Dimoderatori
oleh Luthfi Assyaukanie, diskusi berikut mengangkat isu sekularisme dalam Islam
yang merupakan salah satu tema terhangat dalam Milis tersebut.
Sejak
didirikan pada 8 Maret 2001, kelompok diskusi (Milis) Islam Liberal
(islamliberal@yahoogroups.com) telah mendiskusikan berbagai hal mengenai Islam,
negara, dan isu-isu kemasyarakatan. Kelompok diskusi ini diikuti oleh lebih
dari 200 anggota, termasuk para penulis, intelektual, dan pengamat politik seperti
Taufik Adnan Amal, Rizal Mallarangeng, Denny JA, Eep Saifulloh Fatah,
Hadimulyo, Ulil Abshar-Abdalla, Saiful Mujani, Hamid Basyaib, dan Ade Armando.
Dimoderatori oleh Luthfi Assyaukanie, diskusi berikut mengangkat isu
sekularisme dalam Islam yang merupakan salah satu tema terhangat dalam Milis
tersebut.
Luthfi
Assyaukanie:
Apa yang
sedang dilakukan Denny JA dengan program sekularisasinya (khususnya pada level
politik), saya kira, merupakan kelanjutan dari program-program serupa yang
dilakukan oleh para tokoh dan intelektual Islam. Saya cukup terkejut ketika
membaca buku Karen Armstrong, The Battle for God, bahwa Imam Ja'far al-Shadiq,
salah seorang Imam Dua Belas, dianggap sebagai penganjur “sekularisasi” sejati.
Untuk lebih jelasnya, saya kutipkan pernyataan Armstrong tersebut:
“Imam Syiah keenam, Ja’far al-Shadiq (meninggal tahun
765) secara efektif memisahkan agama dari politik. Ia memprivatisir agama dan
membatasinya dalam wilayah pribadi. Hal ini dilakukannya untuk melindungi
agama, sehingga agama dapat terus bertahan dalam dunia yang tampak memusuhinya.
Kebijakan sekularisasi ini datang dari insting spiritual. Kaum Syiah tahu bahwa
mencampuradukkan agama dengan politik bisa berbahaya.” (Karen Armstrong, Battle
for God, hal. 46).
Ini tentu
saja sebuah pernyataan yang menarik. Karena selama ini, ide tentang
sekularisasi datang dari kalangan modernis. Tak pernah terpikirkan sebelumnya
bahwa ada tokoh Islam, apalagi seorang Imam, yang punya gagasan seperti itu.
Taufik
Adnan Amal:
Menurut
saya, pemisahan antara otoritas spiritual dan temporal, secara aktual, dimulai
dengan berkuasanya dinasti Umayyah. Administrasi negara ummat Islam, sejak saat
itu, mulai memperoleh karakter temporal. Sebagian besar para administrator
Umayyah memang orang-orang beriman (Muslim), tetapi -- dengan satu eksepsi
tunggal, yakni Umar ibn Abd al-Aziz (Umar ke-2) -- concern utama mereka adalah
politik, ketimbang agama. Berbeda dengan empat khalifah pertama (al-khulafa'
al-rasyidun), para penulis Muslim ketika itu menyebut para penguasa Umayyah
sebagai “pangeran-pangeran” atau “raja-raja” -- titel-titel dengan makna
pejoratif bagi telinga-telinga yang religius. Sejak berkuasanya dinasti
Umayyah, permasalahan-permasalahan agama tidak lagi diselesaikan di bawah
naungan para khalifah.
Pemisahan
otoritas spiritual dan temporal merupakan akibat wajar dari perkembangan
politik, sekalipun tidak terdapat ijma' yang eksplisit tentangnya. Pusat
pemerintahan kaum Muslimin dipindahkan dari Madinah ke Damaskus, tetapi para
ulama tidak mengikuti kepindahan ini. Pemindahan pusat pemerintahan itu, dengan
demikian, merupakan upaya sekularisasi yang dijalankan secara sistematis oleh
para penguasa Umayyah. Para ulama tetap bertahan di Kota Nabi, dan membentuk
mazhab yang belakangan mengakar di seluruh kota Islam, kecuali di Damaskus --
pusat kekuasaan dinasti Umayyah -- yang hampir-hampir tidak memiliki satu wakil
pun.
Independensi
otoritas agama, yang diwakili para ulama, membuat mereka mampu mengembangkan
pemikiran keagamaan tanpa intervensi yang berarti dari penguasa.
Gagasan-gagasan religius mereka, dalam kenyataannya, hanyalah intellectual
exercise yang kemudian diawetkan dalam kitab-kitab kuning, karena tidak
memiliki otoritas untuk mengaplikasikannya -- otoritas ini, tentu saja, dipegang
penguasa politik.
Luthfi
Assyaukanie:
Terikamasih
Taufik, penjelasan seperti yang Anda berikan sering saya dengar dari Cak Nur.
Cak Nur pernah mengatakan bahwa pada tingkat negara (politik), sekularisasi
telah dimulai tak lama setelah Nabi wafat, dan mencapai puncaknya pada masa
Bani Umayyah dan Bani Abbasiyyah. Kasus Ja'far Shadiq, saya kira cukup unik,
karena dia mewakili kubu ulama dan bukan penguasa.
Raja-raja
Arab (khalifah) memang sangat sekular. Dan bahkan semua mereka --kecuali
Shafawiyah di Iran-- mendirikan negara secara sangat tribalistik. Perhatikanlah
nama-nama kerajaan itu: “Umawiyyah” yang berarti klan Umayyah ibn Salt,
“Abbasiyyah” yang berarti klan Abbas ibn Mutthalib, pamannya Nabi, dan
“Utsmaniyyah,” “Fathimiyyah,” “Ayyubiyyah,” dll. Semuanya merujuk pada sistem
tribalisme (nama-nama tokoh penting dalam sebuah suku). Ini suatu kemunduran
luar biasa jika kita melihat semangat Muhammad yang pernah bilang: “Laysa minna
man da'a ila al-ashabiyyah” (bukan dari golonganku siapa saja yang menyeru pada
tribalisme). Satu-satunya kerajaan yang dibangun berdasarkan “ideologi” adalah
kaum Shafawiyyah yang berasal dari gerakan filsafat-mistik undergorund
“Shafawi” yang berhasil mendirikan negara dan menjadi saingan penting
Utsmaniyyah-Turki dan Moghul-India.
Gagasan
“negara Islam” sebenarnya adalah ide baru. Bahkan lebih baru dari “negara
demokrasi.” Yang pertama melontarkannya adalah Iqbal ketika ia mengajak
teman-temannya di All Indian-Muslim mendirikan negara Islam yang terpisah dari
India. Iqbal mungkin tidak memaksudkan konsep itu sebagai gagasan dengan
citranya seperti yang kita rasakan sekarang (radikal dan fundamentalistik).
