Islam dan Demokrasi; Sebuah Problem Legitimasi

Tuesday, August 09 2005
*Oleh: Nasir Dimyati*

Namun, terkadang sistem ini belum juga memuaskan hasrat politikus Barat. Ketika sistem yang murni bebas ini memungkinkan masuknya faham keagaman dalam sistem pemerintahan, mereka memunculkan sistem demokrasi laiss, artinya demokrasi minus campur tangan agama dalam pemerintahan. Konsep ini lahir dari sekularisme demi membenarkan empirialisme modern, dan mematahkan tangan agama ketika faham agama tersebut didukung oleh mayoritas rakyat. Fenomena tragis ini sempat terjadi di Aljazair ketika mereka harus dibantai dengan tuduhan anti demokrasi. Mereka dituduh “berdosa” ketika mayoritas rakyat memilih partai dan pemerintahan Islam. Hal yang sama terjadi di Turki dan di belahan dunia lainnya.
Sejarah modern menceritakan bahwa segera setelah lumpuhnya pemerintahan teokrasi Kristiani dalam menjawab tantangan perkembangan peradaban manusia, terjadi perubahan paradigma besar pada hampir semua lapisan masyarakat. Para rohaniwan menyimpulkan bahwa otoritas agama harus dibatasi hanya pada perkara individual seseorang. Adapun para pemikir Barat, mayoritas mereka memikulkan semua dosa, penindasan, dan kezaliman yang dilakukan orang-orang bertopeng agama pada agama itu sendiri. Bagi mereka, agamalah yang menjadi penyebab semua kebusukan itu, bukan karena adanya penyelewengan dari para pelakunya. Setelah itu, kemudian mereka dihadapkan pada dua jalan dalam menjawab pertanyaan tentang kepada siapakah mereka hendak menyerahkan pemerintahan; despotik atau demokratik.

Melihat realitas bahwa mayoritas pemerintahan dalam sejarah adalah despotik maka sebagian penulis seperti Machiavelli (1469-1527 M), Thomas Hobes (1588-1679 M) dan Friedrich Nietzsche (1844-1900 M) menerimanya sebagai pemerintahan ideal. Hobes malah menguatkan teorinya tersebut dengan berasumsi bahwa secara natural manusia adalah serigala sehingga harus ada kekuatan di atas mereka yang mengatur kehidupan sosial supaya tidak terjadi kebrutalan.

Tentu saja pembuktian dialektis semacam ini akan mengalami banyak ketimpangan dan absurditas. Tidak ada logika yang bisa membuktikan keharusan menciptakan pemerintahan yang lebih ganas, lebih serigala, bahkan lebih bahaya dan brutal dari lainnya. Akhirnya, mereka harus tunduk di hadapan teori demokrasi.

Demokrasi liberal muncul ke permukaan dengan slogan-slogan kebebasan, kesejajaran, dan persaudaraan. Sayangnya, realitas menyiratkan sebaliknya, sehingga lahirlah Sosialisme Marx (1818-1883 M) yang kemudian disempurnakan dengan Komunisme-nya Lenin (1870-1924 M) sebagai reaksi atas kekalahan para pesaing, nepotisme dan eksploitasi. Pada saat yang sama, di Italia dan Jerman lahir Fascisme akibat globalisasi eksploitatif kaum borjuis Eropa.

Kekalahan Fascisme mengantarkan lajunya perkembangan komunisme. Pesatnya perkembangan komunisme, ditambah rasa putus asa masyarakat dari kondisi sosial yang ada, membuat para kapitalis bercadar demokrasi liberal cenderung membela fascisme demi mengamankan harta dan tahta mereka. Ketika komunisme runtuh, mereka mulai kembali menjunjung demokrasi yang menguntungkan dan sempat mereka korbankan.

Sekarang, demokrasi telah menjadi sistem paling dominan di dunia, sampai-sampai secara praktis, negara-negara sosialis-komunis pun tidak bisa meremehkan dan menandinginya karena menurut mereka tidak ada jalan keluar lagi kecuali demokrasi. Kekalahan ini merupakan alasan tepat bagi mereka untuk membesar-besarkan orang seperti Francis *censored*uyama yang beranggapan demokrasi liberal adalah nasib pasti bagi semua masyarakat.

Sejak dulu, fenomena demokrasi ini sangatlah mengundang sikap para cendekiawan muslim.  Cendikiawan besar muslim seperti Abu Nasr Al-Farabi dan Ibnu Rusyd sedikit banyak telah mengomentarinya. Sikap cendekiawan muslim kontemporer pun beragam. Ada yang mengingkari demokrasi dengan keyakinan paradoksi antara Islam dan demokrasi. Ada lagi yang menerima paradoksi tersebut namun dia meyakini kesempurnaan demokrasi sehingga dia rela mengorbankan Islam di bawah kaki demokrasi. Ada juga yang berpendapat, dengan alasan ingin mengangkat persamaan pemerintahan Islam dan pemerintahan Kristen di abad-abad pertengahan, maka dia pun tunduk pada “Demokratisasi Islam”.

Ada juga sikap yang tidak menimbang Islam dengan sistem lain, tapi malah sebaliknya. Sistem lain lah yang harus ditimbang oleh Islam. Dalam kasus demokrasi ini, dia akhirnya berpendapat bahwa seluruh keistimewaan dan tujuan mulia demokrasi bisa diraih dengan sempurna di dalam Islam.

Semua itu akan menjadi bahan analisis kita. Akan tetapi, tentu saja tidak logis apabila kita mengambil sikap sebelum memahami arti dan definisi demokrasi yang telah mengalami banyak perubahan di dalam sejarah. Marilah kita mencermatinya.

Definisi Demokrasi
Asal kata demokrasi adalah “demos”, sebuah kosa kata Yunani berarti masyarakat, dan “cratio” atau “crato” yang dalam bahasa Yunani berarti pemerintahan. Istilah demokrasi, sebagaimana halnya istilah sosial-politik lainnya, tidak memiliki definisi yang pasti. Sebagian besar definisi “demokrasi” berhubungan dengan prinsip pemikirannya.

