Oleh
Cecep Ramli Bihar Anwar
05/07/2002
Fazlur
Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan
dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling
rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan
belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak
benua ini terkenal dengan para pemikir islam liberalnya, seperti Syah Wali
Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal.
A. Potret Seorang Intelektual Neomodernis
1. Latar
Belakang sosial dan Intelektual
Fazlur
Rahman dilahirkan pada tahun 1919 di daerah barat laut Pakistan. Ia dibesarkan
dalam keluarga yang bermadzhab Hanafi, suatu madzhab fiqih yang dikenal paling
rasional di antara madzhab sunni lainnya. Ketika itu anak benua Indo-Pakistan
belum terpecah ke dalam dua negara merdeka, yakni India dan Pakistan. Anak
benua ini terkenal dengan para pemikir
islam liberalnya, seperti Syah Wali Allah, Sir Sayyid Ali dan Iqbal.
Sejak
kecil sampai umur belasan tahun, selain mengenyam pendidikan formal, Rahman
juga menimba banyak ilmu tradisional dari ayahnya--seorang kyai yang mengajar
di madrasah tradisional paling bergengsi di anak benua Indo-Pakistan. [1] Menurut Rahman sendiri, ia dilahirkan dalam
keluarga muslim yang amat religius. Ketika menginjak usia yang kesepuluh, ia
sudah bisa membaca Al-Qur’an di luar kepala. [2] Ia juga menerima ilmu hadis
dan ilmu syariah lainnya. Menurut Rahman, berbeda dengan kalangan tradisional
pada umumnya, ayahnya adalah seorang kyai tradisional yang memandang modernitas
sebagai tantangan yang perlu disikapi, bukannya dihindari. Ia apresiatif
terhadap pendidikan modern. Karena itu,
keluarga Rahman selain kondusif bagi perkenalannya dengan ilmu-ilmu dasar
tradisional, juga bagi kelanjutan karier pendidikannya.
Selain
itu, latar sosial anak benua Indo-Pakistan yang telah melahirkan sejumlah
pemikir Islam liberal, seperti disinggung di
atas, juga merupakan benih-benih dari mana pikiran liberal Rahman dan skeptisisme Rahman tumbuh. Misalnya,
Rahman sangat apresiatif terhadap pemikiran pendahulunya. Bahkan dalam
pembahasannya mengenai wahyu ilahi dan nabi, ia secara eksplisit mengakui bahwa
pemikirannya merupakan kelanjutan dari pemikiran pendahulunya, yakni Sah Wali
Allah dan Muhammad Iqbal:
Dengan
demikian, argumen saya tentang kemapanan karakter wahyu Al-Qur’an terdiri dari
dua bagian. Dalam bagian Pertama, saya telah menyetujui—dan tidak berbuat lebih
lagi terhadap—pernyataan-pernyataan syah wali Allah dan Muhammad Iqbal yang
menerangkan proses psikologis wahyu.[3]
2. Latar
Belakang Pendidikan dan Pengalaman
Setelah
menamatkan sekolah menengah, Rahman mengambil studi bidang sastra arab di
Departeman Ketimuran pada Universitas Punjab. Pada tahun 1942, ia berhasil
menyelesaikan studinya di Universitas tersebut dan menggondol gelar M. A dalam
sastra Arab. Merasa tidak puas dengan pendidikan di tanah airnya, pada 1946,
Rahman melanjutkan studi doktoralnya ke Oxford University, dan berhasil meraih
gelar doktor filsafat pada tahun 1951. Pada masa ini seorang Rahman giat
mempelajari bahasa-bahasa Barat, sehinga ia menguasai banyak bahasa. Paling
tidak ia menguasai bahasa Latin, Yunani, Inggris, Perancis, Jerman, Turki,
Persia, Arab dan Urdu.[4] Ia mengajar beberapa saat di Durham University,
Inggris, kemudian menjabat sebagai Associate Professor of Philosophy di Islamic
Studies, McGill University, Kanada.
Sekembalinya
ke tanah air, Pakistan, pada Agustus
1962, ia diangkat sebagai direktur pada Institute of Islamic Research.
