Di kalangan kaum muslim awam, teks dan bacaan yang ada dewasa ini di dalam mushaf Alquran diyakini sebagai rekaman lengkap dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad yang dikodifikasi Zayd ibn Tsabit berdasarkan otoritas Khalifah Utsman ibn Affan. Pernyataan Alquran dalam 15:9, dipandang sebagai garansi ilahi atas kemurnian mushaf tersebut dari berbagai perubahan dan penyimpangan, bahkan --menurut suatu pendapat yang ahistoris-- dalam titik serta barisnya.
Di kalangan kaum muslim awam, teks dan bacaan
yang ada dewasa ini di dalam mushaf Alquran diyakini sebagai rekaman lengkap
dan otentik wahyu-wahyu Nabi Muhammad yang dikodifikasi Zayd ibn Tsabit
berdasarkan otoritas Khalifah Utsman ibn Affan. Pernyataan Alquran dalam 15:9,
dipandang sebagai garansi ilahi atas kemurnian mushaf tersebut dari berbagai
perubahan dan penyimpangan, bahkan --menurut suatu pendapat yang ahistoris--
dalam titik serta barisnya.
Tetapi, orang-orang yang mengetahui perjalanan
historis Alquran menyadari bahwa keadaan sebenarnya tidaklah sesederhana itu.
Fenomena kesejarahan Alquran yang awal justeru menunjukkan eksisnya keragaman
tradisi teks dan bacaan kitab suci itu, yang kemudian menjadi alasan utama
dilakukannya standardisasi Alquran oleh Utsman untuk kepentingan kohesi
sosio-politik umat Islam.
Sementara bentuk teks Alquran dewasa ini,
sebagaimana ditunjukkan sejumlah manuskrip utsmani, pada faktanya telah melalui
serangkaian penyempurnaan tulisan, melalui perubahan-perubahan yang bersifat
eksperimental, seirama dengan penyempurnaan aksara Arab yang mencapai puncaknya
pada penghujung abad ke-9/3H. Sekalipun demikian, sejumlah inkonsistensi
penulisan masih tetap tampak di dalamnya, akibat dari introduksi "setengah
hati" ragam tulis Arab yang telah disempurnakan (scriptio plena) dalam
penyalinan teks utsmani yang telah disepakati (textus receptus).
Demikian pula, bacaan (qiraم’ah) Alquran yang
digunakan saat ini adalah dua dari empat belas versi bacaan tujuh (al-qirم’مt al-sab‘) yang mendapat sanksi ortodoksi Islam pada abad
ke10/4H. Masing-masing dari bacaan tujuh yang dihimpun Ibn Mujahid itu memiliki
dua versi (riwayat), dan bacaan yang digunakan untuk teks Alquran dewasa ini
adalah kiraah Ashim yang diriwayatkan Hafsh (Hafsh ‘an Ashim) dan kiraah Nafi‘
yang diriwayatkan Warsy (Warsy ‘an Nafi‘). Bacaan pertama digunakan dalam edisi
standar Alquran Mesir (1923), yang menjadi panutan mayoritas umat Islam, dan
bacaan kedua digunakan sejumlah kecil kaum Muslimin di barat dan barat laut
Afrika, serta di Yaman, khususnya di kalangan sekte Zaydiyah.
Keempatbelas versi bacaan tujuh memang
dipandang sebagai bacaan otentik Alquran yang bersumber dari Nabi. Tetapi,
doktrin yang dikembangkan secara kaku oleh ortodoksi Islam telah menabukan
penggabungan versi-versi itu untuk menciptakan bacaan yang lebih baik, ditinjau
dari berbagai sudut pandang. Ibn Mujahid, otoritas paling berpengaruh dalam hal
ini, tidak memperkenankan penggabungan antara ragam bacaan yang memiliki
asal-usul berbeda, dan menuntut setiap sistem bacaan mesti disampaikan dalam
keseluruhan bentuknya tanpa perubahan. Padahal, dalam kenyataannya,
sistem-sistem bacaan itu dibentuk para imam kiraah dengan menggabungkan dan
menyeleksi --istilah teknisnya ikhtiyمr ("seleksi")-- berbagai bacaan yang mereka terima berdasarkan
prinsip mayoritas (ijma‘).
Imam Nafi‘, misalnya, menegaskan telah membaca
Alquran di depan 70 orang tabi‘in, dan mengambil bacaan yang disepakati
--minimal dua orang di antaranya-- serta meninggalkan bacaan menyimpang, hingga
berhasil menyusun kiraahnya. Senada dengan ini, al-Kisa’i dikabarkan berujar
telah menyeleksi dari kiraah Hamzah dan lainnya suatu bacaan moderat
(mutawassithah) yang tidak menyimpang dari jejak imam-imam kiraah sebelumnya.
