Sejarah manusia memasuki zaman yang populer
dikenal sebagai era pascamodern atau pascasekuler. Banyak juga kalangan yang
menyebut era ini sebagai era kebangkitan agama (revivalisma). Narasi besar modernisme
telah runtuh, dan muncul ketertarikan baru untuk melirik narasi-narasi yang
terabaikan oleh era modern, termasuk agama. Modernitas dianggap gagal
mensejahterakan hidup manusia, dan hanya menyisakan ketegangan (tension), sakit
mental, kekerasan, kenakalan remaja, serta kriminilitas.
Will Durant, seorang pemikir antiagama, suatu kali
pernah mengatakan, “Agama memiliki seratus jiwa. Segala sesuatu jika telah
dibunuh pada kali pertama akan mati untuk selamanya, kecuali agama. Seratus
kali dibunuh, agama akan muncul lagi dan kembali untuk selamanya.” Petikan ini
menyiratkan bahwa agama merupakan bagian tak terpisahkan dari manusia. Dalam
lintasan sejarah, agama selalu menjadi teman setia mendampingi sejarah umat
manusia.
Namun di mana posisi agama ketika pelbagai tragedi
kemanusiaan terjadi dalam sejarah manusia? Secara normatif, agama selalu
mengajak pada hal yang paling luhur dalam jiwa manusia. Tapi, hampir tidak
satupun agama bertanggungjawab atas tragedi kemanusiaan seperti peperangan,
pelecehan kemanusian, dan pemekosaan kebenaran.
Mestinya, kalau agama selalu stand-by dalam
rentang sejarah kemanusiaan, maka agama mestinya ikut bertanggungajwab terhadap
itu semua. Makanya, pada titik ini peran agama mendapatkan kecaman dan gugatan.
Agama sudah mengalami erosi peran dan krisis wibawa di tengah kehidupan
manusia. Agama sebagai media Tuhan untuk mengurai makna dan nilai kehidupan,
tidak sanggup menata moral dan etika manusia.
Suatu kali, Kathleen Bliss mensinyalir krisis
agama disebabkan adanya gempuran dahsyat “revolusi industri”. Perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah memosisikan agama secara tidak fungsional dan
marginal. Hanya kalau dicermati lebih mendalam, pemasalahan mendasar bukan pada
hadirnya modernitas. Justru modernitas yang menampilkan eksistensi manusia yang
kehilangan orientasi hidup, potensial menjadi peluang bagi agama untuk berperan
lebih signifikan.
Agaknya, persoalan muncul karena nalar yang
dikembangkan agama tidak sesuai lagi dengan nalar modernitas. Dengan mengutip
Wilson, kita tahu bahwa pola agama tidak kondusif dengan etos yang dikembangkan
masyarakat modern. Ketidakmampuan agama dalam menyesuaikan diri, menyebabkannya
gagal dalam mengurai etika dan moralitas yang dapat menjadi penjaga tatanan
sosial manusia. Etika agama begitu kropos untuk mampu menjawab problem baru
yang dihadapi manusia; daya tarik agama pun pudar. Manusia tidak lagi tertarik
dengan agama, karena beragama dianggap sikap setara dengan pemeliharaan budaya
konservatif dan primitif.
Kini sejarah manusia memasuki zaman yang populer
dikenal sebagai era pascamodern atau pascasekuler. Banyak juga kalangan yang
menyebut era ini sebagai era kebangkitan agama (revivalisma). Narasi besar
modernisme telah runtuh, dan muncul ketertarikan baru untuk melirik
narasi-narasi yang terabaikan oleh era modern, termasuk agama. Modernitas
dianggap gagal mensejahterakan hidup manusia, dan hanya menyisakan ketegangan
(tension), sakit mental, kekerasan, kenakalan remaja, serta kriminilitas.
Posisi agama yang pernah dicemooh sebagai
penghambat modernitas, desah kaum tertindas, cermin sikap kekanak-kanakan,
mendadak berubah menjadi primadona baru. Tapi anehnya, kini agama kembali
mengarah ke peran sebagaimana pola masa silam: pertama, formalisme atau
ideologisasi agama dan kedua, keberagamaan bercorak mistisisme. Dua pola
keberagamaan yang dewasa ini populer itu, nampaknya akan kembali mengulangi
kegagalan peran agama di masa lampau.
Pertama, dengan formalisme atau ideologisasi,
agama mendadak kembali tenar. Agama kembali tampil percaya diri sebagai
ideologi tandingan atas ideologi yang hegemonik. Agama diusung kembali menjadi
ideologi, bahkan dipaksa menjadi etika formal masyarakat, atau justru menjadi
asas negara. Posisi ini mengisyaratkan balas dendam agama yang merasa
dilecehkan oleh sekularisme. Agama kini disanjung tinggi-tinggi di puncak
piramida kehidupan bermasyarakat, atau dielu-elukan sebagai dasar negara.