“Negara Islam” adalah konsep baru. Dia tidak pernah dikenal pada masa Nabi,
pada masa Khulafaurrasyidin, apalagi pada masa Umayyah dan negara-negara
tribalistik lainnya. Karena itu, salah besar kalau para pendukung konsep ini
mengacu kepada momen historis tertentu. Karena ia tidak memiliki rujukan
sejarah.
Saya kira,
Maududi dan Qutb sangat nekat ketika menggunakan istilah “dawlah islamiyyah”
dengan seolah-olah menganggapnya sebagai sebuah konsep baku yang ada dalam
doktrin Islam. Istilah “dawlah” sendiri dalam bahasa Arab tidak ada kaitannya
dengan negara. Ia simply berarti “giliran” (kata Alquran: wa tilkal ayyamu nudawiluha
baynannas). Ketika kita mengatakan “Dawlah Umawiyyah” itu artinya “Giliran
Umawiyyah,” begitu juga “Giliran Abbasiyyah,” “Giliran Utsmaniyyah,” dll. Di
sini, relasi kekuasaan tampak lebih berperan ketimbang konsep “negara” seperti
dibilang Maududi atau Qutb.
Kalau
merujuk sejarah Islam sepanjang masa, negara sekular --dan bukan negara agama--
sebetulnya memiliki justifikasi yang sangat kuat. Tinggal persoalannya, bentuk
negara sekular mana yang akan kita inginkan. Dan ini tugasnya Saiful, Denny, Rizal,
dan santri Ohio lainnya untuk merumuskan negara sekular macam apakah yang kita
akan bangun?
Hamid
Basyaib:
Info Luthfi
tentang pendirian Imam Ja'far al-Shadiq itu bagus sekali. Cukup mengherankan
bahwa anak cucunya di Iran sekarang menyeleweng jauh dari petuah sang imam --
padahal nenek-moyang mereka sendiri begitu lama menjadi korban pencampur-adukan
agama dan politik. Adakah penjelasan yang memuaskan untuk penyelewengan ini?
Rasanya bukan karena Ja'far al-Shadiq adalah imam ke-6, sehingga belum tiba
gilirannya untuk ditaati.
Di Iran,
kita tahu, terutama 10 tahun pertama setelah Revolusi Islam, penyimpangan itu
luar biasa dahsyat. Vonis-vonis hukuman mati dijatuhkan secara kilat, oleh
hakim yang berpretensi sebagai wakil Tuhan; termasuk memangsa Sadeq Gotbzadeh,
salah satu dari Triumvirat (bersama Bani Sadr dan Ibrahim Yazdi) yang sangat
berjasa pada Revolusi lewat advis-advis politik luar negerinya untuk Khomeini.
Dosa Gotbzadeh barangkali karena dia berasal dari kamp sekular.
Bani Sadr
juga harus lari ke luar negeri, meski dia menang mutlak dalam pemilu dengan
menangguk 11 juta suara. Yang diangkat akhirnya Ali Raja'i, seorang guru
matematika, yang hanya mendapat 500.000 suara. Bani Sadr harus menanggung bonus
rasa malu: Dicerca dan diejek karena melarikan diri sambil menyamar dengan
mencukur kumisnya. “Lelaki apaan, tuh”, kata Ayatullah Behesti cs, “nggak
berkumis; kayak perempuan aja..” Celakalah Bani Sadr karena dia bukan mullah –
dan terlalu pintar untuk dibonekakan oleh para mullah.
Nasib
Yazdi, bekas Mendagri (atau Ekonomi?), tak kurang mengenaskannya; saya tak
tahu, apakah dia masih tinggal di Iran atau lari bersama sekitar dua juta orang
lainnya. Tapi sampai beberapa tahun lalu ia masih menggencarkan oposisi, dan
terus diteror fisik dan mental. Mehdi Bazargan, PM pertama Revolusi Islam,
terlindung selama Imam Khomeini hidup. Segera setelah sang imam wafat,
fisikawan berusia 76 itu jadi bulan-bulanan intel Islam pengganti Savak. Suatu
kali ia mendapati dirinya berada di tengah gurun, dengan mata tertutup dan
tubuh babak-belur. Bahkan pertimbangan kemanusiaan elementer pun lenyap di
balik lipatan sorban para mullah itu.
Kini kita
saksikan sayap “civilised” di bawah Khatami sedang terus berjuang mengembalikan
bangsanya ke kebudayaan. Semoga makin banyak orang Iran yang yakin bahwa dengan
manipulasi agama, dengan pencampur-adukan agama dan politik, peradaban mustahil
dilanjutkan. Sepanjang menyangkut pencampuradukan itu, Syiah, Sunni,
Mu'tazilah, Druze, sama belaka. Kaum Sunni Taliban sangat garang terhadap Syiah
Iran; tapi dalam soal kecerdikan mamanipulasi agama, dalam kepiawaian meminjam
wibawa Tuhan untuk menindas, mereka bagai saudara kembar dan seolah belajar
dari mentor yang sama.
Saya juga
terkesan dengan ungkapan lain Ja'far Shadiq. “Jangan lihat perilaku orang di
masjid,” katanya, “sebab itu memang tempat ibadah (tentu semua orang yang
sedang berada di sana baik belaka). Lihat perilakunya di pasar (barulah
kelihatan aslinya).” (Dalam versi pepatah Minang: “Lain di surau,lain di pasar”).
Ungkapan
itu mengimplikasikan bahwa Al-Shadiq memang memilah masjid (agama) dan pasar
(termasuk istana presiden, parlemen, lembaga-lembaga negara lainnya seperti
kejaksaan, kehakiman dan departemen-departemen).
Repotnya,
orang Iran, Afghan, dan banyak aktivis politik identitas di tempat-tempat lain
bukan hanya mencampur-adukkan masjid dan pasar; tapi juga mereka ingin orang
menganggap bahwa mereka selalu berada di masjid, meski faktanya mereka jauh
lebih sering berada di pasar, dan dari sana membuat aneka keputusan --termasuk
keputusan-keputusan yang merusak masjid.
Hadimulyo:
Saya ingin
mengomentari Hamid. Saya heran, apa salahnya politik? Kotor? Dengan begitu,
Islam jangan dikotori? Ingat, kawan. Deklarasi kemerdekaan RI itu keputusan
politik, departemen ini, itu, dihapus atau digabungkan juga keputusan politik.
Konstitusi, undang-undang, APBN/APBD diputuskan dalam lembaga politik, lembaga
publik. Menjadikan IAIN sebagai universitas, atau dibubarkan, itu keputusan
politik. Saya mohon dibedakan politik dengan politicking tanpa prinsip.
