Luthfi Assyaukanie
Satu lagi dari grup Jaringan Islam Liberal / Paramadina - menurut salah satu tokohnya, Al-Quran yang kita pegang pada saat ini sudah tidak asli lagi.
Pada posting ini saya akan lampirkan tulisan
Luthfi selengkapnya yang saya kutip dari milis INSIST
net. Kemudian saya akan posting juga bantahannya dari Fahmi
Salim.
Semoga bermanfaat,
Dikutip dari:
Luthfi Assyaukanie.
Dosen Sejarah Pemikiran Islam
Universitas Paramadina
Jakarta
Luthfi Assyaukanie.
Dosen Sejarah Pemikiran Islam
Universitas Paramadina
Jakarta
Sebagian besar kaum Muslim meyakini bahwa Alquran
dari halaman pertama hingga terakhir merupakan kata-kata Allah yang diturunkan
kepada Nabi Muhammad secara verbatim, baik kata-katanya (lafdhan) maupun
maknanya (ma’ nan). Kaum Muslim juga meyakini bahwa Alquran yang mereka lihat
dan baca hari ini adalah persis seperti yang ada pada masa Nabi lebih dari
seribu empat ratus tahun silam.
Keyakinan semacam itu sesungguhnya lebih merupakan
formulasi dan angan-angan teologis (al-khayal al-dini) yang dibuat oleh para
ulama sebagai bagian dari formalisasi doktrin-doktrin Islam.
Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.
Hakikat dan sejarah penulisan Alquran sendiri sesungguhnya penuh dengan berbagai nuansa yang delicate (rumit), dan tidak sunyi dari perdebatan, pertentangan, intrik, dan rekayasa.
Alquran dalam bentuknya yang kita kenal sekarang
sebetulnya adalah sebuah inovasi yang usianya tak lebih dari 79 tahun. Usia ini
didasarkan pada upaya pertama kali kitab suci ini dicetak dengan percetakan
modern dan menggunakan standar Edisi Mesir pada tahun 1924. Sebelum itu,
Alquran ditulis dalam beragam bentuk tulisan tangan (rasm) dengan teknik
penandaan bacaan (diacritical marks) dan otografi yang bervariasi.
Hadirnya mesin cetak dan teknik penandaan bukan
saja membuat Alquran menjadi lebih mudah dibaca dan dipelajari, tapi juga telah
membakukan beragam versi Alquran yang sebelumnya beredar menjadi satu standar
bacaan resmi seperti yang kita kenal sekarang.
Pencetakan Edisi Mesir itu bukanlah yang
pertamakali dalam upaya standarisasi versi-versi Alquran. Sebelumnya, para
khalifah dan penguasa Muslim juga turun-tangan melakukan hal yang sama, kerap
didorong oleh keinginan untuk menyelesaikan konflik-konflik bacaan yang muncul
akibat beragamanya versi Alquran yang beredar.
Tapi pencetakan tahun 1924 itu adalah ikhtiyar
yang luar biasa, karena upaya ini merupakan yang paling berhasil dalam sejarah
kodifikasi dan pembakuan Alquran sepanjang masa. Terbukti kemudian, Alquran
Edisi Mesir itu merupakan versi Alquran yang paling banyak beredar dan
digunakan oleh kaum Muslim.
Keberhasilan penyebarluasan Alquran Edisi Mesir
tak terlepas dari unsur kekuasaan. Seperti juga pada masa-masa sebelumnya,
kodifikasi dan standarisasi Alquran adalah karya institusi yang didukung oleh
–dan menjadi bagian dari proyek– penguasa politik. Alasannya sederhana, sebagai
proyek amal (non-profit), publikasi dan penyebaran Alquran tak akan efektif
jika tidak didukung oleh lembaga yang memiliki dana yang besar.
Apa yang telah dilakukan oleh pemerintah Saudi
Arabia mencetak ratusan ribu kopi Alquran sejak tahun 1970-an merupakan bagian
dari proyek amal yang sekaligus juga merupakan upaya penyuksesan standarisasi
kitab suci. Kendati tidak seperti Uthman bin Affan yang secara terang-terangan
memerintahkan membakar seluruh versi (mushaf) Alquran yang bukan miliknya
(kendati tidak benar-benar berhasil), tindakan penguasa Saudi membanjiri pasar
Alquran hanya dengan satu edisi, menutupi dan perlahan-lahan menyisihkan edisi
lain yang diam-diam masih beredar (khususnya di wilayah Maroko dan sekitarnya).
Agaknya, tak lama lagi, di dunia ini hanya ada
satu versi Alquran, yakni versi yang kita kenal sekarang ini. Dan jika ini
benar-benar terwujud (entah kapan), maka itulah pertama kali kaum Muslim (baru)
boleh mendeklarasikan bahwa mereka memiliki satu Alquran yang utuh dan seragam.