Belakangan, ia juga diangkat sebagai anggota Advisory Council of Islamic
Ideology Pemerintah Pakistan, tahun 1964. Lembaga Islam tersebut bertujuan
untuk menafsirkan islam dalam term-term rasional dan ilmiah dalam rangka
menjawab kebutuhan-kebutuhan masyarakat modern yang progresif. Sedangkan Dewan
Penasehat Ideologi Islam bertugas meninjau seluruh hukum baik yang sudah maupun
belum ditetapkan, dengan tujuan menyelaraskannya dengan “Al-Qur’an dan Sunnah”. Kedua lembaga ini memiliki hubungan kerja
yang erat, karena Dewan Penasehat bisa meminta lembaga riset untuk mengumpulkan
bahan-bahan dan mengajukan saran mengenai rancangan undang-undang.[5]
Karena
tugas yang diemban oleh kedua lembaga inilah Rahman intens dalam usaha-usaha
menafsirkan kembali Islam untuk menjawab tantangan-tantangan masa itu. Tentu
saja gagasan-gagasan liberal Rahman, yang merepresentasikan kaum modernis, selalu mendapatkan serangan dari kalangan
ulama tradisionalis dan
fundamentalis di Pakistan. Ide-idenya di seputar riba dan bunga bank,
sunnah dan hadis, zakat, proses turunnya wahyu Al-Qur’an, fatwa mengenai
kehalalan binatang yang disembelih secara mekanis, dan lainnya, telah
meledakkan kontroversi-kontroversi
berskala nasional yang berkepanjangan. Bahkan pernyataan Rahman dalam
karya magnum opusnya, Islam, bahwa “Al-Qur’an itu secara keseluruhannya adalah
kalam Allah dan—dalam pengertian biasa—juga seluruhnya adalah perkataan
Muhammad”, telah menghebohkan media massa selama kurang lebih setahun. Banyak
media yang menyudutkannya. Al-Bayyinat, media kaum fundamentalis, misalnya,
menetapkan Rahman sebagai munkir al-Quran. Puncak kontroversi ini adalah
demonstrasi massa dan aksi mogok total, yang menyatakan protes terhadap buku
tersebut. Akhirnya, Rahman pun mengajukan pengunduran dirinya dari jabatan
Direktur Lembaga Riset Islam pada 5 September 1968. Jabatan selaku anggota
Dewan Penasehat Ideologi Islam juga dilepaskannya pada 1969.
Akhirnya,
Rahman memutuskan hijrah ke Chicago untuk menjabat sebagai guru besar dalam
kajian Islam dalam segala aspeknya pada Departement of Near Eastern Languages
and Civilization, University of Chicago. Bagi Rahman, tampaknya tanah airnya
belum siap menyediakan lingkungan kebebasan intelektual yang bertanggungjawab.
3. Perkembangan
Pemikiran dan Karya-karyanya
Dari
selintas perjalanan hidup Fazlur Rahman di atas, Taufik Adnan Amal membagi perkembangan pemikirannya
ke dalam tiga
babakan utama, yang di dasarkan pada perbedaan karakteristik karya-karyanya: (I) periode
awal (dekade 50-an); periode Pakistan (dekade 60-an); dan periode Chicago
(dekade 70-an dan seterusnya).[6]
Ada
tiga karya besar yang disusun Rahman pada periode awal: Avicenna’s Psychology
(1952); Avicenna’s De Anima (1959); dan Prophecy in Islam: Philosophy and
Orthodoxy (1958). Dua yang pertama merupakan terjemahan dan suntingan karya Ibn
Sina (Avisena). Sementara yang terakhir mengupas perbedaan doktrin kenabian
antara yang dianut oleh para filosof dengan yang dianut oleh ortodoksi. Untuk melacak pandangan filosof,
Rahman mengambil sampel dua filosof ternama, Al-Farabi (870-950) dan Ibn Sina
(980-1037). Secara berturut-turut, dikemukakan pandangan kedua filosof tersebut
tentang wahyu kenabian pada tingkat intelektual, proses psikologis wahyu tehnis
atau imaninatif, doktrin mukjizat dan konsep dakwah dan syariah. Untuk mewakili
pandangan ortodoksi, Rahman menyimak pemikiran Ibn Hazm, Al-Ghazali,
Al-Syahrastani, Ibn Taymiyah dan Ibn Khaldun. Hasilnya adalah kesepekatan
aliran ortodoks dalam menolak pendekatan
intelektualis-murni para filosof terhadap fenomena kenabian. Memang, Kalangan
mutakallimun tidak begitu keberatan menerima kesempurnaan intelektual nabi.
