Pemikir Islam Inklusif

Djohan Effendi
 
Pada era pemerintahan Gus Dur, ia sempat menjabat Menteri Sektretariat Negara menggantikan Bondan Gunawan. Ia mampu menyejukkan lingkungan istana. Di kalangan peminat pemikiran Islam, namanya tidak asing. Ia sudah malang-melintang sebagai pemikir Islam inklusif yang sangat liberal. Dalam memahami agama, Djohan sampai pada kesimpulan: "pada setiap agama terdapat kebenaran yang bisa diambil." Karena itu, ia sangat prihatin pada segala bentuk pertetangan yang mengatasnamakan agama.
Kecendikiaan Djohan diakui Greg Barton. Dalam disertasinya di Universitas Monash, Australia, Barton mensejajarkan Djohan dengan Nurcholish Madjid, Abdurrahman Wahid, dan Ahmad Wahib sebagai sesama pemikir neomodernis Islam.
Sosoknya memang terbuka, dan itu sudah berakar pada dirinya sejak kecil. Pria kelahiran Kandangan Kalimantan Selatan itu gemar mempelajari berbagai hal. Selain mengaji Al-Quran, Djohan kecil juga keranjingan membaca biografi tokoh dunia. Ketekunan menyimak buku itu diwariskan ibunya yang, sekalipun pedagang kecil, getol membaca.

Setelah menamatkan pendikan dasarnya, atas biaya ikatan dinas pemerintah, Djohan melanjutkan ke Pendidikan Guru Agama (PGA) di Banjarmasin. Setelah itu, Djohan melanjutkan studi ke Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta. Di sana, Djohan mulai mendalami polemik filosofis antara Al-Ghazali dan Ibnu Rusyd. Ia merenungkan sejumlah konsep keimanan yang sangat abstrak, seperti keabadian alam, takdir, kebebasan manusia, kekuasaan Tuhan. "Itu nyaris menggoyahkan keimanan saya," katanya mengenang.

Ketika penggembaraan intelektualitas menemui kebimbangan, Djohan berkenalan dengan buku-buku Ahmadiyah karya Muhammad Ali. Ia lalu bertemu dengan Muhammad Irsjad dan Ahmad Djojosugito dua tokoh Ahmadiyah Lahore. Djohan tertarik pada cara interpretasi Ahmadiyah yang sangat rasional, sekaligus spiritualistik. Kegandrungan mempelajari Ahmadiyah tersebut membuat Djohan dituduh sebagai pengikut kelompok keagamaan asal India itu. Tapi, Djohan sendiri membantahnya.

Setamat dari PHIN, Djohan sempat menjadi "birokrat lokal". Selama dua tahun, ia bekerja sebagai pegawai Departemen Agama di Amuntai, Kalimantan Selatan. Kesempatan untuk menimba ilmu kembali terbuka ketika Djohan mendapat tugas belajar ke Fakultas Syariah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kesempatan itu digunakannya untuk mendalami kajian tafsir. Di kota gudeg itu, Djohan lebih keranjingan membaca buku di perpustakaan, ketimbang mengikuti kuliah dosen.

Semasa mahasiswa, Djohan pun banyak terlibat dalam organisasi kemahasiswaan, antara lain di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Semula, Djohan sebenarnya kurang tertarik pada HMI. Pasalnya, ketika itu HMI pro-Masyumi. Jelas, ini berseberangan dengan semangat Djohan yang pluralis. Namun, ketika Partai Komunis Indonesia (PKI) mengintimidasi HMI, perasaan Djohan sempat tersentuh. Ia pun mendaftar sebagai anggota HMI Cabang Yogyakarta. Pemikirannya yang progresif, menempatkan Djohan--beserta Ahmad Wahib dan Dawam Rahardjo--dalam faksi tersendiri di tubuh HMI. Mereka bertiga dituduh partisan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Akhirnya, pada tahun 1969, Djohan secara resmi mengundurkan diri dari HMI.

Lulus IAIN, dua tahun kemudian, Djohan ditempatkan di Sekretariat Jenderal Departemen Agama. Tak lama disana, lalu diangkat menjadi staf pribadi Menteri Agama Mukti Ali. Lima tahun menjadi staf menteri, Djohan sempat dikaryakan ke Sekretaris Negara. Kehadirannya di Setneg, khusus untuk membantu menyusun pidato-pidato mantan Presiden Soeharto. "Kesepakatannya, saya jangan dipaksa menulis hal-hal yang tidak saya setujui," katanya mengenai pengalamannya.

