang dijadikan subordinannya (ahludzdzimmah). Lagi-lagi tilikan ini akan membentur tembok kenyataan yang konon paling tebal dan keras serta acap menenggelamkan sejarah dalam kubangan darah segar manusia (ingat kasus Perang Salib I-II). Apalagi dalam konteks kenyataan dewasa ini, di mana diferensiasi dan fragmentasi kehidupan sosial dalam seluruh bidangnya sudah mencapai titik paling kompleks dalam sejarah. Selain itu, konon, gagasan ini tidak sesuai dengan anjuran normatif agama itu sendiri, wabilkhusus, Islam (lâ ikrahafiddîn).

Memang, sejarah Nabi saw dan Imam Ahlul Bait sendiri membenarkan pandangan dominasi ini, yang diistilahkan marshall G. S. Hodgson dengan "Islamdom"; bahwa Islam harus tampil sebagai penguasa yang monolitik, sementara agama lain harus tunduk di bawah kuasa dan aturannya. Namun persoalan ini kiranya perlu disikapi ekstra hati-hati. Selain bukan ditempuh secara paksa, berbicara tentang dominasi agama tentunya tidak melulu bernuansa politik (sehingga hanya bertendensi pada kekuasaan per se) dan doktrinal. Melainkan juga perlu dilambari pemahaman teosofis. Sehingga, siapapun yang mempercayai sejarah monotik Islam bersifat universal tidak terjebak dalam pemahaman sempit tentang politik Islam, yang hakikatnya berporos pada konsep ketuhanan (al-wilâyah). Wahabisme yang lazim menjadi lokomotif dari rangkaian gerbong “fundamentalisme” Islam kontemprer adalah contoh paling vulgar dari produk pemahaman sejarah dan politik Islam minus pemahaman ketuhanan. Entah bagaimana jadinya bila masyarakat religius yang dibayangkan, dihuni individu-individu berkedok Islam namun obskuran, barbar, dan berorientasi masa kuno semacam itu.

SEJARAH: AGAMA ATAU MANUSIA
Biar begitu, sebagian kalangan, terutama yang bersikap sinis terhadap Islam, biasanya berusaha meneropong Islam bukan dari sudut “sejarah agama”, melainkan dari sudut “sejarah manusia”. Jadi, menurut kalangan ini, kita takkan pernah memahami agama secara kongkret bila tidak mengakui bahwa agama juga dipengaruhi manusia dan sejarahnya. Dengan begitu, sejarah yang kita lewati bukanlah sejarah agama anu dan anu, melainkan sejarah manusia, titik. Agama hanyalah salah satu dari sekian elemen sejarah dan kemanusiaan.

Sebagai contoh, Amin Maalouf, penulis Kristen asal Lebanon. Dalam karyanya, In the Name of Identity (2002), ia terlihat sangat skeptis terhadap perspektif sejarah agama yang diklaimnya omong kosong dan tak punya daya penjelas seputar kehidupan dan masa depan umat manusia. Karenanya, ia mengusulkan untuk lebih menggunakan sudut pandang sejarah kemanusiaan.

Sebagai konsekuensi dari penggunaan sudut-tilik sejarah kemanusiaan ini, sejarah penguasaan Islam di zaman Nabi dan seterusnya, salah satunya, hanyalah menunjukkan bagaimana sosok atau institusi agama berusaha mendominasi selainnya secara politik dan militer. Tanpa mempedulikan apakah itu dilambari oleh motif, misalnya, kebenaran absolut dan tujuan suci—karena dianggap sebagai kasuistik dan subjektif belaka. Jejaring diskursus “kekerasan” yang dimaksudkan untuk menjerat fenomena apapun yang menyertai dominasi, kiranya dapat dipahami dari konteks ini.

Sebagian pihak lain, khususnya para humanis, malah berpandangan lebih ekstrem; agama seyogianya dibingkai dalam figura humanisme yang mengusung tema-tema modern, seperti toleransi, hak-hak asasi, liberalisasi, demokrasi, dan sejenisnya. Sebab, menurut mereka, agama tak lain hanyalah produk dan fenomen kebudayaan manusia—paling tidak, sekalipun agama itu genuine keilahian, namun tetap terbuka dan niscaya dipengaruhi manusia dan sejarah. Nah, sebagai “produk kultural”, agamalah yang harus melayani kepentingan manusia, bukan sebaliknya. Dengan asumsi tersebut, kalangan ini percaya betul bahwa bila manusia yang melayani agama, apalagi dalam konteks fanatisme dan konservatisme, selain mengingkari watak agama yang terbuka dan kultural, juga sering menyulut konflik dan memberi ruang bagi dipraktikannya kekerasan atas nama agama.

