Oleh: Abdurrahman Wahid
Pada suatu ketika, penulis dihadapkan pada sebuah pertanyaan yang terus menerus ‘mengganjal’ hubungan mesra antara dirinya dengan orang beragama lain. Pertanyaan itu adalah: apakah batas dan hubungan antara kebenaran sebuah keyakinan dengan pergaulan antara sesama penganut agama dalam konteks negara Republik Indonesia? Pertanyaan ini haruslah memperoleh jawaban yang jujur, karena sendi-sendi kenegaraan kita sangat tergantung kepada jawaban itu.
Jika kita menggunakan ‘kerangka penuh’ sebagai seorang muslim saja, kita
akan menjawab: persetan dengan semua hubungan antara diri kita sendiri dengan
para penganut agama-agama lainnya. Kita hanya akan melihat pentingnya
pencapaian hubungan dalam pola ‘sempit’, yaitu antara seorang muslim dan
akidahnya. Sikap sebagai seorang muslim, lalu menjadi sangat arogan dalam
negara kita hidup. Akhirnya, kita hanya mau tahu kebenaran agama sendiri, dan
menjadi puas ketika ‘mengalahkan’ agama lain.
Arogansi seperti inilah yang menjadikan kita berstandar ganda dalam
bernegara. Di satu pihak, kita memerlukan negara untuk tetap hidup. Di pihak
lain, kita acuh tak acuh terhadap eksistensi/wujud negara ini. Padahal, salah
satu cara untuk mempertahankannya adalah memahami watak kemajemukan hidup
beragama di negeri itu, yaitu dengan bersikap toleransi/tenggang rasa antara
sesama agama yang hidup di negara tersebut. Karenanya, pluralisme yang ditolak
oleh Munas ke-7 Majelis Ulama Indonesia (MUI) baru-baru ini, justru memperlihatkan
adanya sikap yang tidak mau tahu dengan toleransi, yang sebenarnya menjadi inti
dari kehidupan beragama yang serba majemuk dalam kehidupan negara kita.
Sebagai pemimpin formal Rebuplik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)
dalam percakapan dengan penulis baru-baru ini bertanya: “Kalau saya mengambil
sikap hanya berpegang pada ajaran Islam yang ‘resmi’, bukankah saya akan
dipersalahkan jika hadir dalam sebuah peringatan Hari Natal? Bukankah lalu saya
harus mau menghapus tradisi baik yang sudah berjalan puluhan tahun? Dan
bukankah saya lalu menyalahkan sikap para Presiden setelah kita merdeka, yang
selalu hadir dalam acara-acara seperti itu? Bukankah dari dulu hingga sekarang,
saya tidak mengikuti acara peribadatan Kristen?” Penulis tidak menjawab deretan
pertanyaan tersebut, karena jawaban kekanak-kanakan akan merusak tradisi sangat
baik yang dihadirkan oleh hubungan mesra antara sesama agama yang hidup di
negeri kita. Jawabannya sudah jelas, tidak perlu penulis ulangi di sini.
Bahkan baru-baru ini Presiden Bush dari Amerika Serikat, menghadiri
perayaan yang dilakukan kaum muslimin di negaranya. Bukankah ini kebalikan dari
negara kita? Sesuatu yang justru harus diabadikan di negara kita, malah dijauhi
dengan keputusan yang dangkal oleh sebuah forum semulia Munas MUI. Seharusnya
‘tradisi baik’ ini dikembangkan lebih jauh tanpa harus melemahkan akidah kita
sendiri. Penulis yakin bahwa sikapnya untuk hadir dalam berbagai upacara
keagamaan oleh agama-agama yang berlainan, tidak akan ‘mematahkan’ keyakinannya
sendiri sebagai seorang muslim.
