“Hukum Tuhan” dan Maqashid al-Syari’ah
Catatan dari Seminar Rumentangsiang, Bandung
Oleh Faiz
Manshur
02/02/2003
Dalam bukunya
Ilmu Ushul Fiqh, Prof. Dr. Abdul Wahab Khallaf (1942) erumuskan, bahwa “tujuan
mempelajari ilmu Ushul Fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah, teori, dan
pembahasan dalil-dalil secara terinci dalam rangka menghasilkan hukum syariat
Islam yang diambil dari dalil-dalil tersebut”. Pada perkembangan selanjutnya,
dalam merinci dalil-dalil syar’i baik itu yang diambil dari Alquran
ataupun Sunnah banyak ulama sepakat memakai dua kaidah umum sebagai pilar dasar
penetapan hukum Islam. Pertama, kaidah ibadah, dan kedua, kaidah muamalah.
Dalam persoalan
ibadah konsep syariat didasarkan pada Al-Aslu fil al-Ibadah al-Hurma,
asal muasal dari semua hal itu haram dilakukan, kecuali ibadah (dan
tatacaranya) yang sudah diajarkan dan diperintahkan oleh agama. Semua ajaran
agama dalam ibadah itu sudah jelas hukumnya. Artinya, ketetapan akan Hukum
Allah dalam hal ini tidak bisa ditolak. Namun dalam persoalan muamalah tidak
ada ketentuan yang pasti di mana Allah menentukan “otoritas kebijakan yang
permanen” terhadap bentuk hukum yang wajib dipraktikkan umat Islam. Yang ada
hanyalah nilai-nilai pokok universal dalam Islam sebagaimana juga ada dalam
semua agama. Karena itu jika ingin menetapkan suatu hukum dalam soal muamalah
di suatu masyarakat harus melalui jalan ijtihad tanpa perlu terikat pada sistem
hukum yang baku dalam Alquran maupun Sunnah, sebab dalam hal ini tidak ada
“Hukum Tuhan”. Demikian penuturan Ulil Abshar-Abdalla dalam suatu seminar
bertajuk “Mempersoalkan Perbedaan Pendapat Dalam Islam” yang digelar di
Gedung Kesenian Rumentangsiang kota Bandung Selasa, 14 Januari 2003.
Teori ini pula
yang dijadikan pijakan oleh Ulil Abhsar-Abdalla, seorang “mantan santri” yang
kini sedang dituntut ke meja hijau oleh beberapa orang yang mengklaim sebagai
Ulama dengan bendera “Forum Ulama Umat Indonesia” (FUUI), karena beberapa pernyataannya
dalam tulisan bertajuk “Menyegarkan Kembali Pemahaman Islam” (Kompas
18/11/2002) dikategorikan sebagai penghinaan secara sempurna terhadap Islam,
Allah, dan Nabi Muhamad.
Jika argumentasi
yang dipakai Ulil demikian, maka pertanyaannya adalah, di manakah letak
kesalahannya? Banyak yang menduga bahwa gugatan terhadap Ulil tersebut bukan
terletak pada persoalan pemisahan antara hukum ibadah dan muamalah, melainkan
lebih pada sikap provokatif dalam menyajikan gagasannya. Fauzan al-Anshari
misalnya, dalam diskusi yang sama, menegaskan bahwa kebebasan berbeda pendapat
dan berekspresi adalah sah adanya. Namun jika ungkapan itu merangsang
“radikalisme” dan menganggu “stabilitas” sosial maka di situlah persoalannya”.
Berbeda dengan Fauzan, Eggi Sudjana yang juga hadir dalam acara itu menyatakan,
“bahwa perbedaan mengenai Islam haruslah mengacu pada aspek kemaslahatan
bersama bagi umat Islam, bukan malah menimbulkan keresahan seperti yang
dilakukan Ulil.”