Berbeda
dengan kondisi sekarang, partai-partai politik zaman pergerakan dulu apa pun
aliran politik atau ideologinya, dipimpin oleh orang-orang yang terbaik dari
golongannya (dilihat dari segi kapasitas intelektualnya). Tjokroaminoto,
Soekarno, Hatta, Natsir, Tan Malaka, adalah beberapa contoh. Selama akhir
periode Orde Lama (Masyumi dan PSI dibubarkan) dan Orde Baru, ada disengagement
kaum intelektual dengan dunia politik, mungkin ini pengaruh H.J.Benda, 'pengkhianatan
kaum intelektual' (tolong koreksi kalau saya salah). Akibatnya, malahan kita
serahkan urusan politik kepada serdadu, yang memiliki otoritas pegang kekuasaan
dengan bedil yang dibeli dengan uang rakyat, dibantu oleh kaum teknokrat
pendidikan Barat tanpa akar yang jelas, sementara yang tersisa di partai
politik adalah kalangan mediocre, pas-pasan, karena kaum intelektual menjauhi.
Akibatnya? Lebih dari 40 tahun kita menderita dan sengsara, kan?
Secara
ekonomi kita menikmati kesenjangan yang luar biasa, secara politik kita seperti
di negara komunis. Tidak ada kontestasi. Ini juga dosa politik kaum intelektual
yang tidak mau tahu atau peduli politik, Bung! Belajar dari sini, saya ingin
mengajak : 'Jangan alergi politik, kawan.' Saya kira masih ada cara berpolitik
yang beradab, santun, tidak mau menang sendiri, dalam bahasa kolom Cak Nur di
Tekad (almarhum) 'fatsoen' lah. Saya jadi teringat pernah menulis “sufisme
politik “ di Republika beberapa tahun yang lalu.
Adapun soal
Bani Sadr, saya pernah terlibat diskusi Pasca Revolusi Iran waktu itu, kenapa
ia hanya mampu menjadi pemimpin Iran seumur jagung? Ada analisis yang menarik.
Penjelasannya, meskipun seorang yang hebat, Bani Sadr tidak mampu memahami
rakyat dan mullahnya, rakyat dan mullah Iran. Ingat Mas Bintang? Dia salah satu
darling of the press, kan? Apa yang terjadi? Untuk meraih dukungan rakyat guna
mendudukkan seorang wakil pun di DPR dalam pemilu 1999 yang lalu, ia tidak
mampu. Begitu juga Budiman Sudjatmiko dengan PRD-nya, kalah dengan Partai Keadilan
yang sama-sama dipimpin orang-orang muda. Di Temanggung, Jawa Tengah, AE
Priyono aau Zaim Saidi (?) yang orang Jawa (PAN) , kalah dengan dengan Jakob
Tobing orang Batak (meloncat ke gerbong PDI-P, dulu jagoan Golkar). Hadimulyo
di Pati (anak daerah yang terlalu romantis menyongsong pemilu sistem distrik,
padahal belum) , kalah dengan politisi gaek Imam Churmen (PKB, veteran PPP)
yang tidak kenal dan dikenal orang Pati, tapi berlindung di balik kharisma Mbah
Dullah Salam.
Kata Mas
Husni Thamrin, menghibur: Orang bodoh dikalahkan orang pintar, orang pintar
kalah sama orang begja (beruntung), orang beruntung kalah sana orang nekad,
orang nekad, kalah sama orang gila...
Saiful
Mujani:
Mas Hadi,
Bukan soal bersih atau kotor politik itu. Dalam konteks diskusi kita di sini
saya kira bagaimana caranya membuat politik itu suatu hal yang santai,
biasa-biasa saja, dan kalau menang ya syukur, dan kalau kalah ya ora opo-opo.
Tapi kalau agama masuk ke situ seringkali politik menjadi sangat serius.
Retorikanya kadang-kadang soal surga dan neraka. Ini simplifikasi. Saya tahu
orang PPP seperti anda tidak akan begitu, tapi massa pengikut Anda bisa begitu
... karena bantuan agama tadi.
Luthfi
Assyaukanie:
Apa yang
diungkapkan oleh Mas Hadimulyo tentang politik menang-kalah itu, saya kira,
nggak ada hubungannya dengan agama. It's just real politics. Kalau ada
unsur-unsur agama di dalamnya (pendirian depag, IAIN, dll), itu harus dipahami
juga dalam koridor politik (yang saat itu masih memainkan isu agama yang kini kita
tolak). Dengan kata lain, nggak ada yang salah dengan politik. Yang
dipersoalkan Hamid dan juga Ja'far Shadiq adalah keterlibatan agama dalam
politik. Keterlibatan sesuatu yang privat ke dalam ruang publik. Sesuatu yang
suci ke wilayah yang profan. Contoh yang diberikan Trisno tentang perseteruan
Gus Dur dan Habib al-Habsyi sangat tepat, dan kita bisa memperpanjang daftarnya
dengan isu-isu lain yang selalu mengatasnamakan agama (PDI Kristen, Mega
perempuan, Golkar sekular, dll). Dengan membuka pintu untuk agama ke dalam
wilayah politik kita telah membuka kembali potensi-potensi pelecehan terhadap
agama. Bukankah memainkan isu-isu jihad, bughat, dll adalah bagian dari
pelecehan agama? Saya kira kita harus konsisten, kalau kita mau serius
membersihkan agama dari noda politik, ya kita harus mengeluarkannya dari
wilayah itu.
Jadi,
seperti kata Saiful, take it easy. Saya yakin, nggak dosa kok menolak agama
dari wilayah politik. Malah saya kira kita akan mendapatkan pahala karena telah
berupaya menyelamatkan agama dari tangan-tangan kotor oportunis politik.
Hamid
Basyaib:
Mas
Hadimulyo, saya agak heran dan bingung pada konsekuensi “anti-politik” yang
Anda tarik berdasar posting saya tentang Iran itu. Tapi untuk penjelasan akan
hal ini saya rasa Luthfi dan Saiful sudah melakukannya dengan baik.
Saya cuma
mau menanggapi sedikit tentang Bani Sadr. Saya sekadar bicara berdasar fakta:
Bani Sadr memenangi pemilu dengan mendapat 11.000.000 suara (dan lawannya yang
kemudian dikukuhkan hanya meraih 500.000 suara alias seperduapuluh dua
perolehan Sadr). Bagaimana kesimpulan bisa ditarik bahwa dia “tidak memahami
rakyat” dan mullah Iran? Saya kira lebih tepat dikatakan: Bani Sadr tidak
memahami, dan memang tidak mau menoleransi, keinginan para mullah untuk
mengembalikan bangsanya ke abad pertengahan.
