Kepergian Cak Nur masih membawa duka dan kenangan
di hati para pengagum dan pembacanya. Untuk mengungkap gagasan-gagasan Cak Nur,
Novriantoni dari Jaringan Islam Liberal (JIL) berbincang-bincang dengan Budhy
Munawar-Rachman, dosen Universitas Paramadina dan Direktur Center for
Spirituality and Leadership, Kamis (1/9) lalu.
NOVRIANTONI: Mas Budhy, bagaimana perasaan Anda
ketika mangkatnya Cak Nur?
BUDHY MUNAWAR-RACHMAN: Kita semua sangat berduka.
Kita tahu, apa yang dia pikirkan selama ini selalu punya dampak besar dalam
perkembangan keislaman dan keindonesiaan secara keseluruhan. Cak Nur bukan saja
seorang pemikir Islam, tapi juga seorang cendekiawan Indonesia. Karena itu istilah
“guru bangsa” sudah sangat tepat disematkan padanya. Sebagai guru bangsa,
pikiran-pikirannya bisa dibandingkan dengan Soekarno, Hatta, Sjahrir, Agus
Salim, Cokroaminoto, dan lain sebagainya. Jadi Cak Nur memang layak menyandang
gelar guru bangsa.
Nah, kalau pepatah mengatakan “harimau mati
meninggalkan belang; manusia mati meninggalkan nama”, saya ingat Cak Nur juga
sering mengemukakan arti sebuah reputasi. Kalau sudah meninggal, seseorang
sebenarnya akan meninggalkan reputasi yang bisa baik dan bisa buruk. Biasanya,
Cak Nur suka memberi contoh tentang orang-orang seperti Aristoteles ataupun
Socrates yang masih dikenang meski sudah wafat 2500 tahun lalu. Itu luar biasa.
Artinya, apa yang ditinggalkan seorang yang punya reputasi baik akan selalu
hidup. Dan semua itu biasanya sangat berkaitan dengan karya. Walaupun jasad
atau fisik mereka sudah tiada, tapi ruh, spirit, dan pikiran-pikiran mereka
masih saja bersama kita.
Nah, dalam konteks itu, pikiran-pikiran Cak Nur
masih menginspirasi, dan tetap mungkin mengganggu kita. Sejauh membaca banyak
karya-karya Cak Nur--dan saya juga sedang mempersiapkan Ensiklopedi
Pikiran-pikiran Cak Nur—gagasan-gagasannya boleh dikatakan jauh melambung ke
depan. Pikiran-pikirannya mungkin bukan untuk saat ini, tapi untuk satu
generasi ke depan. Jadi, melampaui zamannya; itulah istilah yang cocok.
NOVRIANTONI: Apa saja butir-butir penting
pemikiran Cak Nur menurut Anda?
Kalau memakai kategori Charles Kurzman dalam
bukunya Wacana Islam Liberal, isu paling kontroversial di dunia Islam saat ini
ada enam perkara. Yaitu melawan teokrasi, isu demokrasi, isu gender atau
feminisme, pluralisme, kebebasan berpikir, dan bagaimana menerima paham
kemajuan. Dari keenam isu itu, Cak Nur hampir sudah mengolah semuanya. Kalau
kita selidiki pikiran-pikiran dan tulisan-tulisannya, sebenarnya Cak Nur sudah
punya pendapat pada hampir semua hal yang dikemukakan Kurzman.
Ketika orang punya perhatian soal agama dan
negara, maka dia akan mengingat Cak Nur dengan gagasannya tentang sekularisasi,
soal “Islam, yes; partai Islam, no?”, soal pemisahan yang relatif antara agama
dan negara, dan seterusnya. Kalau dia seorang pengamat pluralisme, mereka akan
ingat paham-paham inklusivisme beragama Cak Nur. Jadi dia sudah punya
kontribusi dalam 6 bidang itu. Hampir semua soal itu telah dia olah, terutama
berkaitan dengan metodelogi. Dia juga sangat mendukung kebebasaban berpikir dan
menegaskan pentingnya mengaktualkan kembali Alquran.
NOVRIANTONI: Mas Budhy, konon Cak Nur meralat
slogan “Islam, yes; partai Islam, no?” setelah melihat perkembangan partai
Islam yang cukup menarik di era reformasi. Anda pernah mendengar ralat Cak Nur?
Saya kira tidak. Pernyataan itu dulunya dibuat Cak
Nur bukan dengan tanda seru, tapi tanda tanya: “Islam, yes; partai Islam, no?”
Karena itu, sebenarnya masih terbuka perdebatan apakah formulanya harus begitu.
