Hamid Basyaib tentang film Kingdom of Heaven: Asumsi Perang Demi Agama Perlu Dikritik



06/06/2005

Pesan perdamaian akan selalu menjadi tergugat, sementara aroma permusuhan tak pernah bosan dihembuskan. Itulah setidaknya yang digambarkan Kingdom of Heaven, sebuah film yang berkisah tentang Perang Salib yang justru membawa pesan perdamaian. Kurang lebih seribu tahun silam, orang-orang berperang demi mewujudkan “tatanan surgawi” di tanah suci Yerusalem. Kini tatanan itu tak kunjung mewujud; Yerusalem terus bergolak dalam bara permusuhan dan kebencian. Apa pesan lain Kingdom of Heaven yang relevan untuk masa sekarang?

Usaha untuk menjalin kehidupan harmonis dalam suatu masyarakat yang majemuk tidak selalu mudah. Pihak-pihak yang merasa untung dari suasana ketegangan dan perang, tidak akan putus-putus menguji komitmen mulia itu. Pesan perdamaian akan selalu menjadi tergugat, sementara aroma permusuhan tak pernah bosan dihembuskan. Itulah setidaknya yang digambarkan Kingdom of Heaven, sebuah film yang berkisah tentang Perang Salib yang justru membawa pesan perdamaian. Kurang lebih seribu tahun silam, orang-orang berperang demi mewujudkan “tatanan surgawi” di tanah suci Yerusalem. Kini tatanan itu tak kunjung mewujud; Yerusalem terus bergolak dalam bara permusuhan dan kebencian. Apa pesan lain Kingdom of Heaven yang relevan untuk masa sekarang? Berikut perbincangan Novriantoni (19/5) dari Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) dengan Hamid Basyaib, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) yang juga aktif mengamati dunia perfilman.

Bung Hamid, apa yang menarik dari film Kingdom of Heaven?

Pertama, saya kagum pada sutradara sekaligus produsernya (Ridley Scott). Dari dulu saya suka sekali pada sineas Inggris ini. Dia juga orang yang membikin film-film bagus seperti Gladiator dan Black Hawk Down. Dia selalu punya style yang bagus dalam menggambarkan adegan perang. Dia bisa menggambarkan adegan perang tidak hanya dalam bentuk kekasaran dan kekejaman. Stilisasi, teknik shooting kamera, dan editingnya selalu bagus.

Kedua, saya kagum karena keberaniannya membuat film seperti ini di dalam konteks dan semangat Barat yang kini kurang lebih anti-muslim. Saya kira, dia telah membuat film yang kurang lebih proporsional terhadap Islam yang diwakili oleh pasukan Salahuddin al-Ayyubi atau Sultan Saladin. Karena itu, dalam banyak hal, dia (Ridley Scott) bisa dibilang sangat simpatik terhadap Islam daripada Kristen. Itu gambaran umum saya.

Mungkin karena itu Ghassan Masoud, aktor Maroko yang memerankan tokoh Saladin itu mengatakan bahwa Ridley Scott (sutradara) dan William Monahan (penulis skrip) sangat menghargai Islam, sangat peka dan hati-hati terhadap sentimen masyarakat Islam?

Ya, dan itu pulalah yang mengagumkan. Dan karena itu kita bisa mengerti mengapa banyak kalangan Kristen fundamentalis atau orang Barat yang tidak suka pada bentuk interpretasi Scott dan Monahan atas sejarah Perang Salib. Kita tahu, sejarah Perang Salib sudah ditulis dalam ribuan buku, dan peristiwanya juga sudah berlangsung seribu tahun yang lalu. Karenanya, wajar kalau ada banyak nuansa atau cara pandang yang tidak otomatis sama dengan cara pandang film ini.

Baru-baru ini, sahabat saya memberi tahu kalau dia baru saja membaca buku tentang Perang Salib yang sangat berbeda pendekatan dari yang digambarkan film ini. Di buku itu digambarkan, baik tentara Kristen maupun Islam, keduanya sama-sama melakukan kekonyolan-kekonyolan yang kurang lebih sama. Jadi di luar konteks perang dan bagaimana mereka mempersiapkannya, juga banyak muncul kekonyolan-kekonyolan. Nah, di Kingdom of Heaven ini, kekonyolan-kekonyolan itu sedikit digambarkan pada pasukan Salib saja. Misalnya, kebiasaan teler dan mabuk sebelum berperang.