Tapi mereka lebih menekankan nilai-nilai syariah ketimbang intelektual.
Rahman
sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada perbedaan mendasar antara posisi
filosofis dan ortodoksi. Sebab, perbedaan ada sejauh pada tingkat penekanan
saja. Menurut para filosof, nabi menerima wahyu dengan mengidentifikasikan
dirinya dengan Intelek Aktif; sementara menurut ortodoksi nabi menerima wahyu
dengan mengidentifikasikan dirinya dengan malaikat. Sementara para filosof
lebih menekankan kapasitas alami nabi sehingga menjadi “nabi-manusia”,
ortodoksi lebih suka meraup karakter ilahiah dari mukjziat wahyu ini. Kelak,
pandangan ini cukup mempunyai pengaruh terhadap pandangan Rahman tentang proses
“psikologis” nabi menerima wahyu. Seperti halnya teori para filosof dan kaum
ortodoks, Rahman berteori bahwa Nabi mengidentifikasikan dirinya dengan hukum moral.[7]
Pada
periode kedua (Pakistan), ia menulis buku yang berjudul: Islamic Methodology in
History (1965). Penyusunan buku ini bertujuan untuk memperlihatkan: (I) evolusi
historis perkembangan empat prinsip dasar (sumber pokok) pemikiran
Islam—Al-Qur’an, Sunnah, Ijtihad dan Ijma’; dan
(ii) peran aktual prinsip-prinsip ini dalam perkembangan sejarah Islam
itu sendiri. Buku kedua yang ditulis Rahman pada periode kedua ini adalah
Islam, yang menyuguhkan—meminjam istilah Amin Abdullah—rekontruksi sistemik terhadap
perkembangan Islam selama empat belas abad. Buku ini boleh dibilang sebagai
advanced introduction tentang Islam.
Pada
periode Chicago, Rahman menyusun: The Philosophy of Mulla Sadra (1975), Major
Theme of the Qur’an (1980); dan Islam and Modernity:Transformatioan of an
intellektual tradition (1982).
Kalau
karya-karya Rahman pada periode pertama boleh dikata bersifat kajian historis,
pada periode kedua bersifat hitoris sekaligus interpretatif (normatif), maka
karya-karya pada periode ketiga ini lebih bersifat normatif murni. Pada periode
awal dan kedua, Rahman belum secara terang-terangan mengaku terlibat langsung
dalam arus pembaruan pemikiran Islam. Baru pada periode ketiga Rahman mengakui
dirinya, setelah mebagi babakan pembaruan dalam dunia Islam, sebagai juru
bicara neomodernis.
B. Proyek Membuka Pintu Ijtihad
Temuan
historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Qur’an,
Sunnah, Ijtihad dan Ijma’), dalam bukunya Islamic Methodology in History
(1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum)
Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih
penting lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Qur’an yang merupakan jantung
ijtihadnya.