Soal lain dalam pikiran Cak Nur adalah soal sekuralisasi atau sekularisme dalam
politik. Secara substansial, pikiran Cak Nur tentang poin ini tidak sekeras
paham sekularisme yang berkembang di Eropa. Dia mungkin lebih dekat dengan
faham sekuralisme Amerika; di mana negara sebenarnya tidak turut campur dalam
masalah-masalah agama tapi perkembangan agama di masyarakat juga betul-betul
diberi tempat. Kebebasan beragama dijaga betul.
Nah, pikiran-pikiran Cak Nur itu lebih dekat ke
situ. Karena itu, dia seringkali mengutip Robert N Bellah, sebagai kutipan
kesayangannya. Dia selalu mengutip pernyataan Bellah yang memuji-muji
kemoderenan Islam di masa lampau. Menurut saya, ketika kini terjadi banyak
kasus seperti isu Ahmadiyah, penutupan rumah ibadah umat Kristen di Jawa Barat,
semua itu jelas berkaitan dengan soal-soal yang telah Cak Nur pikirkan.
Tapi Cak Nur juga ada di masa ketika dia perlu
lebih pragmatis. Misalnya, di tahun 1977 dia ikut kampanye Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) dengan alasan memompa ban kempes. Waktu itu, PPP tidak punya
arti apa-apa; hanya partai setengah. Ketika ada tiga partai, dia tidak punya
nilai apa-apa. Cak Nur coba memompa ban kempes. Tapi itu hanya situasi
pragmatis. Ada tuntutan-tuntutan seperti itu ketika dia mau mengikuti konvensi
Partai Golkar untuk pencalonan sebagai presiden. Menurut saya, itu hanya
tindakan pragmatis. Tapi dari segi substansi, Cak Nur tidak pernah berubah.
NOVRIANTONI: Bagaimana perbedaan sekularisasi di
Eropa dengan di Amerika, dan apa yang dihendaki Cak Nur dari sekularisasi?
Kalau diartikan dari segi politik, maka
sekularisasi berarti pemisahan agama dan negara secara relatif atau tidak
mutlak. Di Eropa, sekularisasi cenderung ke arah yang mutlak seperti paham
antiklerikisme buah Revolusi Prancis. Di Amerika, sekularisasi justru tidak
begitu. Alexis de Tocqueville yang juga sering dikutip Cak Nur malah heran
kenapa sekularisme malah membuat agama tumbuh pesat di Amerika. Diana L. Eck,
profesor dari Harvard University yang kemarin berkunjung ke Indonesia juga
datang dengan kejutan bahwa agama di Amerika ternyata tumbuh pesat seperti di
Indonesia.
Tapi kebebasan semua dijamin ketat oleh
konstitusi. Kalau mau membikin aliran pemikiran apa pun, bahkan agama baru
sekali pun, di sana bisa dimungkinkan, asal tidak mengganggu hak asasi dan
kebebasan orang lain. Semua itu dilindungi. Ateisme dibolehkan, tapi semua
agama juga bisa berkembang dengan sangat pesat. Sekularisme di sana justru
memunculkan perkembangan keagamaan. Karena itu, tesis Harvey Cox dalam The
Secular City yang dulu orang duga juga sering dikutip Cak Nur, ternyata tidak
berlaku. Malahan, dia mengoreksinya dengan tesis secular religion and secular
city. Di situ dia mengoreksi pandangannya mengenai perkembangan agama di
Amerika yang justru makin pesat.
Nah, ini berbeda dengan di Eropa. Di tanah Eropa,
agama sebetulnya merosot sekali. Kalau mendenger cerita teman-teman Kristiani,
saat ini di sana terjadi gejala kekurangan pendeta, pastur, dan suster. Karena
itu mereka mengimpor dari Asia, misalnya. Indonesia termasuk negara pengimpor
pastur dan pendeta yang cukup banyak, seperti ke Belanda. Jadi, sekularisme di
Eropa membuat agama meredup dan ditinggalkan masyarakat, tapi di Amerika tidak.
Sekularisme yang dibayangkan Cak Nur adalah seperti yang berlangsung di
Amerika.
Bagaimana gambaran sekularisasi di Eropa dan di
Amerika pada tingkat yang lebih detil?
Mungkin di sini bedanya Gus Dur dengan Cak Nur.
Bagi Gus Dur, sekularisme itu idealnya seperti di India. Negara tegas
mengemukakan bahwa asas negara adalah sekularisme atau pemisahan tegas antara
negara dan institusi agama. Karena itu, di India tidak mungkin ada departemen
agama. Tapi sekularisme di India juga berarti anti-komunalisme dan
kekerasan-kekerasan atas nama agama. Namun saat ini, di India juga terjadi
tarik menarik antara agama dan negara. Partai Hindu yang belakangan menjadi
sangat fundamentalis, menginginkan India menjadi negara Hindu.