Edisi Mesir adalah salah satu dari ratusan versi
bacaan Alquran (qiraat) yang beredar sepanjang sejarah perkembangan kitab suci
ini. Edisi itu sendiri merupakan satu versi dari tiga versi bacaan yang
bertahan hingga zaman modern. Yakni masing-masing, versi Warsh dari Nafi yang
banyak beredar di Madinah, versi Hafs dari Asim yang banyak beredar di Kufah,
dan versi al-Duri dari Abu Amr yang banyak beredar di Basrah.Edisi Mesir adalah
edisi yang menggunakan versi Hafs dari Asim.
Versi bacaan (qiraat) adalah satu jenis pembacaan
Alquran. Versi ini muncul pada awal-awal sejarah Islam (abad pertama hingga
ketiga) akibat dari beragamnya cara membaca dan memahami mushaf yang beredar
pada masa itu. Mushaf adalah istilah lain dari Alquran, yakni himpunan atau
kumpulan ayat-ayat Allah yang ditulis dan dibukukan.
Sebelum Uthman bin Affan (w. 35 H), khalifah
ketiga, memerintahkan satu standarisasi Alquran yang kemudian dikenal dengan
“Mushaf Uthmani,” pada masa itu telah beredar puluhan –kalau bukan ratusan–
mushaf yang dinisbatkan kepada para sahabat Nabi. Beberapa sahabat Nabi
memiliki mushafnya sendiri-sendiri yang berbeda satu sama lain, baik dalam hal
bacaan, susunan ayat dan surah, maupun jumlah ayat dan surah.
Ibn Mas’ud, seorang sahabat dekat Nabi, misalnya,
memiliki mushaf Alquran yang tidak menyertakan surah al-Fatihah (surah
pertama). Bahkan menurut Ibn Nadiem (w. 380 H), pengarang kitab al-Fihrist,
mushaf Ibn Mas’ud tidak menyertakan surah 113 dan 114. Susunan surahnyapun
berbeda dari Alquran yang ada sekarang. Misalnya, surah keenam bukanlah surah
al-An’am, tapi surah Yunus.
Ibn Mas’ud bukanlah seorang diri yang tidak
menyertakan al-Fatihah sebagai bagian dari Alqur’an. Sahabat lain yang
menganggap surah “penting” itu bukan bagian dari Alquran adalah Ali bin Abi
Thalib yang juga tidak memasukkan surah 13, 34, 66, dan 96. Hal ini memancing
perdebatan di kalangan para ulama apakah al-Fatihah merupakan bagian dari Alquran
atau ia hanya merupakan “kata pengantar” saja yang esensinya bukanlah bagian
dari kitab suci.
Salah seorang ulama besar yang menganggap
al-Fatihah bukan sebagai bagian dari Alquran adalah Abu Bakr al-Asamm (w. 313
H). Dia dan ulama lainnya yang mendukung pandangan ini berargumen bahwa
al-Fatihah hanyalah “ungkapan liturgis” untuk memulai bacaan Alqur’an. Ini
merupakan tradisi popular masyarakat Mediterania pada masa awal-awal Islam.
Sebuah hadis Nabi mendukung fakta ini: “siapa saja
yang tidak memulai sesuatu dengan bacaan alhamdulillah [dalam hadis lain
bismillah] maka pekerjaannya menjadi sia-sia.”
Perbedaan antara mushaf Uthman dengan
mushaf-mushaf lainnya bisa dilihat dari komplain Aisyah, isteri Nabi, yang
dikutip oleh Jalaluddin al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan, dalam kata-kata
berikut: “pada masa Nabi, surah al-Ahzab berjumlah 200 ayat. Setelah Uthman
melakukan kodifikasi, jumlahnya menjadi seperti sekarang [yakni 73 ayat].”
Pandangan Aisyah juga didukung oleh Ubay bin Ka’b, sahabat Nabi yang lain, yang
didalam mushafnya ada dua surah yang tak dijumpai dalam mushaf Uthman, yakni
surah al-Khal’ dan al-Hafd.
Setelah Uthman melakukan kodifikasi dan
standarisasi, ia memerintahkan agar seluruh mushaf kecuali mushafnya (Mushaf
Uthmani) dibakar dan dimusnahkan.
Sebagian besar mushaf yang ada memang berhasil
dimusnahkan, tapi sebagian lainnya selamat. Salah satunya, seperti kerap
dirujuk buku-buku ‘ulum al-Qur’an, adalah mushaf Hafsah, salah seorang isteri
Nabi, yang baru dimusnahkan pada masa pemerintahan Marwan ibn Hakam (w. 65 H)
beberapa puluh tahun kemudian.