Pertama kali, istilah ini digunakan sekitar lima abad sebelum Masehi. Sampai masa renaissance, istilah ini digunakan untuk suatu sistem demokrasi langsung, yakni masyarakat secara langsung menempati posisi pemerintahan. Mereka berperan dalam seluruh aktivitas politik, legislatif, ekskutif, yudikatif dsb. Sejak dulu, sistem pemerintahan semacam ini ditentang oleh filsuf-filsuf besar. Plato menyifatinya sebagai “pemerintahan orang-orang bodoh”. Aristoteles menamakannya “pemerintahan orang-orang miskin tak berkeutamaan”. Abu Nasr Al-Farabi dan Ibn Rusyd menyebutnya sebagai “kebusukan dalam pemerintahan utama (madinah fadhilah)”.

Salah satu keberatan lain yang cukup kasat mata adalah bahwa sistem ini sama sekali tidak praktis apabila jumlah masyarakat telah membesar. Oleh karena itu, Jean Jacques Rousseau beserta filsuf politik lain menyempurnakannya dengan teori demokrasi perwakilan, sistem pemilihan para wakil rakyat sebagai pemerintah. Sistem perwakilan ini telah menjadi norma berharga dan prinsip yang diterima di dunia sehingga memaksa banyak cendekiawan muslim menciptakan teori demokratisasi Islam.

Namun, terkadang sistem ini belum juga memuaskan hasrat politikus Barat. Ketika sistem yang murni bebas ini memungkinkan masuknya faham keagaman dalam sistem pemerintahan, mereka memunculkan sistem demokrasi laiss, artinya demokrasi minus campur tangan agama dalam pemerintahan. Konsep ini lahir dari sekularisme demi membenarkan empirialisme modern, dan mematahkan tangan agama ketika faham agama tersebut didukung oleh mayoritas rakyat. Fenomena tragis ini sempat terjadi di Aljazair ketika mereka harus dibantai dengan tuduhan anti demokrasi. Mereka dituduh “berdosa” ketika mayoritas rakyat memilih partai dan pemerintahan Islam. Hal yang sama terjadi di Turki dan di belahan dunia lainnya.

Setelah menyaksikan keberhasilan demokrasi dalam politik, para penulis liberalis kemudian memperkenalkan definisi baru serta mengembangkannya lebih luas. Definisi demokrasi kali ini mencakup administrasi secara umum. Kelak mungkin akan ada pengembangan lebih lanjut. Tetapi, pada hakekatnya demokrasi adalah istilah filsafat politik, bukan administrasi, sosial, dan sebagainya. Inilah yang menjadi fokus pembahasan tulisan ini.

Prinsip demokrasi terdiri dari relativisme, legitimasi kontrak sosial, kesejajaran, dan kebebasan. Secara praktis, demokrasi tampil dengan beragam institusi yang berbeda dari satu tempat ke tempat lain, seperti hak suara, hak perwakilan, badan perundang-undangan, badan penerapan, dan pemilihan umum presiden secara langsung. Di beberapa tempat, demokrasi praktis menekankan kemandirian yudikatif dan partisipasi sosial politik masyarakat.

Islam sebagai agama sempurna memiliki sikap jelas terhadap masing-masing dari prinsip atau institusi demokrasi tersebut. Bagi Islam, secara umum demokrasi adalah konsepsi ambigu yang bisa berarti positif dan negatif. Kenegatifannya telah jelas terbukti ketika konsep tersebut pernah mengabdi pada imperialisme Barat dan sedang dipaksakan pada dunia ketiga. Berikut ini cobalah kita cermati lebih baik prinsip dan institusi demokrasi dalam perspektif Islam.

Islam dan Legitimasi Pemerintahan
Urgensitas legitimasi pemerintahan bukanlah satu hal yang samar lagi bagi setiap orang. Oleh karena itu, ada baiknya apabila kita soroti lebih cermat prinsip paling penting dari setiap sistem politik ini. Sebelum memasuki inti pembahasan, terlebih dahulu kita tekankan bahwa arti legitimasi politik bukanlah kesesuaian dengan aturan keagamaan (syari’at), kendatipun terkadang bagi orang beragama, keduanya terkait sangat erat. Lebih jauh lagi, legitimasi politik bukanlah kesesuaian dengan undang-undang (konstitusi) karena permasalahan ini justru mempertanyakan legitimasi segala macam sistem konstitusi.

Pembahasan kita jelas bukanlah pada perdebatan seputar arti legitimasi, dan penjelasan di atas bertujuan menghalau sofistikasi kata dalam pembahasan. Sejak dahulu kala, sejarah mencatat bahwa pokok pembahasan ini berusaha menjawab pertanyaan mengenai dua hal; hak memerintah dan kewajiban menaati pemerintah. Mengapa seseorang harus menaati pemerintah dan mengapa sebuah pemerintahan berhak memerintah?

Secara moral, hubungan antara hak memerintah dan keharusan politik mentaati pemerintah bukanlah simetrik (sama antara kedua belah sisi). Konsekuensi hak pemerintah dalam memerintah adalah keharusan moral bagi rakyat untuk mentaatinya, tetapi tidak sebaliknya. Keharusan moril menaati pemerintah tidaklah berarti bahwa pemerintah memiliki hak untuk memerintah. Boleh jadi ada keharusan moril mentaati pemerintahan. Tapi, keharusan itu muncul bukan karena pemerintahan memiliki legitimasi, melainkan untuk menjaga nyawa dari bahaya dari pemerintahan zalim yang sebenarnya tidak berhak memerintah. Ketaatan ini tidak muncul dari hak pemerintahan tersebut.

