Oleh Budhy Munawar-Rachman
19/08/2001
Dengan begitu, agama jelas mengakui adanya kesetaraan
kaum beriman di hadapan Allah. Kalau orang Islam diwajibkan menjalankan
agamanya, begitu juga umat dalam agama lain. Dalam surah al-Maidah (5:66)
tertera: “Dan sekiranya mereka mengikuti ajaran Taurat dan Injil serta segala
yang diturunkan dari Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan menikmati
kesenangan dari setiap penjuru.”
Mewujudkan persaudaraan—atau dalam bahasa agama disebut
silat-u ‘l-rahm (saling memberi kasih-sayang atau saling cinta)—adalah
kewajiban setiap umat beragama. Biasanya istilah ini dipakai dalam hubungan
keluarga, maupun kelompok. Tapi bisa juga diperluas dalam bingkai kemanusiaan.
Dasar silaturahmi adalah persaudaraan (ukhuwwah), yang biasanya dipakai dalam
konteks persaudaraan sesama orang beriman (ukhuwwah islamiyyah), merentang
kepada persaudaraan sesama manusia (ukhuwwah insaniyyah atau ukhuwwah
basyariyyah).
Ayat Alquran surah al-Hujurat (49:10-12) menggambarkan
segi prinsipil dan teknis pelaksanaan persaudaraan ini. Ayat panjang ini
menggambarkan bahwa persaudaraan di antara orang-orang yang beriman secara
teologis adalah idaman terbesar umat Islam. Tetapi menurut Alquran itu hanya
bisa dicapai jika etika pergaulan antarmanusia diwujudkan dengan tidak saling
memperolok, menertawakan, berprasangka, memata-matai, dan saling menggunjing.
Dalam ayat di atas juga digambarkan bahwa orang beriman itu bersaudara.
Biasanya pandangan eksklusif memaksudkan orang beriman di
sini adalah orang-orang muslim saja, yaitu golongannya sendiri. Tapi pembacaan
inklusif yang memberi ruang pada paham pluralisme antaragama dewasa ini
memberikan penekanan “orang yang beriman” di sini sebagai orang yang percaya
dan menaruh percaya (trust) kepada Tuhan. Karena itu, kata “muslim” yang
dipakai disini pun, bisa dipakai dalam arti generiknya, yakini “orang-orang
yang memasrahkan hidupnya kepada kehendak Allah,” tak peduli apa agama
formalnya.
Pandangan-pandangan keagamaan yang memberikan ruang
kepada toleransi tampaknya semakin penting disosialisasikan, agar apa yang kita
sebut “Pentingnya Menghubungkan Tali Kasih Sayang Antar Umat Beragama” menjadi
sesuatu yang mungkin dilakukan tanpa ada stigma atau hambatan teologis. Padahal
dalam surah Ali Imran (Q.S. 3:64), Alquran jelas-jelas menganjurkan kita
mencari titik temu (kalimat-un sawa’).
Anak-cucu Adam
Dari sudut pandang agama, kita semua disatukan dalam
keluarga anak-cucu Adam (Banu Adam). Alquran memakai terma ini dalam menegaskan
bahwa Tuhan telah memberi kehormatan dan martabat kepada anak-cucu Adam.
Memberikan kepada kita semua kekayaan fisik, intelektual, moral, spiritual. Dan
dari semua potensi itu, anak-cucu Adam diciptakan dari segi spiritual yang sama
yang bisa dipakai, diperkaya, dan dikembangkan oleh setiap pribadi untuk
masing-masing kehidupannya yang khas, termasuk berkembang berdasarkan petunjuk
agama masing-masing (Q.S. Al-A`raf, 7:172).
Ayat dalam surah al-A’raf itu sering disebut sebagai ayat
“perjanjian primordial” manusia dengan Tuhan. Dasar spiritualitas manusia yang
paling pokok: Kita mengakui bahwa Allah adalah Pencipta, Tuhan semesta alam,
dan kita juga mengakui adanya kewajiban kita kepada-Nya, yang terbawa oleh
kodrat kita yang fitrah. Dan kewajiban itu bukan hanya segi-segi transendental,
tetapi lebih-lebih kewajiban sosial terhadap sesama manusia. Dalam frase agama,
iman dikaitkan dengan amal-saleh (yaitu kerja-kerja kemanusiaan).