Di sinilah terletak saripati sikap beragama yang benar, seperti saat kita
melaksanakan firman Allah dalam kitab suci Al-Qur’an “Mudah-mudahan kedamaian
menyertainya, di hari kelahirannya” (salamun’alayhi yauma mulida). Siapapun
juga akan tahu, ayat suci tersebut ditujukan kepada Nabi Isa AS, terlepas dari
kenyataan bahwa ia dinyatakan sebagai ‘Anak Tuhan’ atau bahkan Tuhan oleh
orang-orang Kristen jauh sebelum Islam sendiri lahir di dunia ini. Keyakinan
bahwa Nabi Isa adalah ‘Anak Tuhan’ atau Tuhan, bukanlah urusan kita. Justru
sikap untuk memaksakan tafsiran sepihak akan hakikat diri tokoh tersebut, akan
meracuni hubungan mesra antara kaum muslimin dan kaum nasrani. Penghargaan
kepada kaum non-muslim oleh kaum muslimin, tidak berarti menunjukkan kita telah
meninggalkan akidah kita sendiri, melainkan justru menunjukkan kedewasaan
pandangan kita di mata mereka. Kenyataan sekecil ini saja, menunjukkan bahwa
pandangan ‘terlalu formal’ tanpa memperhatikan perasaan orang lain, adalah
sikap kekanak-kanakan yang perlu dikikis habis.
Harus diakui umat Islam terbagi menjadi dua dalam bersikap terhadap agama
lain. Jika pimpinan MUI tetap ‘terbuai’ oleh sikap ‘harus’ menyatakan kebenaran
sendiri, maka kaum muslimin akan terjebak dalam formalisasi sikap yang tidak
dikehendaki. Itulah sebabnya, mengapa para pendiri Republik Indonesia berkeras
mengatakan bahwa negara ini bukanlah sebuah negara agama. Lalu apakah para
pemimpin Islam waktu itu seperti: Ki Bagus Hadikusumo dan KH. Kahar Muzakir
dari Muhammadiyah, AbikusnoTjokrosuyoso dari Serikat Islam, Achmad Subarjo dari
Masyumi, AR. Baswedan dari Partai Arab Indonesia, KH. Wahid Hasjim dari
Nahdlatul Ulama dan H. Agus Salim, adalah tokoh-tokoh gadungan yang tidak
mewakili golongan Islam?
Jelaslah, kaum muslim pendiri Indonesia berpandangan luas mengenai hubungan
timbal balik dengan para pengikut dan pimpinan agama-agama lain. Selama lebih
dari empat dasawarsa, kita hidup dalam tradisi saling menghormati. Mengapakah
kita lalu harus meninggalkan sikap tersebut, padahal tidak ada keharusan untuk
melakukannya? Bukankah sikap apriori, yang dalam hal ini tidak mau mengakui
kehadiran agama-agama lain dalam kehidupan bernegara kita, adalah buah dari
‘kesombongan’? Mengapakah kita harus menerima ‘pandangan kaku’ seperti itu,
yang dimulai oleh segelintir orang yang ‘menggunakan’ MUI secara tidak wajar?
Bukankah itu adalah sikap tergesa-gesa dari mereka yang menggangap diri sendiri
sebagai pihak paling berhak menafsirkan ‘kebenaran’ ajaran Islam?
Sebuah sikap untuk ‘mencuri-curi’ ajaran Islam dari lingkupnya yang sehat,
menunjukkan sikap arogan yang harus ditentang habis. Tindakan
‘sembunyi-sembunyi’ itu dilakukan untuk mempertahankan sebuah versi kebenaran,
karena belum tentu dimaui oleh mayoritas bangsa. Siapapun orangnya dan darimana
pun asalnya, tidak lagi menjadi penting bagi kitas semua.Penulis sendiri yakin,
jika hal itu dibuat dalam sebuah referendum, mayoritas kaum muslimin akan
menolaknya. Di sinilah kita memerlukan demokrasi dalam artian sebenarnya, dalam
kehidupan kelompok besar seperti bangsa kita.
Pernyataan Din Syamsuddin dalam siaran radio niaga Elshinta, minggu
lalu, bahwa ia akan mencoba melerai/menjembatani perbedaan antara yang
menyetujui dan menolak ‘fatwa’ MUI itu, adalah sesuatu yang sebenarnya tidak
diperlukan. Sebab arogansi yang sudah diperlihatkan MUI telah menyadarkan kita,
agar tidak mudah ‘tertipu’ terhadap sikap yang seolah-olah mewakili umat Islam.
Sebenarnya, dari peristiwa-peristiwa itu hanya ingin menunjukkan bahwa
telah terjadi sebuah proses lain yang tidak kalah penting, yaitu proses
melestarikan dan membuang, yang sering terjadi dalam sejarah umat manusia,
bukan?
Ciganjur, 7 Agustus 2005