Nah, dalam sekularisasi yang dibayangkan Cak Nur,
agama tetap dapat memberi support nilai. Itulah yang Cak Nur pikirkan mengenai
Pancasila. Dan itu jugalah salah satu pemikiran Cak Nur yang belum dielaborasi
lebih luas. Menurut saya, kalau Cak Nur menulis satu buku saja tentang
Pancasila, itu pasti akan berdampak besar. Tapi itu belum sempat dia lakukan.
Tapi dalam banyak tulisan-tulisan lepasnya yang bicara soal Pancasila, dia
sempat mengatakan bahwa Pancasila adalah common platform semua agama-agama di
Indonesia. Semua agama bisa sharing mengenai nilai-nilai yang ditransendensikan
untuk bisa diakses siapa pun. Dalam konteks Islam, dia memakai paham
universalisme Islam sebagai agama yang bisa dijadikan inspirasi oleh penganut
agama apa pun.
NOVRIANTONI: Artinya dia perlu menjadi garam dan
tidak perlu menjadi wadah?
Yang menjadi wadah kehidupan keagamaan itu
sebenarnya komunitas. Tapi bukan komunitas di ruang publik. Biasanya, dalam
sekularisme ditegaskan soal pembedaan itu. Di Prancis, kita tidak boleh
menggunakan atribut-atribut keagamaan di jalanan. Pastur tidak boleh mengenakan
jubah pastoralnya di jalan. Karena itu masih ada masalah perempuan muslim yang
memakai jilbab di sekolah menengah ke bawah di Prancis. Nah, yang Cak Nur
bayangkan tentang sekularisme tidak seekstrim itu, melainkan tetap dapat
memberi kontribusi terhadap kebajikan hidup publik.
NOVRIANTONI: Paling tidak atau level apa
kontribusinya?
Pada level etika individu yang meluas menjadi
etika publik. Tapi menurut Cak Nur, sayangnya orang Islam justru kurang di
level ini. Jadi antara aspek doktrinal orang Islam dengan perilakunya jauh
berjarak seperti bumi dan langit. Di sini Cak Nur membedakan antara keberagaman
simbolik dengan keberagamaan substansial. Cak Nur menentang simbolisme yang
berlebihan dalam keberagamaan, walaupun dia juga tidak menegasikan pentingnya
simbolisme. Tanpa simbol, orang tidak mungkin bisa mencapai yang Ilahi.
Tapi, Cak Nur juga sangat prihatin akan makin
kuatnya formalisme agama, terlebih kalau menjadi radikalisme atau fundamentalisme.
Ketika dia membuat paper mengenai pesan-pesan kepada generasi muda di tahun
1992, salah satu pesannya adalah perlunya mengemukakan suatu paham dan praktik
keislaman sebenarnya. Dia memakai istilah hanifi’atus samhah atau corak
keberagamaan yang toleran dan penuh kelapangan. Corak keberagamaan di Indonesia
yang selalu dikemukakan Cak Nur adalah Islam yang lapang dan penuh toleran itu.
Islam untuk semua yang berlawanan dengan berbagai formalisme, fundamentalisme,
dan termasuk di dalamnya pengkultusan.
NOVRIANTONI: Mas Budhy, nampaknya Cak Nur tidak
banyak berbicara soal kesetaraan gender?
Ya. Saya jadi teringat ketika peluncuran buku yang
memang secara khusus ditulis Cak Nur, Indonesia Kita. Di dalamnya ada sepuluh
platform mengenai reformasi yang dulu sempat dijanjikan akan diimplementasikan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kalau dia jadi presiden. Ketika peluncuran
buku itu, kaum feminis mengritik Cak Nur karena dari sepuluh platform itu tidak
ada isu gender. Bagi mereka, mestinya satu dari sepuluh platform itu adalah
soal kesetaraan gender.
Ini satu kritik yang saya kira ada benarnya. Kalau
kita menelaah pikiran-pikiran Cak Nur, memang sangat sedikit yang berbicara isu
gender. Padahal, perkembangan kesadaran kritis kalangan feminis muslim saat ini
berkembang paling pesat dari semua isu yang diusung lainnya. Gagasan-gagasannya
juga paling berani dan paling maju dengan bermacam terobosan pembaharuannya.
NOVRIANTONI: Saya kira, Undang-Undang Anti
Kekerasan di Dalam Rumah Tangga (UU-KDRT) merupakan salah satu contohnya?