Dalam
kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah
ideal Nabi SAW dan aktivitas ijtihad-ijma’. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim
awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah
ideal nabi SAW yang kemudian menjelma
menjadi ijma’ atau sunnah yang hidup. Di
sini, secara tegas Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal
nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum muslim awal atau ijma’ sahabat
di sisi lain. Dengan demikian, ijma’ pada asalnya tidaklah statis, melainkan
berkembang secara demokratis, kreatif
dan berorientasi ke depan.[8] Namun demikian, karena keberhasilan gerakan
penulisan hadis secara besar-besaran yang dikampanyekan Al-syafi’I untuk
menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma’ tersebut, proses ijtihad-ijma’
terjungkirbalikkan menjadi ijma’-ijtihad. Akibatnya, ijma’ yang tadinya
berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat
kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak dari proses reifikasi ini
adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh
masehi.[9]
Berpijak
pada temuan historis ini, Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya
pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil
masail, dan ijtihad fil madzhab. Rahman
mendobrak doktrin ini dengan beberapa langkah: Pertama (1), menegaskan bahwa
ijtihad bukanlah hak privilise eksklusif golongan tertentu dalam masyarakat
muslim; Kedua (2), menolak kualifikasi
ganjil mengenai ilmu gaib
misterius sebagai syarat ijtihad; dan Ketiga (3), memperluas cakupan ranah
ijtihad klasik. Hasilnya adalah satu kesimpulan Rahman: ijtihad baik secara
teoritis maupun secara praktis senantiasa terbuka dan tidak pernah
tertutup.[10] Tetapi, Rahman pun
tampaknya tidak ingin daerah teritorial kebebasan ijtihad yang telah
dibukanya—sebagai hasil dari liberalisasinya terhadap konsep ijtihad—menjadi
tempat persemaian dan pertumbuhan ijtihad yang liar, sewenang-wenang,
serampangan dan tidak bertanggung jawab. Ijtihad yang diinginkan Rahman adalah
upaya sistematis, komprehensif dan berjangka panjang. Untuk mencegah ijtihad yang sewenag-wenang
dan merealisasikan ijtihad yang bertanggung jawab itulah, Rahman mengajukan
metodologi tafsirnya, yang disusun belakangan pada periode Chicago. Dan dalam
konteks inilah metodologi tafsir Rahman
yang dipandangnya sebagai “the correct prosedure for understanding the Qur’an”
atau “ the correct methode of Interpreteting The Qur’an” [11] memainkan peran sentral
dalam seluruh bangunan pemikirannya. Metodologi tafsir Rahman merupakan jantung
ijtihadnya sendiri. Hal ini selain didasarkan pada fakta bahwa Al-Qur’an
sebagai sumber pokok ijtihad, juga yang lebih penting lagi adalah didasarkan
pada pandangannya bahwa seluruh bangunan syariah harus diperiksa dibawah
sinaran bukti Al-Qur’an:
Seluruh
kandungan syari’ah mesti menjadi sasaran penilikan yang segar dalam sinaran
bukti Al-Qur’an. Suatu penafsiran Al-Qur’an yang sistematis dan berani harus
dilakukan. [12]
Akan
tetapi, justru persoalannya terletak
pada kemampuan kaum muslim untuk mengkonsepsi Al-Qur’an secara benar. Rahman
menegaskan:
bukan
hanya kembali kepada Al-Qur’an dan sunnah sebagai mana yang dilakukan pada masa
lalu, tetapi suatu pemahaman terhadap keduanyalah yang akan memberikan pimpinan kepada kita
dewasa ini. Kembali ke masa lampau secara sederhana, tentu saja kembali keliang
kubur. Dan ketika kita kembali kepada generasi muslim awal ,pasti kita temui