Fenomena politik bernalar agama dan agama bernalar politik terlihat. Dengan
posisi demikian, bukan tidak mungkin agama akan kembali tenggelam sebagaimana
semula. Sebab, pola seperti inilah yang pernah dikutuk habis oleh Zaman
Pencerahan.
Bentuk kedua adalah keberagamaan bercorak
mistisisme. Di kota-kota besar dewasa ini, masyarakat yang gerah akan gaya hidup
modern yang mekanik, lari menuju hal-hal yang berbau mistik. Fenomena ini dapat
dicermati dari kecenderungan masyarakat yang merasa lebih terhibur oleh
tontonan horor, misteri, dan penyingkapan dunia lain. Pada fenomene tersebut,
agama ditempatkan sebagai dewa penyelamat. Agama ditempatkan tidak lebih
sebagai pengusir hantu.
Secara psikologis, kecenderungan ini akan mencetak
manusia yang cepat lari dari kenyataan, dan antipati akan realitas kemanusiaan.
Manusia cenderung lebih senang memuaskan ketegangan psikologinya dengan hal-hal
yang berbau mistik, sembari menampik kondisi sosial. Pola keberagamaan seperti
ini, pada akhirnya akan mengundang pengeritik untuk mengatakan agama sebagai
ruang pengap takhayul yang fantatis, eskapis atau ajang pelestarian fiksi dan
imajinasi di alam bawah sadar umat manusia.
Untuk itu, diperlukan kemasan dan cara pandang
baru teologi dalam menghadapi era pascasekular. Kegiatan berteologi harus mampu
menampilkan peran-peran yang mampu merespon persoalan mendasar kemanusiaan, serta
siap menawarkan visi peradaban dan kemanusiaan yang baru. Sebab persaoalannya,
tergusurnya agama di era modern bukan disebabkan serbuan sekularisasi dan
modernitas yang amat deras, tapi lebih disebabkan kenyataan agama yang tidak
mampu bermain secara progresif dan kontekstual dengan tuntutan zaman.
Maka dari itu, setidaknya ada dua model berteologi
yang bisa ditampilkan umat beragama kini. Pertama teologi rasional yang
bersedia membuka ruang bagi rasionalitas untuk ikut andil dalam penafsiran
ajaran agama dan menyajikan perspektif baru agama yang luas dan lapang. Agama
merupakan sekumpulan doktrin yang terbakukan di masa lampau. Sementara problem
zaman terus menggelinding tiada henti-hentinya. Pada titik ini, rasio dapat
membantu agama dalam menyajikan pendekatan “relevansi sosial” yang mampu
menutup gap antara kelambanan agama dan lajunya isu-isu kemanusiaan.
Rasionalitas tidak perlu dicurigai akan
meruntuhkan wibawa agama. Sebab rasio merupakan bagian lain penopang agama.
Mengutip Bacon, “Little philosophy bringeth men’s mind to atheism, but dept in
philosophy bringeth men’s mind about to religion” (Sedikit filsafat akan
menjerumuskan akal manusia ke arah ateisme, tapi filsafat yang mendalam akan
menggiring akal manusia ke arah agama). Dengan demikian, sangat penting kembali
memosisikan akal sebagai anugerah dan amanat yang diberikan Tuhan pada manusia
untuk mencari kebenaran.
Kedua, berteologi sosial. Kegiatan berteologi,
menurut Paul Tillich adalah kegiatan mempertemukan antara jawaban yang terdapat
dalam agama dengan pertanyaan yang muncul dari kenyataan sosial secara
dialektis. Berteologi sangat terkait dengan problem sosial. Dalam teologi, umat
beragama dituntut untuk mampu mentranformasi nilai-nilai transendental
ketuhahan ke dalam nilai-nilai imanen kemanusiaan. Mengatasi peperangan,
kemiskinan, pemerkosaan hak-hak asasi manusia, serta berkorban untuk problem
sosial merupakan salah satu wujud konkrit panggilan Tuhan.
Makanya, agama menurut Mutahhari adalah fitrah
manusia. Kefitrahan itu harus terus dipertahankan agar agama dapat bertahan
sebagai entitas yang salih untuk tiap ruang dan waktu. Dengan cara berteologi
seperti di atas, kesesuaian agama di sepanjang zaman akan dapat bertahan. Agama
tidak lagi akan dipandang sebagai penghambat perubahan, tapi akan dianggap
sebagai “penghalus” modernitas, sebagaimana ungkapan Georg Simmel.
Abd.Malik Utsman, Pemerhati Sosial-Keagamaan;
Alumni Madrasatul I’dad Ma’had ‘Aly PP. Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo
Situbondo.