JALAN KELUAR MODERN YANG TERLALU ABSTRAK DAN ELITIS
Lalu, demi menyuplai amunisi diskursif terhadap pandangan humanisme tentang agama, sekaligus menghindarkan kekerasan atas nama agama—baik dalam konteks implikasi maupun kebingungan epistemiknya—digulirkanlah ide-ide software canggih perenialisme yang mengklaim the trancendet unity of religions (yang menggeliatkan ide-ide Pluralisme). Ide dasar perenialisme adalah bahwa secara filosofis, pengetahuan selalu ada dan akan selalu ada lantaran berkaitan dengan “pengetahuan” mengenai Yang Absolut (scientia sacra’ dalam tradisi Kristiani disebut Gnostik; dalam tradisi Islam, al-Hikmah).

Realisasi pengetahuan tersebut hanya bisa dicapai melalui apa yang disebut realisasi atas “intelek” (Roh), yang “jalannya” pun bisa ditempuh melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang memang bersifat atau berasal dari yang Ilahi. Pengetahuan semacam itu ada dalam setiap tradisi religius yang otentik.

Kesimpulannya, semua agama-agama dalam sejarah pada dasarnya berporos dan bertujuan pada yang satu, yang Ilahi. Agama secara eksoteris memang beda, tapi esoterisnya tetap satu dan menuju yang satu (Tuhan); begitu kira-kira kredo perenialisme yang gayung bersambut dengan pluralisme. Dalam pada itu, tugas agama-agama bukanlah saling klaim kebenaran sehingga membiakkan ketegangan, konflik, dan kekerasan atas nama agama, tapi bagaimana memberi kontribusi nyata pada proses peradaban.

Lagi-lagi, ide modern ini begitu menawan sebagai otak-atik-otak, tapi nihil dan percuma dalam kenyataannya (dengan kata lain, ini adalah sebentuk reduksionisme agama). Sehingga yang lebih mengemuka darinya hanyalah sekadar intelektualisme atau intellectual exercise yang kemudian menciptakan klub eksklusif “pengajian” yang dianggotai segelintir cerdik cendekia dan akademisi religius metropolis, dengan penggembiranya, kalangan selebritis atau orang kaya perkotaan yang umum dijuluki elite without power.

Namun kalangan elite yang segelintir itu mencoba “mengelak” dengan menitiskan gagasan filosofisnya pada level praxis-sosiologis; lalu terbitlah gagasan masyarakat madani—yang cenderung berorientasi akademisme. Apakah konsep masyarakat religius merupakan memesis atau kelanjutan dari konsep masyarakat madani yang sekarang sudah senyap dalam perhelatan wacana, belum terlalu jelas. Namun, yang terang, masyarakat madani mendasarkan konsepnya pada kanon-kanon keislaman klasik dan historis; dengan bubuhan perspektif modern yang, dicurigai, cenderung kebarat-baratan. Lebih lagi, konsep masyarakat Madani, sebagaimana gagasan sumbernya, cenderung berwatak elitisme dan intelektualisme sehingga sangat tidak populis. Pengalaman selama ini memang membuktikannya.

RELIGIUSME VS SEKULARISME
Kemudian, sebagian kalangan mencoba “membela” dan menjagokan konsep atau ide masyarakat religius dalam relasi vis-à-vis ide-ide sekularisme. Pertama-tama yang umum dilakukan adalah membongkar beberapa asumsi filosofis yang melambarinya. Lalu membandingkan dan mengritisinya berdasarkan ide unitas keagamaan. Contohnya, sebagaimana diikhtiarkan sdr. Luqman Vichaksana dalam artikelnya, Masyarakat Religius: Haruskah?(lihat, islamalternatif.com)

Dalam tempo yang terkesan agak terburu-buru, sdr. Luqman mengendus bahwa penyebab bergulirnya ide sekularisme [di Barat] adalah kegagalan para penggagasnya dalam memahami dualitas wujud, karena konon telah terlanjur bersikap dogmatis terhadap rumus Cartesian seputar keretakkan tak terekatkan antara jiwa (soul) dan raga (materi). Lalu dengan tangkas dan padat, penulis menunjukkan betapa argumen manunggaling wujudnya Sadrian mematahkan dengan mudah dualisme semacam itu.

Terlepas dari argumen “internal” tersebut, muncul pertanyaan; apakah sekularisme sedemikian naïf dengan hanya merujuk pada konsep kuno abad renaisans mengenai dualisme jiwa/raga Cartesian (yang mirip ontologi Platonian), sementara setelahnya, konsep yang sama pada kenyataannya justru banyak digugat oleh para penerus, pengritik, dan “pembunuh”nya? Apakah pengaruh itu directly melewati jalan tol peradaban? Juga, apakah dengan menggelar argumentasi Sadraian yang mematahkan dualisme ala Descartes maka selesai sudah rumus bangun sekularisme yang usianya konon sudah berabad-abad?

Memang, Descartes termasuk salah satu perintis visi sekular, yang menegaskan bahwa manusia memiliki kekuatan untuk menalar dan memahami makna keberadaannya sendiri. Tapi, sampan sekularisme yang dikayuhnya menyurusi kanal pemikiran epistemologis (representasionalisme), bukan kanal praktis (politik, apalagi negara), apalagi ideologi.