Karena itu, waktu menunggang kuda, mereka sudah keburu jatuh karena mabuknya terlalu berat. Sebetulnya, kekonyolan seperti itu bisa dipahami dalam konteks meringankan beban untuk menjemput maut, atau karena belum bisa menghilangkan kebiasaan. Nah, walau di film itu tidak digambarkan terjadinya kekonyolan serupa pada pasukan Salahuddin, saya tetap yakin bahwa hal yang kurang lebih sama juga bisa terjadi. Itu manusiawi saja, karena menyangkut beribu-ribu orang. Karena itu, masuk akal kalau sifat dan kebiasaannya juga berbeda-beda. Scott berani sekali menggambarkan hal seperti itu pada pihak Kristen.

Para sejarawan fundamentalis Kristen keberatan dengan penggambaran orang-orang Arab yang beradab dan berkebudayaan tinggi, dan juga sosok Salahudin sebagai kesatria yang terhormat. Tanggapan Anda?

Penggambaran Salahuddin seperti itu tentu saja bukan baru saja dimulai oleh film ini. Beberapa buku juga sudah menyebutkan bahwa dia memang seorang jenderal yang bermartabat. Tapi jangan lupa, di film itu juga digambarkan bentuk kemarahan Salahuddin. Misalnya ketika dia memberi air minum kepada Raja Lusignan yang ia tawan. Karena sang raja takut diracun, dia menyerahkan air tersebut kepada asistennya. Salahuddin lalu naik pitam, karena tawaran yang simpatik itu, kok justru diserahkan ke asistennya. Karena itu, dia sempat melukai si asisten karena dia merasa jengkel. Artinya, di situ digambarkan bahwa bagaimanapun juga, Salahuddin juga seorang serdadu yang bisa naik pitam. Tapi memang penggambaran sosok Salahuddin secara umum proporsional.

Apa yang menarik dari sosok Salahuddin seperti yang digambarkan film ini?

Yang paling menarik adalah adegan peperangan terakhir, tepatnya saat dia bernegosiasi dengan pahlawan muda bernama Balian. Ketika itu, tercapai kesepakatan untuk tidak mencederai rakyat biasa sewaktu Yerusalem diserahkan kepada pasukan Salahuddin. Balian waktu itu tidak terlalu percaya akan komitmen Salahuddin. Makanya dia pesimis hasil negosiasi itu akan terlaksana. Dia lalu mengatakan, “Orang-orang biasa berjanji begini dan begitu.” Tapi Salahuddin menjawab, “Saya bukan orang-orang sejenis itu. Saya menjamin keselamatan semua harta dan kotamu yang dipenuhi perempuan dan anak-anak. Saya juga menjamin semua warga akan mendapat tanah.”

Si jenderal muda itu terpana karena sedang menghadapi orang yang berjenis lain. Dia lalu berpikir bahwa orang Saracen itu tidak seburuk yang dia bayangkan selama ini. Akhirnya dia menerima kesepakatan negosiasi itu dan pergi berlalu. Yang penting baginya ketika itu adalah soal keselamatan warganya. Jadi Balian lebih berkepentingan untuk membela jiwa manusia, bukannya formalisme agamanya.

Padahal, Salahuddin juga diprovokasi untuk berperang demi Tuhan, ya?

Ya. Selalu ada pihak yang jadi kompor di tiap agama dan kelompok. Tapi apa hikmah yang bisa kita petik dari film ini? Kira-kira, begitulah state of the art atau posisi pemahaman agama yang umum pada masa itu, atau pada seribu tahun yang lalu. Karena itu, film semacam ini perlu sekali dan selalu memberi pelajaran bagi kita. Intinya, jangan begitu lagi karena akan jauh lebih banyak mudharat daripada manfaatnya.

Apapun gambaran film ini tentang Perang Salib, sebetulnya pesan apa yang ingin disampaikan Scott?

Saya kira jelas sekali dia mau mengritik asumsi perang atas nama agama. Perang atas nama Tuhan, mungkin pada niat awalnya memang luhur. Hanya saja, selalu ada unintended consecuensess, akibat-akibat yang tidak terniatkan dari semula. Misalnya, konsekuensi-konsekuensi yang muncul ketika perangnya sudah dibakar oleh nafsu untuk membunuh dan saling mengalahkan dari kedua pihak yang berseteru. Pesan itu kebetulan diwakili oleh sosok Tiberias yang dimainkan dengan bagus sekali oleh Jeremy Iron. Ketika pasukan Kristen kalah—setelah menguasai Yerusalem selama seratus tahun—Tiberias mengucap pesan penting kepada kesatria muda idealis bernama Balian (Orlando Bloom) bahwa kerajaan surga itu ada di pikiran dan hati. Padahal, pahlawan muda ini sesungguhnya bukan sosok yang religius tetapi seorang spiritualis. Balian digambarkan sebagai sosok yang tidak terlalu terikat pada simbol-simbol agama, dan dua kali menekankan bahwa Tuhan ada di sini dan di sini (sambil menunjuk otak dan dadanya). Itu dia tegaskan kembali ketika Sang Ratu merasa kalah dan sedih. Di situ dia mengatakan bahwa, “Kerajaanmu ada di pikiran dan di hati, dan ia tidak akan pernah bisa ditaklukkan oleh siapapun”.