pemahaman yang hidup terhadap Al-Qur’an dan sunnah.[13]
C. Apa itu Al-Qur’an dan Apa Tujuan Metodologi
Tafsir
Pandangan
Rahman mengenai Al-Qur’an merupakan landasan bagi perumusan metodologi
tafsirnya. Bahwa Al-Qur’an itu adalah kalam Allah yang diwahyukan kepada nabi
Muhammad SAW, menurut Rahman, merupakan kepercayaan pokok. Tanpa kepercayaan
ini, tidak seorang pun yang bahkan dapat menjadi muslim nominal (hanya nama
saja). Karena itu, Rahman memberikan argumen yang sangat kokoh untuk menegaskan
kemapanan karakter wahyu dari Al-Qur’an ini. Rahman mengutip kembali apa yang telah
ditulisnya dalam Islam:
Bagi
Al-Qur’an sendiri, dan konsekwensinya juga
bagi kaum muslimin, Al-Qur’an adalah kalam Allah. Muhammad juga dengan
tegas meyakinai bahwa ia adalah penerima risalah dari Tuhan, yang sepenuhnya
lain, demikian hebatnya, hingga ia menolak—atas dasar kuatnya keyakinan
ini—beberapa klaim mendasar dari tradisi Yudeo-Kristiani mengenai Ibrahim dan
nabi-nabi lainnya.[14]
Konsepsinya
mengenai Al-Qur’an secara sederhana
dapat dijabarkan ke dalam nuktah-nuktah sebagai berikut:
1. Al-Qur’an
secara keseluruhannya adalah kalam Allah, dan dalam pengertian biasa, juga
seluruhnya adalah perkataan Muhammad.[15]
2. Al-Qur’an
adalah respon ilahi, melalui ingatan dan pikiran nabi, terhadap situasi
moral-sosial arab pada masa nabi, khususnya kepada masalah-masalah masyarakat
dagang makkah pada waktu itu. [16]
3. Karenanya,
semangat atau elan vital Al-Qur’an
adalah semangat moral, darimana ia menekankan monoteisme dan keadilan sosial.
Hukum moral adalah abadi, ia adalah hukum Allah. [17] Al-Qur’an terutama sekali
adalah sebuah prinsip-prinsip dan seruan-seruan keagamaan serta moral, bukan
sebuah dokumen legal. karenanya, keabadian kandungan legal spesifik Al-Qur’an
terletak pada prinsip-prinsip moral yang menasarinya, bukan pada
ketentuan-ketentuan harfiahnya.
4. Al-Quran
merupakan sosok ajaran yang koheren dan kohesif. Kepastian pemahaman tidaklah
terletak pada arti dari ayat-ayat individual Al-Qur’an, tetapi terdapat pada
Al-Qur,an secara keseluruhan, yakni suatu satu set prinsip-prinsip dan
nilai-nilai yang koheren di mana keseluruhan ajarannya bertumpu.
5. Al-Qur’an
adalah dokumen untuk manusia, bukan risalah mengenai Tuhan. Perhatian utama
Al-Qur’an adalah perilaku manusia.[18]
Karenanya ia lebih berorientasi pada aksi moral ketimbang spekulasi
intelektual.
6. Tetapi, di
atas segalanya, dalam kenyataannya, Al-Qur’an itu laksana puncak gunung es yang
terapung: sembilan sepersepuluh darinya terendam di bawah permukaan air sejarah
dan hanya sepersepuluh darinya yang tampak ke permukaan. Tidak satupun dari
orang-orang yang telah serius berupaya memahami al-Qur’an dapat menolak
kenyataan bahwa sebagian besar Al-Qur’an
mensyaratkan pengetahuan mengenai situasi-situasi kesejarahan yang baginya
pernyataan-pernyataan Al-Qur’an memberikan solusi-solusi, komentar-komentar dan
respon. [19]
Sampai
pada titik ini, Rahman menandaskan bahwa tujuan ideal-moral Al-Qur’an yang
merupakan elan vitalnya itu telah terkubur
dalam endapan geologis sebagai akibat dari proses reifikasi yang begitu
panjang. Hal ini merupakan harga yang harus dibayar (cost) dari
perluasan wilayah islam yang terlalu cepat, tanpa diimbangi infrastruktur
tingkat pemahaman keagamaan yang memadai. Karena itu, metodologi yang
diharapkan adalah metodologi yang, tentu saja, bisa menembus endapan sejarah tersebut sampai lapisan terdalam.