Pandangan Cartesian seputar keberadaan Tuhan menunjukkan kepada kita tentang peran pemikiran atau filsafat dalam menghampiri fenomena keagamaan secara rasional. Filsafat, sebagai tindakan berpikir manusiawi, tak punya klaim untuk menggantikan agama. Ia hanya berupaya memahami fenomena keagamaan melalui nalar kita. Untuk apa? Menurutnya, memang benar bahwa fenomena religius melampaui rasionalitas. Tapi, pemahaman rasional terhadap agama menjadikan pengalaman religius lebih diskursif dan komunikatif. Dan wacana rasional juga melindungi kita dari absolutisasi pengalaman religius yang pada galibnya subjektif. Alhasil, kita dapat menyebut sekularisme yang mekar pada masa ini sebagai sekularisme subjektif.

Lalu muncul sederet “pendekar” empirisisme, seperti Thomas Hobbes, John Locke, George Berekely, dan David Hume. Dimulai oleh Hobbes yang menyangkal asas pertama yang diajekkan metafisika Abad Pertengahan, yakni Allah. Bagi Hobbes, yang merintis materialisme modern Barat, penyebab pertama kenyataan adalah materi dan gerak yang nyata-nyata dapat ditangkap oleh indera. Dalam pada itu, Hobbes ingin menegaskan bahwa konsep-konsep spiritual tidak relevan bagi filsafat (Hobbesian), sebab tidak terdapat dalam pengalaman inderawi kita.

Lebih unik dan galak lagi adalah skeptisisme David Hume terhadap agama. Pertama-tama dia mengritik deisme yang berkembang di awal Abad Pencerahan, dengan mengaitkannya pada ide kausalitas yang disebutnya sebagai animal faith (keyakinan naif). Agama, menurutnya, bersumber dari tahayul karena berusaha dikaitkan dan diklaim sebagai bersumber dari alam adikodrati yang non-empirik. Karena itu, sikap yang tepat menurutnya adalah mengembalikannya pada kenyataan kodrati yang empirik. Karena sikap skpetis inilah, sulit menemukan konsep ideal Hume sendiri tentang agama. Skpetisisme Hume sendiri pada gilirannya tak bisa dibuktikan secara empirik sehingga hanya tinggal sebagai spekulasi pihak Hume sendiri.

Sekularisme pemikiran dan kecenderungan kritis terhadap agama dan metafisika mencapai puncaknya pada abad fajar budi (aufklarung atau enlightenment) yang ditandai oleh kemajuan-kemajuan ilmu pengetahuan. Menurut pandangan zaman ini, rasio atau nalar merupakan terang baru (karenanya disebut “pencerahan”) yang menggantikan iman kepercayaan atau agama. Para pemikir zaman ini dengan gigih dan tajam melancarkan kritik terhadap segala bentuk institusi religius (Keristen) kuno berikut tahayul-tahayul yang diusungnya.

Diderot, Jullien Offray de La Mettrie, Condillac, Helvetius, Holbach, hingga Voltaire, Montesquieu, Rosseau, dan Immanuel Kant, merupakan sebagian filsuf termasyhur yang menjadi lokomotif pemikiran zaman ini. Kant, misalnya, dengan dingin dan sistematis mempersoalkan metafisika, yang salah satunya menjadi modus pemahaman religius. Seraya kemudian, ia menyimpulkan dalam trilogi pertamanya, Critique of Pure Reason, bahwa metafisika bukan termasuk kategori pengetahuan [manusiawi] dan amat bergantung pada dogma.

Pada abad fajar budi ini, yang dipandang sebagai kulminasi optimisme pemikiran modern, sekularisme bahkan bersifat hierarkis. Artinya, selain dibedakan mana yang rasional dan mana yang dogmatis keagamaan, juga dibangun hierarki bagi pembedaan tersebut. Yang rasional menempati kedudukan superior, sementara yang “irasional” inferior—kalau bukan malah harus dienyahkan. Istilah yang mendekati untuk menyebut fenomena ini adalah sekularisme rasionalistik.

Tapi sekularisme pemikiran mulai melangkah mundur dan menukik ke titik nadirnya saat memasuki abad romantis, khususnya sejak Hegel meringkus nalar dan iman yang sebelumnya subversif dan masing-masing berhasrat mandiri, lalu mengurungnya dalam kerangkeng idealisme. Di sini, Hegel bermain cantik. Ia tidak menolak nalar, tapi juga tidak menutup mata terhadap iman religi (maksudnya, iman agama gereja primal atau perdana). Melainkan berupaya memadukannya kembali dalam kemasan absolut; bahwa antara agama dan rasio pada hakikatnya adalah manunggal.

Namun begitu, dalam konteks gereja primal, Hegel menunjuk hidung agama rasional yang diajarkan para sesepuh pencerahan, yang menurutnya telah mencerabut para penganutnya dari semangat kebudayaan Jerman. Rasionalisasi (Pencerahan) dan dogmatisasi (Kristen di zamannya) sekaligus diyakininya sebagai penyebab kemunduran agama Katolik yang mengasingkan Tuhan dari kehidupan manusia. Katolikisme kemudian, katanya, berupaya merekonsiliasi keterasingan ini melalui sakramen dan simbolisme. Tapi, gaga!

