Carut Marut Wajah Islam
Oleh Burhanuddin
15/07/2001
Hubungan Islam dan politik dipandang bukan saja bersifat
organis atau tidak bisa dipisahkan, tapi juga secara struktural diikat oleh
sistem religius Islam yang formal. Menguatnya revivalisme agama dalam kancah
politik menepis sinyalemen Samuel Hungtington tentang political decay –-bahwa
pembangunan politik itu biasanya ditandai dengan proses rasionalisasi
kekuasaan.
Salah satu pangkal pembicaraan yang tak pernah habis
dibahas adalah relasi agama dan ruang publik. Tarik menarik antara keduanya
menghasilkan ketegangan dinamik yang tidak jarang melahirkan benturan. Bagi
penganut aliran mekanik-holistik, agama, lebih khusus Islam, dianggap bukan
saja sebagai gugusan dogma-dogma agama yang bersifat kaku saja, tapi juga
dipahami sebagai sistem politik, pandangan hidup dan penafsiran sejarah. Islam
juga dipahami mempunyai watak omnipresent (hadir di mana-mana).
Islam hadir (dihadirkan?) di ruang publik yang seharusnya
netral dan hampa dari kepentingan kelompok manapun. Bagi penganut militan
premis ini bisa jadi mendorongnya untuk memaksakan lewat jalan kekerasan.
Ketika agama ditampilkan melalui cara yang menghalalkan kekerasan, maka
tersibaklah wajah Tuhan yang menyeringai seram, penuh dendam. Sontak A.N Wilson
tertawa melihat orang yang tak mau menggubris tesisnya bahwa agama lebih kejam
daripada candu. Atas nama Tuhan, FPI membakar, merusak, bahkan menjarah
kafe-kafe. Atas nama Tuhan, kedua belah pihak yang bertikai di Ambon saling
menghunuskan pedang, mencari celah dari lemahnya keadaan darurat sipil, untuk
menikam lawan.
Tapi, di atas segalanya, relasi agama dan ruang publik,
dalam diskursus modern hingga detik, ini belum juga tuntas. Lebih-lebih Islam
yang oleh penganutnya dilihat memiliki pesona sebagai agama yang syamil, kamil
dan mutakamil. Ilmuwan sekelas Robert N. Bellah dengan civil religion, dan Jose
Casanova dengan public religion pun coba menengahi pandangan “ekstrem” bahwa
agama berkutat pada wilayah private, sementara ruang publik harus secularized.
Maka, hubungan Islam dan politik dipandang bukan saja
bersifat organis atau tidak bisa dipisahkan, tapi juga secara struktural diikat
oleh sistem religius Islam yang formal. Menguatnya revivalisme agama dalam
kancah politik menepis sinyalemen Samuel Hungtington tentang political decay
–-bahwa pembangunan politik itu biasanya ditandai dengan proses rasionalisasi
kekuasaan.
Galibnya, idiom-idiom naqliyah seperti amar ma’ruf nahi
munkar, maslahatur raiyyah, akhaffu ad-dhararain dan tashorruful imam manuuthun
bil maslahah (segala kebijakan pemerintah harus mengacu kepada kemaslahatan
umat) dipasang sebagai tameng teologis. Pencampuradukan agama yang sakral,
absolut dan hitam-putih dengan masalah politik yang rasional, relatif dan
profan pun tak terhindarkan. Persoalan politik yang sebenarnya “tidak serius”,
biasa saja dan merupakan bagian the art of possible dan the art of compromisses
akhirnya dinilai bertuah dan malati. Maka, bergembiralah para politisi yang
mengantongi dua sumberdaya kekuasaan sekaligus: wewenang formal dan sakral.
Mereka akan menggunakan dua “senjatanya” itu untuk menerapkan trik-trik dan
manuver politik guna memuluskan ambisi pribadinya. Bukankah trik-trik politik
itu kini telah dibalut dengan sakralitas dan dilihat oleh rakyatnya sebagai
titisan wahyu? Wallahu a’lam!.