Anti Jilbab, Sebuah Konspirasi & Serangan Terhadap Islam

Akhir-akhir ini, jilbab telah menjadi satu topik yang ramai dibicarakan di Perancis. Pada awal dekade 1990-an, Menteri Dalam Negeri Perancis telah memerintahkan pelarangan penggunaan pakaian Islami oleh para pelajar muslimah di sekolah-sekolah Perancis. Ketika itu, program anti jilbab hanya dilakukan dalam bentuk surat perintah kepada kepala-kepala sekolah dan keputusan akhir terletak pada kepala sekolah tersebut. Dengan cara ini, ada kemungkinan kepala sekolah tetap mengizinkan pelajar muslimah untuk tetap melanjutkan pelajaran mereka dengan mengenakan jilbab. Tetapi akhir-akhir ini, program anti jilbab telah meluas hingga melakukan pengusiran muslimah berjilbab dari tempat kerja mereka di pusat pemerintahan dan pendidikan Perancis. Dari Perancis diberitakan bahwa seorang anggota tim juri pengadilan kota Bubini, Paris, telah dipecat dari pekerjaannya atas perintah Jaksa Agung Perancis karena muslimah tersebut mengenakan jilbab.


Menteri Sosial Perancis, Francois Fillon dalam masalah ini menyatakan, “Secara pribadi saya menyokong penuh pengesahan undang-undang yang melarang penggunaan simbol agama apapun di sekolah-sekolah. Para imigran Perancis haruslah secara menerima undang-undang republik ini dan kebijakan sekularismenya secara mutlak.” Pernyataan Menteri Sosial Perancis ini jelas aneh, karena dalam pandangannya, simbol agama hanyalah jilbab. Sementara topi khas Yahudi atau kalung salib yang banyak dipakai pelajar-pelajar di Perancis sama sekali diabaikan dan bukan dianggap sebagai simbol agama.

Saat ini, terdapat sekitar lima juta penduduk muslim di Perancis dan umat Islam merupakan kelompok agama terbesar urutan kedua di negara ini, setelah Kristen. Sementara itu, kaum Yahudi di Perancis hanya berjumlah setengah juta orang. Pemerintah Perancis sama sekali tidak menghiraukan hak-hak warganya yang berjumlah besar itu, malah mengistimewakan segelintir umat Yahudi. Pemerintah Perancis mengizinkan ribuan orang Yahudi, untuk memakai jas dan celana hitam serta topi khusus yang menjadi lambang agama mereka di berbagai tempat di negara ini. Parlemen Perancis bahkan mengesahkan undang-undang yang memberikan hukuman keras terhadap berbagai bentuk penghinaan atas kaum Yahudi di Perancis. Semua ini bisa terjadi tentu saja karena besarnya lobi politik dan ekonomi umat Yahudi.

Poin menarik dari pengusiran para pelajar berjilbab di Perancis adalah bahwa tindakan tersebut justru bertentangan dengan undang-undang negara ini. Berlandaskan kepada undang-undang Perancis, belajar adalah hak seluruh warga negara ini dan bahkan bila orang tua atau pihak lain melarang anak-anak dan remaja bersekolah, mereka akan dikenakan sanksi.

Menurut para pengamat, reaksi ekstrim terhadap jilbab yang ditunjukkan oleh pemerintah Perancis sesungguhnya dimaksudkan untuk menutup-nutupi krisis-krisis politik dan sosial lainnya di Perancis. Francois Fillon yang sepatutnya memerangi ketidakadilan dalam pelayanan pendidikan, kebobrokan moral, dan kekosongan jiwa pelajar Perancis, malah menentang jilbab yang menurutnya adalah sebuah simbol agama. Selain bahwa sebenarnya jilbab bukan hanya sekedar simbol agama, melainkan sebuah tindakan yang amat bermanfaat bagi ketenteraman sosial, sesungguhnya pemakaian jilbab adalah hak pribadi seseorang dan menurut asas kebebasan di Perancis, pemakaian jilbab sama sekali tidak melanggar hak orang lain dan karenanya, boleh dipakai oleh siapa saja di negara ini.