Karenanya, Hegel mengidamkan agama dalam kebudayaan Yunani Kuno; agama rasional namun tetap berakar dalam semangat rakyat (volksreligion). Kalaupun agama Yunani Kuno itu kekurangan dalam masalah moralitas, agama Kristen melengkapinya. Dengan begitu, ide normatif Hegel adalah sebuah agama yang menjadi “totalitas etis” yang meliputi baik kejeniusan (rasio) maupun semangat (geist) rakyat [Jerman].

Hegel lebih lanjut membutuhkan tenaga diskursif untuk menguatkan perspektif keagamaannya. Karena itu, ia lantas merumuskan filsafat tentang Roh Absolut yang berproses dan bertelos dalam kerangka dialektis. Dengan konsepnya itu, maka wajar bila kemudian filsafat idealismenya disebut-sebut sebagian kritikus sebagai “teologi implisit”. Hubungan antara Allah dan makhluk, misalnya, diubah menjadi hubungan “Ada absolut” dan “ada relatif”.

Akan tetapi, perlu dicatat bahwa di masa Hegel, sekularisme agama dipahami tidak seperti sekarang, yakni dipisahkan dari wilayah kehidupan lain. Melainkan diduniawikan atau dimanusiawikan. Agama yang sebelumnya milik dan diorientasikan untuk ‘”kepentingan” Tuhan, saat itu mulai dibalikkan menjadi milik dan diorientasikan untuk kepentingan manusia. Karenanya, kita bisa menyebut sekularisme semacam itu dengan sekularisme idealistik.

Ludwig Feuerbach, sebagai Hegelian fanatik, lantas membelokkan arah filsafat idealistik Hegel ke jalur materialistik. Menurut dia, sistem Hegelian itu tidak cocok dengan kenyataan indrawi yang kongkret, berupa alam material yang diandaikan sebagai ultimate reality. Sebab, menurutnya, kesadaran manusia berasal dari sesuatu yang disadari lebih dulu. Dengan kata lain, manusia sebagai subjek menyadari alam hanya dengan cara membedakan dirinya dengan alam. Itu artinya, alam adalah dasar bagi kesadaran, tegasnya lagi, bagi manusia.

Dengan pengandaian inilah, Feuerbach membobardir agama habis-habisan. Hakikat Allah, katanya, tak lain dari hakikat manusia yang diabsolutkan dan diobjektifkan. Pendeknya, Allah hanyalah hasil “proyeksi diri” manusia sendiri. Hasil proyeksi ini, pada gilirannya dianggap sebagai ihwal yang lain dari dirinya sendiri (terobjektivasi) dan bersifat otonom di luar dirinya, bahkan menghadapi dan memperlakukan dirinya sebagai objek. Karenanya, manusia meletakkan dirinya lebih hina dari hasil proyeksinya itu; manusia lemah dan jahat, Tuhan Mahakuat dan Mahabaik. Dengan begitu, manusia terasing dari dirinya sendiri karena tak lagi mengenali bahwa Allah yang diagungkannya itu tak lain dari hakikatnya sendiri.

Karena Allah hanyalah sebentuk alienasi manusia dari dirinya sendiri, agama tentunya menjadi fenomena negatif yang harus diatasi manusia. Namun Feuerbach tidak langsung memvonis agama sebagai sia-sia. Sekalipun mengalienasi manusia, proyeksi diri ini tak dapat dielakkannya karena sudah menjadi hakikat kesadaran dirinya atas hakikatnya sendiri. Baru setelah sadar akan hakikatnya secara penuh, manusia mampu mengatasi keterasingannya.

Menurut Feuerbach, dalam agam Kristen, proyeksi diri itu mencapai titik zenitnya. Umpama, mengidealisasi manusia sebagai Putra Allah. Baginya, titik puncak ini justru harus diraih lebih dulu sebelum kita meninggalkannya menuju sebuah antropologi. Jadi, menurut tesis Feuerbach, alienasi manusia dari hakikat dirinya dapat diatasi kalau kita mengganti teologi dengan antropologi, demi menjadikan manusia menyadari bahwa manusia adalah tujuan bagi dirinya sendiri.

Kita saksikan, sampai Feuerbach, agama bukan hanya dianggap nihil bagi sejarah kemanusiaan, bahkan dituding bertanggung jawab atas dogmatisme (Descartes), irasionalisme (Kant), Katolikisme (Hegel), dan alienasi. Tapi hujatan vis-à-vis agama belum berhenti sampai di situ. Karl Marx kemudian mendakwa agama sebagai candu masyarakat, yang karenanya harus absen sepenuhnya dari ruang dan waktu. Kierkegaard, sekalipun kemudian menjadi seorang fideis radikal (melokalisasi agama dalam ruang hati minus nalar), sempat bersikap skeptis dan memusuhi agama Kristen yang umum dianut saat itu. Barangkali dia tidak mempersoalkan agama secara umum; namun hanya menganggap agama sejati hanyalah yang dihayatinya secara personal (secara implisit, agama lain, khususnya yang objektif, hanya dianggap pseudo atau gadungan).