Pesan itu seakan-akan menegaskan bahwa klaim-klaim agama untuk menegakkan kerajaan surgawi melalui perang sesungguhnya palsu belaka?

Ya. Sebab di beberapa pimpinan perang, memang selalu ada utopia romantis semacam itu. Tapi di film ini digambarkan bahwa utopia yang romantis seperti itu tidak pernah terjadi. Dari sini kita bisa menangkap pesan Tiberias kepada anak muda bernama Balian itu. “Dulu kita menyangka bahwa kita berperang demi Tuhan dan demi agama. Sekarang terbukti, kita berperang tidak lain hanya untuk harta dan tanah,” katanya menyesal. Karena itu, Tiberias merasa malu, dan mengatakan, “Mudah-mudahan Tuhan memberkatimu, sebab saya tahu Dia sudah tidak bersama saya lagi.” Nah, itulah yang mungkin hendak dikatakan film ini. Dan tentu saja itu salah satu bentuk interpretasi pihak Barat atau Scott sendiri atas perang-perang bernuansa agama.

Saya membayangkan, kalau kalangan Islam membuat film serupa, mungkin yang akan dititikberatkan juga interpretasi sudut pandang Islam yang kurang lebih sama. Artinya, soal perang untuk mencari harta dan tanah, di dalam Islam bahkan sudah diingatkan sejak zaman Nabi. Kita tahu, dalam surat al-Anfal disebut bahwa seperlima harta rampasan perang menjadi hak Rasul, sementara yang empat perlima lainnya dibagi-bagikan kepada kaum muslim. Tapi bayangkanlah, sejak masa Umar bin Khattab, hanya beberapa tahun setelah wafatnya Nabi, Umar telah berhenti membagi-bagikan harta rampasan perang.

Apa makna reinterpretasi Umar atas ayat tentang harta rampasan perang itu?

Itu artinya, Umar paham betul bahwa mereka berperang bukan untuk harta, tapi buat perjuangan agama. Artinya pada masa Umar sudah ada kekhawatiran bila harta rampasan perang dibagi-bagikan terus, maka motif perang Islam pada ekspedisi-ekspedisi selanjutnya, semata-mata akan berubah menjadi urusan harta, uang, dan perempuan. Makanya dia bertahan untuk tidak membagi-bagikan, walaupun banyak sahabat yang protes, khususnya mereka yang memahami Alquran secara literal seperti Bilal bin Rabah. Kebijakan Umar itu mereka anggap berlawanan langsung dengan bunyi tekstual Alquran. Gambaran ini sama seperti apa yang diungkapkan oleh Tiberias dalam film itu.

Bung Hamid, apakah Anda melihat film ini sebagai bentuk otokritik Scott atas maraknya nafsu perang melawan terorisme saat ini?

Itulah saya kira yang hendak dilakukan Scott. Di sini, dia menawarkan cara pandang yang proporsional dan tidak ekstrem. Kira-kira dia ingin mengatakan bahwa kebenaran, seperti juga kesalahan, ada di semua tempat. Dalam konteks agama-agama, dia bisa ada di kubu Kristen, Islam, dan Yahudi. Karena itu, marilah kita melihat persoalan secara proporsional.

Kalau kita renungkan lebih jauh, pesan moral film ini juga ingin menunjukkan tentang apa yang terjadi seribu tahun lalu di suatu tempat yang kebetulan menjadi titik pertemuan atau persilangan tiga agama besar. Di bagian akhir film diberikan catatan bahwa seribu tahun setelah Perang Salib, situasi di Yerusalem tetap masih bergolak, goyah, dan tegang.

Artinya klaim-klaim mereka yang hendak mendirikan kerajaan surgawi itu bohong belaka?

Sisa-sisa pengaruh pergolakan itu masih ada di sana, di Yerusalem. Itulah yang perlu kita sesalkan. Dan yang perlu kita sesalkan juga, model yang kurang lebih serupa kini terjadi misalnya di negeri kita di Ambon dan Poso, di Irlandia (walaupun antara Kristen dan Protestan), dan di mana-mana. Yang pasti, sampai kini Palestina masih bergolak. Pada awal tahun 1990-an, di Bosnia masih bergolak perang bernuansa agama. Jadi, semangat Perang Salib rupanya terus direproduksi dari generasi ke generasi. Sungguh menyedihkan, setelah seribu tahun berlalu, masih saja tersisa kepahitan. Semua itu masih tersimpan dalam khazanah kesadaran kita. Padahal, dalam film ini juga digambarkan episode yang cukup menarik, khususnya tentang komitmen Raja Baldwin IV dan Salahuddin untuk menjaga perdamaian antar berbagai agama.