Sebetulnya, kendati mushaf-mushaf para sahabat itu
secara fisik dibakar dan dimusnahkan, keberadaannya tidak bisa dimusnahkan dari
memori mereka atau para pengikut mereka, karena Alquran pada saat itu lebih
banyak dihafal ketimbang dibaca. Inilah yang menjelaskan maraknya versi bacaan
yang beredar pasca-kodifikasi Uthman. Buku-buku tentang varian-varian bacaan
(kitab al-masahif) yang muncul pada awal-awal abad kedua dan ketiga hijriah, adalah
bukti tak terbantahkan dari masih beredarnya mushaf-mushaf klasik itu.
Dari karya mereka inilah, mushaf-mushaf sahabat
yang sudah dimusnahkan hidup kembali dalam bentuk fisik (teks tertulis).
Sejarah penulisan Alqur’an mencatat nama-nama Ibn
Amir (w. 118 H), al-Kisai (w. 189 H), al-Baghdadi (w. 207 H); Ibn Hisyam (w.
229 H), Abi Hatim (w. 248 H), al-Asfahani (w. 253 H) dan Ibn Abi Daud (w. 316
H) sebagai pengarang-pengarang yang menghidupkan mushaf-mushaf klasik dalam
karya masahif mereka (umumnya diberijudul kitab al-masahif atau ikhtilaf
al-masahif). Ibn Abi Daud berhasil mengumpulkan 10 mushaf sahabat Nabi dan 11
mushaf para pengikut (tabi’in) sahabat Nabi.
Munculnya kembali mushaf-mushaf itu juga didorong
oleh kenyataan bahwa mushaf Uthman yang disebarluaskan ke berbagai kota Islam
tidak sepenuhnya lengkap dengan tanda baca, sehingga bagi orang yang tidak
pernah mendengar bunyi sebuah kata dalam Alquran, dia harus merujuk kepada
otoritas yang bisa melafalkannya. Dan tidak sedikit dari pemegang otoritas itu
adalah para pewaris varian bacaan non-Uthmani.
Otoritas bacaan bukanlah satu-satunya sumber yang
menyebabkan banyaknya varian bacaan. Jika otoritas tidak dijumpai, kaum Muslim
pada saat itu umumnya melakukan pilihan sendiri berdasarkan kaedah bahasa dan
kecenderungan pemahamannya terhadap makna sebuah teks. Dari sinilah kemudian
muncul beragam bacaan yang berbeda akibat absennya titik dan harakat (scripta
defectiva). Misalnya bentuk present (mudhari’) dari kata a-l-m bisa dibaca
yu’allimu, tu’allimu, atau nu’allimu atau juga menjadi na’lamu, ta’ lamu atau
bi’ilmi.
Yang lebih musykil adalah perbedaan kosakata
akibat pemahaman makna, dan bukan hanya persoalan absennya titik dan harakat.
Misalnya, mushaf Ibn Mas’ud berulangkali menggunakan kata “arsyidna” ketimbang
“ihdina” (keduanya berarti “tunjuki kami") yang biasa didapati dalam
mushaf Uthmani. Begitu juga, “man” sebagai ganti “alladhi” (keduanya berarti
“siapa"). Daftar ini bisa diperpanjang dengan kata dan arti yang berbeda,
seperti “al-talaq” menjadi “al-sarah” (Ibn Abbas), “fas’au” menjadi “famdhu”
(Ibn Mas’ud), “linuhyiya” menjadi “linunsyira” (Talhah), dan sebagainya.
Untuk mengatasi varian-varian bacaan yang semakin
liar, pada tahun 322 H, Khalifah Abbasiyah lewat dua orang menterinya Ibn Isa
dan Ibn Muqlah, memerintahkan Ibn Mujahid (w. 324 H) melakukan penertiban.
Setelah membanding-bandingkan semua mushaf yang ada di tangannya, Ibn Mujahid
memilih tujuh varian bacaan dari para qurra ternama, yakni Nafi (Madinah), Ibn
Kathir (Mekah), Ibn Amir (Syam), Abu Amr (Bashrah), Asim, Hamzah, dan Kisai
(ketiganya dari Kufah). Tindakannya ini berdasarkan hadis Nabi yang mengatakan
bahwa “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf.”
Tapi, sebagian ulama menolak pilihan Ibn Mujahid
dan menganggapnya telah semena-mena mengesampingkan varian-varian lain yang
dianggap lebih sahih. Nuansa politik dan persaingan antara ulama pada saat itu
memang sangat kental. Ini tercermin seperti dalam kasus Ibn Miqsam dan Ibn
Shanabudh yang pandangan-pandangannya dikesampingkan Ibn Mujahid karena adanya
rivalitas di antara mereka, khususnya antara Ibn Mujahid dan Ibn Shanabudh.