Yang
terakhir ini kemudian merekayasa begitu rupa sehingga seolah-olah Sadr tidak
diinginkan rakyat (padahal meraih 11 juta suara). Dan mereka berhasil
memanipulasi fakta, termasuk dengan bantuan teror dan kekerasan, sehingga
intelektual waras seperti Sadr tak tahan, karena memang dia -- berbeda dari
orang-orang yang menzaliminya -- tidak gila kuasa. Dari segi kepatutan
(fatsoen), apakah pantas seorang yang begitu berjasa mendampingi dan memberi
advis bertahun-tahun kepada pemimpin revolusi di masa-masa sulit di pengasingan
-- juga keahliannya sangat dibutuhkan oleh negara yang sedang goyah itu --
dihinakan seperti itu? Inilah aspek yang paling saya sesalkan: Para mullah itu
berbuat demikian atas nama Tuhan dan agama. Dalam hal ini Khomeini sendiri
lebih arif dan matang; setelah Sadr pergi, kabarnya dua kali ia mengutus orang
untuk meminta Sadr kembali.
Yang
terjadi pada Gotbzadeh lebih mengenaskan. Dalam posisi sebagai menteri luar
negeri dia dituduh jadi agen CIA segala macam; lalu sejumlah dokumen palsu
dibuat dan dinyatakan ditemukan di kediamannya. Lalu, persis seperti di negara2
komunis, dia disuruh melakukan otokritik, mengakui semua dosanya di depan
publik via TV. Kalau tidak mau, Gotbzadeh bakal digantung. Dia memilih yang
kedua, karena integritas dan kehormatan dirinya tidak memungkinkannya untuk
mengakui macam2 kesalahan yang tak pernah dia lakukan. Lalu salah satu dari
triumvirat penasihat Khomeini di pengasingan itu betul2 digantung! Lagi2, itu
dilakukan atas nama agama dan Tuhan. Saya tidak pernah mampu untuk memaklumi
kegilaan yang keterlaluan ini.
Begitulah
fakta-fakta dari peristiwa lama yang sudah diketahui luas itu, yang saya
paparkan sekadar untuk mengingatkan. Detailnya saya peroleh antara lain dari tulisan
Ali Muhammadi dan Sreberny-Muhammadi di The Third World Quarterly-nya Altaf
Gauhar, sekitar tahun 1985.
Message
saya tetap: Betapa berbahayanya membiarkan para aktor politik menganggap diri
mereka sebagai penubuhan wahyu Tuhan, lalu atas klaim itu merasuki kancah
kekuasaan dengan segenap kompleksitas dan logikanya sendiri -- sesuatu yang
membuka peluang lebar bagi manipulasi. Soalnya adalah: jika manipulasi itu
dilakukan bukan atas nama Tuhan, sebagaimana selalu terjadi di semua negara
non-agama, masalahnya lebih sederhana dan “penertiban” lewat aturan main yang
sepenuhnya sekular jadi lebih gampang; dan Tuhan sebagai sumber nilai2 terluhur
tak jadi kotor dan terkena radiasi kekuasaan itu. Kita perlu “membela” dan
“melindungi” Tuhan karena kita begini lemah dan memerlukan Dia dalam kehidupan
yang makin pelik ini, bukan karena Dia memerlukan pembelaan dan perlindungan
kita.
Hadimulyo:
Hamid,
sebenarnya, posting saya yang menurut Anda menyimpulkan 'terlalu dini' untuk
menganggap dalam milis ini ada beberapa pandangan yang memiliki nuansa anti
politik, itu tidak hanya berdasarkan posting Anda. Bahkan (mudah mudahan saya
salah) Luthfi Assyaukanie dalam kesimpulannya yang terburu-buru bahwa soal
perdebatan negara sekuler sudah final, saya kira agak arbitrer.
Kesan kuat
saya, siapapun yang mengikuti milis ini membaca ada kecenderungan pemikiran
perlunya privatisasi agama, jangan mencampur adukkan agama dengan politik,
ketakutan terhadap “fundamentalis,” dst. Jadi, ini yang mendorong saya
memberikan perspektif dari sudut pandang yang lain.
Kalau kita
berkampanye untuk pluralisme agama, sebagai muslim, saya pikir kita perlu lebih
dulu kampanye menanamkan pluralisme internal Islam, apa pun mazhab
fiqh-politiknya. Inilah point posting-posting saya selama ini. Demokrasi tidak
bisa dibangun atas dasar ketakutan, tetapi atas dasar mutual-trust, saling
percaya, dialog, bukan monolog. Tentang Bani Sadr, terima kasih atas penjelasan
Anda. Ternyata kita punya sumber informasi yang berbeda.
Adnin
Armas:
Saya melihat
akar-akar yg di maksud Taufik dan Luthfi lebih kepada “akar buatan” yg
urat-uratnya tak kokoh dan rapuh karena mulai tumbuh dari zaman bani umayyah.
Saya melihat akar itu akan kokoh kalau akarnya mulai tumbuh dan berkembang dari
Nabi dan Khulafa al-Rashidin.Tapi mereka adalah pemimpin negara yg nilai-nilai
agama sangat mewarnai pola kepemimpinan mereka. Apa bukan begitu? Taufik-pun
mengimplikasikan Umar bin Abdul Azis tidak memisahkan agama dan politik. Bahkan
mungkin karena tidak ada pemisahan ini, kepemimpinan Umar bin Abdul Azis sangat
dihormati.Jadi, masalahnya tidak terfokus kepada kuantitas fakta saja karena
adanya beragam fakta tapi juga “kualitas fakta”. Maksud saya kalau Umar bin
Abdul Azis cukup berhasil karena gabungan agama dan politik, jauh lebih baik
bagi kita untuk merumuskan dan mengembangkan pola-pola kepemimpinannya. Dan
kalau dia sangat concern kepada agama (saya fikir sebagian raja-raja yg lain
juga tidak sampai dalam tahap sekuler)ini tidak berati sekularisasi dapat
dijadikan akar yg akan kita akan gigih pelihara. Saya juga heran, kenapa ketika
Usman r.a. “dipertanyakan secara kritis” ttg. Standarisasi al-Qur'an, tapi
kenapa suasana zaman dinasti umayyah tidak juga “dipertanyakan secara kritis”?
(dan bahkan tafsiran terhadap gagasan sekularisasi yg dijadikan panutan
?)Padahal, bagi saya, otoritas Usman r.a. lebih baik dari pengikutnya.
Jadi, apa
tidak lebih baik juga mengkaji suasana historis zaman dinasti umayyah secara
kritis? Saya fikir, dalam pandangan seorang sekularpun atau juga seorang
demokrat, kepemimpinan bani umayyahpun belum sekular dan belum demokratis
karena bentuk pemerintahan monarkis (yg sangat otoritatif) dan minimnya
toleransi kepada kaum Shiah seperti perang di Karbala.