Kenyataan ini bisa digunakan untuk mengkritisi pendapat Max Weber yang membagi legitimasi pada tradisional, rasional-legal dan karismatik. Kalau pendapat ini ditinjau dari kaca mata filsafat politik, pendapat ini tidak benar, karena dia beranggapan legitimasi adalah akseptabilitas rakyat. Padahal, legitimasi bukanlah akseptabilitas sebagaimana terbukti di atas. Pendapat ini bisa benar apabila perspektif Weber adalah deskriptif dalam tinjauan sosiologis, padahal perspektif politik terhadap legitimasi adalah normatif.

Berangkat dari teori yang telah ada, secara umum teori legitimasi terbagi pada teori voluntaries (sukarela) dengan tiga bagiannya yaitu, social contract theory, consent theory dan general will theory. Teori kedua adalah non voluntaries dengan dua bagiannya, justice theory dan general happiness theory.

Cikal bakal teori kontrak sosial bisa ditemukan pada sebagian risalah Plato. Teori ini kemudian dikembangkan secara lebih sistematis oleh Hobes setelah renaissance. Plato berpendapat bahwa karakteristik manusia adalah mencari keuntungan. Hambatan utama manusia untuk mencapai hasratnya itu adalah masalah keamanan. Di sisi lain, tidak ada jaminan keamanan tanpa kehidupan sosial. Untuk itu, mereka kemudian mengadakan kontrak sosial demi mencapai keamanan dan kehidupan rasional.

Konsekuensi logis dari kontrak sosial adalah tiga hal. Pertama, adanya minimal dua pihak kontrak. Kedua, hendaknya berlandaskan kehendak independen tanpa paksaan. Terakhir harus ada dalam institusi khusus. Setelah lengkapnya tiga syarat di atas, rasio dan fokus semua orang berakal mengharuskan adanya ketepatan janji (kontrak).

Namun demikian, tidak ada kesepakatan antara para pendukung teori ini dalam menentukan dua pihak kontrak sosial tersebut. Ada yang menyebutnya masyarakat dan pemerintahan, ada lagi yang memandangnya antara masyarakat sendiri. Pendapat terakhir adalah kontrak ganda, yaitu kontrak untuk membentuk masyarakat dan kontrak untuk mendirikan pemerintahan. Teori ini berasal dari Samuel Pufendrof.

Kenyataannya, teori ini tidak pernah terealisasikan sepanjang sejarah. Tidak pernah kita temukan bukti adanya sebuah pemerintahan yang legitimated atas dasar kesepakatan masyarakat, dan mereka menyepakatinya secara independen tanpa keterpaksaan atau kebodohan. Jika mereka menjawab bahwa maksud darinya adalah kontrak sosial itu adalah kontrak yang sifatnya metaforis (majazi) sehingga tidak perlu syarat-syarat tersebut, itu berarti keharusan moril yang dihasilkan juga metaforis. Hal seperti ini jelas tidak menyelesaikan persoalan legitimasi.

Sesuai dengan teori ini pun, legitimasi yang dihasilkan hanya untuk orang-orang yang menyepakati kontrak tersebut. Bagi oposisi, pemerintahan ini tidak sah, tidak berhak memerintah, dan tidak harus ditaati.

Socrates berteori lain. Baginya, menetap di bawah satu pemerintahan sama dengan menyepakati kontrak tersebut dan kalau tidak setuju hendaknya dia berhijrah dari situ. Teori ini jelas hanya memuaskan orang-orang di zamannya saja. Zaman sekarang mana ada tempat kosong dari pemerintahan? Bagaimana mungkin hijrah ke tempat alternatif tanpa tunduk pada pemerintahan setempat? Para oposan itu harus menjalani perpindahan dari satu pemerintahan ke pemerintahan lain yang belum tentu disetujui pula.

Di samping itu teori ini memperbolehkan rakyat untuk menyepakati pemerintahan yang secara praktis menyalahi norma-norma etika, dan melegitimasinya. Padahal, pemerintahan semacam ini sama sekali tidak legitimated, sebab legitimasi adalah kewajiban moral yang tidak mungkin bersatu dengan anti moral. Dalam kasus lain, ada postulat yang sangat gamblang bahwa secara moral, tidak ada keharusan untuk menepati janji berbohong yang tidak etis. Kalau mereka memasukkan kriteria moralitas dalam kontrak sosial, berarti kontrak sosial dengan sendirinya tidak mampu menjamin legitimasi tersebut. Artinya, teori ini harus disempurnakan dengan berbagai proposisi lainnya.

John Locke? (1632) menyadari sebagian kekurangan teori ini. Dia menawarkan consent theory (teori konsensus/persetujuan umum). Dia menyebutkan bahwa hak pemerintah untuk memerintah dan keharusan rakyat taat padanya harus berlandaskan pada kerelaan rakyat terhadap pemerintahan dan undang-undangnya.

Akan tetapi, John Lock cuma mampu menepis kritikan pertama atas teori kontrak sosial -yang belum memenuhi syarat pertama kontrak, yaitu kehendak atau kerelaan-. Adapun kritikan kedua (berkaitan dengan ketiadaan legitimasi pemerintahan terhadap para oposan, karena mereka tidak rela) dan ketiga (tidak ada legitimasi –yang merupakan moral- bagi pemerintahan anti moral, walaupun mayoritas rela terhadapnya) tetap meruntuhkan teorinya.

Lebih jauh lagi, kerelaan umum jelas tidak melahirkan keharusan moril karena terhitung aktivitas hati yang belum tampak di luar. Harus ada kontrak jelas baik secara lisan, tulisan atau perbuatan, sehingga kerelaan tersebut bisa dimengerti. Oleh karena itu, konsensus umum terhadap pemerintahan tertentu tidak akan melahirkan legitimasi sebelum kerelaan (yang merupakan aktivitas hati) itu diperjelas.

Kemudian Jean Jacques Rousseau menyodorkan general will theory, teori kehendak umum atau pendapat mayoritas. Pemerintahan legitimatis adalah pemerintahan yang berlandaskan suara terbanyak. Teori ini kini merupakan aksioma para pendukung demokrasi. Barat bahkan melangkah sampai keyakinan pada bahwa legitimasi adalah suara terbanyak itu sendiri.