Bagaimanapun, reaksi ulama tidak banyak punya
pengaruh. Sejarah membuktikan pandangan Ibn Mujahid yang didukung penguasa
itulah yang kini diterima orang banyak (atau dengan sedikit modifikasi menjadi
10 atau 14 varian). Alquran yang ada di tangan kita sekarang adalah salah satu
varian dari apa yang dipilihkan oleh Mujahid lewat tangan kekuasaan. Yakni
varian bacaan Asim lewat Hafs. Sementara itu, varian-varian lain, tak tentu
nasibnya. Jika beruntung, ia dapat dijumpai dalam buku-buku studi Alquran yang
sirkulasi dan pengaruhnya sangat terbatas.
***
Apa yang bisa dipetik dari perkembangan sejarah
Alquran yang saya paparkan secara singkat di atas? Para ulama, khususnya yang
konservatif, merasa khawatir jika fakta sejarah semacam itu dibiarkan diketahui
secara bebas.
Mereka bahkan berusaha menutup-nutupi dan
mengaburkan sejarah, atau dengan memberikan apologi-apologi yang sebetulnya
tidak menyelesaikan masalah, tapi justru membuat permasalahan baru. Misalnya,
dengan menafsirkan hadis Nabi “Alquran diturunkan dalam tujuh huruf” dengan
cara menafsirkan “huruf” sebagai bahasa, dialek, bacaan, prononsiasi, dan
seterusnya yang ujung-ujungnya tidak menjelaskan apa-apa.
Saya sependapat dengan beberapa sarjana Muslim
modern yang mengatakan bahwa kemungkinan besar hadis itu adalah rekayasa para
ulama belakangan untuk menjelaskan rumitnya varian-varian dalam Alquran yang
beredar. Tapi, alih-alih menjelaskan, ia malah justru mengaburkan.
Mengaburkan karena jumlah huruf (bahasa, dialek,
bacaan, prononsiasi), lebih dari tujuh. Kalau dikatakan bahwa angka tujuh
hanyalah simbol saja untuk menunjukkan “banyak,” ini lebih parah lagi, karena
menyangkut kredibilitas Tuhan dalam menyampaikan ayat-ayatnya.
Apakah kita mau mengatakan bahwa setiap varian
bacaan, baik yang berbeda kosakata dan pengucapan (akibat dari jenis penulisan
dan tatabahasa) merupakan kata-kata Tuhan secara verbatim (apa adanya)? Jika
tidak terkesan rewel dan simplistis, pandangan ini jelas tak bertanggungjawab,
karena ia mengabaikan fakta kaum Muslim pada awal-awal sejarah Islam yang
sangat dinamis.
Lalu, bagaimana dengan keyakinan bahwa Alquran
dari surah al-Fatihah hingga al-Nas adalah kalamullah (kata-kata Allah) yang
diturunkan kepada Nabi baik kata dan maknanya (lafdhan wa ma’nan)? Seperti saya
katakan di atas, keyakinan semacam ini hanyalah formula teologis yang
diciptakan oleh para ulama belakangan. Ia merupakan bagian dari proses panjang
pembentukan ortodoksi Islam.
Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada
dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami
berbagai proses “copy-editing” oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan, qurra,
otografi, mesin cetak, dan kekuasaan. Proses-proses ini pada dasarnya adalah
manusiawi belaka dan merupakan bagian dari ikhtiyar kaum Muslim untuk menyikapi
khazanah spiritual yang mereka miliki.
Saya kira, varian-varian dan perbedaan bacaan yang
sangat marak pada masa-masa awal Islam lebih tepat dimaknai sebagai upaya kaum
Muslim untuk membebaskan makna dari kungkungan kata, ketimbang
mengatribusikannya secara simplistis kepada Tuhan. Seperti dikatakan seorang
filsuf kontemporer Perancis, teks –dan apalagi teks-teks suci, selalu bersifat
“repressive, violent, and authoritarian.” Satu-satunya cara menyelamatkannya
adalah dengan membebaskannya.
Generasi awal-awal Islam telah melakukan
pembebasan itu, dengan menciptakan varian-varian bacaan yang sangat kreatif.
Jika ada pelajaran yang bias diambil dari sejarah pembentukan Alquran, saya
kira, semangat pembebasan terhadap teks itulah yang patut ditiru, tentu saja
dengan melakukan kreatifitas-kreatifitas baru dalam bentuk yang lain.