Tiba-tiba, istana peradaban Barat bergetar hebat oleh hantaman godam sang filsuf dan sastrawan “gila”, Friedrich Nietzsche. Dalam konstruksi imajinernya (dan dituangkan dalam salah satu magnum opusnya, Die Forliche atau Gay Science atau Joyful Wisdom—Ilmu Pengetahuan atau Kearifan yang Ceria—aforisma ke-125), dia berperan sebagai si gila yang menyatroni pasar sambil menenteng lentera dan berdiri di tengah kerumunan orang banyak, lalu berteriak, “Kemanakah Allah? Aku memberitahu kalian! Kita sudah membunuhnya—kalian dan aku… Allah sudah mati… Dan kita telah membunuhnya!” Lalu… si gila melemparkan dan meremukkan lenteranya, dan pergi (sambil menggerutu), “Saya datang terlalu pagi. Waktuku belum sampai. Peristiwa luar biasa ini masih sedang menjelang…”

Nah, dengannya, Nietzsche bukan hanya pamer kalau dirinya seorang anti-teis (tidak semata ateis, sebagaimana beberapa penbahulunya), melainkan juga meramalkan akan datangnya zaman anti-teis (di belahan dunia Barat. Sebab, seperti dilaporkan sosiolog pascamodern, Bryan S. Turner, Nietzsche amat memuja dan “membela” Timur, khususnya Persia, termasuk warisan dan khasanah Islamnya). Kegilaan yang dengan bangga disandangnya itu, konon dimaksudkan sebagai sindrom kehilangan atau kematian Allah, dan orang-orang zaman itu tidak memahaminya. Kelak akan tiba zaman kegilaan universal, yakni saat ditemukannya kesadaran bahwa manusia telah kehilangan Allah; yang disebutnya sebagai zaman kreativitas dan kebebasan (the age of liberal and creativity). Sebab, dengan “kematian Allah”, terkuaklah cakrawala seluas-luasnya bagi energi kreatif untuk berkembang penuh.

Zaman semacam itu, katanya, tidak lagi diwarnai dengan larangan dan perintah. Manusia juga tak lagi menoleh ke dunia transenden. Ide Allah dalam agama Kristen, sesuai provokasi Nietzsche, memusuhi dan memerangi kehidupan alam dan manusia, mengebiri daya-daya vitalnya. Agama Kristen jadinya hanya sebentuk vampirisme. Dengan kematian Allah, manusia tak akan lagi berlindung di bawah ketiak sang transenden sebagai bentuk sikap pengecut dan penolakannya atas kehidupan dunia ini (yang menurutnya, bertolak belakang konsep agungnya, ja-sagen, berkata “ya” pada kehidupan).

“Kita tak dapat mendengar tangisan Nietzsche sampai kita sendiri mulai berpikir,” ungkap lirih Martin Hedegger. Namun, berbeda dengan Nietzsche yang gila dan berteriak-teriak nyaring di pasar soal kematian Tuhan, Heidegger justru mengungkapn perihal “nasib Tuhan” secara tak langsung dan dengan intonasi yang kalem-kalem saja. Istilahnya juga bukan “Tuhan sudah mati” tapi “Tuhan telah absen dari kehidupan” (agak mirip pemahaman Mu’tazilah, dan karenanya biner klasik, teisme-ateisme, sulit diterapkan kepadanya). Dengan mengutip puisi Hölderlin, Heidegger memaklumatkan: the god has withdrawn himself, as the sun sets bellow the horizon.

Lewat sejarah panjang pergulatan “manusia” versus “tuhan” ini, kita dapat mencermati betapa sekularisme di Barat dibangun di atas tradisi pemikiran filosofis yang makin hari makin provokatif dan kehilangan wawasan teologis. Ini ditegaskan oleh Heidegger dengan mengikhtiarkan dan mengumumkan kematian metafisika Barat (yang dituding bernafaskan onto-teologis ala Gereja medieval age) yang terlanjur dianut para pemikir sebelum dirinya. Inilah alasan mengapa persoalan agama, bahkan Tuhan dan masalah-masalah spiritual yang akhirnya dianggap khas Timur atau Islam, menjadi nihil, atau paling-paling sekadar dijadikan dekorasi atau kompensasi atas kehidupan modern belaka yang dirasakan galau dan kerontang.

Sekalipun yang dipaparkan seolah hanya seputar pemikiran dan individu-individu menonjol dalam sejarah peradaban Barat, namun demikian, persoalan filsafat telah dianggap sebagai persoalan kenyataan hidup juga. Filsafat jadinya adalah semacam zeitgeist atau semangat zaman, bukan sekadar rumus berpikir yang diaplikasikan segelintir elite pemikir nun di puncak menara gading. Para filsuf bukan sekadar menciptakan rumus atau menyuguhkan analisis filosofis, lalu mencoba berspekulasi tentang apapun, termasuk tentang gambaran masa depan kehidupan. Melainkan juga merefleksikan situasi zaman dan penghayatan personalnya. Alhasil, filsafat yang dimengerti Barat sampai dewasa ini adalah filsafat proses atau “filsafat yang terlibat” (dengan hiruk pikuk zaman), yang diformulasikan sejak Hegel.