Pada 1993, ia meraih gelar ahli peneliti utama Departemen Agama, setingkat dengan profesor atau guru besar di perguruan tinggi. Dalam pidato sambutan penganugerahan gelarnya, pemikiran moderat Djohan lagi-lagi mengemuka. Djohan menyinggung-nyinggung keberadaan kelompok penganut minoritas yang sering mendapat perlakukan tidak adil, seperti Konghucu dan Bahai. "Saya sempat disuruh menghapus bagian pidato itu. Tapi saya tidak mau," tandasnya.

Semasa Tarmidzi Taher menjadi Menteri Agama (1993-1998), posisi Djohan di Depag sempat menjadi tidak jelas. Karier Djohan sebagai penulis pidato Presiden pun tamat ketika ia "nekat" mendampingi K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) berkunjung ke Israel, 1994. Kunjungan itu ditentang keras oleh sejumlah kelompok Islam. Bahkan, Moerdiono, Sekretaris Negara saat itu, juga ikut menyesalkannya.
Gerah di tanah air, sejak 1995, Djohan "menggembara" ke Australia. Ia mengambil program doktor di Universitas Deakin, Geelong, Victoria. Disertasinya masih digarap sampai sekarang. Judulnya "Progresif Tradisional: Studi Pemikiran Kalangan Muda NU, Kiai Muda NU, dan Wanita NU".

Dari segi pemikiran, Djohan memang memiliki kedekatan dengan "Gus Dur". Keduanya "bermazhab" kulturalis dan sama-sama penganjur inkusifisme beragama. Kedekatan ini dipertegas dengan keanggotaan Djohan di Forum Demokrasi, di mana Gus Dur sempat lama menjadi ketuanya.

"Kecelakaan sejarah" tanah air dua tahun lalu, menarik Djohan untuk balik ke Jakarta. Atas permintaan Menteri Agama saat itu, Malik Fadjar, sejak 20 Oktober 1998, Djohan diangkat sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Kabalitbang) Departemen Agama. Selama menjadi Kabalitbang, Djohan tinggal di kantornya, Jalan Thamrin, Jakarta Pusat. Namun, karena Djohan juga masih mahasiswa, setiap tiga bulan sekali, ia harus terbang ke Australia. Selain untuk keperluan studi, bagi Djohan, Australia sekaligus menjadi tempat melepas kangen. Maklum saja, sang Istri, tiga anak, dan seorang cucu tercinta masih tinggal di sana.

Entah kebetulan atau bukan, sehari menjelang pengunduran diri Bondan Gunawan, Djohan pun pensiun dari jabatannya di Depag. Mudah-mudahan saja, hal itu bisa membuat Djohan lebih berkonsentrasi. Sebab, meski konsistensinya sebagai penganjur toleransi telah teruji, kemampuannya sebagai menteri "administrasi" tentu masih perlu diuji.

*** TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia), Jajang Jamaludin/Oman Sukmana, Tempointeraktif


Nama :
Djohan Effendi:
Lahir :
Kandangan, Kalimantan Selatan, 1 Oktober 1939
Agama :
Islam
Pendidikan :
- Sekolah Dasar
- Pendidikan Guru Agama Banjarmasin (1958)
- Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) Yogyakarta (1960).
- IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (1970).
Pekerjaan :
- Pegawai Departemen Agama Amuntai, Kalimantan Selatan (1960-1962)
- Staf Sekretaris Jenderal Departemen Agama Jakarta. (1972-1973)
- Staf Pribadi Menteri Agama (1973-1978)
- Peneliti Utama Depag (sejak 1993)
- Staf Khusus Sekretaris Negara/Penulis Pidato Presiden (1978-1995)
- Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Agama (1998-2000)
- Menteri Sekretariat Negara 2000-2001
Aktivitas Organisasi:
Mantan Aggota Himpunana Mahasiswa Islam (HMI), hingga 1969
- Mantan anggota Ikatan Kerja Bakti Sarjana Merana (Kertisrana)
- Anggota Forum Demokrasi (Fordem)

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design