Tapi benarkah
pernyataan Ulil tersebut harus dibatasi dalam ruang akademik semata? Apa yang
menjadi ukuran akademik dan publik dalam soal ini? Bukankah gagasan baru
sesungguhnya sangat dibutuhkan bagi umat Islam yang selama ini mengalami
stagnasi pemikiran? Apakah benar setiap gagasan baru –yang karena itu berbeda
dengan gagasan-gagasan lama-- dapat dikatakan sebagai bentuk pelanggaran hukum
karena meresahkan beberapa orang? Inilah yang menjadi pertanyaan sampai
sekarang, sebab bagaimana pun juga tulisan Ulil tidaklah bermaksud untuk
melakukan hal-hal seperti yang diduga oleh Fauzan, Eggi, dan para ulama di
FUUI. Ia sekedar melontarkan gagasan pemikiran dalam rangka sosialisasi wacana.
Ulil mengatakan bahwa selama ini energi umat telah larut dalam pragmatisme
politik-simbolik dan cenderung mengabaikan nilai-nilai substansial Islam dalam
konteks transisi di Indonesia.
Di luar itu,
ketegasan Ulil memisahkan antara pengertian ibadah dan muamalah bukanlah satu
gagasan a-historis tanpa basis keilmuan. Ia justru mengacu pada tradisi
keilmuan Islam yang telah lama dijadikan referensi umum; bahwa tujuan penetapan
hukum Islam yang terpenting adalah menjamin kemaslahatan umat manusia, dan
bukan sekedar memperjuangkan hukum Islam secara simbolik. Selama ini perjuangan
umat Islam cenderung keliru karena hanya berkisar seputar persoalan jilbab,
Piagam Jakarta, penggrebegan arena maksiat dan lain-lain, yang sebenarnya
hanyalah bagian partikular daripada subtansi ajaran Islam seperti memberikan
jaminan hidup yang layak kepada fakir miskin, pendidikan murah, layanan
kesehatan, demokratisasi, penegakan hukum dan HAM, dan lain-lain.
Pengertian
substansial Islam seperti ini menurut Ulil adalah hal yang paling mendesak
untuk dilaksanakan. Sebab, tujuan hukum Islam itu sendiri terletak pada
bagaimana sebuah kemaslahatan bersama tercapai. Ukuran kemaslahatan dalam
pemikiran Ulil ini pun mengacu pada doktrin Ushul Fiqh yang dikenal dengan
sebutan al kulliyatul khams (lima pokok pilar) atau dengan kata lain disebut
dengan Maqashid al-Syari’ah (tujuan-tujuan Universal syari’ah). Lima
pokok pilar tersebut adalah; 1) Hifdz al-‘aql, menjamin kreatifitas
berpikir dan kebebasan berekspresi serta mengeluarkan opini 2) Hifdz al-dien,
menjamin kebebasan beragama 3) Hifdz al-nafs, memelihara kelangsungan
hidup. 4) Hifdz al-mal, menjamin pemilikan harta dan properti. Dan ke-5)
Hifdz al-nasl wal-‘irdl, menjamin kelangsungan keturunan, kehormatan,
dan profesi. Karena itu menurutnya, “jika perjuangan umat Islam mengabaikan
hal-hal ini, maka runtuhlah nilai-nilai Islam yang substansial”.
***
Menimbang metodelogi
Maqhasid al-Syariah di atas, saya kemudian berasumsi bahwa dalam setiap
wacana yang berkembang umat Islam masih kurang memperhatikan pijakan-pijakan
dasar dari setiap metodologi. Apa yang diperbincangkan dalam setiap pembicaraan
mengenai politik Islam selama ini terkesan lebih didominasi wacana keislaman
yang sloganistik dan simbolik. Setiap kali ada gagasan-gagasan baru yang muncul
selalu menimbulkan kontroversi, dan dalam menanggapinya lebih pada kulit
luar/kesimpulannya, bukan pada aspek dasar-dasar metodologinya. Karena itu
ketika Ulil mencoba “konsisten” mengkritisi berbagai persoalan Islam yang ada
di Indonesia, --sekalipun dengan jalan “tradisional” dan tetap dalam konteks
ilmu keislaman di atas-- masih banyak orang yang kebakaran jenggot karena
sikapnya.