Dalam posisi seperti itu, menjadi sulit bagi kita untuk sekadar mengatakan secara sederhana, bahwa sekularisme, bahkan “pembunuhan”, agama atau Tuhan hanyalah masalah gagasan yang sudah jelas pada dirinya, sehingga bisa ditolak, bisa pula diterima. Padahal, sekularisme lebih merupakan pemahaman (episteme dalam pengertian Foucauldian) zaman yang telah menjadi oksigen yang dihirup Barat dan diam-diam telah menyusup dan mengendap ke balik kesadaran rata-rata individu di sana. Adapun ia menjadi sebuah pemahaman sistematis dan ilmiah di Barat setelah mengalami semacam sosiologisasi atau antropologisasi. Misal, gagasan tentang Secular City yang diajukan Harvey Cox. Gagasan itu hakikatnya merupakan ekspresi tak sadar dari keyakinan yang dibentuk zaman dan lingkungannya, yang kemudian merajutkan kesadaran dan pemahaman seperti itu di benaknya. Dari kompleks pemahaman tak-sadar (episteme) itulah, ia kemudian mengobjektivasi dan memfiksasi tatapannya tentang sekularisme dalam bentuk teks.

Dengan kata lain, sekularisme di Barat sudah sedemikian rupa, sampai-sampai masyarakat di sana menganggap hal itu sama dengan kita menganggap religiusme sebagai kemestian hidup yang paling masuk akal. Membongkar sekularisme dengan bermodal literatur sosial atau spekulasi filsafat seraya meredukasinya dalam “kemauan ilmiah” kita karenanya akan menyesatkan pemahaman kita tentang apa arti sesungguhnya sekularisme bagi Barat. Lantas, bagaimana mungkin melancarkan kritik, seberapapun tajam dan logis, terhadap sesuatu yang disalahpahami dan disimplifikasi sejak konsep dasarnya? Tambahan lagi, masalah agama di Barat, sebagai konsekuensinya, bukan lagi menjadi masalah penghayatan (ars religiosus), melainkan telah menjadi ihwal scientia religiosus (agama sebagai wacana).

Sebagai imbuhan, sebagian pemikir muslim kontemporer, seperti Prof. Abdullahi Na’im yang berasal dari Afrika Utara, bahkan menyarankan untuk mencurigai istilah sekularisme sebagai wacana politik, bukan filsafat. Katanya, dalam sebuah kesempatan diskusi yang diikuti penulis di markas Jaringan Islam Liberal, Jakarta, istilah ini muncul lebih sebagai counter terhadap upaya kolonialisasi dan hegemoni Barat di dunia Muslim. Jadi, istilah ini tak punya basis pemahaman yang jelas dan terukur di benak kaum muslimin pada umumnya, kecuali sekadar propaganda politik segelintir fundamentalis semacam Hasan al-Bana, Sayid Quthb, Maududi cs. Namun, analisis dengan tudingan implisit ini kurang proporsional. Sekularisme sendiri diakui Barat sebagai bagian dari sejarah sekaligus ambisi peradabannya untuk keluar secara total dari religion-doom. Dan faktanya, semangat atau ambisi historis ini, lewat jejaring kolonialisme, berupaya disemai pula, khususnya di daerah koloni yang kental bernuansa agamis, termasuk dunia Islam.

PENUTUP
Berdasarkan uraian di atas, barangkali kita dapat memetakan pemahaman tentang sekularisme di bumi pertiwinya, Barat, yang punya sejarah panjang dan sudah sedemikian kompleks. Dimulai dengan penolakan sporadis para teolog dan ilmuwan abad renaisans terhadap ortodoksi dan dogma Gereja yang superior dengan menginisiatifkan berbagai terobosan, baik di bidang keagamaan, pemikiran, sastra, hingga ilmu-ilmu alam (astronomi). Tuntutan yang mengemuka saat itu adalah otonomi individu dan kebebasan berpikir dari kungkungan dogma agama. Namun demikian, agama masih berperan sebagai juru-kunci peradaban dan menjadi momok sebagian pemikir, salah satunya Descartes.

Pada abad Pencerahan, gugatan yang dimunculkan lebih jauh lagi, di mana agama dianggap irasional. Meski demikian, agama masih tetap diperhitungkan sebagai unsur kehidupan sosial, sekalipun berusaha dipisahkan dari bidang rasionalitas. Karenanya, diakui bahwa legitimasi dan kredibilitas agama pada masa itu sudah jauh merosot ketimbang sebelumnya. Perlahan tapi pasti, sejumlah pemikir, utamanya Kant, merumuskan salah satu hal yang sebelumnya menjadi hak privilege agama; moralitas. Kant mengupas persoalan moral yang rasional dalam bukunya, Fundamental Principles of the Metaphysics of Ethics. Kata-katanya yang terkenal dari buku itu, “Finally, there is an imperative which commands a certain conduct immediately, without having as its condition any other purpose to be attained by it. This imperative is categorical… This imperative may be called that of Morality (seksi ke-2, 1785).