Dengan
demikian, dapat pahami bahwa tujuan
metodologi tafsir bagi Rahman
adalah untuk menangkap
kembali pesan moral universal Al-Qur’an yang obyektif itu,
dengan cara membiarkan Al-Qur’an berbicara sendiri, tanpa ada paksaan dari luar
dirinya, untuk kemudian diterapkan pada realitas kekinian. Misalnya, dalam
masalah hukum, bagi Rahman, tujuan
tafsirnya adalah untuk menangkap resiones logis yang berada di balik pernyataan
formal Qur’an. Untuk inilah Rahman sering
menyebut-nyebut kasus ijtihad Umar bin Khaththab yang dinilainya sebagai
preseden baik (uswah) untuk mengeneralisasikan prinsip-prinsip dan nilai-niali
umum yang berada di bawah permukaan Sunah dan bahkan teks Al-Qur’an.
D. Metodologi Tafsir Rahman
Metodologi tafsir Rahman tidak bisa lepas dari agenda pembaruan
sebelumnya. Karenanya, ada baiknya dikemukakan terlebih dahulu pandangannya
mengenai dialektika perkembangan pembaruan yang muncul dalam dunia Islam. Rahman membagi gerakan pembaruan ke dalam empat gerakan. Gerakan pertama
adalah revivalisme pra modernis yang lahir pada abad ke 18 dan 19 di Arabia,
India dan Afrika. Gerakan ini muncul secara orisinal dari dunia Islam, bukan
merupakan reaksi terhadap barat. Gerakan ini secara sederhana mempunyai
ciri-ciri umum: (a) keprihatinan yang mendalam terhadap degenarasi sosio-moral
umat Islam; (b) imbauan untuk kembali kepada Islam yang sebenarnya, dengan
memberantas takhayul-takhayul dan dengan
membuka dan melaksanakan ijtihad; (c) imbauan untuk membuang sikap
fatalisme; dan (d) imbauan untuk melaksanakan pembaruan ini lewat jihad jika
diperlukan.
Menurut
Rahman, dasar pembaruan revivalisme pramodernis ini kemudian dikembangkan oleh
gerakan kedua, modernisme klasik, yang muncul pada abad ke-19 dan awal abad
ke-20 di bawah pengaruh ide-ide barat. Pengembangannya terletak pada usaha
gerakan ini untuk memperluas isi ijtihad—dan juga agenda gerakan—seperti isu
tentang hubungan akal dan wahyu, pembaruan sosial terutama pada bidang pendidikan dan status wanita,
pembaruan politik untuk membetuk pemerintahan yang representatif dan
konstitusional. Jasa modernisme klasik ini adalah usahanya untuk menciptakan
hubungan harmonis antara pranata-pranata barat dengan tradisi Islam dalam
kacamata Al-Qur’an dan sunnah. Hanya saja,
penafsiran mereka terhadap Qur’an dan sunnah ini tidak ditopang dengan
metodologi yang memadai. Mereka lebih banyak mengadopsi isu-isu dari barat dan
membungkusnya dengan bahasa “Qur’an”. Akibatnya, gerakan ini samasekali tidak
bisa lepas dari kesan barat sentris, atau bahkan dari tuduhan sebagai
gerakan antek-antek barat yang ingin
merusak Islam, bak kanker, dari dalam dunia Islam sendiri.
Reaksi
terhadap modernisme klasik ini adalah gerakan ketiga, yakni neorevivalisme atau
revivalisme pascamodernis, yang memandang bahwa Islam itu mencakup segala aspek
kehidupan manusia, baik individual maupun kelompok. Pandangan ini mirip dengan
basis pemikiran modernisme klasik. Namun karena sifatnya yang reaksioner, ingin
membedakan dirinya dengan barat, gerakan ini cenderung menutup diri, apologetis
dan tidak otentik.
Di
sela-sela pengaruh neorevivalisme inilah gerakan neomodernis muncul, dan Rahman
mengaku dirinya sebagai juru bicara gerakan ini. Bagi Rahman, ada dua kelemahan
mendasar modrnisme klasik ini yang menyebabkan timbulnya reaksi dari
neorevivalisme. Pertama, karena sifatnya yang kontroversialis-apologetis
terhadap barat, gerakan ini tidak mampu melakukan interpretasi yang sistematis
dan menyeluruh terhadap Islam. Akibatnya, penafsiran mereka terhadap Al-Qur’an
lebih bersifat ad hoc dan parsial. Kedua, isu-isu yang mereka angkat berasal
dari dan dalam dunia barat sehingga ada kesa kuat bahwa mereka terbaratkan atau
agen westernisasi.
