Oleh:
Ulil Abshar-Abdalla
MENINGGALNYA
Edward Said pada 25 September 2003 yang lalu jelas kehilangan besar bagi dunia
intelektual, bagi kalangan aktivis yang memperjuangkan tegaknya keadilan di
muka bumi, tetapi terlebih lagi bagi bangsa Palestina yang hari-hari ini sedang
menempuh fase tersulit dalam sejarah perjuangannya. Rest in Peace! Kematian
Said sudah bisa ditebak jauh-jauh hari karena ia menderita penyakit yang
kemungkinan sembuhnya sangat kecil: leukemia atau kanker darah. Ironis memang,
bahwa ia menderita penyakit yang incurability-nya hampir sama dengan masalah
yang dihadapinya sepanjang lebih dari dua dekade dalam perjalanan panjang
kariernya sebagai seorang intelektual: yaitu masalah Palestina. Dengan
berkuasanya rezim Ariel Sharon sekarang ini di Israel, yang merupakan ekuivalen
dari orang-orang "neo-kon" di Washington, masalah Palestina makin
susah diurai, makin tampak incurable, tak tersembuhkan. Usulan "Road
Map" oleh Presiden Bush yunior sudah mulai tampak kegagalannya sekarang.
Leukemia dan Palestina: sama-sama susah disembuhkan!
Saya
mengenal Said pertama kali waktu di pesantren, melalui seorang "makelar
budaya" yang tak lain dan tak bukan adalah Goenawan Mohamad. Saya sebut
dia sebagai "makelar budaya" karena dia sering kali mendapatkan buku
lebih awal dari orang-orang lain di Indonesia (tepatnya: di Jakarta), untuk
kemudian mengisahkan dan mengulasnya kembali untuk publik Indonesia. Saya
menemukan nama Said dalam kolom pendek "Catatan Pinggir"
("Caping") di majalah mingguan Tempo. "Caping" itu ditulis
GM, demikian kami dan sahabat-sahabatnya sering memanggilnya, beberapa bulan
setelah terbitnya buku Said yang berjudul Orientalism pada tahun 1978. Saya
membaca "Caping" itu tentu tidak persis pada saat terbitnya majalah
Tempo yang memuat tulisan tentang Said tersebut. Saya membacanya kira-kira
delapan tahun setelah itu, persisnya pada tahun 1986. Saya menemukan majalah
Tempo yang berisi "Caping" tentang Said itu di sebuah toko loak di
kota kecil saya, di Bulumanis, kira-kira 20 kilometer sebelah utara Kota Pati.
Kertasnya sudah menguning, dan kolom GM di majalah itu tampak antik.
Ketika
itu, "Caping" terlalu ruwet dan sulit bagi seorang santri sederhana
seperti saya. Tetapi tulisan GM tentang Said yang tak saya pahami sepenuhnya
itu membekas dalam benak saya hingga kini. GM adalah seorang pengulas buku yang
cemerlang dan sangat baik: intisari buku bisa dia ekstraksikan, dan kemudian ia
komentari sendiri secara bebas, dan kadang-kadang seenaknya, kadang-kadang ia
tambahkan bahan-bahan dari dia sendiri. Dalam "Caping" itu, GM bicara
mengenai gagasan Said tentang bagaimana dunia Timur, dalam hal ini Arab dan
Islam, diringkus dalam konstruksi yang statis oleh tradisi Orientalisme yang
berkembang di Barat. Dalam Orientalisme, beroperasi suatu pengandaian bahwa
seolah-olah telaah sarjana Barat atas dunia Timur itu adalah telaah yang lugu,
obyektif, ilmiah, tanpa ada asumsi nonilmiah yang bekerja di dalamnya. Said,
lewat cerita GM, menunjukkan hal yang sebaliknya: dalam Orientalisme,
beroperasi suatu kepentingan yang terselubung, yaitu penguasaan dan penaklukan
oleh Barat atas dunia Timur. Belakangan, setelah membaca buku itu langsung,
saya baru tahu bahwa Said membedakan antara "ilmu murni" dan
"ilmu politis". Pengetahuan tentang dua sastrawan besar Inggris
klasik, Shakespeare dan Wordsworth, bukanlah pengetahuan yang
"politis", maksudnya pengetahuan yang mempunyai "pamrih"
untuk menguasai dan mendominasi, dan karena itu, kurang lebih, bisa disebut
sebagai "ilmu murni". Sementara pengetahuan tentang Cina dan Rusia
kontemporer adalah "ilmu politis".