Betul. Nah, orang sering mengritik Cak Nur dalam
soal ini. Tapi menurut saya, kalau kita adil terhadap Cak Nur, kita dapat
memaklumi bahwa Cak Nur menganggap isu itu taken for granted saja. Maksudnya,
dia sangat yakin, seperti para modernis Islam umumnya, bahwa pemikiran kalangan
modernis jelas akan membela kesetaraan gender. Problemnya, Cak Nur tidak
mengelaborasinya lebih lanjut dan itu tidak bisa diterima kalangan feminis.
NOVRIANTONI: Artinya, Cak Nur menganggap isu itu sudah
tersirat dalam paket pembaruannya?
Analoginya seperti kalangan modernis menerima ilmu
pengetahuan modern, demokrasi, dan paham kemajuan sebagai satu paket. Dalam
paket itu, kesetaraan gender jelas termuat. Tapi sebenarnya Cak Nur juga punya
beberapa pandangan soal gender di dalam beberapa papernya di Klub Kajian Agama
(KKA) Paramadina. Dia pernah mengemukakan, kesetaraan gender memang diakui di
dalam Islam. Cuma seperti biasa, Cak Nur tidak mengatakan kepada kita bahwa di
banyak dunia muslim, kesetaraan gender nyatanya tidak ada atau kurang tampak.
NOVRIANTONI: Jadi Cak Nur tampak selalu berkutat
dengan visi-visi besar?
Dia fokus pada visi-visi besar Alquran mengenai
kesetaraan gender dan lain-lain. Dalam visi besar itu, Cak Nur bisa bertemu
dengan kaum feminis. Tapi perbedaannya, Cak Nur tidak menjelaskan
problem-problem nyata yang muncul dalam soal ini dan soal-soal lainnya. Di
dalam pembahasan tentang pluralisme, Cak Nur misalnya tidak mengungkap
kenyataan-kenyataan diskriminatif atas kalangan non-muslim.
NOVRIANTONI: Apakah dapat dikatakan bahwa
gagasan-gagasan Cak Nur kurang sosiologis?
Dia memang seorang visioner. Menjadi visioner itu
yang justru tempat dan peran Cak Nur sebenarnya. Dia sebenarnya menggariskan
paham Islam yang shâlih likulli zamân wa makân (Islam yang relevan untuk tiap
masa dan tempat—Red). Jadi, yang dia gali adalah Islam universalnya. Dia
menunjukan bahwa apa yang utama dan apa yang hebat dalam pandangan-pandangan
zaman sekarang, serta penemuan-penemuan jenius kemanusiaan modern, sebenarnya
tidak asing di dalam khazanah Islam. Dia mau menunjukkan itu dalam soal sains,
dan demokrasi. Dia ingin menunjukkan akarnya di dalam Islam.
NOVRIANTONI: Menurut penilaian pribadi Anda,
apakah itu bukan bentuk apologisme?
Ya. Itulah kritik kalangan neo-modernis terhadap
kalangan modernis atau kalangan neo-revivalis terhadap kalangan modernis lama
seperti Muhammad Abduh, Muhammad Iqbal, dan sebagainya. Mereka seolah-olah mau
mengatakan bahwa apa yang baik di Barat sana adalah Islam.
Tapi sebetulnya hal seperti itu juga dilakukan
para neo-modernis seperti Fazlur Rahman, gurunya Cak Nur. Dia coba mengaitkan
semua itu dengan dasar Qur’anik dan tradisi Islam yang kuat. Jadi dia
sebetulnya juga memperhatikan sejarah dan kenyataan, tetapi yang selalu dilihat
adalah kenyataan yang positif mendukung keagungan Islam. Misalnya klaim bahwa
Islam itu sejak dulu sangat menghargai pluralisme. Fakta sejarahnya dia
kemukakan dari sarjana-sarjana Barat seperti Bernard Lewis, dan salah satu
kutipan kesayangan Cak Nur lainnya, Bertrand Russel. Dia juga mengutip Cyril
Galsse yang menulis The New Encyclopedia of Islam. Di situ, Cyril mengatakan
bahwa pada zaman itu (abad ke-7 M) untuk pertama kalinya sebuah wahyu (Alquran)
menegaskan tentang kebenaran agama lain. Sebuah bentuk inklusivisme yang paling
awal.
NOVRIANTONI: Jadi Cak Nur mampu membangun paham
keagamaan inklusif dari khazanah Islam?
Ya. Dalam soal ini, Cak Nur boleh dikatakan
sebagai seorang teolog. Memang pekerjaan teolog seperti itu; membuat visi
teologis, tapi kadang-kadang tidak historis. Artinya, banyak problem-problem
nyata yang tidak dikemukakan langsung. Dan mungkin, Cak Nur memang ingin
meninggalkan hal-hal yang problematis di masa lalu Islam. Dia ingin berangkat
dari Alquran yang visioner.