Menurut
Rahman, neomodernisme harus mengembangkan sikap kritis baik terhadap barat
maupun terhadap khazanah klasik warisan Islam.
Dalam konteks inilah ia mengatakan bahwa tugas yang paling mendasar dari
kalangan neomodernisme ini adalah mengembangkan suatu metodologi yang tepat dan
logis untuk mempelajari al-Qur’an guna mendapatkan petunjuk bagi masa depannya.
Dengan metodologi ini Rahman menjanjikan bahwa metodologi yang ditawarkannya
dapat menghindari pertumbuhan ijtihad yang liar dan sewenang-wenang,
sebagaimana yang terjadi sebelumnya.[20]
Metodologi tafsir Fazlur Rahman merupakan gerakan ganda (bolak-balik).
Yang pertama dari dua gerakan ini terdiri dari dua langkah. Pertama, memahami
arti atau makna suatu
pernyataan Al-Qur’an, dengan
mengkaji situasi atau problem historis dari mana jawaban dan
respon Al-Qur’an muncul. Mengetahui makna spesifik dalam sinaran latar belakang spesifiknya,
tentu saja, menurut Rahman juga harus ditopang dengan suatu kajian mengenai situasi makro dalam
batasan-batasan agama, masyarakat, adat-istiadat dan lembaga-lembaga, serta
mengenai kehidupan menyeluruh Arab pada saat Islam datang. Langkah kedua dari
gerakan pertama ini adalah menggeneralisasikan dari jawaban-jawaban spesifik,
pernyataan-pernyataan yang memiliki tujuan-tujuan moral-sosial umum, yang dapat
disarikan dari ayat-ayat spesifik dengan sinaran latar belakang historis dan
rationes logis yang juga kerap
dinyatakan oleh ayat sendiri. Yang harus diperhatikan selama langkah ini adalah
ajaran Al-Qur’an sebagai keseluruhan, sehingga setiap arti yang ditarik, setiap
hukum yang disimpulkan dan setiap tujuan yang dirumuskan koheren satu sama
lain. Ini sesuai dengan klaim Al-Qur’an sendiri bahwa ajarannya tidak
mengandung kontradiksi-dalam dan koheren secara keseluruhan. Langkah ini juga bisa dan selayaknya dibantu
oleh pelacakan terhadap pandangan-pandangan kaum muslim awal. Menurut Rahman,
sampai sekarang sedikit sekali usaha yang dilakukan untuk memahami Al-Qur’an
secara keseluruhan.
Bila
gerakan yang pertama mulai dari hal-hal
yang spesifik lalu ditarik menjadi prinsip-prinsip umum dan nilai-nilai moral
jangka panjang, maka gerakan kedua ditempuh dari prinsip umum ke pandangan
spesifik yang harus dirumuskan dan direalisasikan ke dalam kehidupan sekarang.
Gerakan kedua ini mengandaikan adanya kajian yang cermat atas situasi sekarang
sehingga situasi sekarang bisa dinilai dan dirubah sesuai dengan
priortitas-prioritas moral tersebut. Apabila kedua momen gerakan ini ditempuh
secara mulus, maka perintah Al-Qur’an akan menjadi hidup dan efektif kembali.
Bila yang pertama merupakan tugas para ahli sejarah, maka dalam pelaksanan
gerakan kedua, instrumentalis sosial muthlak diperlukan, meskipun kerja
rekayasa etis yang sebenarnya dalah kerja ahli etika.
Momen
gerakan kedua ini juga berfungsi sebagai alat koreksi terhadap momen pertama,
yakni terhadap hasil-hasil dari penafsiran. Apabila hasil-hasil pemahaman gagal
diaplikasikan sekarang, maka tentunya telah terjadi kegagalan baik dalam
memahami Al-Qur’an maupun dalam memahami situasi sekarang.[21] Sebab, tidak mungkin bahwa sesuatu yang
dulunya bisa dan sungguh-sungguh telah direalisasikan ke dalam tatanan spesifik
di masa lampau, dalam konteks sekarang tidak bisa.
