Oleh: Syamsuddin Arif, Ph.D
Meski fatwa MUI sudah berlalu, perdebatan soal pluralisme masih terus
berlangsung. Semua orang, seolah-olah mulai bicara. Sebenarnya, apa beda
pluralisme dengan relativisme?
Kendati sudah sebulan berlalu, perdebatan soal pluralisme masih terus berlangsung. Jika sebelumnya yang maju berkomentar baru ‘pion-pion’ lokal, maka belakangan beberapa ‘pentolan’ luar pun mulai turun dan angkat bicara.
Kendati sudah sebulan berlalu, perdebatan soal pluralisme masih terus berlangsung. Jika sebelumnya yang maju berkomentar baru ‘pion-pion’ lokal, maka belakangan beberapa ‘pentolan’ luar pun mulai turun dan angkat bicara.
Dari William Liddle (Ohio State University) dan Diana Eck (Harvard University) hingga Franz Magnis Suseno (STF Driyarkara). Yang disebut terakhir, seorang pendeta Jesuit, berusaha mengaburkan makna pluralisme, menceraikannya dari relativisme dan menyamakannya dengan toleransi. “Hanya seorang pluralis sejati yang toleran,” tulisnya di sebuah koran ibukota. Pernyataan ini menyiratkan seolah-olah mereka yang tidak pluralis tidak toleran.
Pandangannya itu mungkin perlu disebarluaskan dan patut diterima oleh rekan seagamanya, tetapi bukan oleh dan untuk Umat Islam.
Seorang Muslim yang memahami ajaran agamanya tentu mengetahui bahwa padanya selalu dituntut keseimbangan dan kewajaran dalam ber-aqidah, beribadah dan ber-mu’amalah antar sesama manusia.
Anda disuruh berjihad, tapi juga diperintahkan menebarkan kedamaian. Saling menghormati dan toleransi kepada pemeluk agama lain diharuskan, namun dakwah kepada mereka juga diwajibkan.
Minoritas non-Muslim (ahli dzimmah) yang ‘lurus’ wajib dilindungi, namun mereka yang berkhianat dan memusuhi Islam dan Umat Islam harus diperangi. Demikianlah rule of the game-nya, sehingga peaceful coexistence dapat terwujud.
Sebaliknya, jika aturan main tersebut dilanggar, maka timbulnya berbagai macam konflik akan sulit dihindari.
Bahwa terdapat bermacam-macam agama di muka bumi ini adalah kenyataan yang tak terelakkan. Masalahnya, bagaimana menyikapi pluralitas dan diversitas agama-agama yang ada itu?
Menjawab pertanyaan serius ini, para pemikir terbelah menjadi beberapa kelompok. Kaum skeptis, positivis dan naturalis berkata, adanya macam-macam agama dengan doktrin yang berbeda-beda itu justru menunjukkan bahwa tidak ada satupun agama yang benar dan layak dipercaya.
Cukuplah perbedaan dan perselisihan merobohkan keseluruhan bangunan agama. Sebab, tidak ada satu kriteria pun yang dapat memastikan kebenarannya. Maka pluralitas agama hanya dapat dijelaskan secara sosiologis, anthropologis, dan psikologis.
Munculnya agama-agama disebabkan oleh faktor-faktor yang tak ada hubungannya dengan benar-salah (truth-blind causes), yaitu adat istiadat, kekuasaan politik, kepentingan serta kecenderungan pribadi dan budaya masyarakat setempat.
Agama adalah seperangkat ilusi, ungkapan emosi dan kepercayaan kosong. Begitulah pendapat Feuerbach, Marx dan Freud.
Penganut relativisme dengan polos berpendapat bahwa semua agama sama benarnya (every religion is as true and equally valid as every other). Kebenaran bukan monopoli satu agama tertentu. Tidak boleh pemeluk suatu agama menyalahkan atau menganggap sesat penganut agama lain.
Mereka ini lugu, karena ‘memegang pisau bukan gagangnya, tetapi badannya’. Pandangan ini merupakan induk dari paham esensialisme, sinkretisme, dan pluralisme agama. Maka kekeliruan tiga paham inipun tidak jauh berbeda dan tak dapat dipisahkan dari relativisme.
Yang dimaksud dengan esensialisme disini ialah pandangan yang mengatakan bahwa semua agama pada intinya sama. Bahwa agama-agama hanya berbeda formatnya saja, namun substansinya sama: kepercayaan pada Tuhan, kenabian dan moralitas.
Perbedaan yang ada tidak esensial, karena faktor sejarah dan pengaruh kondisi kultural dimana agama tersebut lahir. Walaupun sangat reduksionistik, pandangan ini cukup banyak peminatnya.