Tentu,
sebagai santri di tahun 1986, ulasan GM yang indah dalam "Caping" itu
tidak sepenuhnya bisa saya serap. Saya bisa membahasakan itu kembali di sini
karena sudah membaca sendiri buku Said, beberapa tahun setelah
"Caping" itu ditulis. Buku Orientalism saya baca pertama kali dalam
edisi terjemahan yang diterbitkan oleh Penerbit Salaman, Bandung, kira-kira
pada tahun 1992. Saya membaca buku itu dalam edisi aslinya yang berbahasa
Inggris pada tahun 1998. Perkenalan saya dengan Said memang berliku, panjang,
tetapi pada analisis terakhir, Said adalah seorang penulis hebat, juga
"petarung intelektual" yang keras kepala. Perkenalan saya dengan Said
berlanjut terus, karena saya mengoleksi hampir semua buku yang ditulisnya,
termasuk buku memoar yang terbit pada 1999, Out of Place.
Gagasan-gagasan
Said, terutama yang tertuang dalam dua buku penting, Orientalism dan Culture
and Imperialism, menimbulkan badai perdebatan yang sengit di kalangan para
pemikir dan sarjana. Pada tahun 1995, 17 tahun setelah terbitnya buku
Orientalism, dalam edisi murah buku itu oleh Penerbit Penguin, Said mengakui
dengan jujur bahwa buku tersebut ditulis sebagai cerminan dari-dalam kata-kata
dia sendiri-"extremely concrete history of personal loss and national
disintegration". Tidak heran, dalam latar belakang "sejarah
pribadi" seperti ini, fokus studi Said dalam bukunya itu adalah pada
karya-karya orientalis Inggris, Perancis, dan Amerika, tiga negara besar yang
menimbulkan masalah bukan saja bagi Palestina, tetapi juga bagi dunia Islam.
Said kurang memberikan perhatian yang cukup bagi para orientalis Jerman dan
Rusia, apalagi orientalis Jepang yang datang belakangan (seperti Toshihiko
Izutsu dan Sachiko Murata).
Pokok
perdebatan itu dipicu oleh tesis utama Said dalam Orientalism bahwa telaah kaum
orientalis Barat atas dunia Arab dan Islam sebetulnya bukanlah pekerjaan yang
sepi ing pamrih, dan karena itu bisa dimasukkan dalam "ilmu politis",
bukan ilmu murni. Orientalisme adalah ilmu dengan kepentingan untuk
"menguasai" bangsa-bangsa di luar Barat. Pena para orientalis
seolah-olah sama kedudukannya dengan para serdadu, pedagang, dan pegawai
pemerintah kolonial-mereka datang untuk menyerbu dan menjarah bangsa lain.
Tetapi, seperti kita tahu, telaah Said sendiri dalam buku itu juga bukan
"telaah murni", sebab ada motif-motif yang berasal dari pengalaman
hidup pribadinya sebagai eksil Palestina di negeri Barat, seperti ditunjukkan dalam
pengakuannya tersebut.
Telaah
Said, seperti dikritik oleh Bernard Lewis, juga mengandung biasnya sendiri;
bahkan mengandung obsesi yang berlebihan. Itulah sebabnya, Said agak abai untuk
melihat karya-karya orientalis Jerman, Rusia, dan Austria, dan hanya mencecar
karya-karya orientalis di Inggris, Perancis, dan Amerika. Lewis mengkritik,
bahwa penggunaan istilah "Orientalisme" oleh Said itu sendiri telah
"salah jalur" karena dilepaskan dari sejarah pertumbuhan disiplin
yang disebut Orientalisme itu. Setelah kritik Said itu, istilah Orientalisme
menjadi semacam olok-olok; ia identik dengan kegiatan intelektual yang membantu
kaum kolonialis Barat untuk menjajah tanah-tanah di dunia Timur. Orientalisme
telah menjadi, dalam kata Lewis, "the perversion of language",
kelainan bahasa (kelainan dalam pengertian yang kita pahami dalam kata
"kelainan seksual"). Dalam penggunaan populer di kalangan umat Islam,
jika seseorang disebut sebagai "orientalis", habislah riwayat
intelektualnya.