Lucette Valensi, dosen perempuan di sekolah tinggi ilmu sosial Paris mengatakan, “Perintah Al Quran untuk menjaga kemuliaan dan pakaian ditujukan baik kepada lelaki, maupun perempuan. Perintah ini sangat jelas tercantum dalam Al-Quran, dimana perempuan mukmin tidak dibenarkan untuk memperlihatkan perhiasannya kecuali beberapa bagian tertentu. Sementara itu, kaum laki-laki yang beriman juga diperintahkan untuk menahan pandangannya dan memelihara dirinya. Jilbab merupakan semacam pelindung bagi kaum perempuan untuk menjaga harga dirinya sendiri dan harga diri keluarganya.”

Valensi menambahkan, “Al Quran juga menyatakan bahwa wanita tidak perlu senantiasa berjilbab. Mereka boleh tidak berjilbab ketika bersama suami, ayah, ayah mereka, putera-putera, dan saudara lelaki, putera-putera saudara lelaki, atau saudara perempuan mereka, dan juga di depan anak-anak lelaki yang belum baligh.”

Fatimah Lensel, seorang pakar Islam Austria berkata, “Penggunaan jilbab bagi wanita muslimah merupakan sebuah nilai dan sebuah pilihan yang murni.” Fatimah Harnesi, salah seorang wanita Austria yang baru memeluk agama Islam berkata, “Keterbatasan jilbab, merupakan nilai yang lebih tinggi dari kebebasan biasa manusia, karena pakaian agama merupakan kunci kebebasan dari penjara hawa nafsu bagi perempuan dan masyarakat. Hari ini saya memahami bahwa jilbab merupakan pelindung perempuan. Jilbab menghalangi penjualan harga diri dan menghalangi diri dari tatapan atau perhatian orang asing. Kenyataannya, jilbab yang tidak memperdagangkan fisik perempuan, merupakan perhiasan nilai bagi jiwa dan kemanusiaan seseorang. Karena itu, jilbab sesungguhnya adalah pakaian yang mulia dan terpuji.”

Sebagian pengamat mensinyalir bahwa kebijakan pelarangan jilbab di Perancis ada hubungannya dengan aksi global pendiskreditan Islam pasca Tragedi 11 September. Sebagaimana kita ketahui, setelah peledakan gedung kembar WTC di AS itu, umat Islam di Amerika dan Eropa, termasuk Perancis, terpaksa berhadapan dengan berbagai tekanan politik, psikologis, dan sosial. Penggunaan istilah teror, pembunuhan, dan kekerasan yang ditujukan dalam menggambarkan umat Islam telah menimbulkan pemahaman yang tidak benar terhadap penganut ajaran agama Nabi Muhammad ini di Barat. Media massa Barat dengan berbagai metode propaganda, berusaha untuk mengubah kepercayaan rakyat Barat mengenai Islam dan umat Islam.

Namun, kenyataan di tengah masyarakat justru berbicara lain. Profesor Leggenhousen dosen filsafat di Universitas Texas Amerika menyatakan, “Manusia moderen Barat telah lelah dengan materialisme dan mereka mencari perlindungan di bawah naungan agama. Ketertarikan mereka kepada Islam merupakan suatu harapan yang manis buat mereka. Selepas peristiwa 11 September, propaganda anti Islam di Barat justru meninggalkan dampak yang bertolak-belakang. Para pemuda Kristen malah cenderung dan tertarik kepada agama Islam. Hal ini dibuktikan dengan fakta bahwa selepas peristiwa ini, Quran menjadi sebuah buku yang paling laris terjual di Barat. Kini, banyak wanita Barat yang berjilbab dan kami menilai hal ini sebagai sebuah hal yang positif.”

Michelle Lulun, seorang pendeta Perancis berkata, “Sebagian dari analis sekular sangat gencar memperkenalkan agama sebagai kendala bagi kemajuan dan kebebasan. Umat Islam dan Kristen sesungguhnya mampu mewujudkan keadilan, solidaritas, dan perdamaian di antara bangsa-bangsa. Saya sebagai seorang pemeluk Kristen percaya bahwa dikarenakan nilai-nilai akhlaknya yang istimewa, umat Islam harus diberikan kebebasan agama dan harus diberi tempat yang layak dalam kehidupan sosial Perancis.”
Larangan Berjilbab: Sebuah Serangan Terhadap Islam

Parlemen Perancis akhirnya pada tanggal 10 Februari lalu mengesahkan undang-undang larangan berjilbab terhadap para muslimah di negara itu. Larangan berjilbab ini, dalam bentuk lain, juga diberlakukan di berbagai kawasan Eropa lainnya dan Amerika. Fenomena ini menunjukkan adanya konspirasi yang telah direncanakan sebelumnya. Larangan berjilbab di Perancis itu disahkan oleh parlemen negara ini tanpa menghiraukan protes dan demonstrasi penentangan dari umat Islam seluruh dunia. Berbagai organisasi hukum dan lembaga internasional pun turut memberikan reaksi mereka terhadap masalah ini dan mengecam Perancis sebagai pelanggar hak-hak asasi umat Islam.