Kelihatannya, Scott juga sangat muak dengan formalisme agama?

Sebetulnya pandangan sutradara yang menjadi spirit film itu kira-kira begini: sudahlah, berhenti, jangan terlalu menekankan formalisme agama! Yang lebih dia tekankan adalah substansi agama, atau bagaimana agama mampu membangun pola hidup berdampingan dalam kemajemukan masyarakat. Makanya dari awal, tokoh protagonis (Balian) yang diperankan dengan begitu baik oleh Orlando Bloom itu, justru digambarkan sebagai sosok yang tidak religius. Beberapa kali dia mengemukakan pernyataan-pernyataan yang bisa dianggap meremehkan pandangan agama yang konservatif dalam kekristenan. Tapi semua itu bukan berarti dia seorang ateis. Dia justru seorang spiritualis sejati yang meluhurkan Tuhan dan menjunjung tinggi semangat kejujuran dan kesucian.

Balian juga lebih mementingkan keselamatan rakyatnya daripada mempertahankan klaim-klaim agama palsu!

Itu juga poin yang paling penting dan berkali-kali ditegaskan film ini. Pesan seperti itu pertama-tama ditekankan oleh ayahnya, kemudian oleh ratu yang juga kekasihnya. Karena itu, tak heran kalau komitmen pribadinya menegaskan, apapun yang terjadi, dan bagaimanapun situasinya, yang paling diutamakan adalah soal keselamatan rakyat, atau warga kota, bukan soal menjaga kesucian kota itu sendiri.

O ya, Bung Hamid, apa yang dimaksud kerajaan Tuhan dalam film ini?

Saya kira, istilah kerajaan Tuhan dan juga kerajaan setan, hanyalah bahasa kitab suci yang bersifat metaforik. Tapi kebanyakan orang—bukan hanya di Kristen, Islam, dan Yahudi, tapi di semua agama—cenderung menafsirkan teks-teks agama atau pernyataan-pernyataan ayat suci itu secara harfiah. Padahal ungkapan seperti itu persis seperti istilah raja dangdut yang disematkan pada pedangdut Rhoma Irama. Istilah raja tentu saja tidak bermakna raja dalam makna yang sebenarnya, tapi ahli di dalam musik dangdut. Nah, bahasa kitab suci itu juga cenderung begitu. Jadi kalau disebut kerajaan Tuhan dan kerajaan setan, maksudnya tentu saja bersifat simbolik. Kalau ditafsirkan sebagai usaha untuk mewujudkan keadilan dan perdamaian, mungkin itu lebih tepat. Saya kira, film itu dibuat dengan semangat seperti itu.

Tapi tafsir-tafsir metaforik seperti itu biasanya hanya berkembang dalam suasana yang damai dan tentram. Dalam suasana perang, orang akan cenderung berpikir tentang kerajaan Ilahi dalam makna sesungguhnya.

Mungkin, ya. Tapi itu biasanya juga dipengaruhi oleh ambisi-ambisi lapisan elite pemimpin yang menularkan model tafsir harfiah kepada massanya. Biasanya, massa yang rata-rata—tanpa bermaksud menghina atau melecehkan—tingkat intelektualnya memang cenderung rendah. Karena itu, patokan yang diambil biasanya adalah pemahaman yang rata-rata, walaupun elitenya pintar-pintar dan mestinya bisa memberi pemahaman.

Tapi kalau kita bertanya, siapa yang paling diuntungkan dari tafsiran seperti itu? Biasanya, yang paling diuntungkan adalah para elite itu juga. Yang biasanya paling berkepentingan di dalam perang adalah elitenya. Perang modern juga begitu. Para industriawan senjatalah orang yang paling berkepentingan, karena merekalah yang akan paling diuntungkan. Demi keuntungan itu, alasan perang bisa dibuat macam-macam, baik atas nama agama, nasionalisme, harga diri, atau apa. Padahal, itu belum tentu alasan yang paling real dan paling masuk akal.

Ambillah contoh dari gema perang yang dikobarkan untuk kasus Ambalat. Nasionalisme kita dianggap terganggu. Padahal persoalan sebetulnya bukan pada nasionalisme yang diinjak-injak, tapi soal hukum perbatasan, implikasi ekonominya dan lain-lain. Tapi yang digelorakan adalah semangat kebangsaan yang kurang lebih distortif itu.

Post a Comment

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design