Dalam tradisi filsafat, ini tergolong sofistikasi totalogis yang mengaburkan bahkan menyesatkan pemahaman. Konsepsi legitimasi jelas tidak sama dengan suara mayoritas walaupun menurut mereka legitimasi akibat dari suara terbanyak. Seandainya memang klaim mereka benar bahwa suara terbanyak adalah legitimasi, tentunya tidak perlu lagi pembahasan apakah legitimasi dapat diraih dari suara terbanyak ataukah tidak. Padahal, sejak zaman Socrates, pembahasan ini ada dan memang harus ada.

Kritikan lainnya, suara terbanyak jelas tidak mengeluarkan kewajiban moral apapun untuk kalangan minoritas, sekalipun boleh jadi minoritas harus mentaatinya. Tapi, ketaatan itu bukan karena hak pemerintahan melainkan karena kewajiban moril menjaga kehormatan nyawa, misalnya. Di samping itu, teori ini pun sangat mungkin melegitimasi pemerintahan anti moral dengan landasan suara terbanyak. Padahal, sebagaimana yang telah kita kemukakan, legitimasi adalah keharusan moral, dan moral tidak berkumpul dengan anti moral.

Rousseau membela, sesungguhnya kehendak mayoritas selalu benar. Ini adalah pembelaan yang absurd. Memprioritaskan kebenaran pada mayoritas adalah hipotesis tanpa dasar, apalagi klaim bahwa mayoritas selalu benar. Realitas tidak pernah bergantung pada pendapat. Tidak pernah ada eksperimen yang berkesimpulan bahwa mayoritas selalu benar atau sering benar. Andaikan pernah terbukti, tetap saja secara logika, ada kemungkinan salah di dalam mayoritas tersebut. Hal yang mungkin salah jelas tidak bisa melahirkan keharusan moral. Oleh karena itu, pemerintahan yang terpilih oleh suara terbanyak masih belum legitimate.

Kritik lain atas pembelaan Rousseau berkaitan dengan teori bahwa dalam hak suara terkandung makna perwakilan. Orang yang dipilih dianggap berhak mewakili seluruh kepentingan orang yang memilihnya. Padahal, masalah hak-hak yang dimiliki manusia itu sendiri masih tidak jelas. Dalam banyak segi, Manusia tidak pernah memiliki hak bahkan atas dirinya sendiri, seperti bunuh diri, menyiksa diri dsb. Dalam kasus ini, bagaimana mungkin dia bisa mewakilkan sesuatu yang bukan haknya? Kalaupun kita menerima hak tersebut, dia hanya bisa mewakilkan haknya sendiri. Tidak ada alasan untuk mewakilkan hak orang lain.

Lebih dari itu, logika sistem perwakilan mengatakan bahwa wakil hanya berjalan sesuai kehendak yang diwakilinya. Di pihak lain, seseorang kapanpun dia suka, bisa mencabut kontrak perwakilannya. Realitasnya, sistem demokrasi menutup mata dari semua konsekuensi logis tersebut.

Legitimasi Moral
Setelah kita pahami kegagalan tiga teori voluntaries dalam menjamin legitimasi pemerintahan, kita akan melihat bahwa teori non-voluntaries bisa mengatasinya. Sebenarnya, justice theory (teori keadilan) berbeda dengan general happiness theory (teori kebahagiaan umum). Akan tetapi, sekarang ini kita melihat ekuivalensinya. Kita namakan saja teori Moral Legitimasi, yaitu teori yang meyakini bahwa sumber legitimasi pemerintahan adalah tujuan etis pemerintahan tersebut, seperti keadilan, kesejahteraan sosial, pemerataan, kebaikan, supremasi hukum, dll. Dengan teori ini, pemerintah legitimate adalah yang memiliki tujuan-tujuan etis mulia.

Teori ini sukses melahirkan legitimasi pemerintahan dan tidak terganjal oleh kritik-kritik di atas. Hanya relativisme norma etika dan relativisme epistimologis (dalam mengetahui norma tersebut) yang berusaha menggoyahkan teori ini. Padahal, secara umum bisa dipastikan bahwa intuisi setiap orang menolak dua relativisme tersebut. Adalah kepastian intuitif bahwa sebagian norma-norma etika adalah absolut sekaligus perceptible bisa bahkan sudah diketahui. Sebagai contoh, membunuh orang tak berdosa adalah jenis kezaliman yang tidak dapat diingkari. Intuisi manakah yang menghukumi kezaliman tersebut sebagai sebuah kebaikan?! Mungkin saja jawaban seseorang positif. Namun, jawabannya itu pasti bertentangan dengan intuisi dan kesaksiannya sendiri. Yang pasti, relativisme di atas akan menghancurkan kehidupan manusia dan memposisikannya lebih rendah dari kehidupan binatang.
           
Lalu, apakah legitimasi religius pemerintahan berbeda dengan teori moral? Legitimasi religius artinya, sebuah pemerintahan menjadi legitimate ketika taat pada aturan Tuhan. Pemerintah dan rakyat wajib taat kepada Tuhan. Sekilas terlihat paradoksi antara legitimasi moral dan legitimasi religius. Akan tetapi, kontemplasi mendalam akan mengantarkan setiap orang pada kesimpulan tentang keselarasan dua teori tersebut, karena setelah pembuktian wujud Tuhan dan sifat-sifat-Nya, logika mengharuskan kita taat mutlak di hadapan-Nya, termasuk dalam urusan pemerintahan. Pemerintahan menjadi berhak ditaati serta rakyat wajib patuh kepada pemerintahan karena Tuhan memerintahkan demikian.
            