Selain itu,
saya ingin bertanya: apa benar-benar suasana zaman umayyah itu dapat
ditafsirkan dengan berkembangnya sekularisasi(dgn 3 komponennya)? Setahu saya,
justru dasar prinsip-prinsip hukum Islam, konsep Ijma dan ahl-hadist di samping
ahl- hadist terbentuk. Dalam suasana saat itu, muncul kelompok-kelompok Islam
yg pertama: Umayyah (sunni), syiah dan khawarij. Justru kemunculan
kelompok-kelompok politik ini sangat erat juga dengan konsep agama. Khawarij,
misalnya, pernyatannya: la hukma illa Allah. Mereka atas dasar pemahaman yg
ngawur ini kemudian membuat kelompok politik. Misalnya juga perdebatan ttg.
mukmin dan kafir yg terjadi saat itu. Jadi bagi semua fihak saat itu, agama dan
politik masih tidak bubar(desekularisasi). Kemudian pada zaman Abbasiah, banyak
sekali muncul mazhab-mazhab seperti Hanafiah, Malikiah, Shafiiah, Hanbaliah,
bahkan doktrin-doktrin Mukatazilah pun pernah dijadikan doktrin negara! Jadi
kalau ditafsirkanpun gagasan sekularisasi muncul di zaman umayyah, maka itupun
mengalami kontra yg sangat ketat. Saat itu, perlawanan shiah kepada umayyah di
pimpin oleh imam-imam yg juga menghubung-kaitkan agama dan politik. Begitu juga
sebagian raja-raja umayyah tidak juga memisahkan agama dalam politik.
(pemisahan yg menjadi inti gagasan sekularisasi). Artinya kalau dikatakanpun di
zaman umayyah sekularisasi berkembang, itu juga mengalami penolakan yg ketat,
sebagaimana terjadi kemudian pada zaman abbasiah.
Untuk
Luthfi, saya sangat meragukan bukti yg Armstrong kemukakan dan kalau dia cukup
otoritatif terhadap permasalahan keimaman. Setahu saya konsep “imam” dalam
pengertian Shiah memiliki makna yg sangat khusus. Ada nilai lebih didalamnya.
Imam Ali, Imam Hasan, Imam Husein, Imam Zainal Abidin, Imam Muhammad Baqir dan
Imam Jafar jelas di anggap sebagai pemimpin yg sekaligus pemahaman ttg.
keagamaan tidak diragukan. Bahkan Imam Mahdi-pun diharapkan akan datang untuk
membanteras kezaliman. Sebaiknya Luthfi juga menggunakan primary sources untuk
mengembangkannya menjadi akar. (Saya sedang mencari juga primary sources tsb).
Kemudian dalam konteks sejarahpun, Shiah-pun sangat menitikberatkan hubungan
antara agama dan politik bahkan sampai sekarang. Gelaran keulamaan ada pada
pemimpin mereka. Mengenai fakta - fakta sosial yg dijadikan alasan utk
memisahkan agama dan politik sebenarnya sudah diperdebatkan oleh mam Imam
Prasodjo dan Ade Armando. Jadi, kalau ada mullah yg menganulir kemenangan
kelompok sekuler, yg sebaliknya juga terjadi seperti kasus FIS di Aljazair.
Jadinya kalau cuma fakta yg dijadikan yard-stick maka fakta yg berlawanan juga
bisa digunakan.Di sini perlunya kita melihat lebih dalam akarnya dalam dataran
filosofis atau teologis.
Najib:
Luthfi,
tampaknya anda terjebak dalam penafsiran yang apriori.Ketika berbicara tentang
akar sekularisasi dalam Islam berdasarkan fakta sejarah anda yakin betul bahwa
sekularisasi telah ada sejak masa Umawiyah. Dan ketika berbicara Negara Islam
anda langsung yakin bahwa negara Islam tidak pernah dikenal pada masa Nabi.
Padahal baik negara sekular maupun agama tidak pernah disebut sebut pada masa itu.
Yang ada hanyalah fakta sejarah (kalau rujukan sejarh jelas selalu ada) bahwa
pada masa nabi bla bla bla yang lalu ditafsirkan al-Maududi dkk. sebagai seruan
untuk mendirikan negara Islam, dan fakta sejarah bla bla bla yang lalu
ditafsirkan Luthfi sebagai akar sekularisasi. Dan tidak lebih pintar ketika
Luthfi meyakini sekularisasi sebagai hal yang telah ada pada masa itu. Bahkan
istilah Arabnya “ilmaniyah” pun baru muncul belakangan.
Disamping
itu kalau argumentasi Luthfi dimaksudkan sebagai justifikasi negara sekular
tentu tidak tepat. Sebab perlunya negara sekular tidak mungkin didasarkan pada
akar sejarah agama tertentu. Kan kontradiktif kalau gitu.
Menurut
saya negara agama memiliki tempat yang ideal ketika suatu komunitas dalam suatu
wilayah sepakat untuk mengatur kehidupan mereka sesuai dengan nilai nilai dan
ajaran agama tertentu, dan itu yang menurut saya terjadi dalam sejarah Nabi di
“kota” Madinah. Di luar kondisi itu, kekaisaran paganis Romawi sebelum
berkolaborasi dengan Kristen bisa menjadi rujukan tepat bagi sebuah negara yang
multi agama.
Jadi
persoalan yang tersisa bukan “bentuk negara sekuler bagaimana yang ingin kita
bangun” tapi “Bagaimana membentuk negara yang memberikan kebebasan
mengekspreikan agama (dalam kasus ini) tanpa mengganggu kebebasan pihak lain”.
Bisa negara sekular atau yang lain. Dengan kata lain tidak selayaknya konsep
negara sekuler atau konsep negara apapun kita anggap sebagai kemapanan yang tak
terbantahkan. Ia harus diposisikan sebagai upaya kreatif manusia yang sejajar
dengan upaya kreatif lain. Sebab begitu suatu konsep dibakukan ia akan
menghambat siklus upaya kreatif berikutnya.
Ulil
Abshar-Abdalla:
Usaha untuk
menunjukkan bahwa pemisahan antara otoritas sekuler dan agama telah berlangsung
dalam sejarah klasik Islam, menimbulkan penafsiran yang mendua. Kalau dengan
itu anda ingin mengatakan bahwa “negara sekuler” sudah ada dalam zaman klasik
Islam, maka anda seolah ingin mengatakan bahwa ekperimen politik dinasti
Umayyah “wa akhawatuha” itu adalah benar dan anda seperti meng-endorsenya.
Padahal dalam posting anda juga ada nada bahwa eksperimen semacam dinasti
Umayyah itu telah jauh meninggalkan semangat Islam zaman ´Nabi yang otoriter.
Saya kira kalau preseden historis untuk negara sekuler itu kita sandarkan pada
pengalaman dinasti-dinasti Islam, maka kita telah mengambil contoh yang keliru.