Salah
satu debat yang muncul setelah terbitnya karya Said itu adalah: apakah mungkin
seseorang "mengetahui" dan menelaah kebudayaan lain? Jika usaha untuk
menelaah budaya lain bisa terjerembap ke dalam bahaya "kolonialisme
intelektual", dan bahwa pengetahuan tentang suatu budaya hanya bisa
dicapai dengan baik oleh orang-orang dari dalam lingkungan kebudayaan itu
sendiri, seperti dikemukakan oleh sejarawan Palestina, AL Tibawi, maka bukankah
ini suatu tahap pelan-pelan menuju ke arah "solipsisme budaya"? Jika
telaah tentang dunia Islam hanya bisa dilakukan dengan baik dan tepat oleh
orang-orang Islam sendiri, dan telaah orang lain mengenai dunia itu akan selalu
rentan menjadi "penjajahan", ini jelas membuat dialog antarbudaya
menjadi mustahil.
Titik
krusial lain dalam karya Said adalah bahwa pembelaannya atas dunia Islam dan
Arab melawan "kolonialisme intelektual" Barat bisa menjadi senjata di
tangan kaum fundamentalis Islam yang juga mempunyai tendensi yang fanatik ke
arah solipsisme budaya. Ketika membaca ulang karya Said itu, saya mulai
berpikir ulang: apa bedanya Said dengan para pengkritik orientalis di dunia
Arab saat ini, seperti Dr Muhammad Al Bahy. Umumnya para pengkritik
Orientalisme di dunia Arab mempunyai kecenderungan pemikiran keagamaan yang
konservatif. Para pengkritik itu juga mudah menuduh para pemikir liberal di
dunia Islam sebagai antek Orientalisme.
Tetapi,
yang mengharukan, adalah kegigihan Said untuk memperjuangkan hak-hak rakyat
Palestina. Dia menulis hampir tanpa henti di media Barat dan Arab mengenai
perampasan hak-hak rakyat Palestina oleh Israel. Sekurang-kurangnya dua buku
penting telah ia tulis mengenai pokok soal ini, The Question of Palestine dan
The Politics of Dispossession, di samping puluhan kolom dan artikel di koran
dan majalah. Pandangannya tentang masalah Palestina kerap kali tidak cocok
dengan para pemimpin Palestina sendiri, termasuk Yasser Arafat. Ketika
Perjanjian Oslo ditandatangani pada tahun 1993, Said putus hubungan dengan
Arafat dan mengkritik pemimpin PLO ini dengan tajam. Perjanjian itu dianggapnya
telah mengingkari hak para pengungsi Palestina untuk kembali. Memoarnya, Out of
Place, adalah catatan tragis dari perjalanan hidupnya sebagai seorang yang
"terlunta-lunta" dari tanah airnya sendiri. Tetapi, agak aneh bahwa
pembelaan-pembelaan Said atas masalah Palestina ini jarang sekali dikutip oleh
para aktivis Islam yang selama ini sering bicara dan melakukan demonstrasi
untuk masalah Palestina. Ini berlaku baik di Indonesia, Malaysia, dan
negeri-negeri Arab. Setelah tahun 80-an hingga sekarang, masalah Palestina
pelan-pelan mengalami "Islamisasi", seolah-olah itu merupakan masalah
hanya bagi orang Islam. Meskipun ini tidak benar, tetapi begitulah persepsi
yang populer di dunia Islam sekarang. Edward Said memang bukan seorang Muslim.
Dia seorang Kristen dengan pandangan yang jelas sekuler. Mungkin karena itu,
Said kurang banyak disebut dalam retorika dan tulisan kaum aktivis Muslim. Di
Arab sendiri, Said kurang disukai karena pandangannya yang sekuler itu.
Tetapi,
di luar dunia Islam, Said merupakan "raksasa" yang menjulang tinggi,
tentu dengan badai kontroversi yang mengepungnya dari segala arah. Said tidak
ambruk dalam percaturan intelektual, dia ambruk karena leukemia yang
menggerogoti tubuhnya selama bertahun-tahun.
Rest in
Peace!
Ulil
Abshar-Abdalla Koordinator Jaringan Islam
Liberal (JIL) dan Direktur Freedom Institute, Jakarta.
Kompas, Minggu, 05 Oktober 2003