Menurut pandangan para praktisi hukum, undang-undang yang akan diberlakukan di sebuah negara haruslah bersesuaian dengan sejumlah faktor dan parameter dasar undang-undang internasional dan hak-hak asasi yang diakui secara umum. Faktor atau parameter tersebut di antaranya adalah kesesuaian dengan fitrah dan esensi manusia, akal dan logika, dan bisa mengikuti perkembangan zaman. Tetapi mengenai jilbab, parameter dasar penetapan undang-undang ini sama sekali tidak dihiraukan. Penutup tubuh, pada dasarnya membedakan manusia dan hewan dan merupakan satu peraturan yang telah diterima dunia. Sejak dimulainya sejarah, ketelanjangan mutlak tidak diterima oleh masyarakat kecuali di lingkungan yang terbatas sebab manusia secara naluri cenderung untuk menutup anggota badan mereka. Meskipun cara berpakaian terkait dengan prinsip keluarga, individu, budaya, serta nilai-nilai sebuah masyarakat, namun berpakaian adalah sebuah nilai universal yang dianut umat manusia seluruh dunia.

Di pihak lain, pengadilan di Eropa dan AS dalam berbagai kasus seputar penggunaan jilbab, berkali-kali telah memberikan keputusan untuk memberikan kebebasan penggunaan jilbab. Artinya, menurut undang-undang yang dianut oleh negara-negara Barat tersebut, penggunaan jilbab bukanlah sebuah tindak kriminal yang melanggar aturan negara. Bila ditinjau menurut akal sehat, pakaian bukanlah ancaman terhadap sistem masyarakat dan keamanan sebuah negara. Bahkan sejarah membuktikan, bila dalam sebuah masyarakat kaum perempuannya menggunakan pakaian yang sopan dan memiliki keterikatan terhadap aturan akhlak dan kemuliaan, masyarakat tersebut jauh dari kekacauan dan tindakan asusila.

Dewasa ini, kaum perempuan di negara-negara industri dan maju sebagian besarnya tidak lagi memiliki keamanan individu dan sosial yang diperlukan. Sekjen Organisasi Kesehatan Sedunia atau WHO pada tahun 1997 secara resmi menyebutkan bahwa di negara-negara maju, dari setiap lima perempuan, seorang di antaranya pernah mengalami pelecehan seksual. Beberapa penelitian yang dilakukan secara terpisah di Amerika menunjukkan data bahwa 20 persen perempuan Amerika telah mengajukan tuntutan ke pengadilan negara ini atas kasus pelecehan seksual. Dari fakta ini bisa disimpulkan bahwa jika sebuah negara memang benar-benar ingin menjamin keamanan sosial warganya, undang-undang yang terlebih dahulu harus dibuat adalah aturan berpakaian kaum perempuan yang sesuai dengan fitrah manusia.

Sesungguhnya, masalah utama di balik keluarnya undang-undang pelarangan jilbab ialah ketakutan pemerintah negara-negara Barat terhadap semakin berkembangnya Islam. Negara-negara Barat senantiasa berusaha untuk memburukkan citra Islam, di antaranya dengan menggambarkan bahwa Islam mengekang kaum muslimah dengan aturan-aturan agama yang ketat. Namun kini, kaum muslimah telah mampu tampil ke tengah masyarakat di berbagai bidang. Kaum muslimah berhasil membuktikan bahwa kepatuhan terhadap aturan-aturan agama Islam, termasuk aturan berjilbab, sama sekali tidak menghalangi mereka untuk beraktivitas dan mengembangkan potensi semaksimal mungkin.

Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa pelarangan jilbab di Perancis dan negara-negara Barat lainnya, merupakan usaha Barat untuk memaksa umat Islam agar melanggar hukum agama mereka sendiri. Oleh karena itu, undang-undang larangan berjilbab di Perancis merupakan sebuah ujian bagi umat Islam. Jika undang-undang ini berhasil dilaksanakan dan kaum muslimah Perancis bersedia melepaskan jilbab mereka, gerakan anti jilbab ini akan semakin meluas ke seluruh negara-negara Barat. Bagi pemerintah negara-negara Barat, yang menjadi masalah sesungguhnya bukanlah jilbab yang merupakan aturan Islam, melainkan keberadaan agama Islam itu sendiri.

Dewasa ini, tingkat kecenderungan terhadap Islam di dalam masyarakat Barat semakin tinggi. Selama tiga dasawarsa lalu, anak-anak muda Barat memegang ideologi nihilisme atau ateisme, dan mereka menjalani kehidupan berdasarkan ideologi tersebut. Namun zaman membuktikan bahwa kehidupan dengan ideologi nihilisme hanya berujung pada kesia-siaan dan keputus-asaan. Karena itulah, kaum muda di Barat kini tengah berusaha mencari jalan hidup baru yang bisa membawa mereka kepada kebahagiaan. Islam dengan ajarannya yang mulia dan suci, menawarkan jalan hidup yang benar kepada pemeluknya, yang menjamin kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Ketertarikan masyarakat Barat terhadap Islam ini membuat pemerintah mereka merasa terancam karena Islam adalah ajaran yang menentang penyelewengan kekuasaan dan moral, sesuatu penyelewengan yang selama ini selalu dipraktekkan oleh pemerintah Barat.

Samuneh Fur, seorang wanita Perancis berusia 65 tahun yang memeluk agama Islam pada tahun 1964 mengatakan, “Undang-undang larangan berjilbab ditetapkan untuk menghalangi meluasnya pengaruh Islam di Perancis. Anak muda muslim di Eropa kini menyambut jilbab dengan lebih baik dibandingkan dari waktu-waktu yang lampau dan hal ini menimbulkan ketakutan pada masyarakat Eropa.”

Muhammad Abu Athrus dari Strasbourg menyatakan, “Perancis adalah sebuah negara yang harus menghormati kebebasan individu. Jilbab merupakan sebuah pilihan pribadi dan setiap orang harus memiliki kebebasan dalam membuat keputusan. Pengesahan undang-undang larangan berjilbab di Perancis membuktikan adanya masalah yang lebih penting dan lebih dalam dari sekedar penggunaan jilbab, yaitu ketakutan mereka terhadap infiltrasi budaya Islam.”

Abu Athrus yang telah tinggal selama 40 tahun di Perancis dan mempunyai anak-anak yang berkewarganegaraan Perancis, selanjutnya berkata, “Anak saya pergi ke sekolah dengan menggunakan jilbab karena itulah yang diperintahkan oleh Tuhan. Oleh karena itu, tidak ada undang-undang yang bisa menolak pakaian ini dan kami akan tetap melaksanakan aturan Tuhan ini.”

Abdul Salam Banesh, seorang warga Perancis warga asal Maroko yang merupakan imam masjid, mengatakan, “Sebenarnya, Islamlah yang menjadikan sasaran dalam pengesahan undang-undang larangan berjilbab ini. Islam selama ini telah diperkenalkan sebagai musuh Barat, namun kini perkembangan Islam di Barat malah semakin meluas karena Islam merupakan agama yang komprehensif dan mampu menjawab berbagai persoalan kehidupan. Perkembangan Islam inilah yang membuat pemerintah Barat ketakutan.”

Mehrshad Shababi, Ketua “Organisasi Perempuan Pencinta Perdamaian dan Kebebasan”, dalam sebuah pernyataannya menyebutkan bahwa dengan pengesahan undang-undang larangan berjilbab itu, Eropa berkeinginan untuk mengeluarkan kaum muslimah dari aktivitas kemasyarakatan dan untuk melecehkan ajaran agama Islam, dengan tujuan agar bisa melakukan pelecehan di bidang yang lain terhadap Islam. Selain itu, Barat juga menginginkan agar umat Islam tidak lagi mempunyai simbol agama apapun dalam masyarakat. Namun dalam hal ini, sejarah Islam membuktikan bahwa para musuh Islam sama sekali tidak pernah bisa memadamkan cahaya Ilahi.”




Politik Barat Oleh : Redaksi 03 Jul 2004 - 2:51 am

© terjeru.co. All rights reserved. Premium By Raushan Design