Sebab yang diimpikan umat Islam bukan periode itu, tetapi periode Nabi yang
konon katanya mencerminkan suatu terjemahan yang sempurna dari ideal Islam.
Saiful
Mujani:
Saya
lanjutkan ke arah lain. Kalau baca Muqadimah Ibn Khaldun atau karya-karya
Gellner, egalitarianisme itu ciri yang menonjol di kalangan masyarakat Badui,
lingkungan sosial Rasulullah waktu itu, dibanding masyarakat lain di sekitarnya
yang sezaman (Persia, Romawi, Mesir, dll.).
Ini juga
merupakan sumber dari kurang berkembangnya “negara” dalam peradaban baduy ini
sebab negara bagaimanapun membutuhkan struktur yang hierarkis sifatnya dan
wilayah yang relatif tetap, tidak nomaden. Kesan saya selama ini egalitarianisme
itu dilekatkan dengan Islam, bukan dengan masyarakat baduy. Makah dan Madina
waktu itu, menurut Ira Lapidus, ya cukup hirarkis sehingga memungkinkan suatu
“negara” muncul ... tapi dibanding masyarakat di sekitarnya masih kurang
hirarkis ... karena itu negara-negara, daulah, dinasti atau apa namanya dalam
bentuk yang besar dibangun di luar wilayah Arabia (Usmaniayyah di bekas Romawi;
Abbasiah di bekas Persia; Fatimiyah di Mesir).
Sekarang
kita pemuja egalitarianisme mungkin karena konteks kita sekarang yang ingin
demokrasi, kesetaraan, ...dst, yang merupakan lawan terhadap monarki atau rezim
otoritarian. Padahal, pada zaman rasulullah dan sahabat ketika itu,
egalitarianisme Baduy itu dekat dengan konotasi yang kurang beradab, sebab yang
beradab itu ya masyarakat kota yang relatif tetap wilayahnya serta berstruktur
sosial hirarkis seperti di Persia dan Romawi itu. Dalam hubungannya dengan
teologi, yang paling egalitarian itu barangkali teologinya kelompok Khawarij,
di mana banyak tokohnya berlatar belakang Baduy ini. Tapi egaliterianisme versi
khawarij ini kan beda dengan egalitarianisme kita sekarang. Egaliterainsmenya
terbatas pada satu komunitas Islam yang homogen.
Poin saya
adalah, kita mungkin jangan bias zaman dalam memilih peristiwa-peristiwa atau
masyarakat yang dikisahkan dalam sejarah, karena barangkali setiap babakan
sejarah punya idealnya masing-masing. Atau malah egaliarianisme Baduy, Islam,
dan modern itu beda-beda. Apa lagi ngutak-ngatik masyarakat 1500 tahun lalu,
ngutak-ngatik Gus Dur yang di depan mata aja kerepotan.
Ulil
Abshar-Abdalla:
Saya kira,
pendapat Saiful ini adalah suatu penafsiran yang betul-betul lain mengenai
ideal “egalitarianisme” yang sering dihubungkan dengan periode awal Islam. Saya
kira, pendapat Saiful benar: egalitarianisme awal Islam itu lebih berkaitan
dengan karakter masyarakat Arab yang anti hirarki, ketimbang sesuatu yang
benar-benar khas Islam.
Tapi, saya
punya catatan lain. Nabi sebagai perintis suatu “polity” pertama dalam Islam di
Madinah bukanlah seorang baduy, bukan pula dari lapisan sosial yang nomaden.
Dia berasal dari satu bagian masyarakat Arab yang menikmati sejumlah privelese,
yaitu dari suku Quraisy. Dengan kata lain, Nabi adalah bagian dari struktur
sosial yang --to some degree—bersifat feudal. Qur´an sendiri mengecam
orang-orang baduy, salah satunya karena sifat mereka yang sukar tunduk pada
“kebenaran” yang ditegakka melalui suatu struktur tertentu yang hirarkis.
Dengan kata lain, Qur'an lebih pro orang-orang di “kota” (hadlar) ketimbang
orang-orang pedusunan (badwy).
Ketegangan
dalam sejarah awal Islam bukanlah antara orang-orang yang mengehendaki
egalitarianisme absolut seperti kaum khawarij vis-a-vis golongan lain yang
--let say-- “feudalistis”. Tetapi antara orang-orang yang menghendaki semacam
privelese khusus buat keluarga Nabi dan golongan lain yang menentangnya. Impuls
“egalitarianisme” dalam sejarah Islam tak pernah benar-benar merupakan kekuatan
moral yang cukup kuat. Kaum baduy hanyalah lapisan kecil dalam masyarakat Islam.
Menurut saya, beban terberat dalam sejarah Islam, salah satunya, berkaitan
dengan soal feudalisme ini, entah atas nama keluarga Nabi (kiai?), atau yang
lain.
Luthfi
Assyaukanie:
Sejarah
Islam memang tidak memberikan kita basis konseptual yang jelas, baik untuk
“negara sekular” maupun “negara Islam.” Tapi, dari praktik-praktik
penyelenggaraan negara yang dilakukan oleh para penguasa Muslim, khususnya
sejak masa Muawiyah, model “negara sekular” agaknya lebih menjadi pilihan
ketimbang “negara Islam.” Dalam konteks itulah saya mengatakan bahwa “negara
sekular” dalam sejarah Islam lebih memiliki akar ketimbang “negara Islam.”
Tentu saja,
“negara sekular” yang dipraktikkan oleh para penguasa Muslim dulu merupakan
bentuk negara sekular yang masih primitif dan otoriter, karena sistem politik
yang berlaku pada masa itu memang demikian (kerajaan/khilafah). Paling tidak,
pengalaman penyelenggaraan negara dalam bentuknya yang seperti ini (sekular)
bisa diteruskan sambil terus diperbaiki. Ketimbang mencari-cari sesuatu yang
utopis dan tidak memiliki rujukan sejarah yang jelas.
Saya selalu
meyakini bahwa Islam adalah agama moral sebelum ia menjadi agama politik,
budaya, atau lainnya. Bukankah Nabi pernah bilang “Aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak (moral).” Dan bukankah Nabi juga pernah bilang “Kalian
lebih mengetahui urusan dunia kalian.” Saya kira, dua pesan Nabi ini sudah
sangat jelas untuk kita melangkah dalam mengurusi persoalan keduniaan kita.