Gerakan ganda ini, digambarkan oleh Taufik Andnan
Amal dengan tiga langkah metodologis utama: (a) pendekatan historis untuk
menemukan makna teks al-Quran dalam bentangan karir dan perjuangan nabi; (b)
pembedaan antara ketetakpan legal dan tujuan Al-Quran; (c) pemahaman dan
penetapan sasaran Al-Qur’an dengan
memperhatikan sepenuhnya latar sosiologis.
Berkaitan dengan butir pertama, Rahman mengungkapkan:
Suatu
pendekatan historis yang serius dan jujur harus digunakan untuk menemukan makna
teks Al-Qur’an…Pertama-tama, Al-Qur’an harus dipelajari dalam tatanan
historisnya. Mengawali dengan
pemeriksaan terhadap bagian-bagian wahyu paling awal akan memberikan
suatu persepsi yang cukup akurat mengenai dorongan dasar gerakan Islam,
sebagaimana dibedakan dari pranata-pranata yang dibangun belakangan. Dan
demikianlah, seseorang harus mengikuti bentangan Al-Qur’an sepanjang karir dan
perjuangan nabi…Metode ini akan menunjukkan secara jelas makna keseluruhan
Al-Quran dalam suatu cara yang sistematis dan koheren.
Mengenai pembedaan antara ketetapan legal dan tujuan
moral Al-Qur’an, Rahman menulis:
Kemudian
seseorang telah siap untuk membedakan antara ketetapan legal dan sasaran
Al-Qur’an, dimana hukum diharapkan mengabdi kepadanya. Di sekali lagi seseorang
berhadapan dengan bahaya subyektivitas, tetapi hal ini dapat direduksi
seminimum mungkin dengan menggunakan Al-Qur’an itu sendiri. Sudah terlalu
sering diabaikan baik oleh kalangan non-muslim maupun muslim sendiri bahwa
Al-Quran biasanya memberikan alasan-alasan bagi pernyataan-pernyataan legal
spesifiknya.
Mengenai
butir ketiga, Rahman menulis:
Sasaran
Al-Qur’an harus dipahami dan ditetapkan, dengan tetap memberi perhatian
sepenuhnya terhadap latar
sosiologis—yakni lingkungan dimana nabi bekerja dan bergerak.
Metodologi
tafsir Rahman ini bisa dilihat dalam bagan sebagai berikut:[22]
BAGAN
METODOLOGI TAFSIR RAHMAN
Word
of God
Inaugurating
Event
Transmission
Officially
Closed Corpus
Interpreted
Corpus
History
of Salvation
Community
of Believers
Tradition
Collective memorization, seslection, elimination,
Crystallization,
Mythologyzation, Sacralization
SOCIETIES
Social
Iaginaire
Emergency
of Critical
Rationality
[1]Taufik
Adnan
Amal, Islam dan Tantangan Modernitas: Studi Atas Pemikiran Hukum
fazlur
Rahman, (Bandung: Mizan, 1996), h.
79-80.
[2]Fazlur
Rahman,
“Membangkitkan Kembali Visi Al-Qur’an: Sebuah Catatan
Otobiografis”,
dalam Jurnal Al-Hikmah, Dzulhijjah
1412-Rabi’ Al-Awwal 1413/Juli-Oktober 1992, h. 59.
[3]Fazlur
Rahman,
Metode dan alternatif…, op. cit., h. 43.
[4]Taufik
Adnan
Amal, Op. Cit., h. 81.
[5]Taufik
Adnan
Amal, “Fazlur Rahman dan Usaha-usaha Neomodernisme Islam Dewasa Ini”,
dalam
Fazlur Rahman, Metode dan Alternatif…,
h. 13-14.
[6]Taufik
Adnan
Amal, Op. Cit., h. 112.
[7]Ibid,
h.
116. Fazlur Rahman, Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1996),
h.
116.