Dengan demikian, tidak ada alasan yang solid
dan absah untuk menafikan upaya penyuntingan kembali suatu edisi kritis
Alquran. Salah satu keberatan terhadap edisi Alquran yang meramu bacaan tujuh
ini --dan mungkin juga melibatkan varian non-utsmani-- adalah ia mengganggu
stabilitas teks dan bacaan yang telah diupayakan selama berabad-abad. Tetapi,
kita hanya perlu menengok ke dalam manuskrip-manuskrip Alquran dan sejarah
untuk menemukan bahwa teks Alquran telah mengalami berbagai bentuk
penyempurnaan yang bersifat eksperimental, dan bahwa imam-imam besar kiraah
pada faktanya juga telah melakukan ikhtiyمr ketika membangun sistem bacaannya.
Edisi kritis Alquran ini tentunya diarahkan
untuk menghasilkan bentuk teks Alquran yang lebih memadai dan mudah dibaca.
Sementara teks itu sendiri akan didendangkan dengan suatu bentuk bacaan yang
merupakan ramuan "terpilih" dari berbagai warisan kesejarahan tradisi
kiraah umat Islam.
Berbagai inkonsistensi dalam penulisan teks
--seperti penggunaan tم’ mabsûthah sebagai pengganti tم’ marbûthah dalam kata
rahmah, ni‘mah, dll., penggantian alif dengan waw dalam kata shalمh, zakمh, dll.,
penulisan mimmم atau allم yang terkadang disalin terpisah dan
terkadang digabung, serta lainnya-- yang memperlihatkan upaya mengakomodasi
berbagai perkembangan tradisi oral dan tulisan Alquran yang eksis di kalangan
kaum Muslimin ketika itu, barangkali perlu dibenahi.
Pada titik ini, mesti disepakati bahwa ragam
tulis adalah produk budaya manusia yang berkembang selaras dengan perkembangan
manusia. Tulisan, seperti dinyatakan Abu Bakr al-Baqillani, hanyalah
simbol-simbol yang berfungsi sebagai isyarat, lambang dan rumus yang digunakan
untuk memudahkan pembacaan. Karena tujuan penulisan Alquran adalah untuk
memudahkan pembacaannya secara tepat, maka penyempurnaan teksnya mesti mengabdi
pada tujuan tersebut.
Selain butir-butir yang telah dikemukakan,
peramuan ragam kiraah untuk menghasilkan bacaan yang lebih memadai juga menjadi
signifikan karena beberapa hal: Pertama, dua bacaan yang digunakan dewasa ini
terkadang tidak bersesuaian dengan textus receptus utsmani. Bentuk teks مtمni atau مtمnî-llمh dalam 27:36, misalnya, dibaca oleh Nafi‘ dan Hafsh ‘an
Ashim sebagai مtمniya-llمh.
Kedua, dalam kasus-kasus tertentu, kedua
bacaan tersebut dapat dipermasalahkan dari sudut pandang linguistik. Para pakar
bahasa, misalnya, secara bulat menyalahkan Nafi‘ ketika membaca kata nabîyîna
dalam 2:58 sebagai nabî’îna, atau kata al-barîyah dalam 98:6 sebagai
al-barî’ah, atau ‘asaytum dalam 2:246 sebagai ‘asîtum. Sementara bacaan Hafsh
dari Ashim untuk 20:63, yakni hadzمni, secara gramatik keliru dan semestinya dibaca hadzayni, seperti bacaan
Abu Amr dan Nafi‘.
Ketiga, dalam berbagai kasus, kedua bacaan
resmi itu menampakkan bias --misalnya bias gender, seperti ditunjukkan
Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender (1999). Disamping itu, keduanya
terkadang tidak sejalan dengan konteks langsung Alquran dan nalar rasional
manusia. Jadi, bacaan nusyran untuk 7:57, yang dibaca antara lain oleh Ibn Amr
dan Ibn Katsir, misalnya, lebih sesuai dengan konteks dan nalar dibandingkan
bacaan busyran dalam bacaan Hafsh dari Ashim.
Karena itu, seleksi ragam kiraah untuk edisi
kritis Alquran, selain berpijak pada prinsip-prinsip klasik seperti keselarasan
bacaan dengan teks dan kaidah-kaidah linguistik, mesti didasarkan pada
pemerhatian cermat terhadap konteks langsung Alquran di mana suatu varian
bacaan akan ditempatkan. Disamping mempertimbangkan implikasi makna terjemahan
dan penyimpulan hukum suatu pilihan bacaan, seleksi tersebut juga harus
mempertimbangkan nilai-nilai universal yang diyakini kebenarannya oleh manusia.
Wa-llمhu a‘lam bi-l-shawمb.
Oleh Taufik Adnan Amal
28/10/2001