Oleh
Luthfi Assyaukanie
26/04/2004
Dalam
bukunya yang telah menjadi klasik, Democracy in America, Alexis de Tocqueville
melontarkan pernyataan yang menggelitik: “Puritanisme bukanlah semata-mata
doktrin keagamaan, tapi dalam banyak hal ia terkait erat dengan teori-teori
demokrasi dan republik.”
Yang
dimaksud puritanisme adalah sikap dan keinginan untuk selalu menghadirkan dan
mempraktikkan nilai-nilai dan ajaran-ajaran agama ke dalam kehidupan
sehari-hari. Tocqueville berpendapat bahwa demokrasi Amerika yang tumbuh pada
awal abad ke-17 disemai oleh gerakan-gerakan puritanisme Protestan yang datang
dari Eropa, khususnya Inggris.
Kaum
Puritan Amerika abad ke-17 menyebut diri mereka sebagai kaum muhajirin
(pilgrims) yang datang dari negeri tertindas Inggris. Di Inggris, mereka adalah
sekte-sekte kecil yang tidak diakui oleh Gereja Anglikan, agama penguasa.
Mereka disebut Puritan karena menjalankan ajaran-ajaran Kristen yang ketat dan
berusaha mempraktikkannya ke dalam lingkup sosial-politik yang lebih luas. Tak
tahan dengan tekanan Gereja penguasa, mereka hijrah ke Dunia Baru Amerika. Di
Dunia Baru ini, mereka mencari sebuah suasana “di mana mereka dapat hidup
sesuai dengan keyakinan mereka dan dapat menyembah Tuhan dalam kebebasan.”
Sejarah
demokrasi di Amerika adalah sejarah perjuangan kaum agama untuk dapat layak
hidup dengan iman dan keyakinan. Kebebasan agama tak bisa hidup di sebuah
negara agama seperti Inggris abad ke-17, di mana hanya agama kerajaan (Gereja
Anglikan) yang diakui sebagai agama yang sah. Di Amerika, para kaum Puritan itu
bebas mengekspresikan ajaran-ajaran agama mereka.
Pada
awalnya, kaum “muhajirin” asal Inggris itu membangun tatanan sosial-politik
berbasiskan keimanan yang mereka bawa. Jangan heran kalau banyak pasal dari
undang-undang, aturan hukum dan sosial, pada saat itu diambil langsung dari
Alkitab. Bahkan, menurut Tocqueville, banyak aturan-aturan hukum itu dikopi
secara apa adanya (verbatim) dari Kitab Exodus, Leviticus, dan Deuteronomy:
pembunuh dihukum mati, pemerkosa dirajam, dan pencuri dicambuk.
Membaca
sejarah demokrasi di Amerika lewat Tocqueville, saya langsung teringat dengan
sejarah awal-awal kaum muhajirin Islam di Madinah 15 abad silam. Mereka juga
berusaha menjalankan hukum-hukum Tuhan yang diambil langsung dari Alquran:
pembunuh dibunuh, pemerkosa dirajam, dan pencuri dipotong tangannya.
Tapi,
demokrasi di Amerika tidak berhenti sampai di situ. Hukum adalah refleksi dari
masyarakat dan harus mencerminkan dinamika masyarakat. Tanpa itu, hukum tak
akan berjalan efektif. Maka, sepanjang sejarahnya, generasi penerus kaum
Puritan itu berusaha merevisi dan menyesuaikan aturan-aturan sosial, ekonomi,
dan politik, berdasarkan dinamika yang berkembang dalam masyarakat. Demokrasi
di Amerika kemudian menjadi sesuatu yang sangat menarik dan menjadi model yang
diimpikan banyak orang.
Saya
kira, kaum Muslim sebaiknya belajar dari sejarah demokrasi di Amerika. Jika
mereka benar-benar menginginkan demokrasi, mereka harus mampu melampaui fase
“hijrah” yang pernah dijalani oleh Nabi Muhammad abad ke-6 dan kaum Puritan
Amerika abad ke-17. Mengharapkan demokrasi sambil membayangkan kembali ke masa
“hijrah” atau menjadi “muhajirin” adalah sebuah kemunduran. Sejarah melaju
cepat ke depan, bukan ke belakang. [Luthfi Assyaukanie]