Setelah rasio sampai pada kepastian bahwa Tuhan itu ada, bahwa Dia memang mengutus para kekasih-Nya, dan para Nabi tersebut dibekali syariát agama pada seluruh sendi kehidupan, maka landasan ini menunjukkan moralitas legitimasi religius. Lebih teliti lagi, bukan hanya terjalin keselarasan antara keduanya, melainkan dua teori ini lahir dari satu rahim.
             
Secara hakiki, “keharusan” adalah kepastian nyata dan tidak tergantung pada iman seseorang. Karena itu, legitimasi religius tidak dibatasi hanya untuk kalangan beragama saja. Tuhan adalah “Realitas Wajib”, tidak peduli ada yang mengimani-Nya atau tidak. Konsekuensinya, kebahagiaan hakiki manusia adalah akibat dari kedekatan pada Tuhan, baik disadarinya ataukah tidak. Oleh karena itu, sesuai dengan teori legitimasi moral, pada hakikatnya manusia harus menaati aturan-aturan Tuhan, kendatipun terkadang disebabkan beberapa hal, seseorang tidak menyadari keharusan tersebut.

Perlu diperhatikan bahwa menolak teori suara masyarakat bukan berarti sama sekali tidak menghargainya. Justru menerima teori tersebut tanpa bukti adalah sebuah penghinaan. Pembahasan di atas hanya membuktikan bahwa legitimasi pemerintahan merupakan hal super (di atas) suara masyarakat. Norma etika atau hukum Tuhanlah yang menciptakan legitimasi tersebut. Sedangkan akseptabilitas rakyat dan suara mereka sangat berpengaruh di dalam realisasi sebuah sistem pemerintahan, bukan dalam melegitimasinya. Hal ini terjadi pada kasus pemerintahan Imam Ali a.s. Berbagai argumen yang tidak terbantahkan menunjukkan bahwa segera setelah Rasulullah wafat, Imam Ali memiliki legitimasi dari Allah untuk memerintah. Tapi, pemerintahan itu pernah terealisasikan dan tidak. Penyebabnya adalah ada dan tidak adanya akseptabilitas dari masyarakat di zamannya.

Islam dan Relativisme
Salah satu prinsip demokrasi adalah relativisme, khususnya berkenaan dengan legislasi. Demokrasi meyakini pragmatisme dan relativisme yang menonjol dalam pluralisme agama dan pluralisme politik. Yang terakhir ini kemudian melahirkan partai dan masyarakat madani.

Nyatanya, sedikit sekali masyarakat demokratis yang menerapkan relativisme mutlak, karena pada dasarnya, setiap masyarakat memerlukan pokok-pokok universal untuk mengubah pluralisme relatif menjadi kesatuan. Inilah yang menjadi tugas pemerintahan sehingga dapat mengarahkan massa pada tujuan yang sama.

Ada pendapat bahwa justru demokrasi atau kapitalisme yang bisa menjadi pemersatu tersebut, sebagaimana yang bisa kita saksikan di Barat. Pendapat ini jelas mengandung banyak hal kontradiktif. Postulat demokrasi adalah individualisme (hak pribadi setiap orang) yang artinya adalah bentuk penenegasian atas setiap upaya pemersatuan masyarakat. Sesungguhnya, yang sementara ini pernah mempersatukan mereka adalah rasa takut dari sosialisme-komunis. Setelah faham itu tumbang, bisa kita saksikan bahwa setiap individu akan mengejar keuntungan masing-masing. Dari sisi ini, kita bisa memahami mengapa para futuris Barat berlomba mengajukan berbagai hipotesis tentang perbenturan peradaban Barat dengan yang lainnya.

Oleh karena itu, sampai saat ini, Barat tidak memiliki penyatu pluralisme relatif. Yang ada hanyalah penerapan tidak sempurnanya relativisme sehingga --seperti perkataan Brzezinski (1928- )—yang ada hanyalah iresolusi (kebingungan) dan kerusakan.

Berkaitan dengan pluralisme agama, Islam menolak keras relativisme ideologis. Selain di dalam Islam ada banyak realitas absolut yang sesuai dengan fitrah manusia, terdapat pula hukum-hukum variabel yang bisa berubah sesuai dengan situasi dan kondisi. Hanya saja, variabel tersebut tidak keluar dari kerangka hukum tetap. Inilah penjamin ketentraman dan kebahagiaan manusia.

Sementara itu, di dalam masyarakat relatif-sekular tidak ada sama sekali yang namanya kultus dan kesucian. Mereka hidup dalam kebingungan, dibohongi oleh terminus-terminus hampa seperti partai dan masyarakat madani, diiringi slogan pluralisme agama dan politik. Padahal semua itu tidak pernah membantu masyarakat serta hanya merupakan alat kemunafikan yang membatasi semua relasi untuk kalangan terbatas saja.

Pragmatisme dan pluralisme yang dengan keliru mereka gembar-gemborkan ternyata menjadi senjata makan tuan. Utilitas (keuntungan) praktis apa yang telah disumbangkan sistem demokrasi pada masyarakat dunia?! Bukankah keberlangsungan demokarasi di Barat selama kurang lebih dua abad hanya menghasilkan iresolusi, alienasi, anarki, dan peperangan antar bentuk-bentuk pemerintahan demokratis?! Jangan pernah membandingkan kemajuan teknologi di Barat sebagai keuntungan dengan dekadensi moral dan kerugian besar lainnya.

Kemudian, kalau memang benar mereka berpegang teguh pada pluralisme, dengan dalih apa mereka bisa membenarkan usaha paksa demokratisasi pada masyarakat lain? Jika prinsip utama dari demokrasi adalah penerimaan keragaman, biarkan semua masyarakat dunia berjalan serta membangun sistem dengan budaya dan normanya masing-masing.

Dari sisi ini, tidak sepatutnya dunia ketiga terkecoh rayuan gombal dunia Barat. Lebih baik menarik akseptabilitas masyarakat dalam merealisasikan pemerintahan legitimate ketimbang harus menari dengan genderang Barat demi memuaskan dan memenuhi kepentingan mereka.