Ketika saya
menggunakan istilah “sekular” saya memaksudkan itu simply sebagai sesuatu yang
“urusan dunia” (umur dunyakum). Politik adalah urusan keduniaan, tidak ada
kaitannya dengan masalah agama, lain halnya kalau kita memasukkan agama yang
akibatnya hanya menjadikan politisasi agama (bukankah ini yang selalu kita
hindari?). Saya kira, “masyarakat sekular” tidak berarti masyarakat yang tidak
beragama dan tidak bermoral. Tapi justru agama dan moralitas menjadi landasan
kehidupannya sehari-hari. Dalam masyarakat sekular, moralitas dan agama menjadi
penting untuk kehidupan individu --bukan publik-- (yang merupakan elemen
terpenting masyarakat). Saya tidak sedang berpretensi bahwa negara sekular
adalah bentuk negara yang paling baik (madinat al-fadhilah). Tapi, kalau
disuruh pilih antara “negara sekular” dengan “negara Islam” saya lebih memilih
yang sekular. Khususnya jika melihat kegagalan negara-negara Muslim yang
menerapkan bentuk negara Islam (Arab Saudi, Sudan, Afghanistan, dll). Ketika
sebuah negara sekular gagal, kita masih bisa memperbaikinya, tapi ketika negara
Islam gagal, kita akan membenci kedua-duanya: negara dan Islam sekaligus.
Ketika saya
menyimpulkan diskusi kita beberapa minggu lalu bahwa “negara sekular” menjadi
pilihan akhir dari masyarakat beragama, itu karena saya melihat bahwa
teman-teman yang selama ini mengkritisi, agak malu-malu, atau kurang sreg
dengan istilah “sekular” sesungguhnya --dalam katagori saya-- mendukung gagasan
sekularisasi negara (saya selalu bilang “dengan maknanya yang gradatif”). Apa
yang Mas Imam, Pak Hadimulyo, atau Ade sebut sebagai negara multikultural atau
multiagama, sesungguhnya adalah negara sekular. Hanya negara sekular
(demokrasi) --dan bukan negara agama-- yang bisa menjamin semua agama, semua
aliran, dan semua keyakinan bisa hidup dan berkembang. Karena itu, kesimpulan
saya, beberapa minggu silam, saya kira tidak terlalu meleset.
Hamid
Basyaib:
Saya
setuju, pendapat Saiful tentang egalitarianisme dalam Islam itu “lain sendiri”
-- dan dia kan memang paling suka nekat-nekatan begitu-:); yang penting:
bongkar dulu, kalau ternyata ngawur, ya kan bisa kita rundingkan lagi?
Tapi saya
kira poin dia, sebagaimana juga Anda setujui, serius: egalitarianisme awal
Islam itu lebih berkaitan dengan karakter masyarakat Arab yang anti hirarki,
“ketimbang sesuatu yang benar-benar khas Islam.”
Agaknya
memang banyak sekali aspek ajaran Islam yang diwarnai oleh kearaban, dan hal
ini seratus persen logis; justeru kalau tidak demikian jadi tidak logis, karena
mengandaikan agama ini hadir di historical vacuum. Setelah membaca Armstrong
(Muhammad: A Western Attempt to Understand Islam; dalam versi lain: A Portrait
of A Prophet), saya sukar untuk tak menyimpulkan bahwa Nabi Muhammad dengan
piawai memanfaatkan budaya Arab untuk menyukseskan program2 kenabiannya;
misalnya dengan lincah dia memainkan adat perlindungan, dengan berlindung di
bawah payung wibawa kakeknya (dan orang Mekkah tak akan mengganggunya selama
Abdul Muthallib menyatakan melindungi Muhammad); dan ketika sang kakek
meninggal, pelindung penggantinya, Abbas, wibawanya tak sebesar sang kakek,
ancaman serius pun makin gencar, maka hijrahlah dia dan pengikutnya ke Madinah.
Bahkan,
bagian Nabi sebesar seperlima dari rampasan perang pun menunjukkan bahwa dia
belum sejajar persis dengan para pemimpin Arab lainnya di kawasan itu (yang
mendapat jatah seperempat dari harta serupa); tapi dari segi cepatnya dia
mencapai status “Berhak Seperlima” ini luar biasa -- seorang pemimpin dengan
bentuk dan sumber legitimasi yang sama sekali baru. Perlu diingat bahwa yang
belum “rela” (legolilo) Nabi mendapat jatah seperempat itu adalah kaum Muslim
sendiri. (Dan saya kira mayoritas mereka bukan badwy). Saya menduga, dari
sinilah Syiah menetapkan seperlima (khumus) sebagai zakat (khusus?) -- kalau
ini betul, cukup ironis, karena ia bertolak justeru dari kebelumsempurnaan
status kepemimpinan. (Tapi soalnya: ketentuan ini kemudian dikukuhkan oleh
Quran). Saya kira amat banyak contoh yang bisa disebut (nama Allah untuk Tuhan,
pranata musyawarah, Ka'bah, haji, misalnya).
Walhasil,
barangkali memang tak banyak ajaran yang “benar-benar khas Islam”. Tapi
soalnya: kalau suatu adat -- baik dalam bentuk orisinalnya maupun versi
modifikasinya dengan pembalikan makna atau landasan filosofisnya -- ternyata
di-endorse dan disahkan oleh sebuah otoritas, apalagi otoritas yang dianggap
tertinggi (Tuhan, Nabi), bukankah asal-usulnya tak penting lagi dari segi “daya
ikat moral”nya? Dari sini kita bisa melangkah lebih lanjut: bisakah
diidentifikasi dengan persis mana aspek-aspek ajaran yang bisa diubah agar
sesuai dengan kekhasan kondisi lokal, dan mana yang “harga mati” (kata para
ahli: mana yang qath'i dan yang zanni; mana yang muhkam dan mana yang
mutasyabih -- sorry, Ade dan Trisno; saya harus bergaya sedikit, supaya
kelihatan “ilmiah” dan convincing).
Prinsip para
fukaha tentang al 'adatu muhakamah (adat dapat menjadi sumber hukum) rupanya
lebih banyak digemborkan ketimbang dipraktekkan dengan cerdas, kreatif dan
berani. Saya jadi teringat “pribumisasi Islam”-nya Gus Dur, yang diteriakkan
amat lantang dan diamalkan tanpa “bunyi”. Dalam versi lain, saya teringat
Soedjatmoko, yang gemas ingin “memanipulasi” bentuk-bentuk budaya Indonesia
dengan memberinya kandungan baru demi keperluan program pembangunan
(modernisasi). Ulil juga merisaukan apa yang disebutnya “salah satu beban
terberat dalam sejarah Islam”, yaitu “feudalisme, entah atas nama keluarga Nabi
(kiai?), atau yang lain”. I can't agree more. Sejak kecil saya, yang hidup di
lingkungan warga NU-Banten di sebuah kampung di Lampung, tak habis heran
mengapa orang2 itu begitu tunduk (malah takluk) pada para kiai. Sampai dewasa,
sampai hari ini, saya tetap tak mengerti mengapa para kiai dan ulama itu tak
juga mendemistifikasi, mendemitologisasi diri di hadapan pengikutnya – malah
kecenderungannya sebaliknya. Kita jadi susah sekali untuk tak berhipotesis
bahwa wibawa religius itu perlu terus dipupuk dengan berbagai cara guna meraih
keuntungan-keuntungan non-religius (posisi sosial, pengaruh politik, dan tentu
saja manfaat-manfaat material).