Dalam sebuah analisis, Dr Fathi Osman dalam bukunya The
Children of Adam, kata “Anak cucu Adam” (banu Adam) disebut dalam Alquran tujuh
kali, yang bisa dibandingkan dengan kata manusia (insan) dalam bentuk tunggal
65 kali; manusia (ins, basyar) 54 kali, dan manusia (nas) dalam bentuk jamak
239 kali dan secara langsung dikemukakan sebanyak 19 kali. Sedang kata “mereka
yang telah memperoleh keimanan” atau “orang-orang mukmin” dirujuk dalam
bentuk-bentuk tunggal atau jamak (mukmin, mukminun, man amana, alladzina amanu)
dalam beberapa tempat dalam Alquran.
Banyaknya ungkapan ini menegaskan kepedulian Alquran
kepada manusia dalam keseluruhannya, bersamaan dengan penyebutan “orang-orang
yang telah memperoleh keimanan” atau “orang-orang mukmin” secara khusus. Ini
berarti bahwa mewujudkan ikatan silaturahmi dan tali persaudaraan antaragama
memang merupakan kewajiban kita sebagai umat beragama (Q.S, 49:13).
Di Hadapan Allah
Ide toleransi dan pluralisme antaragama, sebenarnya akan
membawa kita kepada paham “kesetaraan kaum beriman di hadapan Allah.” Walaupun
kita berbeda agama, tetapi iman di hadapan Allah adalah sama. Karena iman
menyangkut penghayatan kita kepada Allah, yang jauh lebih mendalam dari
segi-segi formal agama, yang menyangkut religiusitas atau bahasa keilmuan
sekarang spiritual intelligence. Karenanya, yang diperlukan sekarang ini dalam
penghayatan masalah pluralisme antaragama, adalah pandangan bahwa siapapun yang
beriman—tanpa harus melihat agamanya apa—adalah sama di hadapan Allah. Karena
Tuhan kita semua adalah Tuhan Yang Satu.
Dari segi teologi Islam, harusnya ini tidak menjadi
masalah. Alquran menegaskan bahwa keselamatan di hari akhirat hanya tergantung
kepada apakah seseorang itu percaya kepada Allah, percaya kepada hari akhirat
dan berbuat baik. Dan rupanya inti ajaran agama adalah mengenai ketiga hal
tersebut. Ini dikemukakan Alquran dalam surah al-Baqarah dan surah al-Maidah
(Q.S. 2:62 dan 5:69).
Dalam mengomentari ayat ini, Abdullah Yusuf Ali
menegaskan bahwa ajaran Allah itu satu, Islam mengakui keimanan yang benar
dalam bentuk yang lain, asal dijalankan dengan sungguh-sungguh dan didukung
oleh akal sehat, disertai tingkah laku yang baik—sebagaimana hal yang sama
berlaku bagi orang Islam sendiri. Sementara Muhammad Asad dalam tafsirnya
mengomentari, “the idea of “salvation” here made conditional upon three
elements only: belief in God, belief in the Day of Judgement, and rightous
action in life.
Dengan begitu, agama jelas mengakui adanya kesetaraan
kaum beriman di hadapan Allah. Kalau orang Islam diwajibkan menjalankan
agamanya, begitu juga umat dalam agama lain. Dalam surah al-Maidah (5:66)
tertera: “Dan sekiranya mereka mengikuti ajaran Taurat dan Injil serta segala
yang diturunkan dari Tuhan kepada mereka, niscaya mereka akan menikmati
kesenangan dari setiap penjuru.”
Dengan penafsiran atas beberapa ayat Alquran di atas,
Islam menegaskan adanya kesetaraan di antara kaum beriman di hadapan Allah.
Ukuran derajat seseorang dengan orang lain adalah takwa, bukan formalisme agama
apa yang dianut. Perspektif ini akan sangat membantu dalam membangun kembali cintakasih
dan persaudaraan antar agama—dari basis teologisnya-- yang sekarang kita
rindukan dapat lebih baik di masa-masa mendatang.