Islam dan Kesejajaran
Kesejajaran yang ditawarkan demokrasi Barat berangkat dari humanisme. Yang mereka maksud dengan kesejajaran itu adalah kesejajaran politik seperti hak suara, kesejajaran yuridis dan kesejajaran sosial. Kesejajaran manusia bukan hal baru dalam Islam, bahkan merupakan konsekuensi keesaan Tuhan (tauhid). Satu-satunya norma keistimawaan manusia adalah taqwa serta infalibilitas (keterjagaan dari dosa).

Oleh karena itu, Islam memerangi segala bentuk diskriminasi yang menjunjung tinggi norma material, genetik, nasionalis, rasis, warna kulit, kasta, dan lain sebagainya, baik itu dalam politik, hak, ataupun sosial.

Islam sangat menjunjung tinggi kesejajaran manusia. Fakta sejarah adalah statemen yang sangat bisa dijadikan pegangan. Suatu saat, ketika Imam Ali a.s memegang pemerintahan Islam yang otoritasnya mencakup Arabia sampai Mesir dan sebagian besar kawasan Asia bahkan sebagian dari Eropa, beliau pernah bertikai dengan seorang Yahudi yang kemudian mengadu pada hakim. Sang hakim kemudian mememanggil keduanya ke pengadilan. Ketika hakim menyaksikan kedatangan Ali a.s, dia berdiri memberikan hormat. Imam marah atas sikap hakim seraya berkata, “Mengapa ketika saya masuk kamu memberi hormat sedangkan ketika orang Yahudi itu masuk tidak? Seorang hakim harus memiliki satu perlakuan dalam menghadapi dua pihak yang bertikai”. Kemudian Imam menerima keputusan yang dikeluarkan hakim tersebut.

Bisa kita menemukan contoh lebih baik mengenai penerapan konsep kesejajaran dalam sistem politik lain? Tidakkah yang kita saksikan adalah pemerintahan elit kaum borjuis di dalam sistem yang menamakan dirinya demokratis? Tidakkah itu pada dasarnya adalah praktek menginjak-injak kesejajaran manusia?

Islam dan Kemerdekaan
Kemerdekaan atau kebebasan merupakan aksioma respectable (konsep yang jelas sekaligus dihormati oleh semua orang), namun tidak bisa didefinisikan. Kebebasan mencakup kebebasan politik, ekonomi, dan budaya. Biasanya, pada undang-undang dasar sebuah pemerintahan, masalah jaminan kebebasan ini dicantumkan secara jelas.

Di masyarakat manapun tidak ada kebebasan mutlak. Selalu saja kebebasan ini dibatasi oleh kerangka sistem politik masing-masing. Oleh karenanya, konsep kebebasan tersebut akan berbeda dari satu sistem ke sistem lain. Dengan demikian, kita jangan sampai tertipu oleh utopia kebebasan mutlak liberalis di belakang tabir demokrasi. Kebebasan demokrasi adalah kebebasan sosial-politik saja. Demokrasi tidak pernah menawarkan kebebasan yang keluar dari kerangkanya sendiri sehingga, misalnya, rakyat bebas dalam menolak demokrasi dan menghancurkan kebebasannya sendiri.

Kebebasan pun bukan hal baru dalam Islam. Kebebasan manusia merupakan prinsip yang diterima Islam yang tentunya, sebagaimana sistem lain, Islam juga menentukan batas-batas kebebasan. Sesuai dengan penjelasan Imam Khomeini, kebebasan manusia yang diterima oleh Islam memiliki dua batasan, pertama batasan yang berlandaskan maslahat umum dan sistem sosial-politik. Batasan semacam ini berlaku di setiap sistem lainnya. Kedua, batasan yang lahir dari komitmen religius pemerintahan dan masyarakat. Inilah pemisah kebebasan Islami dari kebebasan ala Barat.

Islam mampu menjamin kebebasan yang sehat. Kebebasan tanpa Islam sama dengan anti moral dan tidak berharga. Islam menerima kebebasan media massa dan suara, berdirinya partai-partai, kritik sosial terbuka, kebebasan politik seperti berpendapat dan memilih, kebebasan ekonomi seperti memilih pekerjaan, kebebasan individual seperti memilih cara hidup, kebebasan budaya seperti pemikiran, akidah dll. Hanya saja, semua itu harus berada di dalam kerangka batasan-batasan di atas. Oleh karena itu, Islam melarang terorisme, tindakan merongrong pemerintahan, pengkhianatan kepada rakyat, pelecehan kultur Islam, serta kerusakan (fasad).

Istitusi Demokrasi dan Islam
Setelah mengkaji prinsip demokrasi, akan menjadi jelas sikap Islam terhadap institusi yang digunakan sistem-sistem demokratis tersebut. Salah satu institusi yang akan kita bahas adalah hak suara. Islam tidak menerima legitimasi legislatif yang murni berdasarkan suara mayoritas suara (yaitu 50%+1). Ini adalah konsep yang mudah ditolak secara totologis. Penolakan atasnya seperti menjawab pertanyaan apakah manusia (binatang berfikir) itu binatang.

Kita mengetahui bahwa di dalam Islam otoritas legislasi terbatas hanya pada Allah SWT dan orang yang diizinkan-Nya dengan standar taqwa. Akan tetapi, Islam menghargainya selama hal itu tidak keluar dari kerangka Islam dan berlaku dalam “tempat kosong”, peluang yang diberikan pada manusia untuk berkreasi. Dalam Islam, tempat kosong itu biasanya disebut mubahat atau mahallul firagh. Dalam Islam, terkadang penggunaan hak suara bahkan merupakan tugas wajib bagi setiap muslim yang memenuhi syarat apabila hak suara tersebut bisa menjadi penguat dan penjaga pemerintahan Islam sebagaimana yang diserukan Imam Khomeini di Iran.