Sebut saja, misalnya, Frithjof Schuon yang mengolah gagasan ini menjadi ‘kesatuan transenden agama-agama’ (transcendent unity of religions). Agar lebih memikat, agama barunya ini ia namakan juga ‘agama abadi’ (religio perennis) dan ‘agama hati’ (la religion du coeur) yang konon merupakan sari-pati agama-agama (Lihat: Religion of the Heart: Essays presented to Frithjof Schuon on his eightieth Birthday, ed. S.H. Nasr dan W. Stoddart. Washington, D.C.: Foundation for Traditional Studies, 1991).
Sinkretisme bertualang lebih jauh, berhasrat mencairkan konflik dan mempertemukan agama-agama.
Karena semua agama membawa kebenaran dan menganjurkan kebaikan, mengapa tidak kita gabungkan saja semuanya? Ambil unsur-unsur yang disepakati dari semua agama dan buang yang masih diperdebatkan. Jadilah ‘agama gado-gado’ hasil comot sana-sini.
Sosiolog Peter L. Berger dari universitas Boston menyebutnya patchwork religion. Contohnya adalah Sikhisme di India, Baha’isme di Iran, Cuadaisme di Vietnam, atau aliran-aliran kebatinan semacam Sumarah, Pangestu, Darmo Gandhul dan sebagainya di Indonesia.
Seperti saudara-saudaranya, pluralisme juga bertolak dari keinginan mencari titik-temu antara agama-agama yang berbeda. Pluralisme memang tidak gebyah-uyah menyamakan semua agama. Sebab, andaikata semua agama sama, maka pluralitas tidak ada.
Namun, kaum pluralis tidak sekedar mengakui keberadaan berbagai agama. Lebih dari itu, mereka menganggap semua agama mewakili kebenaran yang sama, meskipun ‘porsinya’ tidak sama. Semuanya menjanjikan keselamatan dan kebahagiaan, walaupun ‘resepnya’ berbeda-beda. Terdapat banyak jalan menuju Tuhan.
Semuanya oke, tidak ada satupun yang buntu atau menyesatkan. All religions are equally effective means to salvation, liberation, and happiness, menurut paham ini.
Lalu apa bedanya dengan relativisme? Sebagaimana ditegaskan Peter Byrne, di dalam pluralisme bersemayam agnostisisme, paham bahwa kebenaran hanya bisa didekati, tetapi mustahil ditemukan.
Pluralisme agama, jelasnya, merupakan persenyawaan tiga proposisi. Pertama, semua tradisi agama-agama besar adalah sama, semuanya merujuk dan menunjuk sebuah realitas tunggal yang transendent dan suci.
Kedua, semuanya sama-sama menawarkan jalan keselamatan. Dan ketiga, semuanya tidak ada yang final. Artinya, setiap agama harus selalu terbuka untuk dikritisi dan direvisi (Lihat bukunya, Prolegomena to Religious Pluralism, London: Macmillan Press, 1995).
Di Indonesia, pluralisme kerap dipadankan dengan inklusivisme. Oleh para pengusungnya, gagasan ini diartikan sebagai paham keagamaan yang mengakui dan menerima kebenaran agama lain.
Sekilas memang nampak tak bermasalah. Apalagi jika tujuannya dikatakan untuk menemukan common platform demi terwujudnya kebersamaan dan kerukunan antar umat beragama.
Namun pada hakikatnya, inklusivisme cukup berbahaya. Ia mengajarkan bahwa agama anda bukanlah satu-satunya jalan keselamatan. Tidak boleh anda menganggap penganut agama lain bakal penghuni neraka. Asal mereka beriman dan berbuat baik –apapun agamanya– bisa saja selamat. Islam berarti penyerahan diri pada Tuhan, tidak lebih dari itu. Maka siapapun yang menyerahkan diri kepada Tuhan, meskipun secara formal ia berada di luar agama Islam, boleh disebut Muslim (Lihat: Alwi Shihab, Islam Inklusif: Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Bandung: Mizan Pustaka, 1997; Sukidi, Teologi Inklusif Cak Nur, Jakarta: Kompas, 2001; dan Nurcholis Madjid dkk, Fiqih Lintas Agama, Jakarta: Paramadina, 2005).
Semua paham tersebut diatas sesungguhnya lebih merupakan pendangkalan ketimbang pendalaman, pengaburan ketimbang pencerahan. Jika dibiarkan, paham-paham ini akan bekerja menghabisi semua agama.
*) Penulis adalah peneliti INSISTS di Frankfurt am Main, Jerman. Dimuat di Hidayatullah.com
Counter Liberalisme Oleh : Redaksi 09 Sep 2005 - 1:30 am