Ulil, Imam
Syafi'i harus dimasukkan dalam peringkat atas dalam proyek dekonstruksi itu.
Saya hampir tak percaya bahwa dia memegang premis-premis yang sangat tak masuk
akal. Kata dia, manusia di dunia ini terbagi menjadi dua golongan: Arab dan
Ajam (non-Arab). Yang Arab terbagi dua pula: Quraisy dan non-Quraisy. Yang
Quraisy terbagi dua lagi: Bani Hasyim dan non. Implikasinya terang benderang:
orang Arab paling hebat, di antara mereka suku Quraisy paling hebat, dan di
internal Quraisy, Bani Hasyim paling yahud. Menurut Luthfi, premis ini mewarnai
seluruh ide fikih Syafi'i. Celaka duabelas: dengan basis rasistis itu Syafi'i
meraih pengikut terbesar di dunia Islam.
Saya jadi
teringat klaim kaum Yahudi sebagai The Chosen People (meski makna asalnya
adalah: terpilih untuk mengabdi lebih banyak dibanding orang lain); dan Hitler
yang, seperti Syafi'i, memilah bangsa-bangsa berdasarkan “aturan alam semesta”
menjadi Aria (superior) dan non-Aria. Kalau ada bangsa lain mengaku-ngaku
superior, misalnya Yahudi, itu artinya mereka mau merusak tatanan alam, dan
karena itu kenapa tidak dibantai saja? Bahkan kalaupun jumlahnya 5-6 juta.
Najib:
Manusia
tidak diciptakan dengan kualitas yang sama. Kualitas IQ Kang Suto mungkin lebih
tinggi dibanding Noyo. Kualitas fisik bangsa Afrika, Eropa lebih besar
dibanding bangsa Asia Timur. Kualitas kulit bangsa kita lebih kebal sengatan
matahari dibanding kulit bangsa Eropa. Dalam konteks inilah saya rasa Syafi'i,
Hitler dan Yahudi berbicara tentang kualitas genetis. Kalau tiga pertama bisa
dibuktikan secara empiris, tidak demikian dengan kualitas genetis.
Persoalannya
apakah setiap kalim kualitas genetis selalu berarti memberikan privelese atau
bisa ya dan bisa tidak. Para penulis sejarah Islam biasanya menyebutkan klaim
kualitas genetis untuk membuktikan bahwa Nabi lahir dari bibit terunggul yang
ada di dunia saat itu (kebenrannya debateble). Pada sisi lain Nabi mengajarkan
bahwa “Bangsa Arab tidak lebih utama dari bangsa non-Arab. Dan keutamaan diukur
berdasarkan kesalehan”. Saya sangat yakin, Syafi'i sebagai ahli hadis tidak
melewatkan ajaran ini. Kalau gitu apa yang mendorong Syafi'i “lebih berpegang
pada klaim kualitas genetis, bahkan mewarnai seluruh ide fikihnya, ketimbang
ajaran Nabi yang 'egaliter.'“
Atau Hamid
berdasarkan Luthfi salah memahami Syafi'i, karena sebenarnya Hamid berdasarkan
Luthfi sedang berdialog dengan “halusinasi” dan “pikirannya”sendiri, bukan
dengan teks fiqh Syafi'i. Bukan membela, sekedar pengen tau kenyataan yang
sebenarnya. “Hum rijâl nahnu rijâl”. Generasi Syafi'i tidak lebih hebat dari
generasi kita koq.
Untuk
Luthfi: Bentuk negara apapun yang menjadi pilihan tidak masalah. Biar lebih
baik aspek sejarah tidak perlu dilibatkan jika untuk mencari basis legitimasi
dalam agama tertentu. Toh, Kristen yang memiliki ajaran “Berikan hak Tuhan
kepada Tuhan dan berikan hak Kaisar kepada Kaisar” justru menampilkan sejarah
negara agama yang menindas.Sebab realitas sejarah umat agama tertentu memang
tidak selalu merefleksikan idealitas ajaran agamanya. Jika penggalian sejarah
dimaksudkan untuk memperkaya diri dengan eksperimen eksperimen masa lalu saya
rasa itulah yang kita perlukan. Dengan demikian “apa yang terjadi” dalam
sejarah tidak dibaca sebagai “apa yang seharusnya”. Dan setiap tahapan sejarah
bisa dikritisi dan tidak diadopsi begitu saja hanya lantaran ia pernah ada
dalam sejarah. Hal baru yang lebih baik patut diterima meskipun tidak memiliki
akar atau rujukan sejarah.
Negara
Islam yang diterapkan di beberapa negara boleh jadi gagal. Demikian pula negara
sekular Turki dibawah Kemal Ataturk tidak kalah diskriminatif dan menindas.
Tetapi keduanya sama sama bisa diperbaiki selama tidak diabsolutkan. Di Turki
koreksi atas penindasan agama telah dilakukan. Bahkan partai Refah yang membawa
bendera agama pernah memenangi pemilu dan tidak digagalkan seperti nasib FIS di
Aljazair. Iran di bawah Khatami juga telah mengalami perbaikan. Jadi
persoalnnya bukan istilah negara agama, sekular, multi agama, atau multi
kultur, tetapi prinsip prinsip negara seperti apa yang ingin diterapkan ( secara
realistis tentunya).
Pemisahan
agama dan negara bisa dibaca sebagai reaksi atas pengalaman pahit sejarah
kekaisaran Romawi Kristen. Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa otoritas agama
tidak selayaknya mengangkangi otoritas politik dan ilmu pengetahuan (sorry
kalau ternyata mengulang dan set back. soalnya posting sekularisasi sangat
banyak). Dalam hal ini saya berpendapat bahwa wilayah poliyik dan ilmu
pengetahuan dapat memperoleh sumber inpirasinya dari pengalaman empiris,
penalaran rasio atau teks wahyu. Tetapi ketika ia terinspirasi oleh teks wahyu
bukan berarti sah diklaim sebagai doktrin agama, dan karenanya bersifat
absolut. Ijtihad manusia tetaplah ijtihad yang debatable meskipun berpijak pada
teks wahyu. Sebab ijtihad pada dasarnya adalah pemahaman seseorang terhadap
teks, bukan pengertian teks itu sendiri. Dengan demikian mempengaruhi keputusan
politik berpijak pada dalil agama adalah hal yang sah. Sama sahnya dengan dalil
dalil Rousseau, Montesqiueu, Locke dll. Jika ini yang menjadi prisnsip, maka
sebutan negara apa saja bukan persoalan.