Islam juga menerima hak perwakilan ketika setiap manusia sejajar dalam hak dipilih untuk menjadi wakil rakyat. Hanya saja, ada tolok ukur keutamaan yang harus dipegang yaitu takwa. Parlemen juga diterima oleh Islam, tapi dengan dua syarat. Pertama, undang-undang yang dikeluarkannya harus sejalan dengan Islam. Kedua, anggota parlemen harus konsekuen dengan agama Islam.

Begitu pula dengan pemilihan umum presiden. Islam bisa menerimanya bahkan bisa menjadi tugas setiap warga negara muslim apabila itu merupakan faktor kesinambungan pemerintahan Islam. Sebagaimana mendirikan pemerintahan Islam adalah kewajiban setiap muslim, menjaga pemerintahan yang sudah berdiri pun menjadi kewajiban mereka. Tentu saja syarat-syarat seorang untuk menjadi presiden harus diperhatikan, khususnya berkaitan dengan komitmen agamanya yang meliputi segala hal.

Satu hal yang tetap harus diingat adalah, berdasarkan pembahasan yang telah lalu, pada hakikatnya pemilu tidak melegitimasi presiden. Pemilihan presiden oleh rakyat hanya menunjukkan dukungan (bai’at) mereka terhadap realisasi pemerintahan islam yang dipimpin oleh pilihan khusus Tuhan secara langsung atau pilihan umum secara tidak langsung.

Adapun judikasi, perhatian Islam kepadanya sulit dicari pada pemikiran lain. Dalam prinsip-prinsip Islam, secara tegas disebutkan tentang pengadilan yang dilarang memihak dan tidak boleh terpengaruh oleh tekanan politik atau lainnya yang akan menjauhkanya dari kebijakasanaan yang benar. Juga ditegaskan tentang tidak boleh adanya campur tangan hakim di luar kerangka hukum dalam setiap keputusannya.

Satu hal lagi yang seringkali disalahgunakan demokrasi adalah masalah legalitas undang-undang yang dihasilkan oleh para wakil pilihan rakyat. Islam tidak menerima semua undang-undang sebagai hal yang yang legal untuk ditaati. Hanya undang-undang yang adil dan benar saja yang berhak memerintah. Buktinya, semua Nabi dan Imam datang untuk menegakkannya di saat mereka sendiri tunduk di bawah otoritasnya. Itu semua menunjukkan bahwa undang-undang yang adil membawahkan semua orang, tidak terbatas pada sebagian saja. Oleh karena itu, di dalam pemerintahan Islam tidak ada produk konstitusi yang legal untuk ditaati selain undang-undang yang adil dan benar.

Istilah-istilah dalam Islam
Di dalam Islam, ada beberapa terminus yang sayang sekali terkadang ditafsirkan sebagai demokrasi, sehingga para cendekiawan muslim sering terkecoh dan menganggap bahwa Islam dan demokrasi adalah dua konsep yang mirip satu sama lain. Marilah kita perjelas interpretasi yang benar dari istilah-istilah tersebut.

Pertama adalah istilah Khilafah. Istilah ini memilik dua arti suksesi. Pertama,  suksesi politik yang sah dalam pemerintahan Islam (bukan seperti pemerintahan despotik ala dinasti Abbasiyah atau Umawiyah yang bertopeng Islam). Kedua, suksesi ontologis, artinya setiap manusia secara filosofis dan ontologis merupakan pengganti Tuhan di dunia.

Sebagian orang menyimpulkan demokrasi liberal dari arti kedua saja dan menolak arti pertama. Mereka lalai bahwa sebenarnya tidak ada paradoksi antara suksesi ontologis dan politis, bahkan suksesi politis merupakan kelanjutan vertikal dari suksesi ontologis. Otoritas legislatif dan pemerintahan (tasyri’i) seharusnya diartikan sebagai kelanjutan dari otoritas formatif (takwini). Oleh karena itu, secara global, khilafah Allah artinya penyembahan kepada Allah dan ketaatan pada hukum-Nya. Khalifah Allah artinya orang saleh, bukan semua manusia. Oleh karenanya, kalau kita menerima demokrasi, itu harus dianggap sebagai salah satu metode dependen pada syariat Islam. Adapun kesejajaran ontologis (suksesi ontologis), konsep ini sama sekali tidak mengandung atau menuntut penafian tahapan-tahapan Ilahi dalam politik Islam yang bernorma taqwa.

Istilah kedua adalah syura. Sebagian pemikir menyangka bahwa syura berarti sekularisme, padahal syura (yang secara etimologis berarti konsultasi) dalam Islam tidak dihadapkan pada syariat. Syura adalah kerja sama dan partisipasi muslimin khususnya orang-orang ahli, di dalam pengaplikasian syari’at dan jaminan hak-hak sosial. Musyawarah bukan berarti voting umum atau semacamnya dalam menerima atau menolak wahyu dan syari’at Islam yang mencakup pokok, cabang, dan tujuannya. Oleh karena itu, Al-Quran menyebutkan “musyawarah antara mereka sendiri” itu untuk “perkara mereka”, bukan untuk perkara agama yang tidak perlu dikonsultasikan.

Di samping itu, secara logis, semestinya konsultasi hanya bisa mencapai tujuannya jika dilakukan kepada orang-orang yang ahli dan terpilih saja, bukan kepada orang kebanyakan. Konsultasi umum memang diperbolehkan Islam pada “tempat kosong” selama tidak keluar dari kerangka Islam. Hanya saja, boleh bukan berarti dianjurkan. Musyawarah umum hanya melahirkan suara terbanyak yang tidak bisa dijadikan bukti bahwa itu harus dilaksanakan. Musyawarah umum hanya berlandaskan tendensi umum yang belum tentu benar.