Tuntutan FUUI
maupun kritik Fauzan dan Eggi rasanya kurang memperhatikan konteks
metodologinya. Mungkin karena adanya “konflik” semacam ini, Dr. Jalaluddin
Rakhmat kemudian mencoba menengahi perdebatan dengan memberikan kesaksian atas
sejarah perbedaan pendapat dalam Islam sebagai hal yang wajar. Ketegangan
antara pihak yang mengakui kemutlakan “Hukum Tuhan” maupun yang cenderung
menekankan ijtihad seperti yang diyakini Ulil, menurut Jalal sebenarnya telah
mengakar dalam sejarah umat Islam semenjak masa Nabi. Karena itu Jalal hanya
bisa menyimpulkan; “biarlah perbedaan pendapat seperti ini terus tumbuh
berkembang dalam suasana saling menghargai masing-masing argumentasi, sebab
jika tidak maka vonis kafir terhadap Ulil juga harus ditimpakan kepada
ulama-ulama Islam seperti Imam Buchori, Imam Muslim, Imam Hambal, Ibnu Rusyd,
dan bahkan Umar Ibnu Khatab yang sering melakukan ijtihad dan meninggalkan
nash.”
Memang, gugatan
atas penyataan “ketiadaan Hukum Tuhan” dalam hal ini sangat mungkin terjadi,
sebab dalam logika pemahaman umum, Alquran memuat beberapa ayat yang
menunjukkan adanya (kesempurnaan) “Hukum Tuhan”. Alquran dianggap sebagai
aturan yang mencakup segala-galanya yang tidak lapuk oleh ruang dan waktu.
Dalam ayat ke- 68 surat al-Nahl, ayat ke-3 Surat al-Maidah atau ayat ke-38
Surat al-An’am, misalnya, kesempurnaan itu telah dijelaskan. Pada titik yang
lebih ekstrem bahkan, ada beberapa kelompok yang menganggap bahwa Alquran itu
laksana Ensiklopedi yang utuh dan komprehensif bagi umat manusia sehingga semua
aspek kehidupan; ekonomi, sosial, politik, dan budaya telah ada pada al-Quran.
Dengan pemahaman seperti ini, kelompok Islam seperti Hizbut Tahrir misalnya,
terang-terangan mengharamkan unsur-unsur dari luar Islam semisal demokrasi.
Jikalau memang
ada kontradiksi antara metodologi Maqhasid al Syari’ah dengan firman
Tuhan, lantas di manakah letak “kebenaran” dalam penentuan ada dan tiadanya
“Hukum Tuhan” dalam soal muamalah ini? Pertanyaan klasik inilah yang harus
segera dijawab oleh para pemikir Islam, terutama bagi Ulil Abshar-Abdalla dan
kawan-kawan. Sebab jika Alquran telah sempurna maka dengan sendirianya Maqhasid
al-Syariah yang notabene dijadikan dasar-dasar pijakan penentuan
hukum-Islam, jelas telah melampuai batas ketetapan “kesempurnaan” itu. Bukankah
konsepsi ijtihad adalah satu proses pencarian terhadap sesuatu yang tidak
diketemukan dalam nash? Begitu pula sebaliknya, jika Maqhasid al-Syariah
adalah sebuah metodologi yang absah, maka dengan sendirianya ihwal kesempurnaan
Alquran harus dikaji ulang.
Dalam soal
“kesempurnaan Alquran” ini memang kita melihat realitas buruk di mana “penyakit
literalis” kini marak melebihi gejala narkoba itu terus meluas dalam bentuk
gerakan radikal simbolis. Ada semacam problem lama yang belum sepenuhnya dapat
diatasi, khususnya bagi kalangan Islam tercerahkan, dalam melihat kenyataan
ini. Karena itu, jika kita tidak segera melakukan satu “pendidikan” dan
kampanye secara cepat dan meluas, maka saya melihat bahwa kontradiksi antara
metodologi (ilmiah) dengan “otoritas” wahyu akan terus berlanjut. Dan bukan
mustahil bentuk-bentuk pengadilan atas pemikiran di luar jalur “akademis” yang
dilakukan sekelompok orang yang mengatasnamakan Tuhan akan menjadi penghalang
utama kebebasan berpikir dalam Islam.