Memasuki abad idealisme Hegel, agama mulai dicerabut total dari konteks kehidupan riil dan dijejalkan ke alam ide (konsep gereja primal). Mulai saat itu, yang acap digemakan adalah konsep Tuhan itu sendiri yang difilosofisasikan. Jadi, Hegel telah memulai sebuah langkah yang cukup drastis dan spektakuler, namun dalam keheningan, yakni menggeser makna religiusitas; dari agama ke teologi, yang rasional tentunya.

Tapi, upaya ini disudahi tak lama setelah digagas. Feuerbach dengan cara paling radikal mengritik habis pemahaman tentang Tuhan itu sendiri dan membelokkan setir idealisme ke ranah materialisme. Sekalipun sudah membidik Tuhan sebagai target kritik dan menganggap agama sudah tak layak diperhitungkan, namun senyatanya agama masih dijadikan sebagai sarana manipulasi politik. Karenanya, Karl Marx segera memotong urat nadi agama dengan mendakwanya sebagai opium yang meninabobokan masyarakat dalam relasinya dengan hak-hak kepemilikan modal dan usaha. Tanpa perlu menunggu waktu lama, muncul sosok Nietzsche sang pembunuh Tuhan dan Heidegger yang berinisiatif mengabsenkan Tuhan dari ruang kehidupan manusia—yang diistilahkan anak muda sebagai egp alias “emang gue pikirin”. Begitulah seterusnya.

Pergulatan di tingkat filsafat ternyata tidak mengapung di udara bebas, melainkan sesuai hasrat para filsufnya sendiri—yang kontemporer, tentunya—terlibat dalam atau mencerminkan proses riil-historis yang sehari-hari itu sendiri. Kemajuan filsafat adalah juga atau ditingkahi oleh perubahan revolusioner yang kongkret dalam konteks sosial. Teknologi dan industri merupakan dua sektor kemasyarakatan yang paling kentara relasinya dengan kemajuan pemikiran filsafat. Sebagian malah menganggap bahwa kemajuan kedua bidang itu dikarenakan progresivitas pemikiran filsafat yang sejak Hegel berusaha mengapresiasi proses dan menuntut keterlibatan praktis. Terlebih setelah Marx memberi teguran dalam kitabnya, German Ideology, “Para filsuf hanya berbeda pandangan tentang dunia, padahal yang penting adalah mengubahnya.”

Nah, dalam kehidupan teknologis dan industrialistis inilah, bersambut gayung dengan pemikiran filsafatinya yang makin “duniawi” (dengan Heidegger sebagai lokomitif), masyarakat Barat makin terperangkap dalam kubangan tuntutan material-fisik. Pikiran dan hatinya pun tak ayal terkonsentrasi penuh padanya. Dalam situasi materialistis ini, apapun yang digagas dan dibayangkan niscaya memiliki rujukkan akhir pada hal-hal fisik. Maka dari itu, wajar bila kemudian keberagamaan hanya dianggap sebagai bagian dari fenomena belaka. Sehingga perhelatan tentang masyarakat religius menjadi semacam ilusi yang mustahil terejawantah kecuali hanya dalam sentimen-sentimen lokal dan asketisme. Apalagi bila mengingat unsur keagamaan telah disubordinasi atau dijinakkan oleh kedigdayaan media massa dan logika komoditas; agama hanyalah barang jajaan, paling tidak dianut sebagai tuntutan gaya hidup. Inilah kebanalan logika modern yang melahirkan teknologi dan industri.

Dalam situasi serba-modern ini, menggejala apa yang diungkapkan sastrawan yang terasing dari negerinya sendiri, Milan Kundera, “Kenyataan jauh lebih perkasa ketimbang ideologi sekalipun!” Nah, modernitas yang merupakan ramuan ajaib antara hasrat materialistis dan filsafat “duniawi” Heideggerian ini telah meringkus dan menjadikan hal-hal “berat dan serius”, termasuk agama, menjadi ihwal sepele dan tak kurang penting dibanding tuntutan kenyataan (material dan fenomenal). Celakanya lagi, gejala ini bukan hanya berjangkit dan bergemuruh di Barat, tapi sudah menjalar ke mana-mana dan lintas batas. Tegasnya, sekarang ini, doktrin “kenyataan adalah segala-galanya” diamini nyaris sebagian besar masyarakat dunia!

*****

Bertolak dari seluruh paparan yang dikemukakan penulis, mendamba terciptanya masyarakat religius, khususnya yang bersifat universal, menjadi problematik dan menghadapi tantangan super berat dan menempuh jalan panjang berliku. Dalam pada itu, setidaknya, ikhtiar mengonstruksi masyarakat religius akan nihil dan kontraproduktif bila kita:

Pertama, bertolak dari bagan biner; religius versus sekular. Sebab, sekularisme dari sononya, sebagaimana telah dijelaskan. memang punya sejarah dan kompleksitas pemahaman sedemikian rupa yang tidak bisa begitu saja direduksi ke dalam sebuah bagan penjelasan sederhana.