Istilah berikutnya adalah ijma’ (konsensus), yang terkadang disamakan dengan referendum laiss. Asumsi ini jelas tidak berdasar. Ahlussunnah dan Syi’ah sepakat dan meyakini bahwa ijma’ yang dimaksud di atas adalah konsensus para ulama atau semua orang yang bersyariat islam dalam menyingkap hukum Tuhan, bukan konsensus orang banyak dalam melahirkan keputusan apapun. Syi’ah bahkan meyakini ijma sebagai perantara ‘dependen’. Apabila tidak mencerminkan pandangan ma’shum (Rasulullah dan para imam), kesepakatan yang ada tersebut tidak bisa memiliki nilai argumen independen untuk dilaksanakan.

Begitu pula dengan ijtihad. Syarat pertama untuk berijtihad adalah tidak berlawanan dengan syari’at Islam, bahkan harus bertujuan menyingkap hukum Tuhan berlandaskan sumber-sumber agama. Maka, jangan pernah bermimpi mengartikannya sebagai institusi demokrasi.

Ringkasnya, istilah-istilah tersebut hanya menjelaskan partisipasi dan unsur manusia dalam beberapa aktivitas yang sama sekali tidak keluar dari kerangka Islam. Jika demokrasi diartikan aktivitas partisipatis semacam ini, Islam menerimanya. Jika tidak, secara totologis Islam telah menolaknya.

Epilog
Ada perbedaan fundamental antara pemerintahan Islam dengan sistem-sistem pemerintahan Barat. Raihan keduanya juga berbeda. Semua itu karena sistem religius berlandaskan kepada keselarasan rasio, wahyu, dan sains, sedangkan sistem Barat menafikannya.

Dihadapkan kepada perbedaan tersebut, pendirian kita sebenarnya cukup jelas. Islam pasti menjamin seluruh keistimewaan sistem demokrasi dan sekular Barat dan pada saat yang sama, Islam terjaga dari kekurangan sistem Barat tersebut. Islam melegitimasi pemerintahan dalam bentuk kenabian, keimaman, dan kefaqihan dengan firmannya, “Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah, Rasulul, dan para pemimpin kalian” (QS An-Nisa: 59). Allah juga sangat menekankan masalah kepemimpinan bahkan menyatakan bahwa seandainya Nabi tidak menyampaikannya, seluruh aktivitas risalah beliau dianggap tidak ada. “Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu. Jika tidak kamu sampaikan, maka kamu dianggap tidak pernah menyampaikan risalahmu…” (QS Al-Maidah: 67). (Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Al-Ghadir yang cukup terkenal. Pada saat itu, sepulang dari haji wada’, Rasulullah mendapatkan perintah dari Allah untuk menyampaikan permasalahan suksesi kepemimpinan kepada yang hadir. Lahirlah ucapan terkenal beliau tentang Imam Ali, “man kuntu maulahu fa hadza Aliyun maulahu”, siapapun yang menjadikan aku sebagái pemimpinnya, inilah Ali sebagai pemimpinnya. Penjelasan lebih terperincinya bisa Anda temukan pada buku sejarah terkait, Red.)
Kita menolak seluruh sistem humanis sekular yang merendahkan harkat manusia di bawah kebinatangan. Kita menolak setiap konsep yang mendorongnya pada totaliter, monarki diktator bertopeng demokrasi, dekadensi moral, anarki, KKN dan lain sebagainya.
Dalam Islam, syarat penerimaan produk asing adalah faqahah menurut terminologi Sayed Baqir Sadr. Tujuan dan batasan Ilahi, menurut terminologi Imam Khomeini, dan keislaman, menurut terminologi Syahid Mutahhary. Semua ini akan mengatur gerak-gerik manusia di dalam norma-norma etika dan agama.[]


*Nasir Dimyati, Ketua Departemen Kajian Ilmiah, Badan Kerjasama PPI Se-Timur Tengah dan Sekitarnya. Mahasiswa Universitas Imam Khomaini (ra), Qom, Iran.

 ----------------------------------------------------------
Katalog
Hasani, Muhammad Hasan, Nuwsazi-e Jame’eh az Didgahe Imam Khomeini, Cetakan keempat, musim gugur 1378 HS, Muassesehye Tanzim wa Nasyre Osore Imam Khomaini, Tehran, hal 183-231.

Nuwruzi, Muhammad Jawad, Nizome Siyosiye Islom, Cetakan kedua, musim semi 1380 HS, Muassesehye Omujzesyi wa Pajzuhisyiye Imam Khomaini, Qom, hal 152-168.

Nuwruzi, Muhammad Jawad, Falsafehye Seyosat, Cetakan keempat, musim panas 1378 HS, Muassesehye Omujzesyi wa Pajzuhisyiye Imam Khomaini, Qom, hal 115-154.

Larijany, Shodeq, Maboniye Masyru’iyyate Hukumatho, dalam  Jurnal Andisyehye Hukumat, (Jurnal Kongres Imam Khomaini dan Pemikiran Pemerintahan Islam, Nasyriehye Kungerehye Imam Khomaini wa Andisyehye Hukumate Islami), volume-8, Bulan Isfand-1378 HS., hal 13-24.

Basa’er, Jurnal mohnomehye farhangiy, siyosiy, ijtimo’iy wa I’tiqodiy, tahun ketiga, volume 21, Mehr-obon 1375 HS, Tehran. Iwadliy, Lutfali, kritik demokrasi liberal, hal 78-80.

Baso’er, Jurnal mohnomehye farhangiy, siyosiy, ijtimo’iy wa I’tiqodiy, tahun ketiga, volume 22, ozar-dey 1375 HS, tehran . Iwadliy, lutfali, kritik demokrasi liberal , hal 36-42.

Redaksi, Mohiyyate Demokratike Islom, dalam Kitobe naqd “din wa dunyo”, (faslnomehye intiqodi-falsafi-farhangi), volume 2-3, Musim semi dan panas 1376 HS, Cetakan kedua., hal 337-342.

Doktor Kazimi, Sayyid Ali Asghor, Demokrasi wa progmotisme, dalam Ittiloote Siyosiy wa Iqtisodiy, tahun kesepuluh, volume 11-12, murdodo-syahriwar 1375 HS., hal 12-17.


Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design