Kedua, mengalahkan pihak lawan “di atas kertas”, alias tidak berupaya memahami siapa dan apa sebetulnya momok yang kita hadapi pada level kenyataan. Kita hanya marah-marah dan mencoba mencari kelemahan partikular atau parsial lawan, tanpa pernah bersikap empati terhadapnya dan mencoba memahaminya secara relatif menyeluruh. Apalagi mengingat, dalam kasus ini, sekularisme bukan “anak kemarin sore”, alias telah menjadi bagian dari denyut nadi kehidupan seluruh lapisan masyarakat Barat.

Ketiga, tidak melakukan eksplorasi mendalam terhadap kemungkinan-kemungkinan faktual seputar keniscayaan religiusitas menjadi atmosfer yang menyelimuti realitas kehidupan masyarakat.

Keempat, mengontraskan idea pemerintahan agama di satu sisi, dan masyarakat religius di sisi lain. Di tingkat ide, saya pikir, keduanya niscaya berjalan seiring. Barangkali skala diametrik ini bukan dimaksudkan sebagai superposisional (saling meniadakan) dan hanya sekadar mengagendakan skala prioritas. Namun begitu, tak tertutup kemungkinan pula dalam kenyataannya, misal, bila kelak terjelma masyarakat religius, pemerintahan agama justru ditolak dan dimusuhi ramai-ramai (sehingga menjadi masyarakat religius-Budhisme). Atau sebaliknya, pemerintahan agama lebih dipriotitaskan dan terwujud, namun religiusitas dalam pengertian spiritualisme dicibir dan dicap bidah (kasus Talibanisme dan moyangnya, Wahabisme).

Keempat, berhubungan dengan poin keempat, yakni tidak berporos pada subjek. Tegasnya, dalam ajaran Ahlulbait, terbetik kemungkinan (dalam pengertian waktu, sementara dalam pengertian zat sudah pasti) akan terbangunnya masyarakat religius dalam arti sepenuhnya di akhir zaman. Kemungkinan semacam ini akan nyaris menjadi obsesif atau dogma imajiner bila kita terlalu memaksakan konsep yang mendahului subjek. Maksudnya, sebagaimana pengalaman Barat yang meramalkan akan datangnya zaman kegilaan atau anti-teisme yang kini sudah menjadi kenyataan dengan subjeknya adalah individu masyarakat yang diback up para pemikir liberal dan penguasa neo-konservatif yang ultra-lalim—di mana ketiganya secara total dan sukarela terjun bebas dan menukik ke dalam telaga material yang riil sehari-hari—begitu pula semestinya pengalaman kaum Muslim; tentunya dengan arah dan bobot yang bertolak belakang.

Penekanan terhadap subjek (sosok religius purna) seyogianya prior vis-à-vis konsep separipurna apapun—inilah yang saya pribadi yakini bahwa Islam pada dasarnya lebih sebagai agama subjek atau sosok dalam konteks ketundukkan dan kepengikutan, ketimbang agama konsep. Bedanya dengan Barat, seyogianya kaum Muslim tidak mensubjekkan masyarakat yang anonim, melainkan sosok individu. Inilah salah satu argumen filosofis sekaligus doktrinal seputar keniscayaan munculnya penguasa zaman paling akhir; Imam Mahdi af, yang akan menjadikan masyarakat religius sebagai kenyataan kongkret, bukan lagi wacana. Wallâhu a’lam

----------------------------------

DAFTAR BACAAN

Adian, Donny Gahral, Matinya Metafisika Barat, Jakarta: Komunitas Bambu, 2001.

Baggini, Jullian, and Fosi, Peter S., The Philosopher’s Yoolkit: A Compendium of Philosophical Concepts and Methods, Oxford: Blackwell Publishing, 2003.

Barrett, William, Irrational Man: A Study in Existential Philosophy, New York: Doubleday Anchor Books, 1962.

Hardiman, F. Budi, A History of Modern Western Philosophy, Jakarta: Islamic College for Advanced Studies (ICAS), 2004.

Hodgson, Marshall G. S., The Venture of Islam: Iman dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, Vol. 1, Jakarta: Paramadina, 2002.

Ibrahim, Idi Subandy (ed.), Ecstasy Gaya Hidup, Bandung: Mizan, 1997.

Maalouf, Amin, In The Name of Identity, Yogyakarta: Resist Book, 2004.

Sim, Stuart (ed.), The AZ: Guide to Modern Literary and Cultural Theorists, USA: Prentice Hall/Harvester Wheatsheaf, 1995.

Smart, Ninian, Philolophers and Religious Truth, New York: The Macmillan Company, 1970.

Turner, Bryan S., Orientalism, Postmodernism, and Globalism, London: Routledge, 1994.

Ulumul Qur’an, No. 4, vol. IV, 1993.

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design